[list_indonesia] [ppiindia] Harga BBM, Liberalisasi, dan Kaum Miskin

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 5 Mar 2005 13:39:13 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/04/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Harga BBM, Liberalisasi, dan Kaum Miskin 
 

Benny Susetyo Pr 

EPERTI biasanya, alasan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak 
(BBM) adalah supaya biaya subsidi bisa diberikan tepat sasaran, yakni kepada 
mereka yang miskin. Alasan yang dikemukakan ini memang begitu rasional dan 
logis. Logika yang dipakai oleh pemerintah selama ini bahwa yang menikmati 
harga BBM tersubsidi hanya orang kaya. 

Pertanyaan yang mendasar adalah apakah pilihan untuk menaikkan harga BBM 
sungguh-sungguh mempunyai berpengaruh untuk mengurangi kemiskinan? Apakah 
dengan kenaikan harga BBM, rakyat miskin bisa menikmati biaya pendidikan dan 
kesehatan murah, bahkan gratis? 

Pertanyaan inilah yang pertama-tama seharusnya dipersiapkan untuk dijawab 
terlebih dahulu. Pemerintah harus memiliki kredibilitas yang kuat untuk 
meyakinkan publik bahwa kenaikan harga BBM memang dibutuhkan untuk meningkatkan 
kesejahteraan kaum miskin. 

Ini perlu ditegaskan dengan tepat. Bukan semata-mata dengan pembuktian 
berdasarkan angka-angka, yang bagi publik, sulit untuk dinalar. Nalar publik 
sebenarnya sangat sederhana, yakni berharap bahwa kenaikan harga BBM harus 
diimbangi dengan pelayanan publik yang lebih efisien dan murah. 

Realitasnya, kenaikan harga BBM sering tidak diimbangi dengan kemudahan bagi 
orang miskin dan perbaikan fasilitas umum. Ada kecenderungan bahwa dana 
kompensasi yang ada kurang tepat sasaran karena disalahgunakan untuk 
kepentingan di luar hal ini. Inilah yang membuat publik selalu ragu bahwa 
kenaikan harga BBM akan mengurangi kaum miskin. 

Dua hal yang menurut publik, dalam kenyataannya, selalu bertolak belakang dan 
tak ada buktinya di lapangan secara konkret. 

Kenaikan harga BBM sering tidak diimbangi dengan penghapusan praktik pungli 
yang melekat dalam diri birokrasi dan pelayanan publik. 

Ketidakmampuan pemerintah menghapuskan biaya tinggi (high cost), inilah yang 
membuat kebijakan kenaikan harga BBM tidak mengubah nasib kaum miskin. 

Kaum miskin hidupnya semakin tersisih dalam daya tawarnya terhadap kekuatan 
global yang sekarang ini telah merasuki kekuatan politik dan pasar. Kekuatan 
global ini sekarang telah menguasai hajat hidup kehidupan ekonomi kita. 

Ini terjadi karena ketidakmampuan elite politik dalam rangka membangun 
kemandirian ekonomi bangsa. Elite politik yang ada saat ini tidak memiliki 
kemampuan untuk membaca sebuah perubahan tata dunia global. 

Dan lebih jelasnya, mereka tidak memiliki visi yang akurat ke arah mana kaum 
miskin di negaranya akan diarahkan untuk berkompetisi dalam pasar global. 

Argumen 

Di negara kita, setiap pemerintah membuat kebijakan menaikkan harga BBM, selalu 
muncul pertengkaran dua argumen, argumen penguasa dan argumen rakyat. Kedua 
argumen itu bertolak belakang dan selalu susah untuk sama-sama memahami. 

Jika kita berada dalam tempat yang netral, kedua argumen itu akan kita lihat 
sama-sama rasional, dalam artian bisa dimengerti secara akal sehat. Argumen 
penguasa menaikkan harga BBM adalah untuk mengurangi subsidi, menempatkan 
subsidi pada sasaran yang tepat, mengurangi angka kemiskinan. 

Dengan perhitungan yang njelimet dan mumet, argumen ini coba disebarkan melalui 
bahasa-bahasa sederhana dalam iklan televisi pesanan pemerintah. Pemerintah 
menggunakan "tokoh-tokoh" artis yang dikenal publik sebagai representasi wong 
cilik. Pemerintah berusaha mencari cela-cela ke mana isu publik bisa dimasuki 
agar kebijakan kenaikan harga BBM ini bisa dipahami publik. Mereka datang 
melalui isu subsidi pendidikan, akses kesehatan untuk orang miskin dst. 

Argumen tandingan yang dimunculkan rakyat sebaliknya. Kenaikan harga BBM pasti 
akan menyengsarakan karena selalu diikuti dengan kenaikan harga non-BBM, yang 
pasti tak bisa dikendalikan secara tegas oleh penguasa. Kenaikan harga BBM 
pasti bukan untuk mengurangi kaum miskin, malah menambahnya. 

Lebih fundamental, argumen ini diperkuku dengan landasan teoritik bahwa upaya 
menaikkan harga BBM tak lebih dari usaha mengintegrasikan perekonomian 
Indonesia yang tidak kuat ini ke dalam arus liberalisasi ekonomi global. Bahkan 
tak sedikit para demonstran yang menyatakan bahwa kenaikan harga BBM adalah 
intervensi kekuatan ekonomi asing agar mereka leluasa mengoperasikan kaki 
tangan modalnya di Indonesia. 

Lalu siapa pun tahu, the show must go on. Harga BBM selalu naik kendati 
ditentang. Demonstrasi untuk menentang sering hanya seumur jagung, dan harga 
BBM yang "mahal", tetap saja dikonsumsi oleh rakyat berapapun harganya. Kendati 
hal itu pasti tidak akan sebanding dengan kenaikan pendapatan yang mereka 
hasilkan. 

Kenyataan yang ironis, kaum miskin tetaplah miskin, pendidikan untuk kaum 
miskin adalah isapan jempol. Akses kesehatan hanya dinikmati oleh orang kaya. 
Dan orang miskin selalu dilarang sekolah dan dilarang sakit, begitu kata 
seorang teman. 

Melihat pertengkaran argumen di atas, yang selalu terjadi setiap tahun, tak 
pelak membuat upaya Indonesia untuk memperbaiki nasibnya selalu terhambat. 
Ketika argumen penguasa tidak bisa ditepati -karena dana subsidi BBM 
diselewengkan oleh "oknum"- mereka berdalih itu bukanlah aspek yang terkait 
dalam proses kebijakan kenaikan BBM. Itu adalah soal lain. 

Begitu pula dengan argumen rakyat, dampak kenaikan harga BBM tidak kunjung bisa 
dirasakan sebagaimana pesan-pesan pemerintah (mengurangi kemiskinan). Nyatanya 
kemiskinan semakin bertambah model dan modusnya, walaupun angkanya selalu 
dilaporkan berkurang. 

Secara kuantitas bisa jadi kaum miskin berkurang, tetapi secara kualitas orang 
yang dinyatakan tidak miskin dalam artian biro statistik selalu merupakan arti 
konotatif. Bagaimana orang dengan pendapatan kurang dari Rp 500.000 sebulan 
misalnya, (katakan sebagai rata-rata UMR di tiap daerah) dikatakan tidak 
miskin, dengan berbagai kebutuhan harga yang menaik setiap tahun. Standarisasi 
kemiskinan (sebagaimana bakat Orde Baru) selalu berbau politis, dan sering 
tidak jelas. 

Dalam menaikkan harga BBM, penguasa berdalih kebijakan itu diambil demi rakyat. 
Dan mereka bilang, "Saya siap untuk tidak popular dengan soal ini", "I don't 
care with my popularity." Dengan pandangan objektif, siapa pun penguasanya 
tampaknya memang sulit untuk tidak melakukan pekerjaan mengerikan ini. 

Paling tidak itu bisa dilihat dari tiga atau empat penguasa terakhir Indonesia. 
Siapa pun penguasanya, menaikkan harga BBM dan menempuh satu-satunya kebijakan 
ini sebagai jalan untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi, mulai dianggap 
lumrah-lumrah saja. 

Rakyat sendiri sering bersikap adil dalam konteks ini dengan bertanya, "Demi 
rakyat kecil yang mana yang engkau bela pemerintah"? "Setahun atau dua tahun 
yang lalu, engkau juga menyatakan bahwa menaikkan harga BBM akan mengurangi 
kemiskinan, mana buktinya?" 


Kapitalisme 

Terus terang, tata dunia yang ada sekarang ini lebih dikuasai oleh kapitalisme 
yang amat liberal. Negara mulai dipangkas fungsinya untuk melindungi kaum 
miskin. Harga kebutuhan pokok dinaikkan (sebagai efek maupun secara langsung) 
tanpa mempertimbangkan kondisi sesungguhnya rakyat. 

Kapitalisme inilah yang sekarang menguasai kehidupan politik dengan menggunakan 
argumen pro-pasar. Sebuah kapitalisme yang hidup dalam tatanan ekonomi bangsa 
yang berasaskan Pancasila, ekonomi kerakyatan. 

Demi logika pasar, semua kebijakan bisa ditempuh dengan mengesampingkan semua 
logika yang berasal dari masyarakat miskin. Padahal amanat UUD 1945 menegaskan, 
usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan dikelola oleh negara 
dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. 

Realitasnya, apa yang menjadi amanat konstitusi tidak lagi dijadikan acuan 
dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Pemerintah kurang memperhatikan daya 
beli masyarakat. Pemerintah kurang pula berempati bahwa krisis yang menimpa 
bangsa ini belum usai, dan itu berakibat pada banyaknya rakyat yang jatuh 
miskin. 

Lalu, apakah dengan naiknya harga BBM, pemerintah bisa memberikan jaminan akan 
berkurangnya kaum miskin? Inilah yang seharusnya dijadikan pijakan pemerintah 
pasca-kebijakannya menaikkan harga BBM ini. 

Kepada masyarakat luas, akan lebih baik diskusi kita arahkan untuk membuktikan, 
apakah kenaikan harga BBM akan sungguh-sungguh mampu mengurangi jumlah kaum 
miskin, di perkotaan maupun di pedesaan. Apakah pemerintah serius untuk 
membantu kondisi masyarakat yang saat ini mengalami ketidakberdayaan karena 
sektor usaha mereka sedikit demi sedikit mulai mati suri. 

Dalam konteks ini, ada prakondisi kebijakan yang belum siap. Seharusnya sebelum 
kebijakan ini dikeluarkan, pemerintah sudah menuntaskan prioritas utama, yakni 
membenahi birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintahan yang terlalu boros dan 
kacau administrasinya, dan amat berpeluang untuk korup, harus dibenahi terlebih 
dahulu untuk menjamin dana kompensasi akan tepat sasaran. 

Jangan sampai rakyat menilai bahwa banyak biaya tinggi memang sengaja 
diciptakan semata-mata untuk memperkaya diri birokrasi sendiri dan kroninya. 

Masalah utama dalam hal ini tentu bukan popular atau tidaknya sebuah kebijakan 
diambil, melainkan pilihan yang amat mendasar ini harus dilatarbelakangi oleh 
pertimbangan yang jelas orientasinya. Yaitu pemihakan kepada kaum miskin. Kalau 
pertimbangan hanya semata-mata demi logika pasar, maka di mana kepedulian 
pemerintah untuk membela posisi kaum miskin yang sampai saat ini masih saja 
sengsara? 

Ada lagi pertanyaan ikutan lainnya. Di mana peranan partai politik yang selama 
ini katanya membela kaum miskin? Beranikah mereka membuat pertimbangan yang 
berbeda dengan pemerintah? Di sinilah partai politik diuji nyalinya? Apakah 
partai politik benar mempunyai keberpihakan kepada rakyat? Atau seperti 
biasanya, mereka akan menyetujui tanpa mau bersikap kritis bahwa kebijakan yang 
dibuat pemerintah adalah benar-benar akan membuat rakyat miskin menjadi 
berkurang. 

Dan kini, harga BBM sudah naik. Orang kaya tidaklah terlalu bermasalah dengan 
kenaikan ini. Orang yang sangat kecil kaya (dan sangat kecil jumlahnya di 
negara kita) tidak perlu demonstrasi dan protes, karena dengan pendapatan yang 
ada sekarang, dipotong subsidi separuh pun, mungkin bagi mereka enjoy saja. 
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. 

Padahal itulah yang tidak bisa dialami oleh orang miskin. Ketika harga BBM 
naik, harga kebutuhan untuk pabrik-pabrik pasti meningkat. Tetapi gaji para 
buruh tentu tidak serta merta dinaikkan, menunggu didemontrasi terlebih dahulu 
berbulan-bulan, bahkan bila perlu ada korban. 

Nelayan tidak bisa melaut karena tidak bisa beli solar, petani tak bisa beli 
peralatan untuk sawah ladangnya, karena ada ketidakseimbangan biaya produksi 
dan hasil produksi. Di sinilah penderitaan orang kecil itu. Mereka selalu 
menjadi korban dari proyek-proyek liberalisasi yang disebarluaskan dengan 
berbagai cara dan bahasa. 

Mereka yang miskin adalah mereka yang sudah pasang badan untuk digilas. 


Penulis adalah budayawan 


Last modified:

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Harga BBM, Liberalisasi, dan Kaum Miskin