[nasional_list] [ppiindia] Membincang keadilan Tuhan (Theodicy) dalam bencana tsunami di Aceh

  • From: radityo djadjoeri <radityo_dj@xxxxxxxxx>
  • To: wolu <wolu@xxxxxxxxxxxxxxx>, bizzcomm-milis <bizzcomm@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sat, 5 Feb 2005 04:11:37 -0800 (PST)

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

Membincang keadilan Tuhan (Theodicy) dalam bencana tsunami di 
Aceh
Haidar Bagir*
 
     Di antara segala kepiluan, kebalauan, dan kepanikan melakukan apa saja 
yang mungkin dalam menghadapi katastrofi dahsyat, sebagaimana gempa tsunami 
yang terjadi di Aceh baru-baru ini, biasanya selalu mendekam pertanyaan besar : 
apa maunya Tuhan dengan semua ini? Ia bisa melintas secara otomatis dan tidak 
disengaja, atau bisa juga merupakan kebutuhan filosofis yang sedikit atau 
banyak lebih terelaborasi, tapi ia sulit ditekan ? dan sesungguhnya memang tak 
bisa ditekan ? khususnya bagi pikiran-pikiran yang
memujikan rasionalisme. Maka, melewati kejadian-kejadian besar seperti ini, 
chaos yang
terjadi biasanya diikuti dengan semacam aktivitas soul searching, yang bisa 
membawa kita kepada keimanan yang lebih kuat, atau justru krisis teologis yang
mengguncang.
 
     Pertanyaan yang menyembul tanpa bisa
ditahan-tahan itu adalah : Kenapa Tuhan yang
Mahapengasih dan Penyayang, yang Mahakuasa (yang
kekuasaannya tidak terbatas), membiarkan ? kalau tak
malah menciptakan ? keburukan semacam gempa Tsunami
yang menimbulkan korban jiwa, benda, dan penderitaan
yang mahadahsyat seperti ini? Apa maunya Dia? Atau,
jangan-jangan Tuhan tidak sepenyayang dan sepengasih
yang kita kira? Bahkan sesungguhnya dia  mahapemarah?

Belum lagi pertanyaan : kenapa orang-orang Aceh yang ?
setidaknya banyak di antara mereka ? yang tidak
berdosa ? dan ? setidaknya relatif lebih ? kuat
beragama, malah sudah berkepanjangan ditimpa derita
perang saudara? Kenapa tidak di Jakarta, tempat banyak
orang berfoya-foya, melanggar perintahnya, dan tempat
banyak koruptor kakap menjarah hak orang lain dengan
tidak semena-mena? Di mana keadilan Tuhan, kalau
memang Tuhan seperti yang dikenal oleh orang-orang
beragama itu memang ada?
 
Inilah sesungguhnya suatu isu yang telah mengisi buku-buku teologi, nyaris 
sejak pertama kali agama dikenal manusia. Atau, setidaknya, sejak orang 
mengenal filsafat. Dari zaman pemikir Yunani ?pelbegu? seperti Plato, bahkan 
jauh sebelumnya, hingga
pemikir-pemikir Kristen, Yahudi, Islam, atau dari
kelompok pemikir mana pun, masalah ini telah menjadi
salah satu isu penting dalam filsafat dan teologi.
Nyaris tak ada satu pun buku yang terkait dengan
teologi yang tak menjadikan isu ini sebagai salah satu
bagian pembahasannya. Tapi, kapan saja katastrofi
dahsyat terjadi, isu ini kembali mencuat. Karena,
betapa pun banyak penjelasan diupayakan, tak bisa
semua orang dipuaskan, atau bahkan tak ada
pikiran-pikiran filosofis yang bisa sepenuhnya
dipuaskan. Tentu saja ada alternatif penjelasan yang
mungkin bisa diterima, meski tak sepenuhnya filosofis,
melainkan eksplikatif. Dalam disiplin pemikiran,
filsafat memang tak mulai dari asumsi-asumsi yang
sudah terlebih dahulu diyakini kebenarannya dan,
berangkat dari situ, menawarkan penjelasan-penjelasan
logis, sebagaimana yang dilakukan teologi (dialektis).
 
Di antara penjelasan teologis yang biasa ditawarkan
adalah, bahwa bencana seperti ini sesungguhnya adalah
peringatan dan hukuman Tuhan bagi kebaikan ? harapan
akan peningkatan kualitas -- manusia sendiri. Yakni
manusia yang masih hidup, sementara yang menjadi
korban dipercayai akan diperlakukan dengan adil oleh
Tuhan di alam yang lain. Apalagi, sebagai bagian dari
paket penjelasan ini, bukankah penilaian akan keadilan
Tuhan tak bisa berhenti hanya pada kehidupan dunia
ini? Bukankah perhitungan baru  selesai di akhirat
nanti? Masih dalam rangka penjelasan teologis seperti
ini, ada yang bahkan berusaha menjelaskan katastrofi ?
terkadang sambil mendukungnya dengan bukti-bukti
kesejarahan ? sebagai pendahulu bagi sebuah kelahiran
baru yang lebih menjanjikan. Kenapa di Aceh? Tentu ada
saja yang menganggapnya sebagai peringatan atau
hukuman terutama untuk rakyat Aceh sendiri, tapi ada
pula yang merasa bahwa hal ini terjadi justru karena
Aceh membutuhkan sebuah kelahiran baru seperti itu
setelah apa yang tampak sebagai kebuntuan dalam
penyelesaian masalahnya yang terasa berlarut-larut dan
tanpa tanda-tanda penyelesaian. 
 
     Tulisan ini dibuat tentu saja tanpa pretensi
untuk memberikan solusi tuntas dan memuaskan terhadap
pertanyaan yang usianya sudah setua peradaban manusia
ini. Kalau pun ada kontribusinya, maka hal itu akan
terletak pada upayanya dalam memaparkan ? atau, malah,
hanya meringkaskan ? solusi-solusi yang pernah
ditawarkan terhadap persoalan ini. Dan, bukannya
teologis, pendekatan yang dipakai oleh tulisan ini
bersifat nyaris sepenuhnya filosofis. Maka, jika
setelah membaca tulisan ini orang menjadi faham bahwa
persoalannya sama sekali tak sederhana -- dan, karena
itu, tak gegabah dalam menarik kesimpulan-kesimpulan
atas persoalan terdalam hakikat kehidupan manusia di
bumi ini -- maka saya menganggap tujuan penulisannya
sudah tercapai.  

     Dirumuskan secara logis-diskursif, masalah
keadilan Tuhan ini akan mengambil bentuk silogisme
sebagai berikut :
     1. Tuhan ada 
     2. Tuhan adalah baik
     3. Tuhan adalah mahakuasa
     4. Tuhan adalah mahatahu
     5. Dunia mengandung kejahatan atau keburukan
 
Berdasar premis-premis di atas orang merasa dapat
menyimpulkan secara logis adanya inkonsistensi.
Bagaimana mungkin Tuhan yang baik, serta maha kuasa
dan maha tahu, menciptakan atau membiarkan kejahatan
atau keburukan di dunia?
 
     Menurut John L. Mackie (?Evil and Omnipotence?,
dalam Nelson Pike (ed.), Good and Evil, Prentice Hall,
Englewoods Cliff, New Jersey, 1964) solusi yang
ditawarkan terhadap apa yang dilihat sebagai
inkonsistensi logis di atas bisa dibagi dalam dua
kategori utama: kategori yang menolak setidak-tidaknya
salah satu premis di atas, dan kategori kedua yang
mempertahankan semua premis tersebut. Mackie
menganggap kategori pertama mencakup solusi yang
?mencukupi? dan kategori kedua mencakup solusi yang
?rancu?. Marilah sekarang kita uraikan sedikit lebih
lanjut dua kategori tersebut. 
 
     Kategori Pertama
     Contoh penting dari kategori pertama adalah
argumen bahwa kekuasaan Tuhan tidak absolut. Misalnya,
Tuhan atau Demiurgos (Sang Tukang Pencipta Alam
Semesta) yang dinyatakan Plato di dalam Timaeus, 
tidak dapat menjalankan kekuasaan tanpa batas, karena
di dunia ada dua asas: materi dan  forma (?bentuk?,
sifat-sifat yang menjadikan materi memiliki
sifat-sifat tertentu yang menjadikannya sesuatu benda
tertentu). Demiurgos tidak mampu menjadikan materi
bentuk apa saja yang Ia maui; Ia sama sekali tidak
dapat mempengaruhi bentuk (forma). Maka, Tuhan-nya
Plato tidak dapat disalahkan akibat tidak menjadikan
kursi, meja, singa, dan seterusnya sebagai benda-benda
yang sempurna; hal ini dikarenakan, materi yang
menjadi sumber penciptaan dan ketidaksempurnaan semua
benda merintangi kehendak dan tindakan Tuhan. Ini
tidak berarti mengatakan bahwa Demiurgos bebas dari
tanggung jawab atau kesalahan atas segala kejahatan
yang telah atau akan terjadi di dunia. Karena Dia
sesungguhnya dapat mencegah beberapa tindakan yang
menyebabkan kejahatan dan Dia memiliki kuasa untuk
melakukan atau tidak melakukan hal itu. Bagaimanapun,
penolakan Plato terhadap kekuasaan absolut Demiurgos
menghapuskan masalah kejahatan sebagai sebuah
kontradiksi, karena kehadiran setidak-tidaknya suatu
kejahatan, yakni ketidaksempurnaan benda-benda
material, adalah sesuatu yang tidak dapat dikontrol
oleh Demiurgos yang baik. 
 
     Pandangan kedua, yang menegaskan secara konsisten
bahwa Tuhan itu baik dan kejahatan itu ada, berasal
dari kaum Manikhean. (Mungkin juga dari agama Hindu).
Menurut pandangan ini, Tuhan, yang diidentikkan dengan
kebaikan, tidak memiliki kuasa selain atas benda-benda
yang baik. Benda-benda yang jahat diciptakan oleh
?oknum? Tuhan yang lain, yakni Tuhan kejahatan. Di
sini masalah kejahatan tidak muncul, karena entah kita
membicarakan Tuhan kebaikan atau Tuhan kejahatan,
kontradiksi mudah dihindari. Tuhan kebaikan tidak
memiliki kuasa selain atas benda-benda baik; karenanya
kejahatan muncul bukan karena kehendak Tuhan. Sedang
Tuhan kejahatan, Dia bukan hanya Tuhan yang  terbatas
kuasanya, karena Ia memiliki kuasa hanya atas
benda-benda yang jahat, Ia pun memang bukan Tuhan
kebaikan ? bahkan, sebenarnya, Ia memang memiliki
pembawaan sifat jahat. Penciptaan-Nya atas kejahatan,
tidak hanya tidak bertentangan dengan Sifat-Nya
melainkan justru konsekuensi sifat-Nya. 
 
     Tipe solusi kedua dimasukkan ke dalam kategori
pertama; karena, bukannya menghapuskan satu atau lebih
sifat Tuhan, ia justru menghapuskan kejahatan. Salah
satu solusi yang masuk ke dalam kelompok ini
menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, sedang
solusi yang lain menganggapnya sebagai ketiadaan
kebaikan. Beberapa sekte Hindu seperti Madyamika,
misalnya, percaya bahwa seluruh dunia fenomena dengan
segala sesuatu yang muncul di dalamnya ? benda-benda
yang hidup atau mati, baik atau jahat ? hanyalah
sebuah ilusi. Dunia ini dimanifestasikan pada kita
sebagai real karena pemahaman pikiran kita dibatasi
sebagai akibat dari keterpisahannya dengan pikiran
absolut atau makrokosmis. Jika kita dapat menghindari
diri kita dari keterbatasan pikiran dan melihat benda
sebagaimana tampak pada pikiran makrokosmik, semua
yang kita alami tentang benda-benda fenomena, termasuk
penderitaan dan kebahagiaan, kejahatan dan kebaikan,
akan menghilang; yang tersisa adalah sebuah visi
tentang keseluruhan, yang tidak mencerminkan pembedaan
di antara benda, nilai, atau segala hal yang lain.
Apakah pandangan semacam itu masuk akal, merupakan
persoalan di luar cakupan tulisan ini. Yang menjadi
perhatian kita di sini adalah fakta bahwa ajaran
dasarnya tidak mengalami inkonsistensi yang
ditimbulkan akibat adanya (konsep tentang) kejahatan ?
setidak-tidaknya ketika ajaran ini diuraikan dalam
bentuknya yang eksplisit ? karena sesungguhnya
kejahatan tidak memiliki eksistensi real di dunia. 

Mengenai pandangan yang mereduksi kejahatan menjadi
tiadanya kebaikan, seperti juga pandangan yang
menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, ia mencoba
memecahkan masalah dengan menghapuskan kejahatan
sebagai sebuah realitas positif. Contohnya, ketunarunguan, kebutaan, sakit, 
kebodohan dan kelemahan adalah ketiadaan pendengaran, penglihatan,
kesehatan, pengetahuan, dan kemampuan. Karena merupakan ketiadaan 
(nonexistence, nonbeing, nothingness), maka kejahatan atau keburukan tak
membutuhkan sumber atau pencipta, karena penciptaan
hanya berhubungan dengan keberadaan (existence, being). 
 
     Persoalannya adalah, kenapa alam ini tidak
diciptakan dengan cara sedemikian, sehingga keberadaan
bisa menggantikan ketiadaan? Jawaban terhadap
persoalan ini bisa diperoleh dengan memfokuskan
perhatian pada karakteristik-karakteristik dunia
natural. Aksi-aksi dan reaksi-reaksi yang bersifat
resiprokal dari maujud-maujud material,
perubahan-perubahan, penggantian-penggantian, konflik,
dan interferensi adalah karakteristik-karakteristik
esensial dari dunia material. Jika
karakteristik-karakteristik ini tidak ada maka dunia
material ini juga tidak ada. Dengan kata lain, sistem
kausal spesifik dunia material adalah suatu sistem
esensial yang dibutuhkan oleh sifat dasar
maujud-maujud material. Oleh karena itu, dunia
material haruslah, atau terwujud dengan sistem ini
atau ia tak akan terwujud sama sekali. Di sisi lain,
kemunculan sebuah fenomena baru tergantung kepada
kemusnahan (atau pemusnahan) fenomena yang lama (yang
ada sebelumnya). Demikian pula, ketahanan hidup suatu
maujud hidup tergantung kepada pengonsumsian ? dan,
karena itu, pemusnahan ? maujud-maujud hidup lainnya.

Misalnya, ketahanan hidup manusia tergantung pada
pengonsumsian hasil-hasil tanaman atau hewan-hewan
tertentu. Argumentasi terakhir ini antara lain
diajukan dalam (filsafat) Hikmah yang bersumber dari
aliran Akbarian (aliran yang mendasarkan pada
pemikiran Syaikh al-Akbar Ibn ?Arabi).  
 
     Kategori Kedua
     Dalam kategori kedua yang di dalamnya semua
premis dipertahankan, kita menemukan empat tipe
solusi, yang didasarkan atas empat penafsiran mengenai
kejahatan.  

     Kesatu, kejahatan adalah efek (akibat) yang
diperlukan dari kebaikan. Beberapa kebaikan tidak
mungkin ada tanpa suatu kejahatan yang secara absolut
berasal darinya. Api, misalnya, adalah baik ? ia
digunakan untuk memasak,  menghangatkan, dan untuk
banyak tujuan kebaikan yang lain ? tetapi ia tidak
dapat ada sebagai api tanpa pada saat yang sama juga
memiliki kuasa untuk membakar sesuatu yang berharga
dalam keadaan tertentu. Maka, kejahatan adalah akibat
yang tak terhindarkan dari adanya beberapa kebaikan;
menghapuskannya berarti pada saat yang sama
menghapuskan sebabnya, yang pada kenyataannya
merupakan kebaikan -- yang nilai-positifnya melebihi
nilai negatif kejahatan. Bertentangan dengan solusi
yang diuraikan dalam kategori pertama, tipe solusi
ini, bersama dengan tiga solusi berikutnya, tidak
menolak komponen dasar dari ajaran teistik. Semua
sifat Tuhan dipertahankan, dan tetap dianggap absolut;
kejahatan juga diakui sebagai sebuah fakta di dunia.

Yang diupayakan adalah pembenaran terhadap Tuhan yang
menyebabkan atau mengizinkan kejahatan. 
Kedua, kejahatan adalah sarana yang diperlukan untuk
kebaikan. Menurut pandangan ini, kejahatan selalu
terjadi agar dapat membawa sesuatu yang lebih baik
daripada apa yang telah ada. Menampar anak kecil,
misalnya, adalah kejahatan, tetapi ini berguna untuk
mendisiplinkan anak. Gempa bumi, banjir, kebakaran,
dan bencana lain adalah juga kejahatan, namun semua
itu memiliki pengaruh yang baik, seperti menurunkan
populasi, mengajarkan pada mereka yang masih hidup
mengenai bagaimana menghadapi penderitaan dan
kesulitan, dan mungkin menimbulkan peristiwa-peristiwa
yang baik dalam hubungannya dengan alam semesta secara
keseluruhan ? kebaikan yang menurut keterbatasan
pandangan kita tidak (atau mungkin tidak dapat) kita
pahami sebagai kebaikan. Dengan klaim semacam itu,
tipe solusi ini disebut sebagai ?pembelaan bagi
kebaikan yang lebih tinggi.?
 
Nelson Pike ( ?Good and Evil?, Ibid) adalah salah satu
pendukung terkenal abad keduapuluh terhadap ?pembelaan
atas kebaikan yang lebih tinggi?. Pike menyatakan
bahwa solusi ini tidak berasal ?dari klaim bahwa
sebuah wujud yang sangat baik akan mencegah
penderitaan, jika ia dapat.? Pike berargumen bahwa
sesuatu bisa baik meski pada saat yang sama
menimbulkan kejahatan, tetapi sesuatu itu harus
?memiliki alasan moral yang kuat? untuk melakukan
demikian:
 
Misalnya, seorang ayah yang memberi anaknya sesendok
obat pahit tidak boleh disalahkan, karena ia melakukan
demikian agar dapat mengobati anaknya dari penyakit.
Meminum obat adalah pengalaman yang tidak menyenangkan
bagi seorang anak, dan karena itu merupakan suatu
jenis keburukan, tetapi hal ini merupakan sarana untuk
kebaikan yang lebih tinggi ? yakni, untuk memulihkan
kesehatan anak. Maka, seorang ayah, meskipun
bertanggung jawab dalam hal memberi obat pada anaknya,
terbebas dari kesalahan yang menimbulkan kejahatan: ia
memiliki ?alasan moral yang kuat.? Pike berpendapat
bahwa argumen yang sama dapat diterapkan pada Tuhan.

Tuhan, yang memiliki pengetahuan tentang penderitaan
yang dialami oleh makhluk-makhluk tertentu ketika
ditimpa penyakit, penderitaan, dan seterusnya, dan
memiliki kuasa untuk mencegah penderitaan semacam itu,
masih tetap tidak mencegahnya. Namun Tuhan tidak bisa
dituduh jahat, karena alasan melakukan itu secara
moral adalah kuat: Tuhan yang menyebabkan atau tidak
mencegah kejahatan memiliki tujuan untuk menghasilkan
kebaikan yang lebih tinggi, untuk individu yang
ditimpa kejahatan atau untuk alam semesta secara
keseluruhan. Dengan kata lain, Jika Tuhan mencegah
menghasilkan beberapa kejahatan, maka sama saja Dia
mencegah menghasilkan beberapa kebaikan yang lebih
tinggi. 

Tetapi, bagi sebagian orang, analogi antara manusia
dan Tuhan ini dapat menimbulkan pertanyaan lebih
lanjut. Memang sulit bagi seorang ayah, dengan
keterbatasan manusiawinya, mengobati anaknya dari
penyakti tanpa memberinya obat yang pahit. Tetapi
Tuhan dianggap memiliki kekuasaan yang absolut, dan
karena itu pasti dapat menghasilkan kebaikan tanpa
harus memakai sarana kejahatan. (Dengan kata lain,
untuk dapat diterima, harus dicatat bahwa pembelaan
ini dan pembelaan sebelumnya, secara implisit
sebenarnya membatasi kekuasaan Tuhan, meskipun
keduanya mengklaim mempertahankan semua premis dasar
yang kita catatkan di awal tulisan ini). 
 
Perlu saya tambahkan, pada tahap ini, bahwa keberatan atau
pertanyaan ini sesungguhnya mengandung
inkonsistensi logis. Yang diupayakan adalah
penjelasan-penjelasan (manusiawi yang bersifat)
rasional terhadap isu keadilan Tuhan. Dengan kata
lain, sejalan dengan hukum-hukum yang berlaku di dalam
domain kehidupan manusia. Maka, kaidah-kaidah yang
harus dipakai untuk  menyampaikan keberatan
terhadapnya harus juga menggunakan kaidah-kaidah yang
dipakai dalam argumentasi yang dipertanyakan itu.

Melompat kepada ukuran-ukuran yang tak rasional secara
manusiawi, semisal mengharap Tuhan memberi obat yang
tidak pahit, adalah sebuah kerancuan logis. Dengan
kata lain, kalau sejak awal Tuhan memang diasumsikan
dapat melakukan hal-hal yang berada di luar
kaidah-kaidah (rasional) pemikiran manusia, maka semua
pertanyaan soal keadilan tuhan ini sudah tak relevan
sejakawalnya. Yakni, bahwa Tuhan bisa saja dianggap
adil meski menciptakan atau membiarkan kejahatan dan
keburukan terjadi di dunia ini, hanya kita saja yang
tak mampu memahami.
 
Ketiga, kejahatan menambah keragaman di dunia dan
karena itu membuat dunia kita menjadi dunia terbaik
dari dunia-dunia yang mungkin (diciptakan) (the best
of all possible worlds). Menurut pandangan ini,
kejahatan dibenarkan bukan karena klaim bahwa ia tak
terhindarkan agar dapat memunculkan beberapa kebaikan
yang penting, tetapi karena klaim bahwa ia memiliki
nilai positifnya sendiri. Jika kejahatan dihilangkan
maka kita akan mendapati kurangya keragaman
(sebagaimana dikatakan oleh Leibniz) atau kurangnya
kemungkinan yang bisa diwujudkan (sebagaimana
dikatakan oleh Ibn Sina) dibandingkan seharusnya ?
dengan kata lain, kebaikan yang bisa kurang daripada
yang seharusnya atau dibandingkan yang telah kita
miliki. Idenya adalah, semakin banyak keragaman dan
semakin terpenuhinya kemungkinan, adalah lebih baik,
dengan syarat bahwa keragaman dan kemungkinan yang
terpenuhi itu diintegrasikan dengan kesatuan dan
keteraturan. Hadirnya kejahatan memberi dunia kita
jumlah keragaman yang lebih besar dibandingkan jika
tidak ada; karenanya, dunia ini akan lebih baik bila
ada kejahatan dan akan lebih baik dari dunia apapun
yang kurang memiliki campuran antara kebaikan dan
kejahatan.
 
Keempat, kejahatan bukanlah tindakan Tuhan atau
produk dari tindakan Tuhan, melainkan produk dari
kebebasan kehendak manusia. Ini adalah pembelaan yang
dipergunakan untuk membebaskan Tuhan dari tanggung
jawab atas kejahatan moral, bukan kejahatan metafisis.
Jika manusialah yang, karena kebebasan mereka,
menimbulkan kejahatan moral, maka, ditegaskan bahwa
hadirnya kejahatan semacam itu tidaklah bertentangan
dengan kebaikan Tuhan. Tetapi harus dinyatakan pula
bahwa merujukkan kejahatan moral kepada kebebasan
kehendak manusia tidaklah dengan sendirinya menawarkan
solusi yang sempurna atas masalah kejahatan. Di
samping fakta bahwa solusi yang terpisah harus
disediakan untuk kejahatan fisik dan metafisik, harus
diuraikan pula dua hal penting berkenaan dengan
kebebasan manusia: alasan Tuhan menyebabkan atau
mengizinkan adanya kebebasan kehendak manusia, yang
mengetahui bahwa dengan adanya kebebasan kehendak itu,
kemungkinan kejahatan juga ada; dan apakah Tuhan dapat
membuat orang berbuat benar setiap saat meski dengan
fakta bahwa mereka itu bebas. Pembelaan yang
memberikan jawaban kepada dua hal tersebut sekarang
biasa disebut dengan ?pembelaan atas kebebasan
kehendak?.
 
?Pembelaan atas kebebasan kehendak? mengklaim bahwa
sebuah dunia dengan makhluk yang memiliki kuasa untuk
apa yang baik dan apa yang buruk secara bebas, adalah
lebih baik daripada sebuah dunia yang di dalamnya
makhluk hanya melakukan apa yang benar, tetapi tidak
secara bebas. Ini adalah jawaban terhadap poin pertama
yang disinggung di atas, tetapi ia hanya salah satu
tesis dari ?pembelaan atas kebebasan kehendak,? dan
bukan yang paling fundamental. Garis argumen yang
diambil untuk merespon poin kedua adalah garis argumen
yang berada pada pusat perdebatan yang hangat dalam
pemikiran kontemporer. Menurut argumen ini, Tuhan
tidak dapat memberi kebebasan pada makhluk dan pada
saat yang sama menjamin bahwa makhluk ini akan selalu
melakukan apa yang benar secara bebas.
 
Tesis yang kedua ini membutuhkan tesis yang pertama
agar pembelaan itu bisa sempurna. Jika Tuhan tidak
dapat memberi kebebasan pada orang dan pada saat yang
sama membuat mereka selalu dan dengan bebas
menjalankan perbuatan yang benar, mengapa Tuhan tidak
menahan kebebasan mereka agar mereka  dapat
menghindari keberadaan atau kemungkinan kejahatan
moral? Pembela atas kebebasan kehendak siap menyatakan
bahwa kebebasan adalah lebih baik daripada
tanpa-kebebasan, dan bahwa sebuah dunia dengan
kebebasan semacam itu adalah lebih diinginkan dan
lebih baik daripada sebuah dunia tanpa kebebasan.

Dengan kata lain, ?pembelaan atas kebaikan yang lebih
tinggi? adalah langkah pertama yang harus diambil di
dalam ?pembelaan atas kebebasan kehendak?. Ketika
langkah itu diambil, maka pembela atas kebebasan
kehendak harus menegaskan ketidaksesuaian antara
premis ?Orang adalah bebas? dan premis ?Tuhan dapat
menentukan orang selalu berbuat benar secara bebas.?

Ketidaksesuaian semacam itu dipertahankan dengan kuat
oleh orang-orang seperti John Hick dan Alvin
Plantinga. Tetapi ketidaksesuaian tersebut, sebagai
inti dari ?pembelaan atas kebebasan kehendak?, juga
memiliki lawan yang tangguh, seperti John Mackie,
Antony Flew, dan Dewey Hoitenga. 
 
Maka, pembela kebebasan kehendak berusaha memecahkan
persoalan kejahatan dengan mengingkari kemahakuasaan
Tuhan. Setelah memberi manusia kebebasan kehendak,
Tuhan tidak dapat membimbing perbuatan mereka; jika
Tuhan melakukan ini, mereka tidak akan bebas. Dengan
kata lain, kebebasan manusia memberi batasan pada
kekuasaan Tuhan. 
 
Kesimpulannya, solusi utama terhadap masalah kejahatan
dapat dibagi menjadi dua tipe: 

Kategori Pertama, tipe solusi yang menolak
setidak-tidaknya salah satu premis yang dicantumkan
pada awal tulisan ini. Contoh-contoh dari tipe solusi
ini adalah (a) solusi yang menghapuskan satu atau
lebih sifat Tuhan, seperti sifat kuasa; dan (b) solusi
yang menghapuskan konsep tentang kejahatan. 

Kategori Kedua, tipe solusi yang tidak secara
eksplisit menolak semua premis. Contoh-contoh dari
tipe ini adalah bahwa (a) kejahatan pasti berasal dari
kebaikan; (b) kebaikan membutuhkan kejahatan sebagai
sarananya; (c) kejahatan menambah keragaman atau
pemenuhan berbagai kemungkinan di dunia, dan ini
adalah sesuatu yang baik; dan (d) kejahatan moral
disebabkan oleh kebebasan kehendak manusia, bukan
Tuhan.
 
     Dan diskusi, malah perdebatan sengit, mengenai masalah ini pasti tak akan 
berhenti di sini. Hampir dipastikan ia akan tetap tinggal sebagai persoalan 
yang kontroversial, setelah puluhan abad dalam keadaan demikian. Barangkali 
Tuhan, bagi yang percaya kepada
keberadaan dan keadilannya, memang menyisakan isu ini sebagai satu di antara 
berbagai misterinya dan, dengan demikian, membiarkannya tetap tinggal sebagai 
misteri.

Sebuah misteri, yang kalau pun bisa dipecahkan, harus diselesaikan dengan cara 
lain. Lewat sebuah pengalaman, sebuah perjumpaan, sebuah pencerahan spiritual, 
ketimbang penjelasan rasional, apalagi filosofis. Barangkali.
 
*) Haidar Bagir adalah Dirut Penerbit Mizan dan Doktor di bidang Filsafat.
 
Kompas - Bentara

 


Ungkapkan opini Anda di: http://mediacare.blogspot.com
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Membincang keadilan Tuhan (Theodicy) dalam bencana tsunami di Aceh