[nasional_list] [ppiindia] Jika Bukan Kudeta, Lalu Apa?

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 9 Jul 2006 13:59:15 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **RIAU POS

      Jika Bukan Kudeta, Lalu Apa?        


      Sabtu, 08 Juli 2006  
      AKAN ada kudeta? Kita terperanjat mendengar salah satu spekulasi yang 
beredar setelah penemuan 145 pucuk senjata api di rumah almarhum Brigjen 
Koesmayadi pada Ahad  (25/6/2006) silam. Tapi, jika melihat struktur dan 
konstruksi politik dewasa ini nampaknya cuma pikiran yang paranoid. Di era 
reformasi dan supremasi sipil ini, apalagi dengan UU Pertahanan, TNI telah 
"kembali ke barak" dan jauh dari panggung politik. TNI juga berada di bawah 
Departemen Pertahanan yang selalu dikontrol DPR. Jika pun ada segelintir kecil 
personel militer, baik yang masih aktif dan sudah purnawirawan yang tak puas 
dengan keadaan, toh iklim demokratisasi memungkinkan mereka untuk mengungkapkan 
aspirasi, atau bahkan melancarkan kritik. Namun, secara politik relatif mereka 
tak lagi "bergigi." Bahkan, tidak ada sosok militer yang berpotensi untuk 
memimpin sebuah "kudeta" seperti yang pernah dilakukan Idi Amin dan Moamar 
Kadafi di Afrika. 

      Setelah era AH Nasution, M Yusuf dan Benny Moerdany, rasanya tidak ada 
jenderal yang mempunyai visi besar dan berkharisma di kalangan prajurit. 
Mungkin, inilah iklim politik di masa rezim Orde Baru ysng tak memungkinnya 
tampilnya "dua matahari" di bawah langit yang sama. Mungkin pula karena jarak 
usia Soeharto dengan banyak jenderal setelah era Benny, relatif sangat jauh. 
Bahkan banyak jenderal kita yang justru berkarir bagus karena berada di 
lingkungan Presiden Soerharto. Beda dengan para perwira seperti Hasan Saleh, 
Maludin Simbolon yang pernah angkat senjata bersama PRRI dan DI-TII, serta 
beberapa perwira lain dalam kasus Permesta dan RMS.

      Mungkin ada analisis dengan kemungkinan kecil, bahwa militer bisa saja 
memainkan "peran politik", entah berupa "kudeta" atau mungkin sejenis pemulihan 
keadaan dalam bahasa yang lebih sopan. Hal itu terjadi bila pemerintahan sipil 
gagal dalam menjawab aspirasi dan kehendak rakyat. Logikanya, kira-kira, "peran 
poilitik militer" itu adalah atas permintaan rakyat. Tapi analisis ini pun tak 
realistis. Karena kudeta, seperti halnya revolusi, selalu membutuhkan 
syarat-syarat subjektif dan objektif. Mungkin, bayang-bayang syarat objektif, 
seperti beberapa kebijakan pemerintah yang mengecewakan, katakanlah langkah 
untuk mengatasi akibat kenaikan harga BBM. Bisa ditambah lagi dengan masalah 
kemiskinan, lapangan kerja yang sempit, dan pengangguran yang semakin 
merajalela. Namun, syarat subjektif, yakni faktor internal, katakanlah siapa 
figur yang mempunyai kapasitas mengambil alih keadaan di kalangan militer, 
nampaknya tidak ada, dan semoga tidak pernah ada.

      Misalkan ada yang mencoba-coba, tapi harus diingat bahwa sebuah junta 
militer haruslah punya basis dukungan yang luas, baik di kalangan tentara 
maupun rakyat. Harus juga didukung oleh kaum kapitalis yang punya duit.  Memang 
militer bisa bangkit bila ada kekuatan ekstrim yang hendak berbuat makar, 
misalnya atas nama agama tentu atau ide komunisme. Tapi faktor ini 
sangat-sangat tipis, bahkan tidak ada bila mengingat gerakan sejenis di masa 
lalu selalu gagal, dan terbukti komunis misalnya malah tak lagi laku di Cina 
dan Rusia. Jangan lupa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berasal dari 
kalangan militer dan logis punya dukungan dan basis yang kuat. Lagi pula  
umumnya orang lebih suka ikut bersama "kapal yang berlayar" daripada hanya 
menonton di dermaga. Wapres Jusuf Kalla juga seorang mantan pebisnis, bersama 
Aburizal Bakrie yang duduk di pemerintahan, sehingga membuat banyak pebinis 
berpikir pragmatis.

      Idolakan Militer
      Nampaknya yang perlu dikontrol bukan militer. Melainkan sipil. TNI toh 
sudah back to basic dan hanya menghadapi musuh dari luar, bahkan termasuk 
memadamkan siapapun yang berniat melakukan kudeta. Tokoh sipil haruslah 
dihambat, atau jangan lagi mau "main mata" dengan militer untuk tujuan politik. 
Tegasnya, tak lagi menjadikan militer sebagai instrumen politik seperti pernah 
terjadi di masa silam. Memang, dalam riil politik, suka terdengar wacana bahwa 
siapa yang ingin eksis di panggung politik, hendaklah berbaik-baik dengan 
tentara. Nah, inilah yang di masa lalu membuat militer bagaikan pengantin, yang 
menunggu dilamar secara politik. Kira-kira, buat apa kudeta, yang nanti akan 
dibenci rakyat dan dunia internasional. Lebih baiklah menunggu "pinangan" 
sehingga kelak diikat dalam akad politik.

      Masyarakat kita pun tak disangkal masih menyukai sosok tentara, atau 
mantan tentara di panggung politik. Kemenangan Presiden Susilo pada Pemilu 2004 
lalu menjadi bukti. Termasuk kalahnya politikus senior Akbar Tandjung dalam 
konvensi Calon Presiden Golkar oleh  Jenderal Purnawirawan Wiranto. Mungkin 
inilah sisa kultur politik Orde Baru. Apalagi setelah era reformasi 1998, 
ternyata pemerintahan sipil tak mampu membuat perubahan yang menggembirakan 
rakyat. Padahal, dengan kondisi Indonesia yang rusak, siapa yang bisa 
menyelesaikannya dalam tempo lima-enam tahun. Terbukti ketika kini pun Susilo 
yang mantan militer itu menjadi Presiden, toh keadaan belum berubah drastis.

      Strategi lama tersebut mengingatkan kita kepada manuver politik Soerjadi 
dan John Naro yang mendekati militer dan kekuasaan sehingga bisa eksis, meski 
untuk sementara, karena kemudian bisa berubah jika kepentingan politik 
bergeser. Jika politik seperti itu diteruskan, maka social change tidak akan 
pernah terjadi, dan akan selalu merupakan situasi yang kondusif bagi militer 
untuk kembali ke peran politik. Toh militer sudah berpengalaman selama 32 tahun 
Orde Baru dijadikan sebagai instrumen politik. Kini benih itu belum hilang 100 
persen dan masih ada residunya. Bisa saja tampilannya lebih halus, tapi 
barangkali naluri politik itu belum sepenuhnya padam, khususnya, mungkin bagi 
yang sudah purnawirawan. Karena itu militer harus mereformasi diri secara 
tuntas dan meninggalkan manuver atan gaya "pengantin" dimaksud. Namun kaum 
sipil, khususnya politisi haruslah percaya diri, dan tak lagi perlu doping 
politik dari kalangan tentara, atau mantan tentara.

      Jika kembali ke pokok soal, mungkin spekulasi bisnis rada mungkin. 
Maklum, TNI sendiri sudah terlatih berbisnis di masa Orde Baru. Bahkan secara 
khusus selama ini pembelian keperluan militer yang formal sekalipun tidak 
selalu melalui Departemen Pertahanan. Contohnya adalah pembelian empat unit 
helikopter MI-17 dari Rusia pada 19 Desember 2002 lalu. Meskipun uang muka 
sebesar 15 persen setara 3,2 juta dólar AS sudah diberikan, namun hingga 
sekarang, tahun 2006, heli dimaksud tak kunjung datang. Bahkan sekarang sudah 
menjadi urusan Kejaksaan Agung karena dinilai mengandung korupsi. Konon ada 
mark up sampai 4 juta olar AS, karena proses pembeliannya melalui mata rantai 
yang panjang, bahkan melibatkan sebuah perusahaan nasional, dan dua perusahan 
yang berbasis di Singapura dan Malaysia. Memang, urusan bisnis selalu mengejar 
rente.

      Toh, ini hanya sebuah analisis. Marilah kita tunggu hasil penyelidikan 
dan investigasi yang dilakukan Pus Pom TNI. Panglima TNI pun  telah berjanji 
akan mengusut kasus ini sampai tuntas, bahkan sekalipun jika melibatkan 
jenderal, baik yang aktif maupun purnawirawan.***


      Bersihar Lubis, wartawan senior, tinggal di Jakarta.
     


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Jika Bukan Kudeta, Lalu Apa?