[list_indonesia] [ppiindia] Meretas Batas antara Cendekiawan dan Politisi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 12 Mar 2005 10:19:39 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/12/opi02.html

Meretas Batas antara Cendekiawan dan Politisi
Oleh A Khoirul Anam


Dalam satu diskusi di Universitas Islam Indonesia (UIN) Jakarta 5 Maret 
lalu, Prof Dr Franz Magnis-Suseno sempat berbicara dengan suara agak keras 
ketika diminta klarifikasi atas keterlibatan beliau bersama deretan 
nama-nama dalam iklan satu halaman penuh di Kompas (26/2/2005) bertajuk 
"Mengapa 
Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM?". Iklan yang disponsori lembaga 
Freedom Institute ini sempat memicu reaksi keras sejumlah pengamat politik 
dan guru besar perguruan tinggi.

Masalahnya, terdapat beberapa nama cendekiawan, intelektual, dan budayawan 
kondang yang menyatakan dukungannya atas kenaikan harga BBM, yang otomatis 
mendukung secara langsung kebijakan pemerintah yang kontroversial itu. 
Apalagi lembaga yang memuat iklan yang pastinya butuh biaya mahal itu 
dibiayai oleh beberapa pejabat penting dalam pemerintahan Presiden Susilo 
Bambang Yudhoyono.
Saya mengatakan pada Romo (panggilan kehormatan Franz Magnis-Suseno) bahwa 
sepertinya ada paradoks dalam pola pikir para cendekiawan yang secara terus 
terang ikut mendukung kenaikan harga BBM. Satu sisi mereka selalu menawarkan 
dialog sebagai solusi arif dalam mengatasi berbagai masalah sosial. Namun 
pada saat dialog pro dan kontra kenaikan harga BBM sedang berlangsung, 
tiba-tiba beberapa di antara mereka ingin segera menyudahi dialog.
Alasan mereka cukup logis, misalnya, jangan sampai spekulasi-spekulasi 
menunggangi isu kenaikan BBM. Namun, yang patut disesalkan kenapa justru 
mereka yang secara "militeristik" ikut menghentikan dialog yang merupakan 
bagian penting dari civic educations itu. Romo lalu menjelaskan, 
keikutsertaannya dalam iklan itu karena merasa sebagai bagian dari rakyat 
Indonesia. "Saya ingin menyampaikan pendapat."


Peran Ganda
Kita sampai pada perdebatan lama soal boleh tidaknya cendekiawan, 
intelektual, budayawan, juga agamawan terlibat langsung dalam 
kebijakan-kebijakan politik, atau dengan kata lain ikut-ikutan menjadi 
politisi. Tidak ada yang ditakdirkan untuk hanya menjadi cendekiawan (juga 
politisi, pengusaha, atau artis). Tidak ada undang-undang yang melarang 
adanya peran ganda. Lagi pula selama ini para cendekiawan dan pemikir 
dikritik karena gagasan mereka yang melangit, apa salahnya jika mereka ikut 
urun rembug mengatur teknis kehidupan di bumi.
Namun ada pepatah kuno berbunyi "those we cannot do, teach!". Maksudnya, 
tidak semua orang bisa menjadi eksekutif. Sebagian memang harus menjadi 
guru, bukan karena kalah, guru bahkan lebih pandai dari eksekutif. 
Persoalannya, jika semua menjadi eksekutif tidak yang mengurusi para murid. 
Para murid akhirnya putus sekolah dan mencari guru lain di luaran. Beruntung 
jika mendapat guru pengganti yang lebih baik, para murid akan semakin sesat 
jika salah guru atau menggurui diri sendiri.
Ada cendekiawan yang lantas memilih peran ganda, menjadi guru sekaligus 
nyambi menjadi politisi dan ini sangat berbahaya karena jangan-jangan murid 
dan pelajaran atau gagasan yang mereka sampaikan ikut-ikutan dipolitisir. Di 
zaman modern, para politisi sepertinya sulit berpolitik atas nama ideologi 
atau emosional etnis, tapi atas nama ilmu pengetahuan mereka bisa melakukan 
apa saja tanpa dicurigai. Tidak serta merta mengatakan politik itu jelek dan 
busuk, masalahnya, dengan begitu ilmu pengetahuan jelas-jelas tidak netral 
lagi.
Para teoritikus sosial kritis memang mengatakan tidak ada yang netral dalam 
setiap produktivitas ilmu pengetahuan, namun ketidaknetralan karena urusan 
politik apalagi kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan urusannya lain 
lagi. Lebih payah, jika kita membincang ketiadaan cendekiawan yang 
mengontrol kinerja para wakil rakyat karena mereka ikut terlibat di 
dalamnya. Para muridlah yang lalu menjadi pengontrol utama 
kebijakan-kebijakan para wakl rakyat.
Namun, sekali lagi, mereka bertindak tanpa guru. Apalagi jika fungsi kontrol 
kemudian dilakukan sendiri oleh rakyat jelata dan masyarakat awam yang hanya 
bisa merasakan keadilan dan tidak mempunyai andalan apapun selain kekuatan 
fisik.
Peran ganda para cendekiawan yang dibincang barusan adalah cendekiawan yang 
menjadi politisi namun tetap ikut memegang peran penting dalam menentukan 
kebijakan-kebijakan publik. Problem semakin rumit jika para cendekiawan 
hanya menjadi alat politik. Kita diingatkan dengan kasus konvensi Partai 
Golkar. Partai warisan Orde Baru ini berhasil mendongkrak simpati masyarakat 
setelah menggondol beberapa nama cendekiawan dan agamawan seperti Nurcholis 
Madjid, Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi, sampai Aa' Gym untuk dijadikan 
calon presiden.
Bejatnya, setelah Partai Golkar kembali terangkat, para cendekiawan dan 
agamawan yang terlanjur ge-er itu ditinggalkan begitu saja di tengah jalan. 
Lebih rumit lagi jika - maaf - justru para cendekiawanlah yang 
mengemis-ngemis kepada para politisi untuk mendapatkan jatah. Sementara para 
politisi busuk bersembunyi di bawah ketiak para cendekiawan, para 
cendekiawan bersujud di telapak kaki para politisi untuk sekadar merengkuh 
sesuap nasi dan penghormatan berlebih untuk bisa sama necisnya dengan para 
pengusaha. Maka pembatasan wilayah garapan para budayawan dan politisi perlu 
diadakan.


Sosok Semar
Kita diingatkan dengan sosok Semar dalam pewayangan. Semar adalah sesepuh 
para Punakawan. Konon sosok Punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan 
oleh Wali Songo untuk menyampaikan pesan-pesan yang diajarkan agama Islam 
melalui kesenian yang digandrungi masyarakat Jawa waktu itu. Punakawan tidak 
ada dalam idealtipe pewayangan asli India. Nah, Semar adalah pembimbing 
spriritual raja, menggantikan posisi guru-guru spiritual lainnya dalam 
pewayangan aslinya.


Bedanya, meskipun Semar berada pada posisi yang terhormat karena disegani 
oleh raja namun ia berada di antara rakyat biasa. Semar diperankan sebagai 
sosok yang kasar, bertubuh pendek, jelek, tanpa jenis kelamin, dan bekerja 
sebagai petani biasa.
Sosok Semar ini kemudian diperankan sendiri oleh Wali Songo dalam kehidupan 
nyata. Wali Songo adalah penasihat raja-raja Demak namun tetap tinggal 
bersama rakyat. Mereka disegani sebagai pembimbing para raja dalam 
menentukan kebijakan-kebijakan politik namun tidak ikut terlibat dalam 
praksis pemerintahan.
Wali Songo tetap bekerja sebagai rakyat jelata sembari membantu rakyat 
menyelesaikan problem hidup sehari-hari. Rakyat tidak perlu berkonflik 
dengan sesama rakyat karena ada tokoh yang dihormati yang berperan sebagai 
penengah.
Sementara aspirasi rakyat kepada para penguasa didiktekan langsung secara 
cerdas oleh Wali Songo kepada para penguasa yang notabene adalah murid-murid 
mereka.
Kita membayangkan betapa andaian dunia pewayangan yang seperti ini begitu 
absurd-nya di saat pentas politik di Indonesia menjadi lahan basah bagi 
semua orang. Namun, kita juga bisa membayangkan betapa tinggi kedudukan para 
cendekiawan jika tidak ikut-ikutan menjadi politisi. Dan memang seharusnya 
demikian.
Cendekiawan terhormat karena ilmu pengetahuan yang telah, sedang, dan akan 
mereka telorkan, bukan karena kedudukan terhormat mereka diantara para 
penguasa (dan pengusaha tentunya).
Sekali lagi, pembatasan mana yang politisi dan mana yang cendekiawan menjadi 
sangat penting diadakan. Selain ada yang menerjemahkan secara praksis 
gagasan-gagasan besar yang dimunculkan oleh para cendekiawan, ada 
cendekiawan yang terus-menerus memproduksi gagasan-gagasan besar yang 
mestinya berkembang searah putaran zaman.

Ada yang tetap menjadi pandito, begawan alias guru yang disegani para 
eksekutif karena ilmu pengetahuan dan keteladanan mereka, namun sekaligus 
tetap mau membimbing para murid, mau bergaul dengan rakyat biasa, dan dengan 
risiko tetap hidup biasa-biasa saja.

Penulis adalah pemerharti budaya, tinggal di Pesantren Ciganjur, Jakarta
 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Meretas Batas antara Cendekiawan dan Politisi