[nasional_list] [ppiindia] Kejahatan Kerah Putih dan Kegagapan Hukum Nasional

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 22 Feb 2006 01:22:43 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=212867

Rabu, 22 Feb 2006,


Kejahatan Kerah Putih dan Kegagapan Hukum Nasional
Putusan Bebas untuk Neloe Dkk
Oleh Reza Indragiri Amriel 



Vonis bebas tiga mantan direktur Bank Mandiri -E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, dan 
M. Sholeh Tasripan- yang dijatuhkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 
Senin (20/2/06), menambah panjang daftar lolosnya orang-orang yang pernah 
didakwa melakukan korupsi, khususnya yang menjalani persidangan di Pengadilan 
Negeri Jakarta Selatan. 

Tanpa maksud menilai dalil-dalil yang digunakan majelis hakim, berbedanya vonis 
hakim dengan harapan khalayak luas dalam perkara korupsi bank tersebut tak ayal 
mempertegas kesan bahwa arsitektur hukum nasional masih tertatih dalam 
mengadili kasus-kasus kejahatan kerah putih. 

Sebaliknya, pada saat yang sama, hukum tetap memperlihatkan ketegasannya dalam 
menghukum para pelaku kejahatan kelas bawah.

Kefasihan dalam memperkarakan kasus rendahan dan kegagapan dalam kasus kelas 
tinggi seakan memberikan pembenaran bahwa hukum nasional masih kental dengan 
warna teori klasik yang menyebut kepapaan dan segala bentuk kemelaratan hidup 
sebagai biang keladi tindak kriminalitas. 

Dengan filosofi hukum yang begitu usang tersebut, hukum lebih diarahkan untuk 
menjerat para kriminal yang notabene berasal dari lapisan bawah. Jelas, sukar 
mengharapkan adanya kesepadanan antara putusan hakim dan kerinduan publik untuk 
melihat barisan panjang para koruptor memasuki rumah tahanan.

Rendahnya kemampuan hukum dalam mengantisipasi perkembangan kejahatan kelas 
tinggi, tampaknya, selaras dengan relatif masih "asing"-nya komunitas hukum 
terhadap istilah "kejahatan kerah putih". Istilah itu sejatinya telah 
diintroduksi sejak 1939 oleh Edwin Sutherland. 

Namun, faktualnya, baru sejak dasawarsa lalu istilah itu terlempar ke 
masyarakat Indonesia.

Keterlambatan Indonesia dalam mempersiapkan bangunan hukum yang dapat digunakan 
untuk menangani kasus-kasus kejahatan kerah putih barangkali juga disebabkan 
penanganan perkara korupsi yang sangat tidak memadai pada era Soeharto. 

Alih-alih menyeret para pelakunya ke muka hukum, kasus korupsi -yang menurut 
banyak pengamat dilakukan orang-orang yang berhubungan erat dengan lingkaran 
kekuasaan pada masa itu-justru dinihilkan. 

Atau, paling tidak, terhadap kejahatan-kejahatan kerah putih tersebut dikenakan 
teknik netralisasi (techniques of neutralisation) yang -sangat disayangkan- 
untuk beberapa segi terus dipraktikkan hingga kini.

Teknik netralisasi sesungguhnya tidak memecahkan masalah. Kontras, teknik 
tersebut dilakukan untuk menurunkan derajat keparahan suatu masalah. 

Bahkan, ketika tindak kejahatan tertentu sudah menjadi "kelaziman", teknik 
netralisasi dapat memutarbalikkan penilaian atas aksi-aksi yang sebenarnya 
merupakan pelanggaran hukum.

Dengan kata lain, teknik netralisasi membuka peluang bagi individu untuk 
melanggar standar normatif dan etis, sekaligus meniadakan julukan sebagai 
penyimpang (deviant) dan kriminal.

Realistis Dilematis

Menyadari begitu kompleksnya penanganan kriminalitas kerah putih, pemerintah 
telah melakukan berbagai terobosan legal, bahkan politik, guna -yang paling 
utama- mengembalikan kerugian negara. Langkah-langkah sejenis selanjutnya juga 
ditujukan untuk meringkus sekaligus memberikan sanksi kepada para pelaku 
kejahatan itu. 

Berbagai mekanisme ekstra yudisial yang ada pada saat ini dapat dipandang 
sebagai inisiatif pemerintah tersebut. Dengan demikian, pada satu sisi, 
langkah-langkah yang diambil pemerintah merupakan respons realistis terhadap 
perkembangan penuntasan kasus-kasus kejahatan kerah putih yang oleh banyak 
pihak masih dianggap berjalan di tempat.

Namun, pada sisi yang sama, pendekatan-pendekatan baru pemerintah itu 
dikhawatirkan dapat memfasilitasi para kriminal kerah putih untuk kemudian 
mendemonstrasikan bentuk-bentuk teknik netralisasi yang berefek kontraproduktif 
bagi proses penegakan hukum itu sendiri.

Kedatangan tiga pelaku penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia 
(BLBI) ke Istana Negara belum lama ini adalah contoh konkret mutakhir teknik 
netralisasi tersebut. 

Dengan memainkan irony of victimhood, rasionalisasi-rasionalisasi yang mereka 
utarakan ke publik dapat menggeser citra mereka ke posisi sebagai korban.

Kunjungan ke istana hanya dapat berlangsung setelah pihak-pihak yang bermasalah 
melihat adanya celah yang memungkinkan mereka untuk memperoleh keringanan, 
bahkan -mungkin-penghapusan kewajiban. Kunjungan itu, apa pun alasannya, 
merupakan manifestasi sanctions-busting mentality. 

Tragisnya, kebijakan yang dikenakan pemerintah terhadap kecenderungan 
mentalitas orang-orang bermasalah itu adalah dengan menanggapinya secara 
positif.

Respons pemerintah Indonesia itu bisa saja dijustifikasi. Lewat penelitiannya, 
Johnston (1989) menemukan perbedaan pendekatan yang dilakukan dua negara besar 
dalam memerangi korupsi. Amerika Serikat menekankan mekanisme legal formal, 
sedangkan Inggris lebih mengandalkan pendekatan budaya dan etiket yang 
berhubungan dengan peran-peran penting kemasyarakatan. 

Atas dasar itu, khalayak boleh saja menduga bahwa kekhasan yang ditampilkan 
pemerintah Indonesia dalam memperlakukan mereka yang (diduga) melakukan 
kejahatan kerah putih pada intinya merupakan cerminan budaya toleransi dan 
memaafkan yang diakui sebagai nilai-nilai asli Indonesia.

Masyarakat masih harus menunggu efek konstruktif kebijakan pemerintah itu. 
Tetapi, pada saat ini, tanggapan pemerintah tersebut setidaknya sudah dapat 
dikategorikan sebagai diskresi yang tidak transparan.

Wallaahu a'lam.

Reza Indragiri Amriel, alumnus Departemen Kriminologi The University of 
Melbourne, Australia (email: r_amriel@xxxxxxxxx




[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kejahatan Kerah Putih dan Kegagapan Hukum Nasional