** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Sumber: From: Geni S To: temu_eropa@xxxxxxxxxxxxxxx Sent: Wednesday, March 02, 2005 12:43 PM Subject: [temu_eropa] Budiawan: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunis ... (r): Hilman Farid Membongkar Masa Lalu "Komunis"demi Demokrasi Judul: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto. Penulis: Budiawan Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004 Tebal: xxxviii + 294 halaman SETIAP negeri yang baru lepas dari kekuasaan otoriter menghadapi masalah besar di masa transisi, yakni menangani pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang dilakukan oleh kekuasaan otoriter sebelumnya. Penguasa lama yang tersebar di birokrasi sipil maupun militer, parlemen dan partai politik, menggunakan segala daya untuk mencegah adanya pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan, dan dengan begitu mengganjal upaya reformasi. Di Indonesia, pelecehan terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok, lambatnya penanganan kasus Trisakti dan Semanggi yang ditingkahi perlawanan pihak militer dalam proses penyelidikan, dan juga pembunuhan terhadap pembela hak asasi manusia, adalah bukti bahwa reformasi di Indonesia bergerak menjauh dari kebenaran dan keadilan. Para pemimpin tidak mengambil pelajaran apa pun dari kematian korban kekerasan rezim Orde Baru, dan dengan sendirinya sangat mungkin mengulang kesalahan yang sama. Peristiwa 1965, yang mencakup pembunuhan massal terhadap ribuan orang dan penahanan tanpa pengadilan terhadap ribuan orang lain yang dituduh terlibat dalam G30S di seluruh Indonesia, mungkin merupakan kasus yang paling sulit ditangani. Hambatan dan tantangan untuk menyelidiki, mengungkap, dan menegakkan keadilan dalam kasus ini tidak hanya datang dari penguasa lama, tetapi juga berbagai unsur masyarakat yang merasa dianiaya semasa pemerintahan Soekarno. Banyak dari mereka yang di masa Orde Baru adalah bagian dari oposisi dan juga dianiaya oleh penguasa, tetapi dalam menghadapi peristiwa 1965 sikap mereka sama sebangun dengan penguasa militer. Bagi publik pun mengutak-atik peristiwa ini masih sensitif karena fantasi tentang "hantu komunis" yang diciptakan oleh kelompok antikomunis dan diresmikan keberadaannya oleh Orde Baru. Dekonstruksi "hantu komunis" Buku Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunisdan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto karya Budiawan, kini mengajar pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, semula merupakan naskah disertasi pada National University of Singapore pada Juni 2003. Buku ini berusaha menelusuri akar kemarahan massal terhadap "hantu komunis" tersebut dan akibatnya bagi proses penegakan kebenaran dan rekonsiliasi di Indonesia. Salah satu pernyataan terpentingnya, bahwa kemarahan massal ini berakar pada salah paham yang parah mengenai sejarah, ketidaktahuan, dan pada taraf tertentu ketidakmautahuan, para pengobar kebencian terhadap komunisme di Indonesia. Kemarahan ini sepanjang 32 tahun dibiarkan mengeras dan bahkan membatu sehingga ruang untuk membicarakan kembali "masa lalu komunis" hampir tidak ada. Penanganan peristiwa 1965 secara menyeluruh pun semakin sulit dilakukan, dan dengan begitu semakin berat pula langkah Indonesia menuju demokrasi. Dalam situasi seperti ini, penanganan kekerasan masa lalu dengan membentuk pengadilan atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir hanya bisa menjangkau sebagian dari masalah. Mungkin saja pengadilan bisa menegakkan "fakta hukum" tentang peristiwa 1965 dan menyatakan pembunuhan massal itu adalah kesalahan, seperti militer di Cile baru-baru ini mengakui penculikan terhadap ribuan mahasiswa dan pemuda kiri selama 1970-an adalah kesalahan. Namun, bayangan akan "hantu komunis" dan segala pikiran absurd yang lahir dari politik antikomunis sejak pertengahan 1960-an tidak dapat "disembuhkan" semata-mata melalui keputusanpengadilan atau permintaan maaf dari pejabat publik. Langkah penyelesaian secara legal-formal tidak banyak artinya jika tidak disertai perubahan kesadaran, yang mencakup kesediaan untuk membicarakan kembali salah paham yang sudah membatu dalam ingatan kolektif dan menjadi "sejarah". Sistematika dan kejelasan argumentasi buku ini patut dipuji. Setelah meletakkan duduk perkara dan landasan teoretisnya dalam Bab Pertama, Budiawan mulai menyoroti wacana antikomunis yang, menurut dia, menjadi penghalang utama bagi pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi untuk peristiwa 1965. "Komunisme" yang dilawan oleh kelompok antikomunis ini tidak ada kaitannya dengan doktrin politik tentang masyarakat tanpa kelas, apalagi perjuangan kelas yang dibicarakan Marx. "Komunisme" oleh kalangan ini direduksi menjadi semata-mata faham kaum kafir yang menentang agama atau ateisme. Untuk menjelaskan salah paham yang parah ini, ia menelusuri asal-usul wacana antikomunis dalam sejarah. Ketegangan antara kalangan Islam dan komunis sebenarnya sudah dimulai sejak 1920-an, tetapi tidak pernah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan, apalagi pertumpahan darah. Konflik terbuka baru terjadi di masa kemerdekaan, saat kekuatan-kekuatan politik mulai bertarung memperebutkan kepemimpinan republik. Peristiwa Madiun 1948 adalah tonggak sejarah yang penting dalam pembentukan wacana antikomunis karena merupakan bukti "pengkhianatan PKI". Pembunuhan terhadap sejumlah tahanan oleh laskar Pesindo yang berafiliasi dengan PKI ketika tentara pemerintah menyerang Madiun menjadi bukti "permusuhan abadi" antara komunis dan Islam, karena kebanyakan orang yang terbunuh itu beragama Islam. Sampai saat ini orang Islam "memegang teguh pendapat bahwa Peristiwa Madiun adalah peristiwa pembantaian terhadap umat Islam" (halaman 109). Cerita bohong mengenai penyiksaan dan pembunuhan terhadap para jenderal di Lubang Buaya oleh orang komunis yang kafir memperkuat anggapan bahwa komunisme identik dengan moral bejat dan ateisme, dan menjadi landasan untuk menggalang kekuatan yang kemudian melancarkan pembunuhan di seluruh Indonesia (halaman 127-137). Seruan untuk jihad melawan komunisme diiringi propaganda hitam, seperti penyebaran daftar palsu yang menyebut nama-nama orang nonkomunis yang akan dibunuh seandainya PKI berhasil merebut kekuasaan. Propaganda itu berhasil menciptakan suasana ketakutan dan perasaan "lebih baik membunuh sebelum dibunuh". Dalam situasi itu pembunuhan terhadap "orang komunis" yang tidak beragama dan bermoral bejat tidak hanya dimaklumi, tetapi juga dianjurkan. Hal ini mungkin yang menjelaskan mengapa sampai saat ini masih ada orang yang bangga karena jasanya dalam "membasmi komunis" pada kurun tersebut. Bagaimanapun, fantasi mengenai "komunisme" dan kemarahan massal yang membatu itu tidak sempurna. Setelah Soeharto jatuh, muncul beragam narasi tentang "masa lalu komunis" yang bukan hanya berbeda, tetapi secara langsung menghantam narasi dominan yang dibuat oleh Orde Baru. Bukan hanya fakta-fakta yang digugat, tetapi seluruh konstruksi fantasi mengenai "hantu komunis" sebagai jejadian yang mengancam kehidupan umat beragama. Di sini Budiawan melihat penerbitan dua autobiografi "Muslim komunis", yakni Hasan Raid dan Achmadi Moestahal, menempati posisi sangat penting dalam membongkar narasi dominan itu. Dengan menceritakan pengalaman sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan beragama dan kemudian condong pada komunisme tanpa meninggalkan keyakinan pada agama, keduanya menghantam inti dari narasi dominan tentang "permusuhan abadi" antara komunisme dan agama. Dalam bab selanjutnya Budiawan menyoroti praktikrekonsiliasi di tingkat akar rumput yang dimulai oleh kalangan muda Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat). Kelompok ini semula mengambil inisiatif membongkar keterlibatan NU, khususnya organisasi pemuda Ansor, dalam pembasmian PKI selama 1965-1966, yang kemudian berlanjut dengan pertemuan antara eks tahanan politik (tapol) dan komunitas pesantren di beberapa daerah. Rangkaian pertemuan ini, menurut Budiawan, sungguh penting sebagai ruang untuk membahas dan merundingkankembali masa lalu sekaligus mencairkan kebekuan danketegangan yang diwariskan oleh wacana antikomunis semasa Orde Baru. Sekalipun masih terlalu pagi untuk dinilai, apalagi disimpulkan, praktik dekonstruksi melalui penerbitan kisah para korban dan rekonsiliasi di tingkat akar rumput ini sangat penting untuk membongkar fantasi dan narasi dominan dan mencairkan ketegangan, sebagai dasar untuk menangani Peristiwa 1965 secara menyeluruh. Asal-usul wacana antikomunis Sebagai salah satu karya perintis tentang wacana antikomunis di Indonesia, dengan argumentasi yang lugas tanpa kecenderungan bergenit-genit dengan teori atau konsep seperti yang sering dilakukan dalam studi tentang kekerasan, sejarah dan ingatan, membuat buku ini pantas disambut oleh para peneliti dan aktivis hak asasi manusia. Namun, seperti karya perintis pada umumnya, ada beberapa wilayah bahasan yang cenderung terbengkalai dan dapat dikembangkan lebih jauh. Salah satu yang terpenting menurut saya adalah asal-usul fantasi antikomunis yang merupakan bagian penting dari narasi dominan tentang komunisme di Indonesia. Narasi dominan itu tidak hanya terdiri atas salah tafsir atau fakta yang jungkir balik, melainkan juga kejadian yang sepenuhnya merupakan rekaan atau khayalan semata, seperti penyiksaan terhadap enam orang jenderal di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965. Penjelasan Budiawan (halaman 127- 138) yang bersandar pada studi Saskia Wieringa kurang memadai karena ada beberapa unsur penting yang justru absen dalam penjelasannya, seperti persekongkolan militer dengan intelektual dan pers antikomunis untuk mengarang cerita bohong di sekitar peristiwa itu. Semua cerita tentang "kekejaman PKI" yang menyiksa para jenderal di Lubang Buaya keluar pertama kali pada 11 Oktober, atau seminggu setelah tim dokter yang melakukan autopsi melaporkan bahwa tak seorang jenderal pun yang menjadi korban mengalami siksaan. Peran Amerika Serikat (AS) juga tidak dapat dianggap sepi. Istilah Gestapu yang berupaya menyamakan kekejaman penculik dan pembunuh para jenderal itu dengan polisi rahasia Nazi, Gestapo, adalah produk propaganda yang cukup canggih. Menurut Carmel Budiardjo yang dikutip oleh Budiawan, istilah Gestapu adalah buah anjuran Guy Pauker, seorang konsultan pada Rand Corporation, sebuah lembaga penelitian yang dipercaya sebagai perpanjangan tangan Badan Pusat Intelijen AS (CIA) di masa itu. Penelitian George Kahin mengenai politik subversif AS di Indonesia selama akhir 1950-an memperlihatkan bahwa praktik menggalang opini publik melalui desas-desus dan media massa sudah sering dilakukan sebelumnya. Dan Indonesia di bawah Soekarno bukan satu-satunya sasaran psychological warfare AS. Wacana antikomunis yang menghadap-hadapkan komunisme dengan agama bukan sesuatu yang khas Indonesia, tetapi ditemukan juga di banyak negara Amerika Latin dan Asia Tenggara. Keterlibatan media massa dalam psychological warfare pun perlu diperiksa lebih jauh. Sampai saat ini belum ada pemimpin media yang secara terbuka menjelaskan apa yang membuat mereka turut menyebarluaskan erita-cerita bohong mengenai kejadian di Lubang Buaya. Sinar Harapan adalah satu-satunya surat kabar yang memuat laporan autopsi itu secara lengkap pada Desember 1965, saat pembunuhan yang paling mengerikan antara lain akibat kampanye fitnah mereka sebelumnya, sudah berlalu. Surat kabar lain sementara itu terus mengulang cerita yang sama, mestinya dengan kesadaran penuh bahwa cerita itu bohong belaka. Budiawan sayangnya tidak berusaha melampaui temuan Saskia Wieringa atau Ben Anderson mengenai peran media dalam konstruksi fantasi ini, padahal masalah tersebut begitu penting bagi seluruh bangunan tesisnya. Penelitian saksama terhadap pihak-pihak yang secara aktif membentuk fantasi antikomunis dan narasi dominan tentang komunisme ini perlu dilakukan bukan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi punya arti strategis. Dekonstruksi narasi antikomunis kiranya bisa lebih efektif jika "pihak ketiga" yang turut menciptakan permusuhan abadi agama dan komunisme bisa dihadirkan secara proporsional. Di tingkat akar rumput, misalnya, akan sangat berguna jika pihak-pihak yang terlibat upaya rekonsiliasi tahu bahwa "kebenaran sejarah" yang mereka pegang hanyalah cerita khayal, dan bahwa banyak hal yang semula diduga bersumber pada "tradisi antikomunis" yang melekat pada setiap ajaran agama sesungguhnya hanya sesuatu yang disuntikkan dari luar. Pertarungan politik dan kelas Wilayah bahasan lain yang terkait dengan asal-usul fantasi antikomunis ini adalah kaitan antara politik antikomunis dengan pertentangan kelas dan pergulatan kuasa di kalangan elite. Dalam Bab Kedua, Budiawan menggambarkan kontroversi di sekitar pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 semasa pemerintahan Abdurrahman Wahid (halaman 58-73). Namun, uraian itu tidak menelaah lebih jauh dimensi politik dari kontroversi tersebut karena lebih sibuk melihat keteguhan kelompok antikomunis dalam membela keyakinan mereka. Gelombang pasang antikomunis di satu sisi memang merupakan reaksi langsung terhadap pernyataan Abdurrahman Wahid yang menyarankan agar ketetapan MPRS itu dicabut, tetapi di sisi lain juga merupakan bagian dari penggalangan kekuatan untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari jabatannya. Mereka menuduh Abdurrahman Wahid membiarkan istana dipenuhi "orang komunis" dan bahwa kalangan muda NU pendukungnya adalah "komunis yang berkedok Islam". Politik antikomunis di sini tidak bersumber pada keyakinan politik tertentu, tetapi sekadar menjadi alat dari kelas atau kelompok yang berebut kuasa. Di Cile, politik antikomunis yang kemudian berujung pada kudeta terhadap Salvador Allende disuarakan terutama oleh kaum industrialis dan tuan tanah yang bersekutu dengan partai politik Kristen kanan dan militer, serta mendapat dukungan relatif terbuka dari badan intelijen serta kalangan bisnis Amerika Serikat. Simbol agama di sini hanya dipakai untuk menyelubungi politik kelas ketimbang sebaliknya. Di Indonesia ketegangan kelas memang tidak muncul ke permukaan, antara lain karena PKI tidak memerintah dan juga tidak mengembangkan program sosial-ekonomi seperti halnya Unidade Popular di Cile. Tetapi bukan berarti bahwa kampanye antikomunis sepenuhnya bebas dari kepentingan kelas. Contoh lain yang memperlihatkan bahwa wacana antikomunis bukan hanya ekspresi ingatan kolektif yang membatu terlihat dari penggunaannya dalam konflik di kalangan elite sendiri. Selama Orde Baru, wacana antikomunis sering digunakan dalam perebutan jabatan politik dan menyerang lawan politik. Banyak tokoh pemuda yang kemudian menjadi pejabat atau politikus penting hampir semuanya punya catatan memimpin aksi atau kampanye antikomunis tertentu. Akbar Tandjung, misalnya, pada 1980 memimpin kelompok pemuda yang mendesak pemerintah untuk melarang peredaran Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tentu bukan kesetiaan pada sikap "antikomunis" yang membuat Tandjung kemudian berperan penting dalam politik, tetapi kemampuannya untuk menggalang kekuatan mengambil sikap dalam keadaan tertentu. "Bahaya laten komunis" kadang hanya menjadi alat untuk menekan lawan politik ketimbang sasaran yang harus dihancurkan. Hal ini tampak pada kampanye "bersih diri" dan "bersih lingkungan" selama masa Orde Baru. Cukup banyak pejabat yang coba dijatuhkan dengan keterlibatan mereka dengan G30S atau organisasi massa yang dicap "komunis", atau hubungan darah dengan orang yang terlibat. Tidak kurang dari Wakil Presiden Letjen Sudharmono yang menjadi sasaran kampanye semacam ini saat namanya beredar sebagai calon wakil presiden. Tuduhan itu tidak terdengar lagi setelah perebutan jabatan berakhir, dan pihak yang menuduhnya tidak pernah berniat membunuh atau menyeretnya ke tahanan untuk "membasmi komunis sampai ke akar-akarnya", seperti yang dilakukan terhadap ratusan ribu orang lain. Dalam situasi seperti ini, narasi antikomunis hanya alat untuk menggalang kekuatan dalam perebutan kuasa. Dari oportunisme politik ini kemudian lahir bermacam pernyataan dan tindakan yang absurd, seperti pembakaran buku Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno oleh kelompok antikomunis yang seharusnya justru membaca buku itu dengan saksama untuk mempertebal keyakinan mereka. Oportunisme yang sama tampak dalam sikap pemerintah yang mencla-mencle dalam kampanye "bersih diri" dan "bersih lingkungan". Jika penguasa memang konsisten, maka ada banyak pejabat tinggi yang tidak akan pernah menjadi pejabat karena nama mereka tercantum dalam Dewan Revolusi yang dibentuk oleh Gerakan 30 September. Jika melihat persoalan ini, maka hambatan bagi rekonsiliasi dan demokratisasi bukan hanya fantasi dan narasi "sejarah" yang jungkir balik, tetapi juga dominasi elite dalam kehidupan politik. Budiawan sendiri sempat menyinggung masalah ini ketika membahas godaan politisasi upaya rekonsiliasi di tingkat akar rumput di Blitar (halaman 221-24) ketika sejumlah tokoh Partai Kebangkitan Bangsa setempat berusaha menyambung agenda rekonsiliasi itu dengan kepentingan meraih suara dari kalangan eks tapol di wilayah tersebut. Upaya politisasi tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi kerap mewarnai upaya pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi selama ini. Dalam pemilihan presiden 2004, masalah kekerasan masa lalu menjadi alat untuk menyerang calon presiden dari kalangan militer. Mereka yang melakukan serangan itu tentu tidak bermaksud mengungkap dan menangani peristiwa itu sampai tuntas, tetapi semata-mata berkepentingan melemahkan dukungan terhadap para calon itu. Penelitian lebih mendalam terhadap aspek-aspek yang belum ditelaah sampai tuntas ini tentu akan berpengaruh terhadap berbagai strategi rekonsiliasi yang dijabarkan Budiawan dalam penutup bukunya (halaman 246-254). Jika dimensi kelas yang disebutkan di atas ditelaah lebih jauh, maka ada berbagai ruang dan kemungkinan baru untuk menggalang solidaritas korban kekerasan dari berbagai peristiwa dan kasus. Demikian pula jika masalah elite yang menunggangi upaya rekonsiliasi tidak dipahami dengan baik, maka ada banyak pekerjaan berharga yang sia-sia saja. Ke arah rekonsiliasi Ingatan yang membatu dan menjadi "sejarah" bukan hanya ada di kalangan yang antikomunis saja. Mereka yang dituduh atau memang komunis (dengan atau tanpa tanda petik) pun menghadapi masalah serupa. Setelah Soeharto jatuh, mulai ada sedikit ruang untuk bicara lebih terbuka, menyampaikan pengalaman sebagai korban secara lisan maupun tertulis. Ingatan kolektif mengenai penganiayaan dan penderitaan secara perlahan mulai terbentuk, dan menjadi "sejarah". Di satu sisi merekam suara korban dalam catatan sejarah sungguh penting untuk mengungkap apa yang selama ini digelapkan, tetapi di sisi lain timbul masalah jika penggalan sejarah yang hilang ini berkembang menjadi narasi yang berat sebelah. Budiawan dengan cermat mencatat masalah ini. Menurut dia, narasi dominan tentang orang komunis bersifat berat sebelah karena hanya mencatat apa yang dilakukanorang komunis terhadap yang dialami, tetapi tidak mencatat apa yang kemudian mereka alami sebagai korban. Bahkan ada kecenderungan untuk menyangkal status mereka sebagai korban. Namun, demikian sebaliknya, para korban peristiwa 1965 mengingat jelas penderitaan di bawah rezim Orde Baru, tetapi tidak banyak bicara tentang apa yang mereka lakukan sebelum peristiwa itu. Dengan kata lain, kelompok antikomunis mengingat apa yang dilupakan orang komunis, dan sebaliknya orang komunis mengingat apa yang dilupakan oleh kelompok antikomunis (halaman 242). Sejarah tetap terbelah dan tidak ada titik temu, apalagi ruang untuk membicarakan masa lalu. Jalan keluar dari situasi ini adalah jika masing-masing pihak melintas dari "kawasan" masing-masing dan mau menginjak, betapapun pahit, "kawasan" yang lain. Kaum muda NU dalam hal ini cukup berhasil mengajak beberapa kiai menyeberang ke "kawasan" yang lain, dan secara terbuka mendiskusikan peran Banser dalam pembunuhan massal, tetapi sebaliknya belum ada upaya dari kalangan eks tapol untuk menyeberang ke "kawasan" satunya dan berceritatentang apa yang mereka lakukan sebelum 1965. DiBlitar, kelompok muda NU dan komunitas eks tapol PKI sudah berhasil membuka ruang tersebut walau gemanya masih sangat lemah. Diperlukan waktu dan tenaga untuk memperluas ruang dialog tersebut, dan tentunya ketetapan hati untuk mengakhiri kekuasaan bebal yang senantiasa ingin menanamkan ingatan yang absurd tentang masa lalu kepada generasi selanjutnya. Hilmar Farid Jaringan Kerja Budaya, Jakarta [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **