[nasional_list] [ppiindia] Disorientasi Kebijakan Sektor Riil

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 26 Feb 2006 22:33:48 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/27/utama/2469048.htm

 

ANALISIS EKONOMI 

Disorientasi Kebijakan Sektor Riil


Faisal Basri

Salah satu persoalan mendasar yang membuat dunia usaha kalang kabut dalam 
mempertahankan dan mengembangkan usahanya adalah faktor kegagalan pemerintah 
(government failures). Pengertian pemerintah di sini tidak hanya terbatas pada 
eksekutif, tetapi juga meliputi legislatif. Sebab, eksekutif dan legislatif 
bertanggung jawab untuk membangun kerangka kelembagaan (institusi), khususnya 
dalam bentuk undang-undang, yang memungkinkan seluruh potensi milik kita bisa 
didayagunakan secara efektif bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan 
rakyat.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, misalnya, bisa dikatakan 
menjadi salah sumber penyebab terpenting yang membuat investor enggan 
menanamkan modalnya di sektor migas dan juga "biang kerok" dari karut-marutnya 
usaha di industri migas. Akibatnya, produksi minyak mentah terus turun dalam 
delapan tahun terakhir ini. Lebih ironis lagi, sebagai produsen minyak dan 
sekaligus anggota OPEC, Indonesia sekarang menjadi negara pengimpor bahan bakar 
minyak (BBM) terbesar di Asia.

Contoh lain yang cukup menonjol adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 
95/PMK.02/2005 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-Dag/Per/12/2005. 
Kedua peraturan ini mengatur pungutan ekspor.

Dengan perangkat analisis yang sangat sederhana, kita bisa dengan mudah 
membuktikan bahwa pertimbangan maupun tujuan dari kedua peraturan tersebut 
sangat lemah. Sebagaimana umumnya peraturan pemerintah, kedua peraturan menteri 
itu bersifat reaktif, berwawasan jangka pendek, dan berlandaskan analisis 
statik.

Dalam hal pengenaan pungutan ekspor untuk minyak sawit, tak terkandung tujuan 
untuk mendorong produksi, sebaliknya lebih bersifat menghambat. Dana yang 
terkumpul dari pungutan ekspor tak dikembalikan sepeser pun untuk mendorong 
produksi minyak sawit maupun produk turunannya, ataupun memberdayakan petani 
kelapa sawit. Beda halnya dengan kebijakan Pemerintah Malaysia yang 
mengembalikan seluruh dana yang berasal dari pungutan ekspor untuk kepentingan 
pengembangan sawitnya.

Bentuk kegagalan pemerintah lainnya adalah dalam melindungi pelaku usaha dari 
praktik persaingan usaha tidak sehat, baik dari dalam negeri maupun luar 
negeri. Pemerintah wajib melindungi pelaku usaha di dalam negeri dari serbuan 
barang impor ilegal. Barang-barang selundupan seperti produk tekstil dan 
elektronik sangat mudah dijumpai bertaburan di pasar dalam negeri.

Daya tahan industri tertentu kian terperosok menghadapi barang selundupan 
karena kebijakan pengenaan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), misalnya 
terhadap produk elektronik. Sikap pemerintah yang seolah "tuli" tecermin dari 
pernyataan Ketua Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel): "Negosiasi sudah 
seperti bicara dengan tembok. Jadi kita perlu membicarakan hal ini melalui 
Menteri Perindustrian."

Keluhan Ketua Gabel sangat boleh jadi ditujukan kepada pejabat Departemen 
Keuangan. Karena itu, ia lalu mengadu dan menumpahkan harapan terakhirnya 
kepada Menteri Perindustrian. Yang membuat kita pantas bertambah gundah adalah 
tanggapan Menteri Perindustrian atas hal ini: "Sekarang lebih mudah memprediksi 
kapan hujan turun daripada menegaskan kapan masalah ini selesai." (Kompas, 
Sabtu, 25/2). Jadi, ke mana lagi pengusaha hendak mengadukan nasib mereka?

Ancaman telah pula menghadang ekspor udang Indonesia. Pemerintah Amerika 
Serikat mengancam akan menghentikan sementara impor udang dari Indonesia 
(Kompas, Sabtu, 25/2). Ancaman demikian bukan pertama kalinya dari 
negara-negara tujuan ekspor kita. Sumber masalahnya pun serupa, yakni 
kemungkinan besar Indonesia hanya dijadikan kamuflase, sebagai negara asal 
ekspor oleh negara-negara lain. Kenyataan ini menunjukkan lemahnya kemampuan 
pemerintah dalam memonitor lalu lintas perdagangan luar negeri, sekaligus 
mengamankan kedaulatan wilayah Republik Indonesia.

Bentuk lain kegagalan pemerintah adalah terjadinya praktik-praktik ekonomi 
biaya tinggi. Misalnya, bagaimana mungkin negeri kita yang memiliki kekayaan 
alam relatif sangat melimpah, tarif listriknya untuk konsumen bisnis dan 
industri secara rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara 
tetangga, bahkan dibandingkan dengan Singapura sekalipun.

Mungkin kejadian yang menimpa Maspion minggu lalu sedikit banyak menggambarkan 
kian tak berdayanya sektor riil untuk memenuhi tuntutan kenaikan upah buruh. 
Jika kenaikan upah Rp 30.000 saja sudah membuat Maspion "menyerah", berarti 
memang sebagian pengusaha sudah kehabisan "jurus" untuk mempertahankan usaha.

Apalagi namanya kalau bukan salah urus. Bukankah usaha kelistrikan sepenuhnya 
dikendalikan pemerintah? Bukankah segala jenis sumber energi yang digunakan 
untuk pembangkit listrik hampir seluruhnya di bawah kendali pemerintah? 
Bukankah gas dan BBM diproduksi BUMN? Bukankah sebagian produksi batu bara 
dihasilkan BUMN? Bukankah kekayaan tenaga panas bumi dan air sepenuhnya 
dikuasai negara?

Nyata-nyata pemerintah telah gagal menjalankan fungsinya untuk memberdayakan 
segala kekayaan alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 
Pemerintah gagal membuat sinergi di antara BUMN terkait sehingga bisa 
bahu-membahu, bukan sebaliknya saling mematikan.

Jika berbagai bentuk kegagalan pemerintah terus berlanjut, tak banyak lagi yang 
bisa diharapkan untuk membuat sektor riil berkembang dan sehat. Makin banyak 
yang akan menutup pabriknya atau merelokasikan ke luar negeri, atau banting 
setir menjadi pedagang saja. Kita hanya akan menjadi the plantation of the 
west, menjadi kuli di negeri sendiri.

Dengan tekad kuat dan kerendahan hati untuk mengakui segala kesalahan selama 
ini, rasanya kita belum terlambat menguakkan harapan baru dan merajut masa 
depan. Kita bisa memulainya dengan menohok ke akar-akar masalah terlebih dulu.

Akar masalah itu adalah berbagai bentuk kegagalan pemerintah. Jika pemerintah 
kembali melaksanakan fungsinya dengan "benar", niscaya "peredaran darah" dalam 
perekonomian akan lancar sehingga sektor rill kembali segar bugar. Saatnya 
kejujuran dan akal sehat yang memimpin negeri ini.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Disorientasi Kebijakan Sektor Riil