[list_indonesia] [ppiindia] Hidup di Negara Rawan Bencana

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 1 Apr 2005 00:23:53 +0200

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/01/opini/1656589.htm
Hidup di Negara Rawan Bencana 

Oleh Lily Yulianti Farid

TELAH menjadi pengetahuan umum bahwa dua pertiga dari wilayah Nusantara rawan 
gempa. Dan gempa paling akhir yang melanda Pulau Nias dan Pulau Simeulue pada 
Senin (28/3) malam makin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat 
rawan bencana. Hanya tiga bulan setelah gempa dan tsunami 26 Desember, kita 
kembali menyaksikan murka alam yang menelan korban ratusan/ribuan jiwa dan 
kerugian material triliunan rupiah.

Memang harus diakui bahwa tenaga, pikiran, dan dana telah terkuras untuk 
membangun Aceh dan Sumatera Utara pascatsunami 26 Desember sehingga pertanyaan 
tentang bagaimana persiapan menghadapi kemungkinan munculnya gempa berskala 
besar dalam waktu dekat sepertinya tidak dianggap tepat untuk dikemukakan. 
Jadi, wajarlah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab menjawab 
pertanyaan semacam ini sebulan setelah gempa dan tsunami Aceh dengan kalimat, 
"Jangan dululah berandai-andai akan ada bencana lagi, sekarang yang penting 
bagaimana kita berkonsentrasi membangun kembali Aceh." (NHK World Service, 
25/1).

Padahal, dalam rentang waktu antara gempa dan tsunami 26 Desember dengan gempa 
Nias, tercatat terjadi gempa berkekuatan dahsyat di sejumlah daerah, antara 
lain yang terjadi di Palu dan Bau-Bau di awal tahun ini. Jadi, adalah alamiah 
apabila di negara rawan bencana seperti Indonesia pertanyaan tentang bencana 
alam yang bisa terjadi kapan saja, patut dikemukakan setiap saat, termasuk 
mempertanyakan bagaimana cara terbaik bertahan hidup di daerah rawan bencana.

Dari gempa Nias kita melihat bagaimana masyarakat secara sadar telah 
mengaplikasikan pengetahuan mereka tentang cara tercepat menyelamatkan diri 
dengan mencari tempat tinggi agar terhindar dari tsunami. Radio dan televisi 
pun dengan segera menyiarkan gempa ini serta berinisiatif mengumumkan bahaya 
tsunami. Media internasional seperti BBC, CNN, dan NBC, yang segera menyebarkan 
informasi gempa 28 Maret ini, memberikan pujian khusus bagi kecepatan media 
Asia, kewaspadaan penduduk, dan tindakan penyelamatan darurat yang berlangsung 
segera, serta kesigapan petugas mengevakuasi penduduk, dalam menghadapi gempa 
kali ini.

Apa yang kita saksikan dalam gempa Nias itu menjadi indikasi telah tumbuhnya 
kesadaran dan pola pikir masyarakat yang hidup di negara bencana meskipun baru 
pada tahap awal. Artinya, masyarakat bersama-sama dengan pemerintah, media, 
elemen lainnya telah bergerak hampir secara bersamaan memberi respons awal pada 
saat terjadi bencana. Langkah semacam ini bisa dikatakan sebagai tahap awal 
disaster awareness karena setelah gempa dan tsunami 26 Desember, hampir seluruh 
masyarakat boleh dikatakan telah memiliki pengetahuan umum tentang hal penting 
yang harus dilakukan bila terjadi gempa: secepat mungkin keluar dari dalam 
rumah/gedung, berlari ke tempat yang tinggi, dan memantau ketinggian air laut 
untuk mengetahui datangnya tsunami.

Namun, perlu dicatat bahwa tindakan seperti ini baru dikategorikan sebagai 
tindakan reaktif, yang pada dasarnya masih sangat jauh dari memadai untuk 
konteks negara rawan bencana, seperti Indonesia.

DI Jepang, salah satu negara paling rawan bencana di dunia, disaster awareness 
mencakup pemberian pengetahuan kepada masyarakat untuk tidak sekadar melakukan 
tindakan reaktif, tetapi yang lebih penting adalah melakukan tindakan 
antisipatif yang terkoordinasi pada saat terjadinya bencana. Pengetahuan 
praktis semacam ini termuat secara terperinci di dalam buku penduduk yang 
dibagikan gratis untuk setiap rumah tangga.

Informasi yang tersedia mencakup lokasi pengungsian darurat terdekat di 
lingkungan tempat tinggal kita, lokasi radio darurat terdekat untuk 
mendengarkan perkembangan bencana, serta saran untuk menyiapkan ransel bencana 
berisi air minum dan obat-obatan, yang harus senantiasa diperbarui isinya.

Tentu saja langkah antisipatif seperti yang dilakukan di Jepang membutuhkan 
intervensi kebijakan langsung dari pemerintah dan tidak bisa diharapkan hanya 
tumbuh secara alamiah di tengah masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana. 
Jepang sendiri baru mampu membangun sistem manajemen bencana yang memadai 
setelah terjadinya gempa Hanshin Awaji di kota Kobe, Provinsi Hyogo pada awal 
1995, yang berkekuatan 7,2 pada skala Richter dan menelan korban jiwa kurang 
lebih 6.000 orang. Gempa Kobe inilah yang menjadi titik tolak manajemen bencana 
di mana Pemerintah Jepang membentuk Kementerian Negara Urusan Bencana yang 
menjadi pelaksana teknis Dewan Pusat Penanganan Bencana yang didukung oleh 37 
badan publik, mulai dari badan meteorologi, badan penyiaran, perusahaan gas, 
perusahaan telepon, dan lain-lain.

Untuk Indonesia dan negara- negara di sekitar Samudra Hindia, tsunami 26 
Desember 2004 tentunya menjadi titik tolak untuk membangun sistem manajemen 
bencana yang memadai meskipun sebenarnya di Indonesia usulan-usulan manajemen 
bencana yang bersifat antisipatif adalah wacana yang sudah lama didengungkan.

Misalnya, lima tahun yang lalu, setelah terjadinya gempa di Bengkulu pada 
pertengahan 2000, yang menewaskan 91 jiwa dan merusak 45.000 lebih rumah 
penduduk, Indonesian Urban Disaster Mitigation Project (IUDMP) menggelar jumpa 
pers yang menyuarakan perlunya pemerintah segara menyusun manajemen bencana 
yang bersifat antisipatif. Dalam berbagai kesempatan kita pun mendengar para 
pakar menyerukan agar bukan hanya sosialisasi daerah rawan bencana yang perlu 
dilakukan pemerintah, tetapi juga pendidikan praktis disaster awareness perlu 
segera diadakan di sekolah maupun di kelompok-kelompok masyarakat, serta 
pemberdayaan pemerintah daerah dalam menangani bencana.

Dari sekian banyak tindakan antisipatif yang dilakukan di daerah-daerah rawan 
bencana di Jepang, setidaknya ada dua langkah yang bisa langsung dicontoh 
Indonesia, yang dititikberatkan pada koordinasi antarpemerintah daerah. Langkah 
antisipatif pertama adalah pembentukan sistem kerja sama kota kembar (sister 
city) untuk mengatasi bencana, di mana dua atau lebih kota atau kabupaten 
melakukan perjanjian kerja sama penyediaan langkah tanggap darurat.

Contohnya bisa dilihat pada saat terjadinya gempa di Provinsi Niigata pada 
bulan Oktober tahun lalu. Kota Ojiya, salah satu kota yang paling rusak parah 
oleh gempa berskala 6,8 pada skala Richter itu, langsung mendapat suplai bahan 
bantuan berupa air bersih, makanan kering, tisu toilet, tenda darurat, dan 
selimut dari kota kembarnya, kota Komae, yang terletak di luar Tokyo. Seluruh 
bantuan ini tiba dalam waktu 24 jam, dan pemerintah kota Ojiya bisa 
berkonsentrasi mengevakuasi penduduk sambil menunggu datangnya bantuan dari 
kota kembarnya.

Seluruh bahan bantuan darurat ini telah dipersiapkan dalam jumlah besar yang 
disimpan di dalam gudang setiap kota kembar sehingga bila terjadi bencana, 
dapat langsung disalurkan. Dengan menguatkan sistem kerja sama antardaerah 
seperti ini, langkah tanggap darurat dalam skala besar tidak lagi harus 
semata-mata bergantung pada instruksi pemerintah pusat atau koordinasi 
antarinstansi. Di Jepang tercatat lebih dari 1.000 kesepakatan kerja sama kota 
kembar antar pemerintah daerah semacam ini, yang terbukti sangat efektif 
melakukan tanggap darurat.

Langkah antisipatif kedua yang dapat ditiru adalah penyebaran informasi tempat 
pengungsian yang wajib dimiliki oleh setiap rumah tangga. Untuk konteks negara 
rawan bencana, informasi tempat pengungsian dan pertolongan pertama saat 
terjadi bencana alam sangat penting sebab penduduk yang menyelamatkan diri di 
tengah terjadinya bencana seharusnya tahu ke mana mereka harus menyelamatkan 
diri. Pola pikir dan reaksi masyarakat yang memiliki disaster awareness yang 
tinggi adalah tidak sekadar menyelamatkan diri, tetapi tahu ke mana harus 
menyelamatkan diri serta kebutuhan apa yang diperlukan untuk menyelamatkan diri.

Pentingnya pemerintah daerah mendesain tempat yang ditunjuk sebagai pusat-pusat 
pengungsian juga membawa implikasi lebih lanjut, yaitu bahwa penunjukan itu 
mutlak diiringi dengan penyediaan kebutuhan darurat. Di Provinsi Hyogo, 
khususnya di kota Kobe, yang luluh lantak dalam gempa dahsyat 10 tahun lalu, 
taman dan gedung sekolah yang ditetapkan sebagai tempat perlindungan darurat 
dilengkapi dengan tangki air minum dan cadangan toilet portabel yang langsung 
dapat bisa dimanfaatkan saat terjadinya bencana. Di setiap wilayah terdapat 
fasilitas publik yang ditunjuk dan disiapkan sebagai tempat penampungan korban.

TENTU akan ada kalangan yang berpendapat bahwa menjadikan manajemen bencana di 
Jepang sebagai contoh untuk kondisi Indonesia tidaklah terlalu tepat mengingat 
Indonesia saat ini masih dililit berbagai masalah besar dan krisis ekonomi. 
Namun, pemerintah yang berkuasa sekarang ini hendaknya memikirkan pentingnya 
segera "mendeklarasikan" diri sebagai negara rawan bencana dalam arti tidak 
lagi menunda- nunda menyusun strategi disaster awareness yang antisipatif.

Di Jepang, ketika desain utama pembentukan Dewan Pusat Penanganan Bencana masih 
digodok oleh pemerintah pusat, pemerintah-pemerintah daerah yang rawan bencana 
telah saling bergandeng tangan menginventaris upaya lokal bersama yang dapat 
mereka lakukan untuk menghadapi bencana alam. Dan hasil kerja sama yang tampak 
saat ini menunjukkan betapa membumi dan mengakarnya program penanggulangan 
bencana di kota dan desa, yang misalnya terwujud dalam model kota kembar dan 
buku penduduk yang berisi informasi tentang bagaimana menyelamatkan diri bila 
bencana alam terjadi.

Idealnya, setelah belajar dari gempa Nias, kita tentunya tidak ingin lagi 
mendengar lambannya penyelamatan korban bencana hanya karena semua koordinasi 
masih sangat bergantung pada kesigapan dan instruksi dari Jakarta, serta 
minimnya kemampuan daerah, setiap kali terjadi bencana.


Lily Yulianti Farid Seorang Ibu, Tinggal di Tokyo


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Hidup di Negara Rawan Bencana