** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/12/opi02.html Meretas Batas antara Cendekiawan dan Politisi Oleh A Khoirul Anam Dalam satu diskusi di Universitas Islam Indonesia (UIN) Jakarta 5 Maret lalu, Prof Dr Franz Magnis-Suseno sempat berbicara dengan suara agak keras ketika diminta klarifikasi atas keterlibatan beliau bersama deretan nama-nama dalam iklan satu halaman penuh di Kompas (26/2/2005) bertajuk "Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?". Iklan yang disponsori lembaga Freedom Institute ini sempat memicu reaksi keras sejumlah pengamat politik dan guru besar perguruan tinggi. Masalahnya, terdapat beberapa nama cendekiawan, intelektual, dan budayawan kondang yang menyatakan dukungannya atas kenaikan harga BBM, yang otomatis mendukung secara langsung kebijakan pemerintah yang kontroversial itu. Apalagi lembaga yang memuat iklan yang pastinya butuh biaya mahal itu dibiayai oleh beberapa pejabat penting dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saya mengatakan pada Romo (panggilan kehormatan Franz Magnis-Suseno) bahwa sepertinya ada paradoks dalam pola pikir para cendekiawan yang secara terus terang ikut mendukung kenaikan harga BBM. Satu sisi mereka selalu menawarkan dialog sebagai solusi arif dalam mengatasi berbagai masalah sosial. Namun pada saat dialog pro dan kontra kenaikan harga BBM sedang berlangsung, tiba-tiba beberapa di antara mereka ingin segera menyudahi dialog. Alasan mereka cukup logis, misalnya, jangan sampai spekulasi-spekulasi menunggangi isu kenaikan BBM. Namun, yang patut disesalkan kenapa justru mereka yang secara "militeristik" ikut menghentikan dialog yang merupakan bagian penting dari civic educations itu. Romo lalu menjelaskan, keikutsertaannya dalam iklan itu karena merasa sebagai bagian dari rakyat Indonesia. "Saya ingin menyampaikan pendapat." Peran Ganda Kita sampai pada perdebatan lama soal boleh tidaknya cendekiawan, intelektual, budayawan, juga agamawan terlibat langsung dalam kebijakan-kebijakan politik, atau dengan kata lain ikut-ikutan menjadi politisi. Tidak ada yang ditakdirkan untuk hanya menjadi cendekiawan (juga politisi, pengusaha, atau artis). Tidak ada undang-undang yang melarang adanya peran ganda. Lagi pula selama ini para cendekiawan dan pemikir dikritik karena gagasan mereka yang melangit, apa salahnya jika mereka ikut urun rembug mengatur teknis kehidupan di bumi. Namun ada pepatah kuno berbunyi "those we cannot do, teach!". Maksudnya, tidak semua orang bisa menjadi eksekutif. Sebagian memang harus menjadi guru, bukan karena kalah, guru bahkan lebih pandai dari eksekutif. Persoalannya, jika semua menjadi eksekutif tidak yang mengurusi para murid. Para murid akhirnya putus sekolah dan mencari guru lain di luaran. Beruntung jika mendapat guru pengganti yang lebih baik, para murid akan semakin sesat jika salah guru atau menggurui diri sendiri. Ada cendekiawan yang lantas memilih peran ganda, menjadi guru sekaligus nyambi menjadi politisi dan ini sangat berbahaya karena jangan-jangan murid dan pelajaran atau gagasan yang mereka sampaikan ikut-ikutan dipolitisir. Di zaman modern, para politisi sepertinya sulit berpolitik atas nama ideologi atau emosional etnis, tapi atas nama ilmu pengetahuan mereka bisa melakukan apa saja tanpa dicurigai. Tidak serta merta mengatakan politik itu jelek dan busuk, masalahnya, dengan begitu ilmu pengetahuan jelas-jelas tidak netral lagi. Para teoritikus sosial kritis memang mengatakan tidak ada yang netral dalam setiap produktivitas ilmu pengetahuan, namun ketidaknetralan karena urusan politik apalagi kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan urusannya lain lagi. Lebih payah, jika kita membincang ketiadaan cendekiawan yang mengontrol kinerja para wakil rakyat karena mereka ikut terlibat di dalamnya. Para muridlah yang lalu menjadi pengontrol utama kebijakan-kebijakan para wakl rakyat. Namun, sekali lagi, mereka bertindak tanpa guru. Apalagi jika fungsi kontrol kemudian dilakukan sendiri oleh rakyat jelata dan masyarakat awam yang hanya bisa merasakan keadilan dan tidak mempunyai andalan apapun selain kekuatan fisik. Peran ganda para cendekiawan yang dibincang barusan adalah cendekiawan yang menjadi politisi namun tetap ikut memegang peran penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik. Problem semakin rumit jika para cendekiawan hanya menjadi alat politik. Kita diingatkan dengan kasus konvensi Partai Golkar. Partai warisan Orde Baru ini berhasil mendongkrak simpati masyarakat setelah menggondol beberapa nama cendekiawan dan agamawan seperti Nurcholis Madjid, Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi, sampai Aa' Gym untuk dijadikan calon presiden. Bejatnya, setelah Partai Golkar kembali terangkat, para cendekiawan dan agamawan yang terlanjur ge-er itu ditinggalkan begitu saja di tengah jalan. Lebih rumit lagi jika - maaf - justru para cendekiawanlah yang mengemis-ngemis kepada para politisi untuk mendapatkan jatah. Sementara para politisi busuk bersembunyi di bawah ketiak para cendekiawan, para cendekiawan bersujud di telapak kaki para politisi untuk sekadar merengkuh sesuap nasi dan penghormatan berlebih untuk bisa sama necisnya dengan para pengusaha. Maka pembatasan wilayah garapan para budayawan dan politisi perlu diadakan. Sosok Semar Kita diingatkan dengan sosok Semar dalam pewayangan. Semar adalah sesepuh para Punakawan. Konon sosok Punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan oleh Wali Songo untuk menyampaikan pesan-pesan yang diajarkan agama Islam melalui kesenian yang digandrungi masyarakat Jawa waktu itu. Punakawan tidak ada dalam idealtipe pewayangan asli India. Nah, Semar adalah pembimbing spriritual raja, menggantikan posisi guru-guru spiritual lainnya dalam pewayangan aslinya. Bedanya, meskipun Semar berada pada posisi yang terhormat karena disegani oleh raja namun ia berada di antara rakyat biasa. Semar diperankan sebagai sosok yang kasar, bertubuh pendek, jelek, tanpa jenis kelamin, dan bekerja sebagai petani biasa. Sosok Semar ini kemudian diperankan sendiri oleh Wali Songo dalam kehidupan nyata. Wali Songo adalah penasihat raja-raja Demak namun tetap tinggal bersama rakyat. Mereka disegani sebagai pembimbing para raja dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik namun tidak ikut terlibat dalam praksis pemerintahan. Wali Songo tetap bekerja sebagai rakyat jelata sembari membantu rakyat menyelesaikan problem hidup sehari-hari. Rakyat tidak perlu berkonflik dengan sesama rakyat karena ada tokoh yang dihormati yang berperan sebagai penengah. Sementara aspirasi rakyat kepada para penguasa didiktekan langsung secara cerdas oleh Wali Songo kepada para penguasa yang notabene adalah murid-murid mereka. Kita membayangkan betapa andaian dunia pewayangan yang seperti ini begitu absurd-nya di saat pentas politik di Indonesia menjadi lahan basah bagi semua orang. Namun, kita juga bisa membayangkan betapa tinggi kedudukan para cendekiawan jika tidak ikut-ikutan menjadi politisi. Dan memang seharusnya demikian. Cendekiawan terhormat karena ilmu pengetahuan yang telah, sedang, dan akan mereka telorkan, bukan karena kedudukan terhormat mereka diantara para penguasa (dan pengusaha tentunya). Sekali lagi, pembatasan mana yang politisi dan mana yang cendekiawan menjadi sangat penting diadakan. Selain ada yang menerjemahkan secara praksis gagasan-gagasan besar yang dimunculkan oleh para cendekiawan, ada cendekiawan yang terus-menerus memproduksi gagasan-gagasan besar yang mestinya berkembang searah putaran zaman. Ada yang tetap menjadi pandito, begawan alias guru yang disegani para eksekutif karena ilmu pengetahuan dan keteladanan mereka, namun sekaligus tetap mau membimbing para murid, mau bergaul dengan rakyat biasa, dan dengan risiko tetap hidup biasa-biasa saja. Penulis adalah pemerharti budaya, tinggal di Pesantren Ciganjur, Jakarta ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **