** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=161808 Rabu, 16 Mar 2005, Penyelesaian Sengketa Ambalat - Diplomasi atau Perang? Oleh Sus Eko Ernada * Ci vis pacem para bellum -yang berarti jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang- adalah ungkapan klasik untuk menggambarkan suasana hati sebagian rakyat Indonesia dalam melihat sengketa wilayah Ambalat, Kalimantan Timur. Seakan-akan, tidak ada pilihan lain kecuali berperang untuk mempertahankan Blok Ambalat. Sementara itu, diplomasi menjadi pilihan yang tidak populer. Hal itu terbukti dengan maraknya pendirian posko-posko sukarelawan di seluruh wilayah tanah air dengan memanfaatkan retorika Bung Karno pada 1960-an ketika menginginkan konfrontasi dengan negeri jiran, "ganyang Malaysia". Sementara, pemimpin kedua negara masih berusaha mengedepankan dialog dan perundingan dalam menyelesaikan sengketa perbatasan dan pemilikan wilayah Ambalat tersebut. Hal itu bisa dilihat dari statemen kedua pemimpin, baik dari Malaysia maupun Indonesia, tentang perlunya menyelesaikan kasus tersebut dengan cara-cara damai. Pertanyaannya sekarang, di antara dua pilihan tersebut, mana yang lebih tepat dilakukan oleh kedua negara? Penyelesaian melalui jalur diplomasi, tampaknya, akan lebih elegan dalam masa sekarang ini dibandingkan dengan melaui jalur konfrontasi bersenjata. Mengingat zaman telah berubah dan hubungan antarbangsa telah berkembang menuju hubungan yang lebih mengedepankan penghargaan pada martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, perang yang ganas dan keji tidak lagi menjadi pilihan populer sebagai resolusi konflik antarbangsa. Penyelesaian sengketa wilayah Ambalat melalui konfrontasi bersenjata akan merugikan kedua belah pihak, yang tidak saja secara politik sebagai akibat langsung konfrontasi, tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial. Secara politik, citra kedua negara akan tercoreng, paling tidak, di antara negara-negara anggota ASEAN. Kedua negara termasuk pelopor berdirinya ASEAN, di mana ASEAN didirikan sebagai sarana resolusi konflik, maka cara-cara penyelesaian konflik yang konfrontatif dapat menjatuhkan citra mereka di ASEAN. Dalam bidang ekonomi, kedua negara akan mengalami kerugian. Kedua belah pihak akan meningkatkan anggarannya untuk biaya berperang, sedangkan biaya itu bisa dialihkan kepada sektor lain. Belum lagi masalah TKI, yang kedua belah pihak sangat berkepentingan. Bagi Indonesia, TKI adalah remittance yang menjadi sumber devisa, sementara ekonomi Malaysia juga bergantung kepada keberadaan TKI. Perputaran ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan yang saling bergantung juga perlu dipertimbangkan. Aspek sosialnya juga tidak sedikit. Pengalaman berkonfrontasi dengan Malaysia pada tahun '60-an telah memberikan pengalaman traumatis bagi sebagian warga Indonesia. Berapa banyak keluarga yang terpisah akibat konfrontasi tersebut. Tidak adanya kompensasi dari akibat konfrontasi, terutama pada masyarakat di perbatasan. Tetapi, keinginan untuk menyelesaikan sengketa itu melalui jalur konfrontasi masih bisa dipahami, paling tidak dalam tiga hal. Pertama, masyarakat Indonesia mengalami pengalaman yang traumatis terhadap gagalnya upaya diplomasi atas perebutan Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia pada 2002. Kedua, lepasnya wilayah Timor Timur dari wilayah NKRI cukup menjadikan pengalaman yang pahit bagi Indonesia untuk tidak terulang lagi. Ketiga, penyelesaian kasus TKI ilegal oleh pemerintah Malaysia yang dirasa menyakitkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Ketiga hal itu yang mendorong rasa anti-Malaysia dan keinginan untuk perang. Siapa Takut? Perang bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan sengketa Ambalat. Masih terbuka lebar peluang untuk memenangkan sengketa itu melalui jalur diplomasi. Penyelesain sengketa perbatasan di laut sendiri sudah diatur melalui Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (UN Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS 1982). Pada prinsipnya, UNCLOS menyarankan bahwa penyelesaian sengketa perbatasan di laut harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip equitable solution (solusi patut). Apalagi secara yuridis, Indonesia diuntungkan oleh adanya pasal 47 UNCLOS bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menarik garis di pulau-pulau terluarnya sebagai patokan untuk garis batas wilayah kedaulatannya. Paling tidak, ada empat langkah yang dapat diambil untuk menyelesaikan sengketa wilayah Ambalat tersebut. Pertama, melalui perundingan bilateral, yaitu memberi kesempatan kedua belah pihak untuk menyampaikan argumentasinya tentang wilayah yang disengketakan dalam forum bilateral. Indonesia dan Malaysia harus secara jelas menyampaikan mana batas wilayah yang diklaim dan apa landasan yuridisnya. Dalam hal ini, Malaysia tampaknya akan menggunakan peta 1979 yang kontroversial itu. Sementara Indonesia mendasarkan klaimnya pada UNCLOS 1982. Jika gagal, maka perlu dilakukan cooling down dan selanjutnya masuk langkah kedua dengan menetapkan wilayah sengketa sebagai status quo dalam kurun waktu tertentu. Pada tahap ini, bisa saja dilakukan eksplorasi di Blok Ambalat sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua belah pihak (confidence building measures). Pola ini pernah dijalankan Indonesia-Australia dalam mengelola Celah Timor. Langkah ketiga bisa memanfaatkan organisasi regional sebagai sarana resolusi konflik, misalnya, melalui ASEAN dengan memanfaatkan High Council seperti termaktub dalam Treaty of Amity and Cooperation yang pernah digagas dalam Deklarasi Bali 1976. Malaysia akan enggan menggunakan jalur ini karena takut dikeroyok negara-negara ASEAN lainnya. Sebab, mereka memiliki persoalan perbatasan dengan Malaysia akibat ditetapkannya klaim unilateral Malaysia berdasarkan peta 1979, seperti Filipina, Thailand, dan Singapura. Di samping itu, kedua negara juga bisa memanfaatkan jasa baik (good office) negara yang menjadi ketua ARF (ASEAN Regional Forum) untuk menengahi sengketa ini. Jika langkah ketiga tersebut tidak juga berjalan, masih ada cara lain. Membawa kasus itu ke Mahkamah Internasional (MI) sebagai langkah nonpolitical legal solution. Mungkin, ada keengganan Indonesia untuk membawa kasus tersebut ke MI karena pengalaman pahit atas lepasnya Sipadan dan Ligitan. Tetapi, jika Indonesia mampu menunjukkan bukti yuridis dan fakta-fakta lain yang kuat, peluang untuk memenangkan sengketa itu cukup besar. Pasal-pasal yang ada pada UNCLOS 1982 cukup menguntungkan Indonesia, bukti ilmiah posisi Ambalat yang merupakan kepanjangan alamiah wilayah Kalimantan Timur, bukti sejarah bahwa wilayah itu merupakan bagian dari Kerajaan Bulungan, dan penempatan kapal-kapal patroli TNI-AL adalah modal bangsa Indonesia untuk memenangkan sengketa tersebut. Sus Eko Ernada, staf pengajar HI FISIP Universitas Jember ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **