** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Media Indonesia Kamis, 10 Maret 2005 OPINI Menyoal Imunitas Parlemen Marwan Effendy, Praktisi hukum SELAMA kurun waktu Januari 2004-Januari 2005, ada 8 anggota dan 2 mantan anggota legislatif pusat, 22 orang anggota legislatif provinsi, 2 orang gubernur, 13 bupati dan 5 wali kota diduga melakukan tindak pidana korupsi, telah dinyatakan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dan kejaksaan di berbagai daerah. Angka-angka itu belum termasuk anggota legislatif kabupaten dan kota. Merebaknya anggota legislatif dan eksekutif menjadi tersangka, inilah yang dipertanyakan oleh Komisi II dan III DPR kepada Jaksa Agung dalam rapat kerja, Selasa (17/2). Rupanya rapat itu tidak saja berjalan alot, tetapi memicu kesalahpahaman terhadap penafsiran ungkapan "seperti ustaz di kampung maling". Agustin Teras Narang yang memimpin rapat pada saat itu, terpaksa buru-buru mengetok palu menyatakan rapat ditutup. Pro-kontra penafsiran atas ungkapan yang dilontarkan Anhar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Bintang Reformasi, membuat gerah para jaksa yang hadir mendampingi Jaksa Agung saat itu. Muaranya pimpinan DPR meminta presiden menegur jaksa agung. Ungkapan "seperti ustaz di kampung maling" yang ditujukan kepada jaksa agung ini, perlu dicermati lebih jauh makna dan hakikatnya dan apa implikasinya dengan hak imunitas legislatif. Dari terminologi hukum kata imunitas dalam bahasa Inggris immunity berarti kekebalan, kata lainnya imunis yang menyatakan "tidak dapat diganggu gugat". Terkait dengan tindakan seseorang dalam lingkup tertentu seperti korps diplomatik atau anggota legislatif. Black's Law Dictionary mencantumkan istilah legislative immunity yang pada intinya bermakna hak kekebalan yang diberikan Konstitusi Amerika Serikat kepada anggota Kongres, pertama, tidak boleh ditangkap pada saat sidang, kecuali terhadap tidak pidana makar, kejahatan berat seperti pembunuhan dan terhadap pelanggaran perjanjian perdamaian. Kedua, untuk setiap pidato atau debat yang dilakukan di parlemen, mereka itu mempunyai hak kekebalan, baik itu opini, pidato, debat atau penyampaian pendapat, juga dalam pengambilan suara, laporan tertulis, dan penyampaian petisi secara umum yang dirasa penting oleh anggota dilakukan dalam rangka tugas legislatif. Bahkan terhadap adanya tuduhan dengan motif yang tidak jelas melakuk an hal-hal di atas, tidak menghapuskan imunitas mereka, sepanjang dilakukan untuk kepentingan publik. Pasal 28 huruf f UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, menggariskan anggota DPR mempunyai hak imunitas atau hak kekebalan hukum dan selanjutnya oleh penjelasannya ditafsirkan bahwa hak imunitas itu adalah hak untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rumusan Pasal 28 huruf f tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan Pasal 103 ayat 1 yang menyatakan hak kekebalan tersebut dibatasi yaitu sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik Lembaga. Kemudian oleh penjelasannya dikatakan mengingat anggota legislatif memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintah, sehingga dalam hal mengajukan pertanyaan dan pernyataan harus dilakukan dengan tata cara mengindahkan etika politik dan pemerintahan dan senantiasa menggunakan tata krama, sopan santun, norma serta adat budaya bangsa. Pembatasan ini memang merupakan hak setiap anggota legislatif. Deskripsi di atas, menegaskan bahwa secara yuridis formil hak kekebalan hukum, baik anggota Kongres maupun anggota DPR bersifat relatif tidak mutlak. Perbedaannya, hak kekebalan hukum anggota Kongres dapat dikesampingkan, jika pernyataan itu tidak jelas motifnya, bukan demi kepentingan publik. Hak kekebalan anggota DPR dapat dikesampingkan jika melanggar Pasal 28 huruf c jo. Pasal 29 huruf I dan j jo. Pasal 103 ayat (1) UU No 22 Tahun 2003. Lalu bagaimana dengan ungkapan tersebut? Apakah dapat memunculkan masalah hukum, jika dipandang melanggar ketentuan dimaksud. Kalau benar, apakah dapat diklasifikasi sebagai tindak pidana atau hanya sebatas pelanggaran Peraturan Tata Tertib/Kode Etik saja? Dapat tidaknya ungkapan tersebut diklasifikasi sebagai tindak pidana tergantung konotasi, locus penyampaian serta sensitivitas ragam asal subyeknya. Keberatan Jaksa Agung beserta jajarannya karena ungkapan dipandang, pertama berkonotasi negatif yang digeneralisir, mengingat jumlah jaksa 6000 orang, pernyataan itu seolah-olah ditujukan ke semua jaksa, apalagi diutarakan berkali-kali dan sebelumnya dalam rapat 7 Februari 2005 telah juga diutarakan, kedua disampaikan di depan umum dalam forum rapat kerja, ada kesan ingin mempermalukan para jaksa, karena rapat tersebut terbuka untuk umum dan ketiga ragam asal subyek tidak sama, meskipun menyampaikan ungkapan tidak dilarang atau sah-sah saja, tetapi harus diperhatikan konteksnya dan hal-hal yang dipandang siri, pemali atau tabu untuk diungkapkan di depan umum, yang dapat ditafsirkan berbeda, mengingat beragamnya adat dan budaya masing-masing daerah. Kalaulah itu tidak digeneralisasi walaupun locusnya sama, tidak akan dipanda ng berkonotasi negatif pencemaran atau penghinaan, dan sensitivitasnya tidak terusik. Pasal 310 KUHP menegaskan "barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum" diklasifikasikan sebagai pencemaran atau jika itu dimaksudkan untuk menghina, mengingat yang dihina itu pegawai negeri, diklasifikasikan sebagai penghinaan ringan oleh Pasal 315 jo Pasal 316 KUHP. Mengacu kepada aturan pidana di atas, ungkapan tersebut dapat dipandang sebagai pencemaran atau penghinaan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan penjelasan Pasal 103 ayat (1) tersebut. Meskipun oleh KUHP ungkapan tersebut memenuhi rumusan delik, tidak serta-merta terhadap pelakunya dapat dilakukan penyidikan. Alasan pertama, Pasal 310 atau 315 jo 316 KUHP tersebut adalah delik aduan, jadi harus ada pengaduan dari pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya atau dihina, kedua, apakah di DPR, ada Badan Kehormatan yang menangani dugaan pelanggaran Kode Etik. Selain itu apakah oleh DPR sudah disusun Kode Etik yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan jika ada, apakah Kode Etik itu telah ditetapkan belum Rapat Paripurna (vide pasal 11 ayat 1, 2 dan 3 Peraturan Tatib DPR). Terlepas dari pengertian hak imunitas dan contempt of parliament di atas, pelbagai media cetak dan elektronik dengan vulgar telah memvisualisasikan peristiwa tersebut. Sebenarnya, baik Anhar maupun Jaksa Agung telah menyampaikan permintaan maafnya. Bahkan, Teras Narang dan Jaksa Agung, masing-masing sebagai wakil kedua pihak, telah bersalaman dan berpelukan. Secara tersirat langkah yang dilakukan mereka berdua menyatakan masalah tersebut telah selesai. Sebagai orang yang beragama, baik anggota Komisi II dan III maupun Jaksa Agung dan jajarannya, wajib diberi maaf dan memaafkan. Kalau kita mencermati secara jernih, sebenarnya Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh telah memperlihatkan jiwa besarnya dengan menjawab "see no evil, hear no evil, and say no evil", saat ditanya oleh pers sesuai Rapat Kerja dengan Pansus DPR tentang masalah Poso, artinya beliau menempatkan permasalahan tersebut secara proporsional, tidak ingin berpolemik. DPR hendaknya merespons sikap tersebut tidak perlu mengambil langkah-langkah yang berlebihan, agar tidak saling merugikan dan akhir ceritanya happy ending***. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **