** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.gatra.com/artikel.php?id=91415 Nenek Asiah Mencari Keadilan Bermodal Telur Asin RAUT mukanya menunjukkan kelelahan luar biasa. Kelelahan segenap jiwa-raganya. Sambil menyantap nasi bungkus yang dibawanya, perempuan tua itu mengisahkan petualangannya dalam mencari keadilan yang semakin mahal di negeri ini. Gurat-gurat ketuaan tampak jelas di wajah Asiah binti Yachi, nama perempuan itu. Nenek berusia 63 tahun itu tengah berjuang mencari keadilan dalam kasus tanah dari tempat asalnya di Pekalongan, Jawa Tengah, hingga ke Jakarta ini. Meski yang didapatnya baru kelelahan dan kekecewaan, Asiah pantang menyerah. Sepekan lalu, ruang tamu yang sempit di lantai lima kantor Komisi Yudisial (KY), Jalan Abdul Muis, Jakarta, kedatangan perempuan pemberani ini. Nenek berkebaya hitam ini duduk termenung menunggu pencatatan berkas-berkas yang menjadi lampiran laporannya ke KY. Tatapan kosong matanya yang sudah tua, mengundang rasa penasaran sejumlah wartawan yang berada di kantor ini. Para wartawan kebetulan tengah meliput pemeriksaan tiga hakim asal Denpasar yang memutus perkara model molek asal Australia, Michelle Leslie, di kantor KY. Tangan kanan Asiah menggenggam keranjang berisi telur asin, jeruk nipis, dan dua botol air minum kemasan. Sedangkan, tangan kirinya, tampak memegang bungkusan plastik berisi lembaran kertas berwarna kuning lusuh. Berulang kali Asiah memandang kertas-kertas dokumen itu dengan lesu. "Saya pengen pulang," ungkapnya, seakan bergumam, menjawab pertanyaan wartawan tentang keperluannya ke kantor pengawas perilaku hakim itu. Dalam kerumunan pekerja jurnalistik, sesekali Asiah menoleh ke meja pengaduan KY, seakan berharap ada titik terang dari perkara pelik yang tengah dihadapinya sejak puluhan tahun silam. Perjuangan mencari keadilan betul-betul sebuah perjalanan pahit bagi nenek itu. Kamis malam (5/1), dengan beralaskan sandal jepit, Asiah meninggalkan rumahnya menuju Stasiun Kota Pekalongan, Jawa Tengah, menumpang KA Kelas Ekonomi Tawang Jaya, menuju Ibukota. Selama perjalanan, ibu dua anak ini mencari uang dengan menjajakan dagangannya. Puluhan telur asin berhasil dijualnya dengan harga Rp 1.000 per butirnya. Ya, modal perjalanannya menuju Ibukota adalah telur-telur asin ini. Telur asin inilah pula yang menjadi ganjal perutnya selama di perjalanan. Setibanya di Stasiun Senen, Jakarta, Asiah sempat kebingungan dengan arah yang dituju. Setelah tanya sana-sini, akhirnya sampai juga nenek ini di lembaga yang dalam harapannya bisa memberinya keadilan. Perkara yang diadukan Asiah ini sebetulnya "warisan" dari ibunya, Simbok Maani binti Leman. Pada 1951 Maani menggadaikan sepetak tanah seluas 800 m2 di Desa Ketandem, Kecamatan Wirodesa, Pekalongan kepada Tardjani, kepala desa pada saat itu. Tanah itu dijaminkan untuk pinjaman uang Rp 60 --jumlah yang cukup besar pada saat itu. Seluruh proses transaksi disaksikan oleh Moenawar, wakil kepala desa yang turut membubuhkan tanda tangan pada bukti transaksi. Dua tahun kemudian, atau saat jatuh tempo pembayaran uang tebusan tersebut, Maani, yang hendak melunasi utang, sekaligus mengambil tanah yang diagunkan, dikagetkan kenyataan yang terjadi di luar dugaannya. Surat Keterangan Kepala Desa Wirodesa tertanggal 14 Juni 1951, menyatakan bahwa telah terjadi jual-beli sebidang tanah antara Maani dengan Djubaidah binti Tardjani (anak Tardjani). Berdasarkan surat tersebut, muncul sertifikat atas nama Djubaidah. Anehnya, Djubaidah pada tahun 1951 baru berusia satu tahun. Asiah, yang menurut surat keterangan Polres Pekalongan berusia 71 tahun, menuturkan bahwa almarhum Tardjani menolak uang tebusan dari Maani. Ini bagi Asiah berarti Tardjani telah melakukan penyimpangan atas perjanjian hutang-piutang yang diubahnya menjadi perjanjian jual-beli. "Wong si Moenawar juga disogok," ujarnya, sambil menunjukkan tanda tangan Moenawar di surat perjanjian hutang-piutang. Ulah Tardjani ini sudah digugat Maani hingga ke meja hijau. Namun putusan Pengadilan Negeri Pekalongan mengandaskan gugatan Maani, tanpa digelar sidang! Maani pun banding, dan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1984. Bahkan, PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan Maani ditolak, sekaligus menguatkan putusan PN Pekalongan. Namun, perjuangan belum berakhir bagi Maani, yang akhirnya tutup usia pada tahun 2004. Asiah, yang sudah mengikuti gerilya ibunya sejak 1970-an, mengaku sudah menjajal dunia hitamnya dunia peradilan Indonesia. Menurutnya, ia pernah mencoba mengadu ke sejumlah pejabat tinggi dan wakil rakyat di negeri ini. 'Tembok' istana negara sampai orang nomor satu di Kejaksaan Agung pernah ia coba tembus. "Saya juga dulu pernah ketemu Pak Sudomo," kenang wanita yang berbicara campur bahasa Indonesia-Jawa ini. Hingga akhirnya kegigihan Asiah disambut Alwi Shihab, saat menjabat Menko Kesra, yang tengah melakukan kunjungan kerja ke Pekalongan. Alwi lalu merekomendasikan penjaja telur asin ini ke KY, guna menelusuri ulang kinerja para hakim yang tidak pernah mengadili perkara yang bermula dari penyerobotan tanah orangtuanya tersebut. "Saya ndak punya apa-apa lagi. Makanya, saya harus terus begini (berusaha mendapatkan tanahnya kembali, Red)," katanya. Setelah menyerahkan kertas-kertas bukti, antara lain transaksi utang-piutang dengan jaminan tanah, dan menuturkan keluhannya ke bagian pengaduan KY, Jum'at siang (6/1), Asiah yang mengaku tidak kerasan di Jakarta, harus menjual sisa-sisa telur asinnya, untuk mendapatkan tiket kereta api pulang ke Pekalongan. Sejumlah karyawan, tamu, dan wartawan yang berada di lobi depan kantor KY diharapkannya jadi pembeli barang dagangannya tersebut. Ia butuh Rp 30.000 untuk ongkos mudik. Kebetulan, anggota KY Irawady Joenoes melintas di lobi dan mendapat penjelasan tentang apa yang terjadi. Ia lalu menghampiri Asiah di tengah kerumunan wartawan. Sekilas, Irawady melihat surat-surat yang dibawa Asiah, lalu menanyakan proses pengaduan yang telah dijalani wanita renta ini di kantornya. Terharu mendengar cerita Asiah, serta "dikompori" para wartawan, Irawady akhirnya merogoh dompet di kantong celananya. Tanpa menghitung lagi, Irawady memberi Asiah lembaran ratusan ribu untuk ongkos pulang. "Iki ada uang seadanya untuk ongkos," ujar Irawady. Ongkos bagi Asiah Jakarta-Pekalongan PP bisa tertalangi. Tapi, total uang yang sudah dihabiskan Asiah untuk mengurus perkaranya semenjak era pemerintahan Presiden Soekarno ini sudah tidak terhitung lagi. Kapankah keadilan akan berpihak pada wong cilik?[EL] [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **