[list_indonesia] [ppiindia] Fwd: 'Kompas' kurang akurat dan tak jujur

  • From: "Zamhasari Jamil" <izamsh@xxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Thu, 24 Mar 2005 22:21:03 -0000

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **


Salam,

Ada komentar? [IzaM, New Delhi]

--- In wartawanindonesia@xxxxxxxxxxxxxxx, widi yanto <wiwid06@xxxx> 
wrote:
Di bawah tulisan ini saya lampirkan berita Kompas terbitan Rabu 
(23/03).
 
Menurut saya, Kompas tak menyajikan informasi yang kurang akurat. 
Perusahan air minum dalam kemasan di Klaten, sebagaimana ditulis 
Kompas, tak disebutkan namanya.
 
Saya kira ini sebuah penutupan fakta yang disengaja oleh wartawan 
Kompas. Saya tak tahu mengapa Kompas tai jujur menyebut nama 
perusahaan itu? Kalau tidak mau, ini jelas salah. Karena wartawan 
(Kompas) dituntut tanggungjawab baik secara etik maupun prosedur 
sebagai kewajibannya memenuhi hak informasi warga.
 
Saya pernah reportase soal pengusahaan air di mana wilayah Klaten 
adalah salah satu daerah yang saya liput. Kalau benar, perusahaan 
yang digambarkan seperti demikian oleh Kompas, maka saya tak mau 
berbohong, bahwa perusahaan yang dimaksud adalah Aqua-Danone. 
 
Indikasinya jelas. Perusahaan air minum dalam kemasan yang dimaksud 
berdiri sejak 2002, dan itu merupakan perusahaan swasta. Aqua-Danone 
masuk Klaten tahun itu dan tergolong perusahaan air swasta (terbesar) 
bukan?
 
Sampai di sini, saya hendak menuntut tanggungjawab Kompas yang tak 
jujur pada publik, termasuk saya. Saya tak tahu apakah ini karena 
Aqua, sering memasang 'advertorial', atau karena apa.
 
Selanjutnya, masih dalam berita yang sama. Kompas sepertinya 
memaksakan dua konteks yang berbeda ke dalam satu pokok ulasan.
Kedua konteks tersebut adalah soal metode swastanisasi air. Konteks 
pertama, yakni bagaimana 'perusahaan air kemasan' telah meminggirkan 
hak akses orang miskin terhadap air bersih. Menurut pendapat saya, 
ini adalah soal pengusahaan air. 
 
Bagaimana perusahaan air bisa melakukan hal macam itu? Saya sempat 
menelusurinya dan saya sampai dalam tahap kesimpulan bahwa adanya 
landasan kebijakan legal yang menjaminnya. Coba lihat Keputusan 
Presiden nomor 96 tahun 2000. (jika tak keliru) di situ dinyatakan 
bahwa perusahaan luar negeri diperbolehkan menguasai sampai 95 persen 
saham perusahaan yang bergerak dalam bidang tertentu, termasuk di 
bidang air. 
 
Dari landasan hukum ini, perusahaan luar negeri macam Danone, Coca-
Cola, menguasai pangsa pasar air di Indonesia.
 
Itu konteks pertama. Yang kedua, soal privatisasi air. Yakni proses 
bagaimana swasta mengambil alih penguasaan dan pengelolaan badan-
badan usaha milik negara, dalam hal ini PDAM.
 
Kompas menunjukkan contohnya adalah bagaimana pengambilalihan PAM 
Jaya ke Palyja. Jelas ini beda kasus dengan penguasahaan air, meski 
dampak yang ditimbulkan bisa jadi sama-sama merugikan khalayak banyak.
 
Namun saya tak setuju bila kemudian kedua konteks ini, pengusahaan 
dan privatisasi air ini disamakan. Padahal ini jelas berbeda dasar 
sosiologisnya. 
 
Sebenarnya masih ada tipe ketiga, bagaimana swasta secara sistematis 
menguasai sektr air yang seharusnya jadi tanggung jawab negara. Yakni 
lewat proyek. Lewat bermacam proyek, misalnya tender instalasi air 
oleh swasta, menyebabkan negara memberikan kompensasi khusus pada 
swasta tersebut. Contohnya banyak banget.
 
Saya menguraikan analisa ketiga tipe swastanisasi air itu di majalah 
mahasiswa 'Himmah' UII Jogjakarta pada 2004. Momentumnya tepat. 
Sayang, itu hanya majalah mahasiswa yang tak menerima 
pesanan 'advertorial' dari perusahaan manapun. Apalagi Aqua-Danone.
 
Salam,
 
Widiyanto/Wiwid
Jakarta
 
Rabu, 23 Maret 2005 

Air Pun Butuh Diselamatkan 

Sejak tahun 2002, bagi Sumartono (34), tidur nyenyak adalah sesuatu 
yang istimewa. Air yang dulu melimpah mengairi sawah, kini menciutkan 
hati para petani di Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten 
Klaten, Provinsi Jawa Tengah.

Akar persoalan yang dituding Sumartono dan para warga di sana adalah 
beroperasinya produsen air kemasan yang mengebor air tanah tepat di 
tengah-tengah lima sumber air (embung) di desa itu. Maka airpun 
mengalir ke pipa-pipa yang dipasang perusahaan.

Ketika air kemasan setengah liter di hotel dipatok Rp 20.000, sumur-
sumur warga desa Kwarasan setiap musim kemarau tiba dihantui 
kekeringan.

Bukan hanya sumur yang mengering, para petani kini harus merogoh 
kantung dalam-dalam untuk membeli pompa air tanah berikut solar. 
Untuk satu jam beroperasi, biayanya Rp 5.000. Hanya dengan itu mereka 
bisa menuai padi di musim panen.

Namun, menjamurnya pompa air tanah untuk memenuhi kebutuhan air 
sawah, membuat sumur-sumur warga desa terus menyurut. Ironisnya, 
pemerintah daerahlah yang menganjurkan solusi penggunaan pompa gara-
gara air tanah banyak disedot perusahaan swasta.

Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) Departemen Pekerjaan 
Umum Basuki Hadimuljono mengakui, kehadiran perusahaan itu memang 
mengacaukan irigasi di desa Kwarasan. Dengan izin debit 22 liter per 
detik, jumlah air yang disedot per detiknya 80 liter.

Mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno mengatakan, 
manajemen perusahaan itu memang telah melakukan pelanggaran serius 
dalam pengelolaan sumber daya air di Klaten. "setiap perusahaan 
swasta dilarang semaunya mengkavling sumber air. Pemerintah harus 
segera mengoreksi agar kasus serupa tak terulang lagi," katanya.

Inilah era di mana pengelolaan air masyarakat "dicemari" investasi 
swasta yang orientasinya adalah profit.

DI Jakarta, persoalan air hingga kini tidak juga terpecahkan. 
Sebagian besar warga Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, sejak 
tahun 2002 lalu tak bisa lagi mandi sepuasnya. Untuk sepikul air 
setara dengan 20 liter, mereka harus membayar Rp 1.000. Setiap 
keluarga rata-rata butuh 7-10 pikul air setiap harinya.

Bagi Sandi (60), yang mantan buruh pikul di pelabuhan Sunda Kelapa, 
uang sebanyak itu sangatlah memberatkan. Kakek delapan cucu yang asli 
Cilacap itu terkadang tidak membeli air. "Tidak mandi tidak apa. Yang 
penting ada air buat minum sama masak,"kata dia.

Kakek yang tidak lagi bisa mengangkat beban berat itu, kesulitan 
memperoleh air terjadi sekitar dua tahun lalu. Air di rumah-rumah 
warga yang berimpitan itu hanya keluar satu minggu dalam setahun.

Sumiati Ismail (40), punya kisah lain. Sejak air dikelola PAM 
Lyonnaise Jaya (Palyja)-sebelumnya dikelola PAM Jaya- air sering 
bermasalah. Dulu air mengucur deras dari kran bak mandinya. Kini, 
hanya desis udara yang keluar sementara meteran air terus berjalan.

Padahal, di rumahnya di RT IX/RW 17 kawasan Marlina, Pasar Ikan, 
Penjaringan, lima anaknya berkumpul jadi satu. Setiap hari ia harus 
membeli air sepuluh pikul seharga Rp 10.000. "Kalau kagak ada uang, 
pagi mandi sore kagak," kata pedagang kaki lima itu.

Pernah warga mendatangi Palyja, hasilnya air mengalir beberapa waktu 
namun akhirnya mampet lagi hingga sekarang.

Dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi dalam perkara 
uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan 
SDA, ia membawa air hujan dalam botol air mineral setengah liter. Ia 
mengatakan bahwa dengan air hujan yang dikumpulkan dari talang itulah 
mereka mandi. "Saya sedih karena kadang untuk wudhu pun tidak ada 
air," kata dia.

Nursiah (26), warga RT 16 RW 17 Penjaringan, Jakarta Utara, dua tahun 
lalu membayar Rp 10.000-12.000 ke Palyja. Dua tahun pula ia tidak 
menerima aliran air yang sebelumnya mengalir pelan pada tengah 
malam. "Pernah diajak protes, tapi malas," kata dia sambil 
menggendong anaknya.

Anehnya, di deretan rumah di seberang rumahnya yang hanya terpisah 
jalan raya, air mengalir dengan deras. Air itulah yang kemudian 
ditampung para penjual air untuk diedarkan. Ia menduga hal itu 
terjadi karena di seberang itu berdiri perusahaan-perusahaan swasta.

BERTEPATAN dengan Hari Air Sedunia ke-13, 23 Maret 2005 ini, ternyata 
masih banyak warga yang tidak mendapatkan haknya akan air bersih. 
Direktur Tehnik PAM Jaya Kris Tetuko pernah mengungkapkan bahwa 
sumber air tanah dalam di Jakarta sudah tidak layak dijadikan 
alternatif sumber air baku, baik secara kuantitsas maupun kualitas. 
Sekitar 50 persen air tanah telah tercemar bakteri E Coli dan 
deterjen yang berbahaya bagi kesehatan.

Ia pun menyebut target tahun 2022 seratus persen warga Jakarta 
terlayani air pipa sangat tidak realistis. Tahun 2020 pun, secara 
rasional kemungkinan baru terlayani 80 persen.

Fakta adanya pencemaran, lahan kritis, daya dukung lingkungan yang 
rusak di Jakarta adalah potret nasional. Menurut data Sub Direktorat 
Konservasi SDA Departemen PU, lahan kritis di luar hutan pada tahun 
2001 mencapai 21 juta hektar. Sementara, hutan rusak mencapai 36 juta 
hektar.

Pada tahun yang sama tercatat 62 daerah aliran sungai (DAS) dalam 
kondisi krisis. Belum lagi pencemaran sungai di pulau-pulau besar di 
Indonesia. Belum lagi alih fungsi lahan di daerah resapan air.

Seperti disoroti kalangan LSM dan diakui pemerintah, kondisi tersebut 
diperparah dengan lemahnya koordinasi antardepartemen untuk mengatasi 
semua persoalan itu. Saat ini, menurut data Kementerian Negara 
Lingkungan Hidup, hanya 42 persen penduduk Indonesia yang dapat 
mengakses air bersih dan sanitasi.

Terkait dengan keberlanjutan ketersediaan air itulah pemerintah 
mendorong pengesahan UU No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber 
Daya Air. Meskipun ditentang banyak pihak dan hingga kini menunggu 
keputusan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materiil, 
pemerintah tetap yakin bahwa itulah cara terbaik melindungi warganya 
dari ancaman kelangkaan air.

Menurut Soenarno, kehadiran UU Sumber Daya Air sebetulnya untuk 
mencegah kesewenangan swasta terhadap petani atau masyarakat. Apalagi 
UU tersebut telah dilengkapi semua ketentuan yang dapat menjamin masa 
depan ketersediaan air bagi penduduk.

Basuki Hadimulyo justru balik menuding bahwa carut marutnya persoalan 
air sekarang ini karena tidak ada ketentuan tegas yang mengatur 
pengelolaan SDA, sehingga pengusaha cukup memperoleh izin dari 
pemerintah setempat tanpa perlu berkonsultasi dengan masyarakat, 
seperti kasus di Klaten.

Maka ia tetap bertahan agar UU itu disetujui MK, meskipun untuk itu 
ia harus "dimusuhi" banyak orang. Ia pun membantah keluarnya UU 
tersebut karena desakan Bank Dunia untuk memuluskan masuknya para 
pemodal dari luar negeri.

Namun, yang ada di depan mata sekarang adalah kaum papa yang tidak 
mampu menjangkau air bersih. Air sementara ini hanyalah milik mereka 
yang punya uang. (Jannes Eudes Wawa/GESIT ARIYANTO)






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Fwd: 'Kompas' kurang akurat dan tak jujur