[nasional_list] [ppiindia] Jurnalisme Damai, Suatu Keniscayaan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 13 Feb 2005 22:22:02 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm
Senin, 14 Februari 2005WACANA

Jurnalisme Damai, Suatu Keniscayaan
Oleh: Muhammad Ali

SESUAI dengan istilah yang dipakai, "jurnalisme damai" adalah jenis 
jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berdampak 
pada perdamaian. Istilah ini bisa saja digunakan untuk membedakan dari 
"jurnalisme perang". Yakni jenis jurnalisme yang mengobarkan peperangan 
dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif, intimidasi, dan 
desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya mengobarkan 
konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang.
Istilah jurnalisme damai ini mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor 
Johan Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, 
banyak jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi 
yang sama, seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang 
ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekalahan dalam "permainan kalah-menang" 
antardua pihak yang berhadapan.
Jenis jurnalisme damai disosialisasikan secara intensif di berbagai negara 
di dunia, khususnya di wilayah-wilayah konflik mulai akhir 1980-an.
Di Indonesia, jurnalisme damai menjadi sebuah wacana ketika terjadi konflik 
Ambon, menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA.
Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan sejak 1998, mulai dari 
kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, 
pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di 
Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang 
kronis di Poso sejak Desember 1998.
Meletusnya aksi-aksi kekerasan ini tampaknya terkait dengan peningkatan 
identitas rasial, etnis, atau keagamaan yang dahulu ditekan dan 
dihomogenisasi di bawah rezim ototiter Soeharto demi kepentingan politik, 
khususnya stabilitas nasional, untuk memastikan proses pembangunan ekonomi 
berjalan dengan baik.
Selama era Orde Baru, konflik-konflik seperti tadi disembunyikan di bawah 
"karpet tebal persatuan dan kesatuan" dan diselesaikan dengan represi. 
Pihak-pihak yang berseteru dibungkam. Kita menganggap konflik sudah selesai 
tetapi sebenarnya kita terus- menerus menyimpan bom waktu.
Sejak Orde Baru tumbang, euforia demokrasi membuka peluang bagi 
kelompok-kelompok tersebut untuk menggaungkan kepentingan-kepentingannya.
Dalam kondisi demikian, identitas kelompok tumbuh dan terkadang saling 
bersaing yang pada gilirannya tidak jarang menimbulkan ketegangan dan 
konflik antarkelompok tersebut. Ketegangan dan konflik tersebut sering 
menimbulkan kekerasan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, 
fenomena ini mengindikasikan integritas nasional yang mulai terancam. 
Fakta-fakta tersebut menunjukkan, bagaimana kritisnya permasalahan ini.
Bangsa Indonesia memiliki keragaman dalam banyak hal, seperti suku dan 
agama. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki 656 suku bangsa yang 
menyebar dari wilayah Sabang sampai Merauke. Berbagai suku mendiami 
pulau-pulau, yang satu sama lain dipisahkan lautan. Itu baru dari segi 
etnik, belum lagi dari segi agama.
Di samping keragaman itu, konflik juga sering terjadi akibat kepentingan 
politik, perebutan kekuasaan, dan ekonomi.
Di Jawa Tengah misalnya, kita menyaksikan Tragedi Dongos pada kampanye 
Pemilu 1999, yakni bentrok antara massa PPP dan massa PKB. Kemudian, kita 
juga menyaksikan ontran-ontran Keraton Surakarta yang hingga kini belum ada 
titik temu. Dan, yang terakhir adalah kemelut di Kabupaten Temanggung, yakni 
ketidakcocokan antara Bupati dan jajaran pejabat di bawahnya. Contoh konflik 
dari Jateng tersebut lebih banyak bersifat konflik politis dan perebutan 
kekuasaan.
Saat konflik bermunculan pascatumbangnya Orde Baru, kalangan pers Indonesia 
belum memiliki pengalaman dalam meliput konflik yang melibatkan pertentangan 
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Selama Orde Baru, media tidak pernah secara telanjang dihadapkan dengan 
kerusuhan agama yang demikian besar, luas, panjang, dan melibatkan emosi 
pemeluk agama Islam dan Kristen.
Hingga era Orde Baru berlalu, pers belum mampu dan tak punya strategi untuk 
menurunkan liputan tentang konflik yang mengandung unsur SARA.
Media terlihat gamang. Kegamangan yang bukan hanya bersumber dari 
kebingungan bagaimana harus menempatkan diri di tengah-tengah konflik agar 
tidak meluas, tapi juga bingung untuk menempatkan media itu di antara 
khalayak agar tetap bertahan. Jadinya, yang muncul hanya dua alternatif: 
terlibat dan memihak atau menghindari konflik.
Potensi Media
Pers dapat diibaratkan pedang bermata dua. Pada satu sisi pers berpotensi 
mempertajam konflik ketika pemberitaan yang disajikan sarat dengan muatan 
yang tendensius, provokatif, dan sensasional.
Pemberitaan media yang memusatkan pada jumlah korban dan kekejaman suatu 
kelompok dapat menggiring kemarahan khalayak, bukan hanya mereka yang berada 
di medan peperangan melainkan juga yang berada di luar arena.
Ada banyak contoh lain, bagaimana media dijadikan sebagai alat propaganda 
untuk menyerang dan menjatuhkan pemerintah. Demikian pula ada banyak 
penguasa yang menggunakan media untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pada sisi lain, media berpotensi untuk menjadi peredam konflik. Meskipun 
pers bukan lembaga perdamaian, dapat pula berperan untuk menuju ke arah 
perdamaian. Itu terjadi ketika berita yang diangkat mampu membangun opini 
menyejukkan dengan tetap memenuhi asas jurnalisme (objektif, akurat, dan 
seimbang). 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Jurnalisme Damai, Suatu Keniscayaan