[nasional_list] [ppiindia] Hukum Mati Koruptor (Perspektif Syariah)

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 19 Feb 2006 10:54:07 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **REFLEKSI: Bagaimana pendapat MUI dan 
konco-konco sekalian kalau mantan menteri agama yang korupsi sekian banyak 
milyar rupiah dihukum mati sebagi langkah percobaan perspektif penerapan 
Syariah? 

RIAU POS

Hukum Mati Koruptor (Perspektif Syariah) 


      Jumat, 17 Pebruari 2006 
     
      Korupsi bukan lagi barang langka, tetapi hampir dilakukan oleh sebagian 
pejabat, dewan, hakim, polisi, dan lainnya. Buktinya setiap hari tetap saja ada 
kasus korupsi yang diadili. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku korupsi di 
Indonesia sudah tidak bisa dianggap biasa atau luar biasa, seperti busung 
lapar, akan tetapi sudah sampai pada tingkat ''sangat berbahaya''. Sanksi 
penjara ataupun ''dosa'' tidak lagi membuat efek jera atau menakutkan bagi 
pelaku korupsi. Hukuman mati atau hukuman tembak mati bagi pelaku korupsi 
hendaknya diperbincangkan lebih serius oleh pemerintah SBY yang sepertinya agak 
lebih serius menangani pemberantasan korupsi. Hal ini sebagaimana pernah 
menghangat dan diperbincangkan oleh NU dan Muhammadiyah yang mencoba 
membangkitkan dan menggelorakan tekad untuk memerangi korupsi yang sangat 
merusak citra bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Ketua Umum NU dan 
Muhammadiyyah minta agar pemerintah berani menembak mati para koruptor, seperti 
yang dila
 kukan di Cina. Masalahnya, apakah hal ini diatur dalam hukum Islam? Hal ini 
perlu dijawab apakah ada landasan hukum bagi pelaku korupsi untuk diberi sangsi 
berat seperti hukuman mati? 

      Dalam hukum Islam, korupsi dapat dikategorikan sebagai perilaku hirabah. 
Hirabah adalah aksi seseorang atau sekelompok orang dalam negara untuk 
melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, yang secara terang-terangan 
mengganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusiaan, dan agama. 
Hirabah merupakan salah satu bentuk jarimah hudud, yaitu tindak pidana yang 
jenis, jumlah dan hukumannya ditentukan oleh syariat. Hirabah disebut juga oleh 
ahli fikih sebagai qath'u at-thariq (menyamun) atau as-sariqah al-kubra 
(pencurian besar). Ulama fikih menyebut hirabah  sebagai as-sariqah al-kubra, 
karena hirabah itu merupakah upaya mendapatkan harta dalam jumlah besar dengan 
akibat yang dapat menyebabkan kematian atau kerganggunya keamanan dan 
ketertiban. Para ulama memang mempersyaratkan hirabah dengan tindakan-tindakan 
kekerasan untuk merampas harta, mengganggu keamanan dan mengancam nyawa manusia 
akan tetapi kekerasan dan gangguan keamanan yang dimaksud tidak dijela
 skan lebih detail. Korupsi seperti hirabah  karena ia dapat merusak seperti 
hirabah, mengganggu stabilitas negara dan mengancam hidup orang banyak akibat 
kekayaan negara yang digerogotinya.

      Pelaku hirabah dituntut hukuman yang sangat berat dalam Islam, karena ia 
adalah salah satu bentuk pidana  hudud yang langsung ditentukan oleh nash 
Alquran. Apabila tindak pidana ini telah terbukti secara meyakinkan di sidang 
pengadilan, maka hakim dapat mengeksekusi hukuman yang telah ditentukan Allah 
SWT tersebut tanpa boleh diubah, ditambah, maupun dikurangi, karena ini adalah 
hak Allah SWT.  

      Ayat Alquran yang menunjukkan hukuman bagi pelaku hirabah tersebut adalah 
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 33 yang artinya : ''Sesungguhnya 
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat 
kerusakan di atas bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong 
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang  dari negeri tempat 
kediamannya. Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia, 
dan di akhirat mereka beroleh siksaan  yang besar.''

      Ayat dalam Surat al-Maidah ini menyebutkan empat hukuman bagi pelaku 
hirabah, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki, dan dibuang dari 
tempat kediamannya. 

      Dalam penerapan hukuman-hukuman tersebut terdapat perbedaan pendapat 
ulama fikih, apakah hukuman itu boleh dipilih atau hukuman yang dikenakan 
sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan dalam hirabah tersebut. Ulama 
mazhab Hanafi, Syafii dan Hanbali berpendapat bahwa hukuman yang dikenakan  
harus secara urut, sebagaimana yang dicantumkan dalam ayat, serta sesuai dengan 
bentuk tindak pidana yang dilakukan para pelaku hirabah tersebut. Ulama Mazhab 
Hanafi berpendapat bahwa apabila pelaku hirabah  tersebut hanya merampas harta, 
tanpa menyebabkan kematian maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya 
secara silangnya umpamanya tangan kanan dengan kaki kiri.  Apabila pelaku 
hirabah  hanya membunuh maka hukumannya juga dibunuh. Apabila pelaku hirabah 
ini merampas harta yang disertai dengan pembunuhan, maka menurut mereka, hakim 
bebas  memilih hukumannya, yaitu apakah akan dipotong tangan dan kakinya secara 
silang kemudian dibunuh atau disalib saja. Apabila pelaku 
 hanya menakut-nakuti saja dan mengganggu keamanan, maka hukumannya 
dipenjarakan dan dikenakan hukuman ta'zir. Bentuk hukuman ta'zir yang akan 
dikenakan diserahkan sepenuhnya kepada hakim.

      Ulama Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa apabila pelaku hirabah 
 hanya mengambil harta, maka hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya 
secara silang. Apabila mengakibatkan kematian, maka hukumannya juga hukuman 
mati. Adapun menurut ulama Mazhab Maliki, penerapan hukuman yang disebutkan 
dalam ayat itu diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim setelah 
dimusyawarahkan dengan para ahli fikih dan pihak-pihak terkait, dengan syarat 
hakim memilih hukuman yang terbaik bagi kemaslahatan.  Apabila pelaku hirabah 
hanya mengganggu keamanan, maka hakim boleh memilih antara membunuhnya, 
menyalibnya, memotong tangan dan kakinya secara silang atau memukul dan 
membuangnya. Akan tetapi, apabila pelaku hirabah  menyebabkan kematian atau 
disertai pembunuhan, maka hukumannya harus dibunuh atau disalib saja, tidak 
boleh menerapkan hukuman yang lain. Apabila pelaku hanya mengambil harta, maka 
hukumam yang dapat dipilih oleh hakim  adalah antara dibunuh, disalib, dipotong 
 tangan dan kakinya secara silang atau dibuang.

      Ulama fikih berbeda pendapat pula dalam memahami hukuman pembuangan 
(an-nafyu) dalam ayat tersebut. Menurut Mazhab hanafi, an-nafyu itu berarti 
memenjarakan pelaku hirabah, karena apabila hukuman pembuangan diartikan secara 
harfiah, yaitu dibuang dari tempat asalnya ke negeri lain, maka dikhawatirkan 
di tempat pembuangan itu ia akan melakukan hirabah  lagi, atau ia lari ke 
wilayah non-Islam dan bisa jadi ia murtad dari Islam. Ulama Mazhab Maliki 
mengartikan an-nafyu itu dengan arti harfiahnya, yaitu membuang pelaku ke 
negeri lain, tetapi di negeri itu ia dipenjarakan sampai ia tobat. Ulama Mazhab 
SyafiI mengartikan an-nafyu dengan memenjarakan pelaku sampai ia tobat di 
negerinya sendiri. Adapun Ulama mazhab Hanbali mengatakan an-nafyu  itu adalah 
membuangnya ke negeri lain dan tidak boleh kembali ke negeri asalnya.

      Dengan meng-qiyas-kan atau menganalogikan korupsi dengan hirabah  maka 
hukuman bagi pelaku korupsi dapat pula diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, 
hukuman mati atau tembak mati, apabila korupsi ini dilakukan dalam jumlah yang 
besar (as-sariqah al-kubra) yang dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas 
negara dan citra bangsa  serta  hilangnya kesempatan hidup bagi sebagian 
rakyat, seperti korupsi dana dalam jumlah puluhan milyar rupiah dan seterusnya. 
Kedua, hukuman potong tangan dan kaki secara silang, apabila korupsi dilakukan 
dalam jumlah sedikit yang hanya mengakibatkan kerugian material keuangan 
negara, seperti korupsi dalam jumlah ratusan juta rupiah. Ketiga, dipenjarakan 
sampai ia tobat, apabila korupsi dilakukan dalam jumlah yang sangat sedikit, 
seperti dalam jumlah jutaan atau puluhan juta. Korupsi untuk hukuman yang 
paling ringan ini hanya ditoleransi karena kebutuhan hidup. Walaupun begitu, 
hukuman penjaranya bisa saja seumur hidup bila hakim melihat bahwa
  sepantasnya pelaku korupsi dalam jumlah kecil ini diganjar seperti itu. ***

      Drs Akbarizan MA MPd, Ketua Komisi Fatwa MUI Kota Pekanbaru. 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Hukum Mati Koruptor (Perspektif Syariah)