[nasional_list] [ppiindia] Bahasa RUU Antipornografi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 22 Feb 2006 02:25:40 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indomedia.com/bpost/022006/22/opini/opini2.htm

Bahasa RUU Antipornografi

Oleh: Sainul Hermawan 



Harus kita akui, Bahasa Indonesia adalah bahasa yang ambigu. Banyak kata umum 
yang hampir selalu mungkin untuk bermakna ganda. Misalnya, kata main bisa punya 
banyak arti tergantung pada kata apa yang akan menyertainya. Main dalam frase 
main bola, main mata, main perempuan, main-main, main hakim sendiri, dan 
sebagainya punya makna yang berbeda. Main bisa bermakna normal, bahkan juga 
bisa bermakna pornografis.

Misalnya, selebritis penyanyi yang punya pekerjaan sampingan sebagai gundik 
penguasa atau pengusaha besar bisa berkata kepada managernya: "Tolong batalkan 
kontrak main saya dengan TV anu karena saya harus main dengan anu malam ini, 
paham kan maksud saya?" Sang manajer pun paham makna dua kata main yang berbeda 
pada ucapan selebritis itu.

Dalam kasus lain, makna halal yang terang bisa jadi halal yang remang dalam 
praktiknya. Misalnya, satu keluarga muslim yang akan ke KFC menunda langkahnya 
untuk masuk karena ada yang bertanya apakah ini halal atau haram? Tanpa banyak 
alasan, salah satu anggotanya langsung menunjuk poster di samping pintu yang 
mencantumkan label halal dari MUI. Meski ragu mereka masuk. Setelah duduk, 
masih ada yang masih penasaran dan bertanya: "Benar, ini halal atau halal?" 
Pertanyaan itu dijawab, "Ya kurang halal tetapi halal juga."

Kasus ambiguitas kebahasaan tersebut adalah ilustrasi untuk menggambarkan bahwa 
RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang masih terus dimatangkan, akan menghadapi 
persoalan serupa. Kritik awal terhadap bahasa RUU itu saya dengar dari seorang 
redaktur Majalah Sastra Horison, Agus R Sarjono.

Menurut ia, bahasa RUU tersebut sulit dipahami dan tidak jelas. Logika 
bahasanya kacau. Jika orang yang secara serius memperhatikan logika bahasa saja 
tidak mengerti proposisi di dalamnya, apalagi polisi. Titik rawan RUU tersebut, 
menurut ia, justru terletak pada persoalan bahasa yang tampaknya disusun tanpa 
melibatkan ahli bahasa yang andal.

Tulisan ini mencoba menunjukkan beberapa cuplikan dari bahasa RUU 
Antipornografi edisi revisi November 2005, yang saya peroleh dari Koalisi 
Perempuan Indonesia melalui milis Mediacare. Pada Bab II tentang larangan, 
Pasal empat sampai 21 diawali dengan penyataan yang hampir sama, yaitu: "Setiap 
orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat 
disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang 
mengeksploitasi daya tarik ...." Pada akhir setiap pasal berbunyi: ... bagian 
tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa (Pasal 4), ... ketelanjangan 
tubuh orang dewasa (Pasal 5), ... tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang 
menari erotis atau bergoyang erotis (Pasal 6), ... aktivitas orang yang 
berciuman bibir (Pasal 7), ... aktivitas orang yang melakukan masturbasi atau 
onani (Pasal 8), ... aktivitas orang dalam berhubungan seks atau melakukan 
aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis 
(pasal 9
 ), dan seterusnya.

Klausa setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film 
atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, 
dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik ..., ini tampak begitu rimbun, 
keruh, camuh karena tidak disusun dengan bahasa yang lugas dan ringkas. Klausa 
rimbun dan keruh tersebut dapat dilugaskan dengan pernyataan sebagai berikut: 
Setiap orang dilarang mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh 
orang yang menari erotis atau bergoyang erotis secara verbal, audial, 
dan/visual melalui media massa cetak, media massa elektronik dan/atau alat 
komunikasi radio. Pengertian secara verbal, audial, dan visual dapat diuraikan 
secara lebih rinci dalam bagian penjelasan undang-undang.

Apakah kekeruhan dan kerimbunan klausa yang menghiasi pasal RUU itu dibuat 
dengan sadar dan sengaja berdasarkan prinsip bahasa UU, atau dibuat sedemikian 
rupa agar tampak seram meskipun sesungguhnya ia bersumber dari 
ketidakterampilan berbahasa?

Jika ternyata jawabnya adalah yang kedua, RUU ini bisa terjerembab menjadi RUU 
yang bagayaan belaka. Padahal semestinya, bahasa sebuah UU harus terang 
benderang dan tidak berbelit-belit karena pernyataan di dalamnya akan menjadi 
medan argumentasi hukum orang-orang yang berurusan dengannya. Kalau kita baca 
RUU ini, kesan berbelit-belit dan 'kurang cerdas' sangat dominan.

Contoh lain dapat kita baca pada Pasal 25 ayat 1: "Setiap orang dewasa dilarang 
mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual." Penjelasan tentang bagian 
tubuh tertentu yang sensual dapat dibaca dalam penjelasan untuk Pasal 4 yaitu: 
Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat 
kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat 
sebagian maupun seluruhnya.

Camuh pada bagian ini terletak pada penggunaan penjelasan yang sangat lelaki 
sentris. RUU tersebut pada bagian ini tidak menampung aspirasi persepsi 
perempuan tentang bagian tubuh laki-laki yang sensual, sehingga pernyataan 
pasal ini dan penjelasannya terkesan hanya ditujukan untuk menjerat perempuan 
yang mempertontonkan bagian tubuh mereka yang sensual. Di sinilah perasaan 
sensualitas versi laki-laki terkesan dominan, dan memosisikan perempuan sebagai 
makhluk yang tak mengalami sensualitas tertentu terhadap tubuh laki-laki. Ada 
logika yang aneh dan sewenang-wenang dalam hal ini.

Sebuah UU yang akan menjadi dasar pencarian keadilan, dapatkah adil jika sejak 
awal di dalamnya bisa ditemukan adanya indikasi awal ketidakadilan? Tentu 
tidak. Jika demikian, RUU ini sangat terbuka bagi niatan buruk politisasi hukum 
sebagaimana kaprah dan sering dengan gagah berbina raga di hadapan kita.

RUU ini punya banyak ruang interpretasi dan permainan. Karenanya belum layak 
untuk diundangkan dan masih perlu terus diperbaiki, dan memperbaikinya tentu 
upaya yang menyenangkan. Terutama untuk subtansi pornografi yang bersifat 
verbal. Belum spesifik menggariskan berapa prosentasi kandungan sebuah teks 
puisi, cerpen, lagu, novel, dan sebagainya yang dapat dikategorikan sebagai 
substansi yang dapat dijerat dengan UU ini. RUU ini tidak jelas membedakan teks 
yang secara intensional dibuat sebagai media yang mengampanyekan pornografi, 
dan teks yang menggunakan bahan yang bersifat pornografis tetapi tidak untuk 
mengampanyekan pornografi malah menyosialisasi gagasan yang lain.

Misalnya, kalau kita baca cuplikan novel Larung karya Ayu Utami (KPG, 2001: 8): 
"Begitulah ia tiap-tiap hari di hadapanku, sebelum waktunya berjemur pukul 
sembilan hingga sepuluh: telanjang tanpa daging. Teronggok pada kasur. Dada 
yang panjang susut, puting yang kaku, tak tersisa seglendir kelenjer pun di 
dalamnya, segalanya telah menjadi pipih, tempat ayahku yang mati pernah 
menyusu. Jembut putih pada labia yang menghitam." Apakah lantaran ungkapan 
secuil ini, novel yang sangat baik untuk dijadikan contoh tentang penulisan 
kreatif ini harus diberangus, dibakar, disensor, karena harus takluk dan patuh 
pada RUU yang logika bahasanya camuh (kacau)? 

RUU Antipornografi memang menjanjikan harapan untuk membatasi tabloid porno, 
internet porno, vcd porno, software porno, komik porno, cd/dvd game porno, dan 
sebagainya. Tetapi penerapan RUU ini dengan bahasanya yang camuh itu, 
berpeluang untuk diselewengkan untuk tujuan tertentu.

Mengingat persepsi orang Indonesia yang beragam tentang pornografi, sebaiknya 
RUU yang sedang digarap itu menjadi payung umum saja. Perlu penjabaran lebih 
rinci dan teliti di daerah yang berbeda sesuai situasi, pornografi yang sesuai 
dengan budaya bangsa dan juga ingin dilindungi oleh RUU tersebut.

* Dosen PBSID FKIP Uunlam, tinggal di Banjarmasin
e-mail: sainulh@xxxxxxxxx




[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Bahasa RUU Antipornografi