** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Lampung Post Sabtu, 12 Maret 2005 OPINI Kenaikan Harga BBM dan Kemiskinan * Reni Permatasari, Guru Sosiologi SMA Perintis, Bandar Lampung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 Februari lalu mencanangkan program Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Tahun 2005. Presiden sekaligus mencanangkan Tahun Keuangan Mikro Indonesia. Dengan pemberdayaan UMKM, pemerintah yakin kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dalam lima tahun mendatang dapat berkurang. Indonesia harus memacu diri segera mengurangi angka kemiskinan seiring seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan agar dunia sesuai dengan target Millennium Development Goals (MDG) pada 2015 dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Penduduk miskin Indonesia kini berjumlah 38 juta jiwa atau 16 persen. Jumlah ini, menurut Presiden, terlalu banyak. Sebab, angka ini bisa lebih besar lagi kalau dimasukkan yang setengah miskin. "Oleh sebab itu, angka kemiskinan itu harus kita turunkan terus," katanya. Perbankan diminta menurunkan tingkat suku bunga kredit dan meningkatkan persentase kredit yang disalurkan kepada UMKM untuk mendorong perkembangan UMKM. Selama ini memang harus diakui penyaluran dana masyarakat melalui perbankan selama ini jauh dari semangat keadilan. Soalnya, penyaluran kredit ke sektor UMKM lebih kecil dibandingkan ke dunia usaha lainnya. Persentase kredit yang disalurkan kepada kegiatan usaha pertanian, misalnya, masih sangat kecil dibandingkan jenis-jenis kegiatan usaha lainnya. Padahal, sebagian besar rakyat Indonesia, yaitu 68 persen dari 38 juta orang miskin, berada di sektor pertanian. Presiden menekankan perbankan nantinya harus lebih banyak mengalokasikan kepada mereka (yang bergerak di sektor pertanian) mengingat itu akan langsung mengurangi angka kemiskinan. Kemiskinan Berkurang? Biro Pusat Statistik (BPS) mengumumkan akhir 1998, angka kemiskinan Indonesia mencapai 24,2%. Artinya, hampir 50 juta penduduk dari total 200 juta berada di bawah garis kemiskinan akibat krisis ekonomi yang berjalan lebih dari satu tahun. Dibandingkan angka BPS pertengahan 1998, ini jelas mengagetkan. Sebab, diperkirakan jumlah penduduk miskin akibat krisis membengkak menjadi 39,1% dari jumlah penduduk, atau 80 juta orang. Angka akhir 1998 adalah 24,2%, artinya sekitar separonya. Sekarang, awal 2005, pemerintah menyebutkan angka resmi kemiskinan di Indonesia tinggal 38 juta jiwa atau 16 persen. Bahkan jumlah ini, menurut Presiden, terlalu banyak. Oleh sebab itu, pemerintah bertekad segera menurunkan angka kemiskinan itu. Kita memang patut bersyukur kalau memang terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Sebab, krisis perekonomian yang panjang mengakibatkan memburuknya perekonomian Indonesia mengimbas meningkatkan jumlah penduduk miskin dan pengangguran. Bagaimana kalau ternyata penduduk miskin tidak berkurang? Nyatanya, kehidupan masyarakat kita makin sulit? Barangkali tidak terlalu penting berapa benarnya angka kemiskinan itu. Yang penting, kita lihat bagaimana upaya pemerintah memerangi kemiskinan selama ini. Pemerintah sebelum ini mempunyai kebijakan utama pemerintah, menanggulangi kemiskinan karena dampak krisis ini dengan program Jaring Pengaman Sosial (yang dianggarkan Rp17 triliun, tetapi tidak semuanya bisa dibelanjakan). Dalam rangka ini dilakukan berbagai program penyediaan pekerjaan yang padat karya. Harga bahan makanan penting, misalnya beras dan minyak goreng, dijaga agar tidak melonjak, dan banyak beras dibagikan dengan harga subsidi kepada keluarga miskin (ukuran "keluarga prasejahtera" dari masa sebelum krisis). Harga BBM, tarif angkutan, dan lain-lain, juga tidak dinaikkan. Untuk menolong ibu dan bayi, susu bubuk dibagikan gratis dan harga obat-obatan dijaga agar masih dapat dijangkau daya beli rakyat banyak. Kebijakan serta program-program ini didukung IMF, Bank Dunia, dan para donor, dan juga dilakukan di Thailand dan lain-lain negara Asia Tenggara yang kena krisis. Tetapi, di mana-mana juga ada kritik banyak bantuan itu tidak sampai pada kelompok miskin yang wajar menerimanya. Di Indonesia pelaksanaan, program JPS mendapat banyak kecaman LSM. Mereka menuntut penghentian program selama pemerintah dan aparatnya masih yang lama dan korup. Bappenas senantiasa menangkis bahwa yang terjadi bukan korupsi (uang masuk kantong pejabat) melainkan yang terjadi adalah paketnya "salah alamat". Sebagian "salah alamat" ini memang tidak bisa dielakkan. Di suatu desa -di Banjarnegara, lurah harus membagi-bagi 20 kg beras sebulan kepada keluarga miskin (ukuran "prasejahtera") dengan harga Rp1.000/kg. Penduduk desa yang tidak masuk kelompok prasejahtera ini perotes keras, merasa hina dikecualikan dari bantuan pemerintah ini. Sang lurah, saking terjepitnya, lalu membagi-bagi berasnya kepada siapa saja (jumlah beras per keluarga dikurangi) agar "lebih adil". Maka, pada praktek dan kenyataan di lapangan ada komplikasi antara kemiskinan dan keadilan, yang kedua-duanya tidak bisa diukur secara objektif dan scientific. Maka selalu ada kelompok sasaran miskin yang "salah alamat". Di Thailand terjadi yang sama. Pemerintah mau mempekerjakan orang yang kena PHK di sektor bangunan, dengan program padat karya. Karena proses birokrasi memakan waktu beberapa bulan, si penganggur yang menjadi tujuan itu sudah pindah, mungkin mudik. Yang mendapat food for work program itu orang-orang lain, bukan the new poor, melainkan the old poor. Tetapi, mengapa si miskin baru harus diutamakan, dimanjakan, dengan "melupakan" si miskin lama? Kenaikan Harga BBM Memperhatikan bagaimana kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia, saya pikir penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan UMKM boleh dibilang hanyalah "usaha kecil" dari upaya menanggulangi (mengentaskan?) kemiskinan di negeri ini. Tetap saja, masyarakat kecil yang berada di feri-feri atau masyarakat akar rumput yang tidak memiliki akses perbankan atau pekerjaan akan tetap kesulitan keluar dari kemiskinannya. Sebab, selain kemiskinan kultural, pemerintah negeri ini bertahun-tahun membuat kebijakan (terutama kebijakan ekonomi) yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Hampir semua kebijakan pemerintah di semua segi selama ini bersifat elitis. Kebijakan ekonomi lahir misalnya, untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha (pemilik modal) dan penguasa (pemilik kekuasaan). Konglomerasi yang selama ini berkembang tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang kelewat memanjakan konglomerat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tidak jauh dari kebiasaan pemerintah yang dengan "kebijakannya" membiasakan pengusaha-penguasa memanfaatkan fasilitas-fasilitas negara untuk kepentingan sendiri dan golongan; dan bukan untuk--seperti yang ditekadkan--memberantas kemiskinan rakyat banyak. Contoh paling nyata bagaimana kebijakan pemerintah yang tidak peka dengan persoalan sosial adalah menaikkan tarif bahan bakar minyak (BBM) sampai 30 persen. Selain tidak peka nasib masyarakat kecil yang katanya masih dililit kemiskinan, kebijakan ini justru berlawanan (kontra) dengan tekad penanggulangan kemiskinan. Hebatnya, Menko Perekonomian dengan berani sekali menyatakan kenaikan harga BBM ini justru menurunkan angka kemiskinan. Menurut Ical, panggilan akrabnya, sebelum kenaikan harga BBM, angka kemiskinan mencapai 16,25% dari total penduduk. Jika harga BBM dinaikkan tanpa kompensasi subsidi, angka kemiskinan menjadi 16,43% dan dengan kompensasi, meskipun harga BBM dinaikkan, justru angka kemiskinan akan turun menjadi 13,87%. Sayang, Aburizal tidak memerinci darimana angka-angka itu datangnya. Pertanyaannya, bagaimana mungkin meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menaikkan harga BBM yang menimbulkan multiplier effect luar biasa besar terhadap kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya? Bukankah kenaikan harga BBM juga memicu inflasi? Bukankah inflasi yang kelewat tinggi justru menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat kebanyakan yang berada di bawah garis kemiskinan itu? Barangkali, hanya ekonom mumpuni yang bisa menjelaskan, bagaimana menaikkan harga BBM dapat menurunkan angka kemiskinan. Yang jelas, kemiskinan dan pengangguran masih membayang-bayangi kehidupan bangsa ini. Yang tampak sekarang kenaikan harga BBM mendorong pedagang menaikkan harga barang, sopir angkot menaikkan ongkos, pengusaha jasa juga ikut menaikan biaya jasa, dst. Ini tegas menyulitkan kaum tak berpunya. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **