[list_indonesia] Re: [ppiindia] Ibn Rushd dan Proyek Pencerahan Islam

  • From: "Samudjo" <samudjo@xxxxxxxxxxxx>
  • To: <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 9 Mar 2005 09:13:47 +0700

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **


Satu Hal yang ingin saya ketahui dari Pak Luthfi
Adakah wilayah yang tidak boleh kita fikirkan, kelihatannya para pemikir
yang dikagumi Pak Luthfi mencoba membebaskan manusia untuk memikirkan
apapun.
Keterbatasan manusia seharusnya disadari juga oleh para pemikir tersebut,
misalnya mengenai ruh. Dengan kata lain salah satu rukun iman untuk
mempercayai hal yang ghaib merupakan pengakuan orang beriman akan
keterbatasan mereka.
Tanpa pengakuan tersebut, mudah sekali iblis menggelincirkan kita untuk
mengakui kebesaran diri kita, kebesaran orang-orang yang kita kagumi
disamping Kebesaran Allah, Allahu Akbar.
Harus kita sadari bahwa pemikiran siapapun itu, hanya bisa berasal dari 2
sumber saja, yang benar itu datangnya dari Allah, janganlah engkau termasuk
orang yang ragu-ragu (agnostik)
Boleh saja kita tidak mengakui pemikiran ulama salafi atau AlGhazali
misalnya, lebih boleh lagi tidak mengakui Kant dan kawan-kawannya yang lain.
Saya belum pernah membaca transkrip pemikiran Ibnu Rushdie, apakah pada
akhir makalahnya dia tetap mengakui Allah SWT sebagai sumber segala
kebenaran
Demikian juga dengan Pak Luthfi sendiri,
WaLlahu a'lam,
samudjo
----- Original Message -----
From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
To: <Undisclosed-Recipient:;>
Sent: Tuesday, March 08, 2005 5:06 PM
Subject: [ppiindia] Ibn Rushd dan Proyek Pencerahan Islam



http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=771

Ibn Rushd dan Proyek Pencerahan Islam
Tanggal dimuat: 4/3/2005


Ibnu Rushd dikenal sebagai peletak tonggak pemikiran Islam progresif. Ia
selalu mendengungkan perihal pentingnya rasionalisme, tradisi kritik,
semarak berijtihad, dan sebagainya. Dalam kerangka itu, Ibnu Rushd telah
menyusun sebuah karya intelektual yang monumental, seperti Tahafut
al-Tahafut, Fashl al-Maqal, Bidayah al-Mujtahid, dan sebagainya. Proyek
pencerahan yang dilakukannya ternyata membuahkan hasil. Eropa dan dunia
Islam yang lain membangkit kembali. Kalau gerakan averoisme terus terjadi
bahkan cenderung menguat di Barat, maka aktivitas berijtihad mulai ramai di
Timur termasuk Indonesia.
Ibnu Rushd dikenal sebagai peletak tonggak pemikiran Islam progresif. Ia
selalu mendengungkan perihal pentingnya rasionalisme, tradisi kritik,
semarak berijtihad, dan sebagainya. Dalam kerangka itu, Ibnu Rushd telah
menyusun sebuah karya intelektual yang monumental, seperti Tahafut
al-Tahafut, Fashl al-Maqal, Bidayah al-Mujtahid, dan sebagainya. Proyek
pencerahan yang dilakukannya ternyata membuahkan hasil. Eropa dan dunia
Islam yang lain membangkit kembali. Kalau gerakan averoisme terus terjadi
bahkan cenderung menguat di Barat, maka aktivitas berijtihad mulai ramai di
Timur termasuk Indonesia. Sesi ini kiranya akan memperbincangkan sejumlah
pemikiran dan proyek pencerahan Ibnu Rushd. Sebelum diskusi dimulai, kita
akan disuguhi dengan tayangan film Destiny karya Jousef Chahine yang
mengisahkan sisi-sisi perjalanan intelektual Ibnu Rushd.

Berikut adalah makalah yang telah telah ditulis pembicara untuk bahan kajian
pada diskusi ini. Transkrip lengkap diskusi akan kami sajikan di website ini
secepatnya setelah melalui penyuntingan. Terima kasih.

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/02/Bentara/1592602.htm

      Rabu, 02 Maret 2005




      "Sapere Aude!"
      Ibn Rushd, Kant, dan Proyek Pencerahan Islam


      Luthfi Assyaukanie

      SEJARAH pemikiran dan filsafat Barat kerap menganggap Immanuel Kant
(wafat:1804) sebagai puncak era Pencerahan yang terjadi di Eropa pada abad
ke-18. Era Pencerahan sendiri merupakan puncak gelombang perubahan besar
Revolusi (dalam bidang sains), Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi
(agama) yang terjadi pada abad ke-15 dan ke-16. Pada gilirannya, gelombang
perubahan besar ini merupakan dampak langsung dari berbagai pengaruh dan
interaksi budaya dan ilmu pengetahuan yang terjadi sepanjang abad ke-13 dan
ke-14. Salah satu sumber yang memberikan pengaruh sangat besar bagi
perubahan di Eropa adalah ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat yang
datang dari dunia Islam.

      TULISAN ini ingin menyoroti salah satu tokoh penting filsuf Muslim
yang memberi kontribusi sangat besar bagi gerakan Renaisans dan Pencerahan
di Eropa. Ibn Rushd atau Averroes (wafat: 1198) adalah inspirasi bagi
gerakan Renaisans awal di Eropa. Ia memainkan peranan penting dalam
mempromosikan independensi akal-pikiran, doktrin yang oleh Immanuel Kant
kemudian dianggap sebagai inti dari Aufklärung "pencerahan".

      Apa itu pencerahan?

      Era Pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para
intelektual dan filsuf-berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika,
dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang
tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respons yang benih-benihnya telah
disemai oleh para tokoh Renaisans dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16. Kaum
ensiklopedis seperti Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan
dan pendidikan adalah cara terbaik mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos,
takhayul, dan kebodohan. Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka
sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan
perubahan yang lebih baik.

      Dalam artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apakah Itu
Pencerahan?), Immanuel Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi definisi
sangat jelas. Pada hematnya, pencerahan adalah: keluarnya manusia dari
ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah
ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang
lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir,
tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman
sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah
menggunakan pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990).

      Dari definisi ini kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan bukan
semata-mata kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan
berpikir dan bertindak, tetapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu
berarti kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan
orang lain. Yang dimaksud "bantuan orang lain" di sini adalah penggunaan
otoritas luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang berpikir
independen. Inti pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tetapi bagaimana
seseorang berani menggunakan akal-pikirannya (sapere aude!).

      Seperti bisa dilihat, selain menekankan pada kata keluarnya (ausgang),
Kant juga memberi penekanan pada ketidakmatangan (unmündigkeit) serta
determinasi dan keberanian (entschließung und mut) yang merefleksikan dua
karakter berbeda dari sifat manusia. Penggunaan akal bebas ditekankan
sebesar-besarnya yang oleh Kant kemudian diberikan prasyarat tambahan:
keberanian.

      Menurut saya, prasyarat tambahan ini lebih penting dari kualitas
akal-pikiran sendiri. Tanpa keberanian, akal-pikiran menjadi kurang berguna
karena ia akan menjadi agen pelestari dari otoritas pemikiran mapan. Dalam
pencerahan, yang lebih penting adalah bagaimana manusia mampu memelihara
independensi akal-pikirannya dan mampu mengontrol dirinya dari pengaruh
pemikiran yang datang dari luar nalarnya. Pengaruh pemikiran luar tak hanya
sebatas pandangan atau ide partikular saja, tetapi juga-dan ini saya kira
yang lebih penting-sistem pemikiran yang melembaga dalam institusi publik
seperti agama dan negara.

      Ibn Rushd dan pencerahan

      Ibn Rushd adalah model bagi independensi akal-pikiran sekaligus model
bagi keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran yang terlembaga
dalam institusi agama. Keberaniannya mengkritik kemapanan otoritas agama
menginspirasi orang-orang Eropa abad ke-13 dan ke-14 melakukan hal yang sama
kepada kuasa gereja yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan
mereka.

      Ibn Rushd adalah pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran
bebas dalam pengertian yang kemudian dikembangkan para filsuf pencerahan di
Eropa. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Cordova, sebuah dinasti Islam di
Spanyol. Ia hidup di penghujung "era keemasan Islam", sekitar satu abad
sebelum Baghdad jatuh (1258) atau empat abad sebelum Granada, benteng
terakhir umat Islam di Spanyol, runtuh (1492).

      Ibn Rushd hidup di tengah kecenderungan kaum Muslim yang semakin
antipati terhadap pemikiran rasional. Pada masa ini, di belahan Timur dunia
Islam (masyrik), filsafat Islam mengalami gempuran sangat keras dari ulama
konservatif yang merasa terancam dengan dominasi "ilmu-ilmu klasik" ('ulum
al-awail) yang datang dari Yunani. Para teolog yang didominasi kaum
Ash'ariyah menyerang kecenderungan teologi rasional, khususnya yang dimotori
kaum Mu'tazilah.

      Hidup di belahan barat (magrib) yang cukup jauh terpisah dari
kemurungan peradaban Islam, Ibn Rushd melihat ada ketidakberesan dari
perilaku kaum Muslim di Timur. Pada mulanya ia turut berempati kepada para
ulama dan teolog yang berusaha "menghidupkan ilmu-ilmu agama" (ihya 'ulum
al-din) sebagai respons dari gelombang Helenisme yang dimotori para filsuf
Muslim dan kaum Mu'tazilah.

      Simpatinya kepada Abu Hamid al-Ghazali (wafat: 1111) disalurkannya
dengan membuat sebuah talkhis (ringkasan) al-Mustashfa, salah satu karya
penting al-Ghazali dalam bidang ushul fiqh. Namun, belakangan ia menyadari
ada yang tidak beres dari al-Ghazali dan para teolog yang membabi-buta
mengecam para filsuf Yunani dan filsuf Muslim lainnya.

      Sebuah peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan,
ia diperkenalkan Ibn Tufayl, filsuf Andalusia, kepada Khalifah Abu Yusuf
Ya'qub, penguasa Marrakesh yang dikenal menggandrungi filsafat. Sang
Khalifah bertanya kepada Ibn Rushd tentang pandangan para filsuf Yunani
mengenai penciptaan alam. Ibn Rushd begitu malu dan gundah karena ia tak
mampu menjawab pertanyaan itu. Karena peristiwa inilah kemudian ia bertekad
mempelajari filsafat Yunani secara lebih serius (Renan, Averroès et
L'averroïsme, 1986: 16).

      Ibn Rushd menulis banyak buku. Ia meninggalkan tak kurang dari 50
judul buku dari berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik,
fikih, dan masalah-masalah agama. Namun, sejauh menyangkut peran Ibn Rushd
sebagai model pencerahan, tiga bukunya-Fashl al-Maqal, al-Kashf 'an Manahij
al-Adillah dan Tahafut al-Tahafut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179,
1180)-merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan
kontroversial Ibn Rushd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan
abad ke-13.

      Peran Averoisme

      Dampak langsung dari gagasan pencerahan Ibn Rushd bisa ditelusuri pada
mazhab pemikiran yang dikenal dengan sebutan Averoisme. Istilah itu mulai
digunakan di Eropa sekitar tahun 1270, atau 72 tahun setelah Ibn Rushd
meninggal dunia. Kata yang digunakan adalah averroistae yang sesungguhnya
lebih merupakan bentuk sinisme untuk merujuk para pengikut dan pengagum Ibn
Rushd. Pada tahun-tahun ini, Universitas Paris adalah pusat ilmu pengetahuan
yang memiliki gravitasi luar biasa bagi sarjana Eropa. Roger Bacon, filsuf
Inggris, berada di universitas ini sekitar tahun 1240-1248; Albert Agung
mengajar antara tahun 1242-1248; Bonaventura dari tahun 1248-1255; dan
Thomas Aquinas antara 1252 dan 1259. Sebagian besar para pengajar di
universitas ini adalah pengikut paham atau simpatisan Averoisme (Heer, The
Medieval World, 1962: 213).

      Pada Desember 1270, Uskup Stephen Tempier mengeluarkan pengumuman
tentang ajaran-ajaran heretik. Siapa saja yang mengikuti ajaran ini harus
dikirim ke pengadilan inkuisisi dan dihukum keras. Beberapa ajaran yang
dituduh heretik adalah doktrin tentang jiwa dan intelek yang diajarkan Ibn
Rushd serta doktrin Aristoteles tentang Tuhan.

      Dalam deklarasi itu, Tempier tidak merinci ajaran-ajaran yang dianggap
terlarang. Namun, pada Maret 1277, ia mengeluarkan lagi pengumuman lanjutan
dengan memberikan 219 daftar ajaran yang dianggap heretik dan pengikutnya
harus dihukum seberat-beratnya. Surat pengumuman kali ini juga mengarah
kepada beberapa nama, seperti Siger de Brabant (wafat: 1282), pengikut
fanatik Ibn Rushd dan pendiri semacam "Jaringan Averoisme Paris" dan
Boëthius de Dacia (wafat: 1290), mahasiswa filsafat yang aktif dalam jaringa
n itu.

      Siger, Boëthius, dan kebanyakan orang yang setuju dengan ke-219 ajaran
yang didaftar Tempier adalah pengikut Averoisme. Sedianya daftar itu untuk
menjaring para pemikir liberal yang dianggap "telah meresahkan masyarakat
Paris". Namun, Tempier agaknya terlalu banyak mendaftar "barang-barang
haram" sehingga beberapa petinggi gereja yang diam-diam mengagumi Ibn Rushd
juga terkena imbasnya, termasuk Thomas Aquinas, pemimpin Ordo Dominikan dan
filsuf terbesar Abad Pertengahan.

      Averoisme memang tidak melulu terkait dengan "intelektual liberal".
Dalam sejarah filsafat Barat, Averoisme juga dikaitkan dengan pemikiran
filsafat keagamaan yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Averoisme
Yahudi" dan "Averoisme Kristen". Averoisme Yahudi berkembang pesat di
Andalusia. Para pengikut Averoisme Yahudi umumnya memandang Ibn Rushd
sejajar dengan filsuf besar mereka: Musa ben Maymun atau Maimonides (wafat:
1204) dan Abraham ben Ezra (wafat: 1167) yang kebetulan keduanya hidup di
Andalusia sezaman dengan Ibn Rushd. Tokoh-tokoh penting Averoisme Yahudi
adalah Isaac Albalag (akhir abad ke-13) yang menerjemahkkan Maqasid
al-Falasifah, karya Imam al-Ghazali, ke dalam bahasa Ibrani; Joseph ibn
Caspi (lahir: 1279), Moses Narboni (wafat: 1362), dan Elijah Delmedi (wafat:
1493), pengikut Averoisme Yahudi terakhir.

      Sementara itu, Averoisme Kristen sebetulnya merupakan istilah yang
agak paradoks karena dunia gereja, khususnya pada abad ke-13 dan ke-14,
didominasi oleh kecenderungan memusuhi ajaran-ajaran Ibn Rushd dan
Aristoteles. Namun, beberapa tokoh Kristen pada masa-masa akhir Abad
Pertengahan, seperti Thomas Aquinas, menggandrungi ajaran Aristoteles. Dan,
tak ada pengantar paling baik ke filsafat Aristotles kecuali karya-karya Ibn
Rushd.

      Baik Averoisme Yahudi maupun Averoisme Kristen menganggap Ibn Rushd
telah berjasa menyelesaikan persoalan pelik yang selama berabad-abad menjadi
momok bagi kaum agamawan, yakni bagaimana mendamaikan wahyu dengan akal,
filsafat dengan agama, para nabi dengan Aristoteles. Dalam karyanya, Fasl
al-Maqal, yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa penting Eropa, Ibn
Rushd menjawab semua persoalan ini dengan lugas.

      Pertama-tama, kunci dari persoalan itu terletak pada persoalan genting
lainnya yang lebih mendasar: apakah benar bahwa mempelajari filsafat itu
haram? Untuk menjawab ini, Ibn Rushd memberikan hipotesis. Menurutnya,
secara legal-fikih (syari'i) belajar filsafat itu punya beberapa
kemungkinan: bisa dibolehkan (mubah), dilarang (mahdzur), dianjurkan (nadb),
atau diharuskan (wajib)? Menurut Ibn Rushd, belajar filsafat hukumnya: wajib
atau sunah (Fasl al-Maqal, 1968: 27).

      Bagi yang mengikuti perkembangan filsafat Islam, jawaban Ibn Rushd itu
jelas-jelas merupakan tonjokan keras bagi para fuqaha dan ahli hadis yang
memberikan fatwa haram atau minimal makruh mempelajari filsafat. Bagi Ibn
Rushd, belajar filsafat adalah wajib, atau paling kurang sunah. Argumen
filsuf Cordova itu adalah ayat-ayat Al Quran. Pertama, surah al-Hasyr (59)
ayat 2 yang menegaskan wajibnya manusia menggunakan qiyas 'aqli (silogisme)
dalam melihat berbagai persoalan; kedua dan seterusnya adalah surah al-A'raf
(7) ayat 184, surah al-An'am (6) ayat 75, dan surah Ali 'Imran (3) ayat 191
yang semuanya menganjurkan manusia agar mempelajari alam raya (mawjudat).

      Berdasarkan ayat-ayat Al Quran itu dan berdasarkan karakter filsafat
sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang lebih
sempurna" (atamm al-ma'rifah), Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa
"filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama" (Fasl al-Maqal, 1968:
58). Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat
dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal
yang sama.

      Runtuhnya Averoisme

      Jika pandangan keagamaan Ibn Rushd banyak memberi inspirasi bagi para
pemeluk Yahudi dan Kristen, pandangan filsafatnya banyak mendorong kalangan
akademisi di Eropa melawan kemapanan pemahaman-pemahaman filsafat yang
datang dari gereja. Pada Abad Pertengahan sumber kebenaran hanya datang dari
satu penjuru: kuasa gereja. Dunia akademi hanyalah sebuah perluasan dari
imperium pengetahuan yang dibangun para teolog dan tokoh agama. Sebagian
penghuni akademi itu bahkan adalah para tokoh gereja. Dengan aroma gereja
yang begitu kuat, sangat sukar bagi para akademisi berpikir independen
karena, sekali saja ketahuan, "mata-mata Tuhan" akan mengirimkan mereka
sebuah undangan ke kamar inkuisisi.

      Kuasa Gereja adalah "orang lain" dalam definisi Kant tentang
pencerahan. Ia adalah otoritas bagi "orang-orang yang tak matang" atau bagi
"orang-orang yang tak punya keberanian." Namun, bagi orang-orang yang
tercerahkan, seperti Siger de Brabant dan Boëthius de Dacia, otoritas itu
bukanlah segala-galanya. Ada otoritas lain di luar Gereja, yakni akal
manusia yang berpikir secara independen. Peran Ibn Rushd adalah menyadarkan
para pemilik "akal-akal independen" bahwa kedudukan akal mereka sama tinggi
dan sama mulianya dengan wahyu (gereja).

      Jika kebenaran bisa diperoleh lewat agen wahyu (gereja), ia juga bisa
diperoleh lewat agen-agen pemikiran yang independen (akademi). Inilah
gagasan Ibn Rushd yang memberi inspirasi orang Eropa agar dunia akademi
harus independen dari kuasa gereja. Gagasan yang sama juga telah
menginspirasi orang-orang modern di Eropa akan pentingnya pemisahan wilayah
agama dan wilayah ilmu atau dalam dunia politik antara agama dan negara.
Dengan kata lain, gagasan pemisahan agama-negara atau yang dikenal dengan
sekularisasi sebetulnya datang dari Ibn Rushd.

      Gagasan Ibn Rushd tentang dua jalur kebenaran ini menjadi tren di
Paris dan kota-kota besar Eropa abad ke-13. Para pengikut Averoisme Latin
adalah orang yang paling aktif menyebarkan gagasan ini. Mereka menyebutnya
dengan "kebenaran ganda". Istilah ini, seperti dijelaskan oleh Sten Ebbesen
(Averroism, 1998), menyumbangkan salah paham yang berlarut-larut terhadap
Ibn Rushd karena sebenarnya Ibn Rushd bukan mempromosikan tentang kebenaran
ganda, tetapi tentang jalur-jalur kebenaran yang berbilang; adapun kebenaran
itu sendiri tetaplah satu.

      Gagasan "kebenaran ganda" memang persoalan rumit. Ia bisa membuat
orang curiga dan menganggap pemeluknya sewenang-wenang dan tak bertanggung
jawab. Setidaknya inilah kesan para penguasa agama pada Abad Pertengahan.
Mereka mengecam sikap "mendua" seperti itu karena bagi mereka kebenaran itu
hanya satu: kebenaran yang datang dari gereja. Implikasi sikap ini cukup
besar bagi perkembangan Averoisme di Eropa. Siapa saja yang mengadopsi
gagasan "kebenaran ganda" dicap sebagai pengikut Averoisme. Nama Averoisme
kemudian menjadi cemar. Dan, orang mulai berhati-hati jika namanya dikaitkan
dengan Averoisme. Inilah gejala awal surutnya pengaruh Ibn Rushd di Eropa.

      Namun, miskonsepsi gagasan kebenaran ganda itu bukan satu-satunya
sebab menurunnya pamor Ibn Rushd di Eropa. Dalam artikelnya yang sangat
menarik, Why Europeans Stopped Reading Averroes?, Harold Stone menjelaskan
beberapa faktor lain. Pertama, ditemukannya akses langsung ke buku-buku
Yunani. Selama ini, orang Eropa yang ingin mempelajari Aristoteles atau
filsuf Yunani lainnya harus melewati karya para penulis Muslim yang sebagian
besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Namun, seiring dengan
semakin terbukanya akses pengetahuan akibat tak ada lagi kontrol ketat dari
gereja, para sarjana dan ilmuwan Eropa mulai bersentuhan langsung dengan
karya-karya Yunani. Fakta bahwa Ibn Rushd tidak menggunakan sumber asli
dalam mengkaji karya para filsuf Yunani menghancurkan kegunaan buku-bukunya
(Stone 1996: 78). Para sarjana Eropa yang semakin kritis tentu akan memilih
akses langsung ke bahasa asli ketimbang bertumpu pada sumber-sumber
sekunder.

      Faktor kedua yang turut memberi sumbangan bagi menurunnya popularitas
Ibn Rushd adalah citra Ibn Rushd yang "ateis". Ini terkait dengan kenyataan
bahwa kaum Humanis liberal yang antigereja menganggap Ibn Rushd sebagai
tokoh besar. Antonio Rocco (wafat: 1653), seorang humanis liberal, adalah
pengagum berat Ibn Rushd. Dia menulis buku tentang konsep jiwa menurut Ibn
Rushd. Rocco dituduh "ateis" karena, salah satunya, menulis Alcibiades'
School Days, sebuah novel pornografis. Spinoza, filsuf yang kerap dianggap
ateis, adalah tokoh lain pengagum Ibn Rushd. Dia mengaku telah membaca semua
karya Ibn Rushd, pengakuan yang oleh para petinggi gereja dikaitkan langsung
dengan sikap ateisnya (Stone 1996: 80).

      Faktor lain yang mempercepat turunnya pamor Ibn Rushd di Eropa adalah
gelombang revolusi sains yang terus-menerus menggugat paradigma
Aristotelian, terutama menyangkut pandangan-pandangan kosmologinya. Sebagai
komentator setianya, Ibn Rushd terkena imbas. Di dunia sains, nasib Ibn
Rushd sangat bergantung pada Aristoteles. Faktor terakhir yang membuat nama
Ibn Rushd tenggelam di Eropa adalah munculnya banyak tokoh filsuf baru yang
memiliki gagasan-gagasan yang lebih fresh dan sesuai dengan perkembangan
zaman.

      Membawa pulang Averoisme

      Ibn Rushd adalah orang Islam yang lahir di Barat (magrib). Ia hidup di
Barat. Menuliskan pemikiran-pemikirannya di Barat dan meninggal dunia di
Barat. Setelah dia wafat, pemikirannya dihidupkan oleh orang-orang Barat. Ia
tidak dipedulikan oleh orang-orang Islam di Timur (masyrik). Sejak Ibn Rushd
meninggal, tradisi rasionalisme dalam filsafat Islam mati. Ia kerap disebut
sebagai filsuf besar terakhir yang dimiliki umat Islam.

      Benar, ada beberapa tokoh filsuf yang muncul setelah Ibn Rushd,
seperti Mir Damad (wafat: 1631), Mulla Sadra (wafat: 1640), dan Mulla Hadi
Sabzawari (wafat: 1910) yang kebetulan semuanya orang Iran. Namun, kerangka
besar filsafat mereka adalah 'irfani yang lebih dekat dengan tradisi gnostik
ketimbang agnostik (gnostik harus dibaca sebagai tradisi nonrasional-bukan
irasional-yang lebih mengandalkan refleksi intuitif ketimbang nalar burhani
sebagaimana yang digunakan Ibn Rushd, sementara agnostik harus dipahami
sebagai tradisi rasional dan bukan ateis sebagaimana selama ini
disalahpahami. Secara harfiah agnostik berarti "ragu-ragu" atau "tidak
yakin". Filsafat dibangun berdasarkan keragu-raguan dan ketidakyakinan.

      Di luar Iran dan secara umum di dunia Suni, tak ada lagi filsuf
tercerahkan yang lahir setelah Ibn Rushd. Sebagian orang mengandaikan Ibn
Taymiyyah (wafat: 1328) sebagai calon, sedangkan yang lainnya menunjuk
Fakhruddin al-Razi (wafat: 1209), Nasiruddin al-Tusi (wafat: 1274), bahkan
Ibn Arabi (wafat: 1240). Saya cenderung berpendapat, sampai awal abad ke-20,
tak pernah ada kaum Muslim yang serius mencontoh dan meneruskan ajaran dan
semangat Averoisme.

      Ibn Rushd dan semangat Averoisme baru mendapat perhatian umat Islam
awal abad ke-20. Berterimakasihlah kepada gerakan nahdah yang bibit-bibitnya
disemai oleh tokoh-tokoh semacam Rif'at al-Tahtawi (wafat: 1873), Muhammad
Abduh (wafat: 1905), dan Qassim Amin (wafat: 1908) di Mesir; kepada Sayyid
Ahmad Khan (wafat: 1898) dan Chiragh `Ali (wafat: 1895) di India; juga
kepada penulis Kristen Arab yang begitu fasih berbicara tentang kemajuan dan
pencerahan, seperti Shibli Shumayyil (wafat: 1917), Farah Antun (wafat:
1922), Georgie Zaidan (wafat: 1914), Nicola Haddad (wafat: 1954), dan Salama
Musa (wafat: 1958). Setelah lebih dari 700 tahun, Ibn Rushd diabaikan,
gerakan "Averoisme Arab" abad ke-20 membuktikan bahwa ada akhir untuk sebuah
penantian yang panjang. Ibn Rushd bisa diterima oleh bangsanya sendiri.
Averoisme bisa dibawa pulang.

      Averoisme abad ke-20 bisa disebut sebagai "Averoisme Arab" atau
"Averoisme Islam". Sepintas istilah ini tampak redundant karena Ibn Rushd
adalah orang Arab dan seorang Muslim. Namun, penyebutan ini penting untuk
membedakannya dari ketiga jenis Averoisme yang pernah ada: Latin, Yahudi,
dan Kristen. Selain itu, sepanjang sejarah tak pernah kita menemukan seorang
Muslim atau Arab menjadi pengikut setia Ibn Rushd. Jadi, kata Islam atau
Arab itu penting untuk menunjukkan bahwa Ibn Rushd akhirnya memiliki
pengikut dari bangsanya sendiri.

      Sebenarnya, yang terpenting bukanlah penggunaan istilah itu secara
formal (baik "Averoisme Arab" maupun "Averoisme Islam"), tetapi bagaimana
semangat rasionalisme Ibn Rushd diadopsi dan dikembangkan. Bagi saya, siapa
saja yang mendukung gagasan "Islam rasional" dan meyakini nilai-nilai
liberal dalam Islam layak dianggap sebagai seorang Averois. Dari sini saya
ingin mengatakan bahwa para pembaru Muslim liberal, sejak nahdah hingga
sekarang, yang mendukung kebebasan berpikir dan menjunjung tinggi
independensi akal manusia adalah para pengikut Averoisme sejati.

      Tentu saja, tanpa harus dikatakan, Averoisme modern tidaklah persis
sama dengan Averoisme Latin atau Averoisme Yahudi. Zaman sudah berubah dan
isu-isu filsafat-keagamaan yang menjadi concern manusia tak lagi sama. Jika
dulu para pengikut Averoisme berurusan dengan "kebenaran ganda" karena
memiliki persoalan dengan kuasa gereja, para pengikut Averoisme modern
berurusan dengan isu semacam "kebebasan berpikir", "pluralisme", dan
"demokrasi" karena mereka memiliki persolan serius dengan lembaga-lembaga
keagamaan (MUI, Dewan Dakwah, al-Azhar, Dar al-Ifta) yang memiliki semangat
sama dengan para penguasa gereja abad ke-13 dan ke-14.

      Averoisme modern adalah replikasi dari semangat Averoisme Latin yang
menjadi cikal-bakal gerakan Renaisans dan Pencerahan di Eropa. Para Averois
modern, baik Islam maupun Arab, adalah orang-orang yang menginginkan
pencerahan dalam masyarakat mereka, sebuah "pencerahan yang mencerahkan"
persis seperti Immanuel Kant, tokoh terbesar Era Pencerahan, mendefinisikan
kata itu.

      Luthfi Assyaukanie Pengajar pada Departemen Agama dan Filsafat,
Universitas Paramadina, Jakarta Tulisan Ini Bagian Makalah yang Disampaikan
pada Perayaan Hari Jadi Ke-4 Jaringan Islam Liberal (JIL) di Jakarta, 3
Maret 2005



[Non-text portions of this message have been removed]




***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx

Yahoo! Groups Links




DISCLAIMER: The information contained in this communication is intended solely 
for the use of the individual or entity to whom it is addressed and others 
authorized to receive it. It may contain confidential, legally privileged 
information or otherwise protected by law from disclosure and is intended 
solely for the use of the addressee. If you are not the intended recipient you 
are hereby notified that any disclosure, copying, distribution or taking any 
action in reliance on the contents of this information is strictly prohibited 
and may be unlawful. Unless otherwise specifically stated by the sender, any 
documents or views presented are solely those of the sender and do not 
constitute official documents or views of  PT Apexindo Pratama Duta Tbk. If you 
received this email in error, please immediately notify the sender or our email 
administrator at postmaster@xxxxxxxxxxxx and delete it from your system. Thank 
you.







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts: