** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/10/opi01.html Kompensasi Berwujud Sekolah Gratis Oleh Widoyoko Belum lagi lonjakan harga kebutuhan pokok mereda sebagai dampak dari kenaikan harga gas Desember lalu, masyarakat dikejutkan kembali dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM). Hanya saja, berbeda dengan peristiwa kenaikan harga yang sudah-sudah; kenaikannya kali ini mendapat dukungan penuh dari setidaknya tiga puluh enam orang cendekiawan-budayawan terkemuka Indonesia. Dengan gagah mereka menyatakan sikapnya tersebut melalui iklan satu halaman penuh di sebuah media cetak yang pada intinya menyetujui adanya pengurangan subsidi harga BBM alias menaikkan harganya. Melalui iklan mereka mencoba memberi kearifannya dengan mengingatkan khalayak bahwa subsidi yang diberikan selama ini pada galibnya dinikmati oleh segelintir orang kaya disamping membuka celah bagi aksi penyelundupan minyak ke luar negeri. Karenanya, menurut mereka, akan lebih bermanfaat bila subsidi itu dikurangi saja dan dialihkan ke dalam program kompensasi seperti bea siswa pendidikan, perbaikan sarana kesehatan dan bantuan beras murah. Inilah bentuk mobilisasi partisipasi masyarakat luas dalam ikut menanggulangi aksi pemborosan energi oleh pihak-pihak yang mampu berkendaraan pribadi dan menyetop aksi penyelundupan BBM ke luar negeri. Kendati, tindakan penghematan oleh pemerintah dan upaya pencegahan penyelundupan BBM dapat dinilai belum atau bahkan tidak optimal, risiko dari keseluruhan peristiwa itu segera dipikulkan ke pundak masyarakat luas yang mobilitas kehidupannya sangat tergantung pada fasilitas kendaraan umum. Bagi masyarakat, pemborosan subsidi dan penyelundupan adalah urusan pemerintah, karena itu memang tanggung jawab dan kewenangannya. Masyarakat sudah cukup bahagia dengan tarif angkot yang tidak naik, harga sembako stabil dan situasi keamanan yang baik. Bagaimanapun bobot rasionalitas yang dikemukakan oleh para penggagas maupun pendukungnya, menaikkan harga BBM sudah tentu sangat mengusik kekecewaan masyarakat. Hanya saja memang menjadi semakin menyuramkan keadaan bila saja kekecewaan tersebut diupayakan sebagai pendorong pencabutan mandat mereka kepada pimpinan negara. Untuk itulah kita harus menghindari suasana yang demikian dengan lebih memfokuskan pada masalah janji baru pemerintah, yaitu akan memberi kompensasi atas pengurangan subsidi harga BBM dengan peningkatan pelayanan pendidikan dasar dan menengah dalam bentuk bea siswa bagi siswa miskin yang diperkirakan jumlahnya 9,67 juta orang. Salah Sasaran Kita tidak berharap rencana tersebut semata-mata merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meredam gejolak masyarakat sebagai akibat dari naiknya harga BBM. Kendatipun janji ini dalam realisasinya membutuhkan waktu yang tidak cepat, secepat datangnya dampak dari kenaikan harga BBM, tetapi ia diharapkan mampu memberikan harapan baru, khususnya dalam menggapai jaminan keberlanjutan pendidikan anak-anak kaum miskin. Adanya saran para pengiklan pendukung pengurangan subsidi BBM agar kompensasi diwujudkan dalam pemberian bea siswa, sedikit memberi gambaran bahwa mereka benar-benar tidak memahami keadaan lapangan yang sesungguhnya. Usulan itu bisa wajar manakala seluruh aparatur negara dari tingkat pusat hingga kelurahan sudah benar-benar antikorupsi dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pemberdayaan kehidupan si miskin. Belajar dari penyelenggaraan program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang pernah dilakukan pemerintah pada beberapa tahun lalu yang walaupun tujuannya memberi keringanan kepada mahasiswa kurang/tidak mampu, tetapi tokh banyak di antara para penerimanya justru berasal dari kalangan mampu. Begitu pula nantinya, hal tersebut dikhawatirkan terjadi pula di dalam masalah bea siswa kompensasi BBM. Terjadinya kesalahan sasaran seperti itu, antara lain disebabkan oleh adanya kenyataan untuk mengurus surat keterangan, mulai dari tingkat RT hingga Kelurahan dan kemudian ke Dinas-Dinas terkait, seperti Dinas Sosial dan lain-lain, bukanlah perkara mudah. Bisa menjadi mudah, kalau dalam pengurusannya menggunakan jasa "biro jasa pelat merah" yang tentu saja akan berkonsekuensi dikeluarkannya uang jasa oleh sang pengguna jasanya. Hal ini tentu sangat menyulitkan si miskin, tetapi sebaliknya bagi mereka yang mampu. Menghadapi kenyataan ini, biasanya secara klasik pejabat pemerintah akan menyatakan laporkan kepadanya, dan ia segera menindak tegas. Tetapi pada kenyataannya, praktik-praktik seperti itu terus saja berlangsung. Sekolah Gratis Selain itu, pelaksanaan pemberian bea siswa seperti itu sangat ruwet dan rawan, karena harus melibatkan banyak pihak, mulai dari tingkat survai, perencanaan, monitoring hingga evaluasi pelaksanaannya. Salah satu contoh, untuk pengadaan "kartu miskin"nya sendiri, seorang pejabat negara menyebutkan dibutuhkan waktu sekitar dua bulan. Dengan demikian waktu untuk mewujudkan impian siswa miskin itu pun menjadi lama. Dengan memperhatikan kendala yang akan terjadi seperti itu, seyogianya pemerintah lebih memilih kompensasi dari penghapusan subsidi diwujudkan dalam bentuk "sekolah gratis". Tahap awal diterapkan kepada Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah negeri. Ini relatif mudah dicapai mengingat berdasarkan hitungan para pakar di dalam iklannya di atas, sebelum dikuranginya subsidi termaksud, negara harus menghabiskan hampir Rp 200 miliar setiap hari untuk menyangga harga BBM. Jumlah murid SD ada sekitar 9.252.233 orang. Dengan asumsi bahwa setiap murid itu memerlukan dana pendidikan Rp 25.000,- per bulan, maka dibutuhkan dana sekitar Rp 231.305.825.000,- per bulan. Dengan kemampuan menghemat Rp 200 miliar rupiah per hari, maka kebutuhan dana tersebut akan terpenuhi hanya dalam dua hari. Demikian pula prosedur pelaksanaannya jauh lebih sederhana dan relatif lebih cepat dibandingkan dengan pemberian bea siswa. Pemerintah pusat tinggal menerbitkan peraturannya, yang tentu saja takkan mengalami kendala di parlemen, karena penggratisan sekolah pada dasarnya merupakan amanat UUD 45 Pasal 31 (4) yang menyatakan bahwa Negara mempriotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan lebih memilih menggratiskan sekolah di tingkat dasar, pada hakikatnya juga merupakan salah satu bentuk kongkret apresiasi pemerintah pusat kepada beberapa daerah yang sudah lebih dulu menjajagi penggratisan sekolah (seperti Kutai, Gorontalo, Jawa Timur, dan Cilacap). Kalau daerah saja siap, bagaimana mungkin pusat tidak siap? Penulis, Pemerhati Masalah Sosial ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **