** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/07/opini/1600946.htm Senin, 07 Maret 2005 Selingkuh Freedom Institute? Oleh Sulfikar Amir SELINGKUH itu indah", begitu bunyi frase yang sempat populer di Jakarta. Selingkuh bagai fenomena "wajar", yang bagi kalangan tertentu dianggap rekreasi yang menantang. Tetapi, wajarkah bagi intelektual untuk melakukan selingkuh dengan pemegang kekuasaan? Pertanyaan ini menjadi penting dalam kontroversi iklan Freedom Institute yang mendukung kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Lepas dari tujuan "mulia", iklan itu "selain membujuk masyarakat" juga untuk "meyakinkan dan mendorong pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan tepat" (Rizal Mallarangeng, Kompas 3/3), aroma selingkuh mudah merebak ke publik. Ada dua faktor yang menggoda kita mengambil kesimpulan selingkuh. Pertama, koneksi antara Freedom Institute dan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie, pengusaha besar yang juga penyandang dana Freedom Institute. Oleh karena itu, tidak sulit untuk melacak kepentingan apa yang bermain di sini. Se-freedom apa pun Freedom Institute, pengaruh Aburizal atas sikap dan dukungan pusat studi ini tentu tidak dapat dinafikan begitu saja. Kedua, aliran ideologi. Freedom Institute adalah salah satu kantung liberalis di Indonesia. Ini terlihat dari orientasi pemikiran Direktur Freedom Institute Rizal Mallarangeng, liberalis tulen yang menulis disertasi tentang dinamika gagasan liberalisme ekonomi di Indonesia. Karena itu, tidak heran jika kenaikan harga BBM yang didukung Rizal dan rekan-rekan dimaknai sebagai bentuk kemenangan kaum liberal ("Kenaikan BBM, Kemenangan Neoliberal", Kompas 3/3). Semenarik apa pun kesimpulan yang dapat diambil dari relasi kekuasaan dan kepentingan yang ada dalam kasus iklan Freedom Institute tidak mudah untuk menjawab pertanyaan apakah Freedom Institute telah berselingkuh atau tidak. Kalaupun benar, dana iklan Freedom Institute yang berbiaya besar (Effendi Gazali, "(Maaf) Tak Mampu Beriklan", 2/3) itu berasal dari Aburizal, "pemilik" Freedom Institute, itu belum cukup menjelaskan apakah selingkuh atau, seperti kata Rizal, pemihakan pada gagasan. RIZAL menegaskan, "selingkuh" kaum intelektual adalah hal wajar. Dikemukakan beberapa nama seperti Condy Rice dan Henry Kissinger. Bahkan, Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir pun dianggap ber-"selingkuh" dengan kekuasaan. Hati-hati dengan klaim ini. Pertama, kita harus bisa memisahkan kaum profesional dan kaum intelektual. Kaum profesional adalah pengguna pengetahuan yang cenderung bersikap taken for granted dengan pengetahuan yang dimiliki. Sementara kaum intelektual adalah penghasil pengetahuan yang senantiasa bersikap kritis dan reflektif terhadap bentuk dan implikasi dari pengetahuan. Kedua, kita harus bisa memberi batasan antara intelektual dan politisi. Mencampuradukkan keduanya akan membuat pemahaman kita ambivalen. Namun, lepas dari catatan kecil ini, apa yang disampaikan Rizal sebagai respons terhadap tuduhan selingkuh adalah indikasi bagaimana bingungnya kaum intelektual di Indonesia tentang posisinya di masyarakat. Apakah kaum intelektual harus steril dari jaringan kekuasaan? Apakah pengetahuan sebagai cultural capital kaum intelektual harus benar-benar murni dari berbagai kepentingan? Jika semua tuntutan netralitas dan obyektivitas menjadi syarat bagi sebuah intelektualisme, apakah itu dapat terjadi atau hanya sekedar utopia? Dalam tulisan "Cendekiawan Bukan Malaikat" (Kompas, 15/12) saya jelaskan, bagaimanapun dan di mana pun juga kaum intelektual senantiasa bersinggungan dengan kekuasaan. Berbagai bentuk pengetahuan yang dihasilkan kelas terdidik ini tidak pernah lepas dari pengaruh kepentingan yang datang melalui berbagai saluran politik, sosial, ekonomi, atau budaya. Tetapi, harus dicatat, kekuasaan yang berhimpit pada kaum intelektual tidak harus dilihat semata-mata dalam makna represif dan otoritatif. Kekuasaan itu adalah aliran energi yang memungkinkan interaksi antara elemen masyarakat terjadi secara dinamis dan harmonis. Mungkin inilah yang ingin dilakukan Freedom Institute dengan menjadikan iklan sebagai media kekuasaan yang dinamis. Oleh karena itu, Rizal menantang kaum penentang kenaikan harga BBM untuk membuat iklan serupa. Tantangan ini sedikit naif karena protes dan demonstrasi menentang kebijakan itu terjadi di mana-mana. Kaum intelektual penentang kebijakan BBM tidak perlu menghabiskan ratusan juta rupiah untuk menunjukkan sikapnya. Tetapi, yang lebih penting untuk dicermati adalah bagaimana kekuasaan intelektual itu dimainkan Freedom Institute. Jika kembali kepada prinsip bahwa kaum intelektual senantiasa bersikap kritis dan reflektif terhadap pengetahuan dan konsekuensinya bagi masyarakat, dukungan Freedom Institute terhadap kebijakan BBM yang diekspos secara mewah adalah tindakan tergesa-gesa. Apa pun logika dan argumen yang digunakan serta secanggih apa pun model ekonomi yang dipakai dalam mengambil kebijakan harga BBM, sebagai lembaga studi yang independen selayaknya Freedom Institute bersikap kritis dan reflektif terhadap keputusan pemerintah dan tidak mendahului reaksi publik terhadap kebijakan itu. Dukungan secara terbuka justru menimbulkan pertanyaan tujuan iklan itu. Apakah dengan adanya dukungan itu membuat masyarakat mau mengerti dan menerima kebijakan kenaikan BBM saat mereka menghadapi realitas hidup yang kian sulit akibat kebijakan itu? Lain halnya jika Freedom Institute adalah think tank resmi pemerintah yang melakukan penelitian kebijakan yang akan diambil pemerintah. Jika ini yang terjadi, dukungan Freedom Institute tidak akan menjadi masalah. Namun, Freedom Institute adalah lembaga studi independen. Oleh karena itu, terasa janggal jika sebuah lembaga independen memberi dukungan penuh pada kebijakan pemerintah lepas dari setuju-tidaknya mereka pada kebijakan itu. Kaum intelektual memang tidak pernah lepas dari faktor kekuasaan, tetapi apa yang ditunjukkan Freedom Institute adalah bentuk submissive terhadap pihak otoritas. APAKAH Freedom Institute telah berselingkuh? Selingkuh atau tidak sebenarnya tidak relevan lagi jika kita melihat fenomena ini secara lebih luas. Hebohnya kasus iklan Freedom Institute tidak hanya bukti, bagaimana carut- marutnya proses pembuatan kebijakan yang terlalu bertumpu pada pandangan sepihak pemerintah, tetapi juga menunjukkan bagaimana kaum intelektual kikuk saat berhadapan dengan sumber-sumber kekuasaan yang berasal dari birokrasi dan pemilik modal. Ini bukan soal pilihan "rasional" kaum intelektual, tetapi sebuah kondisi struktural dari sejarah panjang relasi antara kaum elite terdidik dengan pemegang otoritas publik. Kaum intelektual masa kini adalah jelmaan kaum priayi masa lalu yang merupakan subordinasi kaum penguasa. Oleh karena itu, tantangan kaum intelektual masa kini adalah mencari sosok jati diri yang otonom dan lepas dari bayang-bayang masa lalu. Dengan begitu, kaum intelektual dapat menggunakan kekuasaannya secara bijaksana. Sulfikar Amir Kandidat Doktor di Dept Science and Technology Studies, Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **