** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.indomedia.com/bpost/022006/22/opini/opini2.htm Bahasa RUU Antipornografi Oleh: Sainul Hermawan Harus kita akui, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang ambigu. Banyak kata umum yang hampir selalu mungkin untuk bermakna ganda. Misalnya, kata main bisa punya banyak arti tergantung pada kata apa yang akan menyertainya. Main dalam frase main bola, main mata, main perempuan, main-main, main hakim sendiri, dan sebagainya punya makna yang berbeda. Main bisa bermakna normal, bahkan juga bisa bermakna pornografis. Misalnya, selebritis penyanyi yang punya pekerjaan sampingan sebagai gundik penguasa atau pengusaha besar bisa berkata kepada managernya: "Tolong batalkan kontrak main saya dengan TV anu karena saya harus main dengan anu malam ini, paham kan maksud saya?" Sang manajer pun paham makna dua kata main yang berbeda pada ucapan selebritis itu. Dalam kasus lain, makna halal yang terang bisa jadi halal yang remang dalam praktiknya. Misalnya, satu keluarga muslim yang akan ke KFC menunda langkahnya untuk masuk karena ada yang bertanya apakah ini halal atau haram? Tanpa banyak alasan, salah satu anggotanya langsung menunjuk poster di samping pintu yang mencantumkan label halal dari MUI. Meski ragu mereka masuk. Setelah duduk, masih ada yang masih penasaran dan bertanya: "Benar, ini halal atau halal?" Pertanyaan itu dijawab, "Ya kurang halal tetapi halal juga." Kasus ambiguitas kebahasaan tersebut adalah ilustrasi untuk menggambarkan bahwa RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang masih terus dimatangkan, akan menghadapi persoalan serupa. Kritik awal terhadap bahasa RUU itu saya dengar dari seorang redaktur Majalah Sastra Horison, Agus R Sarjono. Menurut ia, bahasa RUU tersebut sulit dipahami dan tidak jelas. Logika bahasanya kacau. Jika orang yang secara serius memperhatikan logika bahasa saja tidak mengerti proposisi di dalamnya, apalagi polisi. Titik rawan RUU tersebut, menurut ia, justru terletak pada persoalan bahasa yang tampaknya disusun tanpa melibatkan ahli bahasa yang andal. Tulisan ini mencoba menunjukkan beberapa cuplikan dari bahasa RUU Antipornografi edisi revisi November 2005, yang saya peroleh dari Koalisi Perempuan Indonesia melalui milis Mediacare. Pada Bab II tentang larangan, Pasal empat sampai 21 diawali dengan penyataan yang hampir sama, yaitu: "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik ...." Pada akhir setiap pasal berbunyi: ... bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa (Pasal 4), ... ketelanjangan tubuh orang dewasa (Pasal 5), ... tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis (Pasal 6), ... aktivitas orang yang berciuman bibir (Pasal 7), ... aktivitas orang yang melakukan masturbasi atau onani (Pasal 8), ... aktivitas orang dalam berhubungan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis (pasal 9 ), dan seterusnya. Klausa setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik ..., ini tampak begitu rimbun, keruh, camuh karena tidak disusun dengan bahasa yang lugas dan ringkas. Klausa rimbun dan keruh tersebut dapat dilugaskan dengan pernyataan sebagai berikut: Setiap orang dilarang mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis secara verbal, audial, dan/visual melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat komunikasi radio. Pengertian secara verbal, audial, dan visual dapat diuraikan secara lebih rinci dalam bagian penjelasan undang-undang. Apakah kekeruhan dan kerimbunan klausa yang menghiasi pasal RUU itu dibuat dengan sadar dan sengaja berdasarkan prinsip bahasa UU, atau dibuat sedemikian rupa agar tampak seram meskipun sesungguhnya ia bersumber dari ketidakterampilan berbahasa? Jika ternyata jawabnya adalah yang kedua, RUU ini bisa terjerembab menjadi RUU yang bagayaan belaka. Padahal semestinya, bahasa sebuah UU harus terang benderang dan tidak berbelit-belit karena pernyataan di dalamnya akan menjadi medan argumentasi hukum orang-orang yang berurusan dengannya. Kalau kita baca RUU ini, kesan berbelit-belit dan 'kurang cerdas' sangat dominan. Contoh lain dapat kita baca pada Pasal 25 ayat 1: "Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual." Penjelasan tentang bagian tubuh tertentu yang sensual dapat dibaca dalam penjelasan untuk Pasal 4 yaitu: Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya. Camuh pada bagian ini terletak pada penggunaan penjelasan yang sangat lelaki sentris. RUU tersebut pada bagian ini tidak menampung aspirasi persepsi perempuan tentang bagian tubuh laki-laki yang sensual, sehingga pernyataan pasal ini dan penjelasannya terkesan hanya ditujukan untuk menjerat perempuan yang mempertontonkan bagian tubuh mereka yang sensual. Di sinilah perasaan sensualitas versi laki-laki terkesan dominan, dan memosisikan perempuan sebagai makhluk yang tak mengalami sensualitas tertentu terhadap tubuh laki-laki. Ada logika yang aneh dan sewenang-wenang dalam hal ini. Sebuah UU yang akan menjadi dasar pencarian keadilan, dapatkah adil jika sejak awal di dalamnya bisa ditemukan adanya indikasi awal ketidakadilan? Tentu tidak. Jika demikian, RUU ini sangat terbuka bagi niatan buruk politisasi hukum sebagaimana kaprah dan sering dengan gagah berbina raga di hadapan kita. RUU ini punya banyak ruang interpretasi dan permainan. Karenanya belum layak untuk diundangkan dan masih perlu terus diperbaiki, dan memperbaikinya tentu upaya yang menyenangkan. Terutama untuk subtansi pornografi yang bersifat verbal. Belum spesifik menggariskan berapa prosentasi kandungan sebuah teks puisi, cerpen, lagu, novel, dan sebagainya yang dapat dikategorikan sebagai substansi yang dapat dijerat dengan UU ini. RUU ini tidak jelas membedakan teks yang secara intensional dibuat sebagai media yang mengampanyekan pornografi, dan teks yang menggunakan bahan yang bersifat pornografis tetapi tidak untuk mengampanyekan pornografi malah menyosialisasi gagasan yang lain. Misalnya, kalau kita baca cuplikan novel Larung karya Ayu Utami (KPG, 2001: 8): "Begitulah ia tiap-tiap hari di hadapanku, sebelum waktunya berjemur pukul sembilan hingga sepuluh: telanjang tanpa daging. Teronggok pada kasur. Dada yang panjang susut, puting yang kaku, tak tersisa seglendir kelenjer pun di dalamnya, segalanya telah menjadi pipih, tempat ayahku yang mati pernah menyusu. Jembut putih pada labia yang menghitam." Apakah lantaran ungkapan secuil ini, novel yang sangat baik untuk dijadikan contoh tentang penulisan kreatif ini harus diberangus, dibakar, disensor, karena harus takluk dan patuh pada RUU yang logika bahasanya camuh (kacau)? RUU Antipornografi memang menjanjikan harapan untuk membatasi tabloid porno, internet porno, vcd porno, software porno, komik porno, cd/dvd game porno, dan sebagainya. Tetapi penerapan RUU ini dengan bahasanya yang camuh itu, berpeluang untuk diselewengkan untuk tujuan tertentu. Mengingat persepsi orang Indonesia yang beragam tentang pornografi, sebaiknya RUU yang sedang digarap itu menjadi payung umum saja. Perlu penjabaran lebih rinci dan teliti di daerah yang berbeda sesuai situasi, pornografi yang sesuai dengan budaya bangsa dan juga ingin dilindungi oleh RUU tersebut. * Dosen PBSID FKIP Uunlam, tinggal di Banjarmasin e-mail: sainulh@xxxxxxxxx [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **