[list_indonesia] [ppiindia] Fw: [temu_eropa] Budiawan: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunis ... (r): Hilman Farid

  • From: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 2 Mar 2005 15:09:56 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **


Sumber:
From: Geni S 
To: temu_eropa@xxxxxxxxxxxxxxx 
Sent: Wednesday, March 02, 2005 12:43 PM
Subject: [temu_eropa] Budiawan: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana 
Anti-komunis ... (r): Hilman Farid



Membongkar Masa Lalu "Komunis"demi Demokrasi 



Judul: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana

Anti-komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto.

Penulis: Budiawan

Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,

Jakarta, 2004

Tebal: xxxviii + 294 halaman 



SETIAP negeri yang baru lepas dari kekuasaan otoriter menghadapi masalah besar 
di masa transisi, yakni menangani pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan 
yang dilakukan oleh kekuasaan otoriter sebelumnya. Penguasa lama yang tersebar 
di birokrasi sipil maupun militer, parlemen dan partai politik, menggunakan 
segala daya untuk mencegah adanya pengungkapan kebenaran dan penegakan 
keadilan, dan dengan begitu mengganjal upaya reformasi.



Di Indonesia, pelecehan terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas 
HAM), pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur dan Tanjung Priok, lambatnya 
penanganan kasus Trisakti dan Semanggi yang ditingkahi perlawanan pihak militer 
dalam proses penyelidikan, dan juga pembunuhan terhadap pembela hak asasi 
manusia, adalah bukti bahwa reformasi di Indonesia bergerak menjauh dari 
kebenaran dan keadilan. Para pemimpin tidak mengambil pelajaran apa pun dari 
kematian korban kekerasan rezim Orde Baru, dan dengan sendirinya sangat mungkin 
mengulang kesalahan yang sama. 



Peristiwa 1965, yang mencakup pembunuhan massal terhadap ribuan orang dan 
penahanan tanpa pengadilan terhadap ribuan orang lain yang dituduh terlibat 
dalam G30S di seluruh Indonesia, mungkin merupakan kasus yang paling sulit 
ditangani. Hambatan dan tantangan untuk menyelidiki, mengungkap, dan menegakkan 
keadilan dalam kasus ini tidak hanya datang dari penguasa lama, tetapi juga 
berbagai unsur masyarakat yang merasa dianiaya semasa pemerintahan Soekarno.



Banyak dari mereka yang di masa Orde Baru adalah bagian dari oposisi dan juga 
dianiaya oleh penguasa, tetapi dalam menghadapi peristiwa 1965 sikap mereka 
sama sebangun dengan penguasa militer. Bagi publik pun mengutak-atik peristiwa 
ini masih sensitif karena fantasi tentang "hantu komunis" yang diciptakan oleh 
kelompok antikomunis dan diresmikan keberadaannya oleh Orde Baru.



Dekonstruksi "hantu komunis"



Buku Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunisdan Politik Rekonsiliasi 
Pasca-Soeharto karya Budiawan, kini mengajar pada Program Magister Ilmu Religi 
dan Budaya Universitas Sanata Dharma, semula merupakan naskah disertasi pada 
National University of Singapore pada Juni 2003. Buku ini berusaha menelusuri 
akar kemarahan massal terhadap "hantu komunis" tersebut dan akibatnya bagi 
proses penegakan kebenaran dan rekonsiliasi di Indonesia.



Salah satu pernyataan terpentingnya, bahwa kemarahan massal ini berakar pada 
salah paham yang parah mengenai sejarah, ketidaktahuan, dan pada taraf tertentu 
ketidakmautahuan, para pengobar kebencian terhadap komunisme di Indonesia. 
Kemarahan ini sepanjang 32 tahun dibiarkan mengeras dan bahkan membatu sehingga 
ruang untuk membicarakan kembali "masa lalu komunis" hampir tidak ada. 
Penanganan

peristiwa 1965 secara menyeluruh pun semakin sulit dilakukan, dan dengan begitu 
semakin berat pula langkah Indonesia menuju demokrasi.



Dalam situasi seperti ini, penanganan kekerasan masa lalu dengan membentuk 
pengadilan atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang banyak dibicarakan dalam 
beberapa tahun terakhir hanya bisa menjangkau sebagian dari masalah. Mungkin 
saja pengadilan bisa menegakkan "fakta hukum" tentang peristiwa 1965 dan 
menyatakan pembunuhan massal itu adalah kesalahan, seperti militer di Cile 
baru-baru ini mengakui penculikan terhadap ribuan mahasiswa dan pemuda kiri 
selama 1970-an adalah kesalahan. Namun, bayangan akan "hantu komunis" dan 
segala pikiran absurd yang lahir dari politik antikomunis sejak pertengahan 
1960-an tidak dapat "disembuhkan" semata-mata melalui keputusanpengadilan atau 
permintaan maaf dari pejabat publik.

Langkah penyelesaian secara legal-formal tidak banyak artinya jika tidak 
disertai perubahan kesadaran, yang mencakup kesediaan untuk membicarakan 
kembali salah paham yang sudah membatu dalam ingatan kolektif dan menjadi 
"sejarah".



Sistematika dan kejelasan argumentasi buku ini patut dipuji. Setelah meletakkan 
duduk perkara dan landasan teoretisnya dalam Bab Pertama, Budiawan mulai 
menyoroti wacana antikomunis yang, menurut dia, menjadi penghalang utama bagi 
pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi untuk peristiwa 1965. "Komunisme" yang 
dilawan oleh kelompok antikomunis ini tidak ada kaitannya dengan doktrin 
politik tentang masyarakat tanpa kelas, apalagi perjuangan kelas yang 
dibicarakan Marx. "Komunisme" oleh kalangan ini direduksi menjadi semata-mata 
faham kaum kafir yang menentang agama atau ateisme.



Untuk menjelaskan salah paham yang parah ini, ia menelusuri asal-usul wacana 
antikomunis dalam sejarah.

Ketegangan antara kalangan Islam dan komunis sebenarnya sudah dimulai sejak 
1920-an, tetapi tidak pernah berkembang menjadi konflik dengan kekerasan, 
apalagi pertumpahan darah. Konflik terbuka baru terjadi di masa kemerdekaan, 
saat kekuatan-kekuatan politik mulai bertarung memperebutkan kepemimpinan 
republik.



Peristiwa Madiun 1948 adalah tonggak sejarah yang penting dalam pembentukan 
wacana antikomunis karena merupakan bukti "pengkhianatan PKI". Pembunuhan 
terhadap sejumlah tahanan oleh laskar Pesindo yang berafiliasi dengan PKI 
ketika tentara pemerintah menyerang Madiun menjadi bukti "permusuhan abadi" 
antara komunis dan Islam, karena kebanyakan orang yang terbunuh itu beragama 
Islam. Sampai saat ini orang Islam "memegang teguh pendapat bahwa Peristiwa 
Madiun adalah peristiwa pembantaian terhadap umat Islam" (halaman 109).



Cerita bohong mengenai penyiksaan dan pembunuhan terhadap para jenderal di 
Lubang Buaya oleh orang komunis yang kafir memperkuat anggapan bahwa komunisme 
identik dengan moral bejat dan ateisme, dan menjadi landasan untuk menggalang 
kekuatan yang kemudian melancarkan pembunuhan di seluruh Indonesia (halaman 
127-137). Seruan untuk jihad melawan komunisme diiringi propaganda hitam, 
seperti penyebaran daftar palsu yang menyebut nama-nama orang nonkomunis yang 
akan dibunuh seandainya PKI berhasil merebut kekuasaan. Propaganda itu berhasil 
menciptakan suasana ketakutan dan perasaan "lebih baik membunuh sebelum 
dibunuh". Dalam situasi itu pembunuhan terhadap "orang komunis" yang tidak 
beragama dan bermoral bejat tidak hanya dimaklumi, tetapi juga dianjurkan. Hal 
ini mungkin yang menjelaskan mengapa sampai saat ini masih ada orang yang 
bangga karena jasanya dalam "membasmi komunis" pada kurun tersebut.



Bagaimanapun, fantasi mengenai "komunisme" dan kemarahan massal yang membatu 
itu tidak sempurna. 

Setelah Soeharto jatuh, muncul beragam narasi tentang "masa lalu komunis" yang 
bukan hanya berbeda, tetapi secara langsung menghantam narasi dominan yang 
dibuat oleh Orde Baru. Bukan hanya fakta-fakta yang digugat, tetapi seluruh 
konstruksi fantasi mengenai "hantu komunis" sebagai jejadian yang mengancam 
kehidupan umat beragama. Di sini Budiawan melihat penerbitan dua autobiografi 
"Muslim komunis", yakni Hasan Raid dan Achmadi Moestahal, menempati posisi 
sangat penting dalam membongkar narasi dominan itu. Dengan menceritakan 
pengalaman sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan beragama dan kemudian 
condong pada komunisme tanpa meninggalkan keyakinan pada agama, keduanya 
menghantam inti dari narasi dominan tentang "permusuhan abadi" antara komunisme 
dan agama.



Dalam bab selanjutnya Budiawan menyoroti praktikrekonsiliasi di tingkat akar 
rumput yang dimulai oleh kalangan muda Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung 
dalam Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat (Syarikat). Kelompok ini semula 
mengambil inisiatif membongkar keterlibatan NU, khususnya organisasi pemuda 
Ansor, dalam pembasmian PKI selama 1965-1966, yang kemudian berlanjut dengan 
pertemuan antara eks tahanan politik (tapol) dan komunitas pesantren di 
beberapa daerah.



Rangkaian pertemuan ini, menurut Budiawan, sungguh penting sebagai ruang untuk 
membahas dan merundingkankembali masa lalu sekaligus mencairkan kebekuan 
danketegangan yang diwariskan oleh wacana antikomunis semasa Orde Baru. 
Sekalipun masih terlalu pagi untuk dinilai, apalagi disimpulkan, praktik 
dekonstruksi melalui penerbitan kisah para korban dan rekonsiliasi di tingkat 
akar rumput ini sangat penting untuk membongkar fantasi dan narasi dominan dan 
mencairkan ketegangan, sebagai dasar untuk menangani Peristiwa 1965 secara 
menyeluruh.



Asal-usul wacana antikomunis



Sebagai salah satu karya perintis tentang wacana antikomunis di Indonesia, 
dengan argumentasi yang lugas tanpa kecenderungan bergenit-genit dengan teori 
atau konsep seperti yang sering dilakukan dalam studi tentang kekerasan, 
sejarah dan ingatan, membuat buku ini pantas disambut oleh para peneliti dan 
aktivis hak asasi manusia. Namun, seperti karya perintis pada umumnya, ada 
beberapa wilayah bahasan yang cenderung terbengkalai dan dapat dikembangkan 
lebih jauh.



Salah satu yang terpenting menurut saya adalah asal-usul fantasi antikomunis 
yang merupakan bagian penting dari narasi dominan tentang komunisme di 
Indonesia. Narasi dominan itu tidak hanya terdiri atas salah tafsir atau fakta 
yang jungkir balik, melainkan juga kejadian yang sepenuhnya merupakan rekaan 
atau khayalan semata, seperti penyiksaan terhadap enam orang jenderal di Lubang 
Buaya pada 1 Oktober 1965.



Penjelasan Budiawan (halaman 127- 138) yang bersandar pada studi Saskia 
Wieringa kurang memadai karena ada beberapa unsur penting yang justru absen 
dalam penjelasannya, seperti persekongkolan militer dengan intelektual dan pers 
antikomunis untuk mengarang cerita bohong di sekitar peristiwa itu. Semua 
cerita tentang "kekejaman PKI" yang menyiksa para jenderal di Lubang Buaya 
keluar pertama kali pada 11 Oktober, atau seminggu setelah tim dokter yang 
melakukan autopsi melaporkan bahwa tak seorang jenderal pun yang menjadi korban 
mengalami siksaan.



Peran Amerika Serikat (AS) juga tidak dapat dianggap sepi. Istilah Gestapu yang 
berupaya menyamakan kekejaman penculik dan pembunuh para jenderal itu dengan 
polisi rahasia Nazi, Gestapo, adalah produk propaganda yang cukup canggih. 
Menurut Carmel Budiardjo yang dikutip oleh Budiawan, istilah Gestapu adalah 
buah anjuran Guy Pauker, seorang konsultan pada Rand Corporation, sebuah 
lembaga penelitian yang dipercaya sebagai perpanjangan tangan Badan Pusat 
Intelijen AS (CIA) di masa itu. Penelitian George Kahin mengenai politik 
subversif AS di Indonesia selama akhir 1950-an memperlihatkan bahwa praktik 
menggalang opini publik melalui desas-desus dan media massa sudah sering 
dilakukan sebelumnya. Dan Indonesia di bawah Soekarno bukan satu-satunya 
sasaran psychological warfare AS. Wacana antikomunis yang menghadap-hadapkan 
komunisme dengan agama bukan sesuatu yang khas Indonesia, tetapi ditemukan juga 
di banyak negara Amerika Latin dan Asia Tenggara.



Keterlibatan media massa dalam psychological warfare pun perlu diperiksa lebih 
jauh. Sampai saat ini belum ada pemimpin media yang secara terbuka menjelaskan 
apa yang membuat mereka turut menyebarluaskan erita-cerita bohong mengenai 
kejadian di Lubang Buaya.



Sinar Harapan adalah satu-satunya surat kabar yang memuat laporan autopsi itu 
secara lengkap pada Desember 1965, saat pembunuhan yang paling mengerikan 
antara lain akibat kampanye fitnah mereka sebelumnya, sudah berlalu. Surat 
kabar lain sementara itu terus mengulang cerita yang sama, mestinya dengan 
kesadaran penuh bahwa cerita itu bohong belaka. Budiawan sayangnya tidak 
berusaha melampaui temuan Saskia Wieringa atau Ben Anderson mengenai peran 
media dalam konstruksi fantasi ini, padahal masalah tersebut begitu penting 
bagi seluruh bangunan tesisnya.



Penelitian saksama terhadap pihak-pihak yang secara aktif membentuk fantasi 
antikomunis dan narasi dominan tentang komunisme ini perlu dilakukan bukan 
hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu, tetapi punya arti strategis. 
Dekonstruksi narasi antikomunis kiranya bisa lebih efektif jika "pihak ketiga" 
yang turut menciptakan permusuhan abadi agama dan komunisme bisa dihadirkan 
secara proporsional. Di tingkat akar rumput, misalnya, akan sangat berguna jika 
pihak-pihak yang terlibat upaya rekonsiliasi tahu bahwa "kebenaran sejarah" 
yang mereka pegang hanyalah cerita khayal, dan bahwa banyak hal yang semula 
diduga bersumber pada "tradisi antikomunis" yang melekat pada setiap ajaran 
agama sesungguhnya hanya sesuatu yang disuntikkan dari luar.



Pertarungan politik dan kelas



Wilayah bahasan lain yang terkait dengan asal-usul fantasi antikomunis ini 
adalah kaitan antara politik antikomunis dengan pertentangan kelas dan 
pergulatan kuasa di kalangan elite. Dalam Bab Kedua, Budiawan menggambarkan 
kontroversi di sekitar pencabutan Tap XXV/MPRS/1966 semasa pemerintahan 
Abdurrahman Wahid (halaman 58-73). Namun, uraian itu tidak menelaah lebih jauh 
dimensi politik dari kontroversi tersebut karena lebih sibuk melihat keteguhan 
kelompok antikomunis dalam membela keyakinan mereka. Gelombang pasang 
antikomunis di satu sisi memang merupakan reaksi langsung terhadap pernyataan 
Abdurrahman Wahid yang menyarankan agar ketetapan MPRS itu dicabut, tetapi di 
sisi lain juga merupakan bagian dari penggalangan kekuatan untuk menjatuhkan 
Abdurrahman Wahid dari jabatannya. Mereka menuduh Abdurrahman Wahid membiarkan 
istana dipenuhi "orang komunis" dan bahwa kalangan muda NU pendukungnya adalah 
"komunis yang berkedok Islam".



Politik antikomunis di sini tidak bersumber pada keyakinan politik tertentu, 
tetapi sekadar menjadi alat dari kelas atau kelompok yang berebut kuasa. Di 
Cile, politik antikomunis yang kemudian berujung pada kudeta terhadap Salvador 
Allende disuarakan terutama oleh kaum industrialis dan tuan tanah yang 
bersekutu dengan partai politik Kristen kanan dan militer, serta mendapat 
dukungan relatif terbuka dari badan intelijen serta kalangan bisnis Amerika 
Serikat. Simbol agama di sini hanya dipakai untuk menyelubungi politik kelas 
ketimbang sebaliknya. Di Indonesia ketegangan kelas memang tidak muncul ke 
permukaan, antara lain karena PKI tidak memerintah dan juga tidak mengembangkan 
program sosial-ekonomi seperti halnya Unidade Popular di Cile. Tetapi bukan 
berarti bahwa kampanye antikomunis sepenuhnya bebas dari kepentingan kelas.



Contoh lain yang memperlihatkan bahwa wacana antikomunis bukan hanya ekspresi 
ingatan kolektif yang membatu terlihat dari penggunaannya dalam konflik di 
kalangan elite sendiri. Selama Orde Baru, wacana antikomunis sering digunakan 
dalam perebutan jabatan politik dan menyerang lawan politik. Banyak tokoh 
pemuda yang kemudian menjadi pejabat atau politikus penting hampir semuanya 
punya catatan memimpin aksi atau kampanye antikomunis tertentu. Akbar Tandjung, 
misalnya, pada 1980 memimpin kelompok pemuda yang mendesak pemerintah untuk 
melarang peredaran Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tentu bukan 
kesetiaan pada sikap "antikomunis" yang membuat Tandjung kemudian berperan 
penting dalam politik, tetapi kemampuannya untuk menggalang kekuatan mengambil 
sikap dalam keadaan tertentu.



"Bahaya laten komunis" kadang hanya menjadi alat untuk menekan lawan politik 
ketimbang sasaran yang harus dihancurkan. Hal ini tampak pada kampanye "bersih 
diri" dan "bersih lingkungan" selama masa Orde Baru. Cukup banyak pejabat yang 
coba dijatuhkan dengan keterlibatan mereka dengan G30S atau organisasi massa 
yang dicap "komunis", atau hubungan darah dengan orang yang terlibat. Tidak 
kurang dari Wakil Presiden Letjen Sudharmono yang menjadi sasaran kampanye 
semacam ini saat namanya beredar sebagai calon wakil presiden.

Tuduhan itu tidak terdengar lagi setelah perebutan jabatan berakhir, dan pihak 
yang menuduhnya tidak pernah berniat membunuh atau menyeretnya ke tahanan untuk 
"membasmi komunis sampai ke akar-akarnya", seperti yang dilakukan terhadap 
ratusan ribu orang lain.



Dalam situasi seperti ini, narasi antikomunis hanya alat untuk menggalang 
kekuatan dalam perebutan kuasa. Dari oportunisme politik ini kemudian lahir 
bermacam pernyataan dan tindakan yang absurd, seperti pembakaran buku Pemikiran 
Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno oleh kelompok antikomunis yang seharusnya 
justru membaca buku itu dengan saksama untuk mempertebal keyakinan mereka. 
Oportunisme yang sama tampak dalam sikap pemerintah yang mencla-mencle dalam 
kampanye "bersih diri" dan "bersih lingkungan".

Jika penguasa memang konsisten, maka ada banyak pejabat tinggi yang tidak akan 
pernah menjadi pejabat karena nama mereka tercantum dalam Dewan Revolusi yang 
dibentuk oleh Gerakan 30 September.



Jika melihat persoalan ini, maka hambatan bagi rekonsiliasi dan demokratisasi 
bukan hanya fantasi dan narasi "sejarah" yang jungkir balik, tetapi juga 
dominasi elite dalam kehidupan politik. Budiawan sendiri sempat menyinggung 
masalah ini ketika membahas godaan politisasi upaya rekonsiliasi di tingkat 
akar rumput di Blitar (halaman 221-24) ketika sejumlah tokoh Partai Kebangkitan 
Bangsa setempat berusaha menyambung agenda rekonsiliasi itu dengan kepentingan 
meraih suara dari kalangan eks tapol di wilayah tersebut. Upaya politisasi 
tidak hanya terjadi di tingkat lokal, tetapi kerap mewarnai upaya pengungkapan 
kebenaran dan rekonsiliasi selama ini.

Dalam pemilihan presiden 2004, masalah kekerasan masa lalu menjadi alat untuk 
menyerang calon presiden dari kalangan militer. Mereka yang melakukan serangan 
itu tentu tidak bermaksud mengungkap dan menangani peristiwa itu sampai tuntas, 
tetapi semata-mata berkepentingan melemahkan dukungan terhadap para calon itu.



Penelitian lebih mendalam terhadap aspek-aspek yang belum ditelaah sampai 
tuntas ini tentu akan berpengaruh terhadap berbagai strategi rekonsiliasi yang 
dijabarkan Budiawan dalam penutup bukunya (halaman 246-254). Jika dimensi kelas 
yang disebutkan di atas ditelaah lebih jauh, maka ada berbagai ruang dan 
kemungkinan baru untuk menggalang solidaritas korban kekerasan dari berbagai 
peristiwa dan kasus.

Demikian pula jika masalah elite yang menunggangi upaya rekonsiliasi tidak 
dipahami dengan baik, maka ada banyak pekerjaan berharga yang sia-sia saja.



Ke arah rekonsiliasi



Ingatan yang membatu dan menjadi "sejarah" bukan hanya ada di kalangan yang 
antikomunis saja. Mereka yang dituduh atau memang komunis (dengan atau tanpa 
tanda petik) pun menghadapi masalah serupa. Setelah Soeharto jatuh, mulai ada 
sedikit ruang untuk bicara lebih terbuka, menyampaikan pengalaman sebagai 
korban secara lisan maupun tertulis. Ingatan kolektif mengenai penganiayaan dan 
penderitaan secara perlahan mulai terbentuk, dan menjadi "sejarah". Di satu 
sisi merekam suara korban dalam catatan sejarah sungguh penting untuk 
mengungkap apa yang selama ini digelapkan, tetapi di sisi lain timbul masalah 
jika penggalan sejarah yang hilang ini berkembang menjadi narasi yang berat 
sebelah.



Budiawan dengan cermat mencatat masalah ini. Menurut dia, narasi dominan 
tentang orang komunis bersifat berat sebelah karena hanya mencatat apa yang 
dilakukanorang komunis terhadap yang dialami, tetapi tidak mencatat apa yang 
kemudian mereka alami sebagai korban. Bahkan ada kecenderungan untuk menyangkal 
status mereka sebagai korban. Namun, demikian sebaliknya, para korban peristiwa 
1965 mengingat jelas penderitaan di bawah rezim Orde Baru, tetapi tidak banyak 
bicara tentang apa yang mereka lakukan sebelum peristiwa itu. Dengan kata lain, 
kelompok antikomunis mengingat apa yang dilupakan orang komunis, dan sebaliknya 
orang komunis mengingat apa yang dilupakan oleh kelompok antikomunis (halaman 
242). Sejarah tetap terbelah dan tidak ada titik temu, apalagi ruang untuk 
membicarakan masa lalu.



Jalan keluar dari situasi ini adalah jika masing-masing pihak melintas dari 
"kawasan" masing-masing dan mau menginjak, betapapun pahit, "kawasan" yang 
lain. Kaum muda NU dalam hal ini cukup berhasil mengajak beberapa kiai 
menyeberang ke "kawasan" yang lain, dan secara terbuka mendiskusikan peran 
Banser dalam pembunuhan massal, tetapi sebaliknya belum ada upaya dari kalangan 
eks tapol untuk menyeberang ke "kawasan" satunya dan berceritatentang apa yang 
mereka lakukan sebelum 1965. DiBlitar, kelompok muda NU dan komunitas eks tapol 
PKI sudah berhasil membuka ruang tersebut walau gemanya masih sangat lemah. 
Diperlukan waktu dan tenaga untuk memperluas ruang dialog tersebut, dan 
tentunya ketetapan hati untuk mengakhiri kekuasaan bebal yang senantiasa ingin 
menanamkan ingatan yang absurd tentang masa lalu kepada generasi selanjutnya.



Hilmar Farid Jaringan Kerja Budaya, Jakarta



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Fw: [temu_eropa] Budiawan: Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-komunis ... (r): Hilman Farid