[nasional_list] [ppiindia] Jurus Alternatif Menangkal Korupsi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 28 Feb 2006 10:28:41 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/02/28/brk,20060228-74614,id.html

Taufiequrachman Ruki

Jurus Alternatif Menangkal Korupsi

Selasa, 28 Pebruari 2006 | 14:32 WIB 

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ada joke di kalangan orang asing tentang Indonesia. 
Menurut mereka, ada dua hal yang populer di Indonesia: Pulau Bali, yang alamnya 
indah, dan korupsi. Kendati sekadar guyonan, jawaban itu terasa mengena. 
Menurut survei Political Economic Research Consultancy (PERC) pada 2005, 
Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia. Korupsi bak 
penyakit kanker stadium akut yang menyerang seluruh sendi kehidupan. 

Pegawai negeri sebagai aparatur negara adalah garda terdepan dalam menjaga dan 
mengelola aset negara. Sayangnya, sebagian dari mereka justru ikut menggangsir 
uang negara untuk kepentingan diri dan keluarganya secara melanggar hukum. 
Diakui atau tidak, penyebab utama keterpurukan perekonomian bangsa ini adalah 
praktek korupsi dari abdi negara ini. Tentu saja, dalam melakukan korupsi itu, 
mereka bekerja sama dengan berbagai pihak, baik dengan penyelenggara negara 
maupun pihak swasta. 

Korupsi muncul sejak republik ini mulai berdiri, tentu dalam skala yang 
berbeda. Upaya memberantas bukannya tidak dilakukan. Berbagai tim dan komisi 
pernah dibentuk untuk melakukan pemberantasan korupsi. Dari pembuatan peraturan 
pemerintah, keputusan presiden, sampai undang-undang. Terakhir dibentuk Komisi 
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, 
tempat saya duduk sebagai ketuanya. 

Salah satu faktor kegagalan pemberantasan korupsi di masa lalu adalah belum 
adanya pengawasan yang efektif terhadap kepemilikan harta pejabat negara dan 
pegawai negeri. Sering kali kepemilikan barang atau benda yang diperoleh dari 
hasil korupsi dialihkan atau diatasnamakan kerabat atau keluarganya. Para 
koruptor melakukan berbagai cara untuk "menutupi" transaksi itu agar di 
permukaan terlihat sah. Tentu saja tidak mudah membongkar praktek seperti ini. 

Salah satu cara mengurangi praktek tersebut sekaligus mengeliminasi tindak 
korupsi adalah mengawasi secara efektif kepemilikan harta pejabat negara atau 
pegawai negeri. Perlu ada aturan khusus yang mampu mendeteksi pengalihan aset 
yang diduga diperoleh dari hasil korupsi pejabat negara dan pegawai negeri 
kepada kerabat atau keluarganya.

Dalam kaitan itu, KPK mengusulkan adanya kewajiban bagi pejabat negara dan 
pegawai negeri untuk melaporkan dan menyatakan harta kekayaannya di bawah 
sumpah atau dikenal dengan sebutan statutory declaration. Proses dan 
mekanismenya saat ini sedang kami pelajari. Kelak yang melaporkan kekayaannya 
bukan pejabat negara itu saja, tapi juga melibatkan masyarakat luas. 

Statutory declaration (SD) adalah sebuah sistem atau perangkat hukum yang 
mewajibkan setiap pejabat negara dan pegawai negeri melaporkan harta 
kekayaannya, baik yang atas nama sendiri maupun yang dimiliki atas nama kerabat 
atau keluarganya, sepanjang perolehannya, baik sebagian maupun seluruhnya, 
berasal dari harta kekayaan pegawai negeri dan pejabat negara yang 
bersangkutan. Keluarga atau kerabat yang dimaksud mencakup orang tua/mertua, 
istri/suami, anak/menantu, dan cucu.

Lantas apa beda SD dengan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) 
yang selama ini sudah dilakukan KPK? Ada beberapa perbedaan mendasar di antara 
keduanya. Pertama, LHKPN hanya mencakup penyelenggara negara sebagaimana 
ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999. Sedangkan SD mencakup ruang lingkup 
yang lebih luas, yaitu pejabat negara dan pegawai negeri hingga golongan 
tertentu, yang dalam kenyataannya justru memiliki peran penting dalam 
menentukan bersih atau tidaknya birokrasi tempatnya bekerja. 

Sebagai contoh, seorang kepala seksi pada sebuah institusi pelayanan publik 
bergolongan III-A ternyata memiliki kekayaan yang jauh lebih besar dari 
pemimpin instansi tersebut yang bergolongan IV-B. Pertanyaan yang timbul: 
apakah harta kekayaan itu diperoleh secara sah dan tidak melawan hukum atau 
didapat dengan cara mengkorup uang negara? SD memungkinkan memonitor dan 
mengendus hal seperti ini.

Perbedaan lain antara LHKPN dan SD adalah soal sanksi. Selama ini, sanksi bagi 
penyelenggara negara yang tidak melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) hanyalah 
sanksi administratif. Namun, melalui SD, apabila ada pejabat negara atau 
pegawai negeri yang tidak melaporkan secara lengkap harta kekayaannya--baik 
atas nama pribadi maupun kerabatnya--harta yang tidak dilaporkan tersebut bisa 
disita atau diserahkan kepada negara.

Penerapan SD bukan monopoli KPK. Untuk mempermudah pelaksanaannya, lembaga 
pengawasan internal pada instansi masing-masing bisa dijadikan ujung tombak. 
Lembaga pengawasan internal tempat pejabat negara atau pegawai negeri bekerja 
juga diberi kewenangan untuk mencatat, mengesahkan, dan menyimpan SD. Para 
pejabat negara atau pegawai negeri diberi batasan waktu tertentu untuk 
menyerahkan SD itu. Apabila yang bersangkutan tidak menyerahkan laporan itu 
dalam batas waktu tertentu, sanksi awal adalah sanksi administratif oleh 
pemimpin yang bersangkutan. 

Jika setelah dilakukan penelitian lebih lanjut ternyata ada harta yang tidak 
dilaporkan, pemimpin yang bersangkutan bisa mengajukan permohonan ke pengadilan 
agar harta kekayaan yang tidak dilaporkan itu ditetapkan sebagai milik negara. 
Penerapan SD akan menciptakan sistem pengawasan terhadap perilaku koruptif di 
tempat instansi pejabat negara dan pegawai negeri bekerja melalui pemantauan 
atas kepemilikan harta kekayaan.

Cara ini juga memudahkan dilaksanakannya upaya pembalikan beban pembuktian 
(pembuktian terbalik) dalam penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang 
dituduhkan. Jika sistem ini berjalan dengan baik, secara langsung akan 
mempersulit pejabat negara atau pegawai negeri mengalihkan aset-aset hasil 
korupsinya. Diharapkan dari SD ini akan muncul efek jera atau ketakutan 
kolektif untuk tidak lagi melakukan korupsi karena ketidakmampuan dalam 
menyembunyikan hasil jarahannya itu.

Tentu saja sistem SD hanyalah satu dari sekian banyak perbaikan yang harus 
dilakukan dalam upaya pemberantasan korupsi. Perbaikan juga harus diikuti 
dengan langkah-langkah konkret, seperti perbaikan sistem rekrutmen pegawai 
negeri, penilaian kinerja, dan tak kalah pentingnya menyangkut perbaikan 
penggajian/kesejahteraan remunerasi. Dengan berbagai perbaikan, reformasi 
birokrasi untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dan efektif akan mendekati 
kenyataan.

KPK menyadari bahwa pemberantasan korupsi adalah kerja besar yang tidak bisa 
dilakukan hanya oleh satu institusi. Penerapan statutory declaration hanyalah 
salah satu cara, ibarat sekrup dari sebuah mesin. Dibutuhkan dukungan dari 
lintas sektoral untuk bahu-membahu. Soal hasil memang tidak bisa dilihat atau 
dirasakan dalam hitungan bulan atau tahun. Namun, hasil itu tidak akan pernah 
muncul jika kerja besar itu tidak segera dimulai dari sekarang.


Taufiequrachman Ruki, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Kolom ini juga bisa dibaca di Koran TEMPO, 25 Februari 2006





[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Jurus Alternatif Menangkal Korupsi