[list_indonesia] [ppiindia] Fenomena Kemiskinan dan KKN

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 25 Mar 2005 00:17:59 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

SUARA KARYA

            Fenomena Kemiskinan dan KKN
            Oleh M Iswandi 


            Jumat, (25-03-'05)
            Harian ini (Suara Karya, 10/3'05) memberitakan bahwa Komisi VI 
DPR-RI akan memanggil paksa Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso terkait dengan 
rencana pembongkaran Pasar Regional Tanah Abang (PRTA) Blok B, C, D dan E. Hal 
itu dilakukan karena Gubernur DKI sudah dua kali dipanggil Komisi VI DPR-RI, 
namun tidak pernah hadir. Berdasarkan kajian yang dilakukan Komisi VI DPR-RI, 
ditemukan banyak pelanggaran dalam rencana pembongkaran PRTA Blok B-E. Antara 
lain, inkonsistensi Sutiyoso yang membangun bangunan baru di Blok B yang masa 
pakainya habis pada 2024, namun ketika 2004 akan dirobohkan. 

            Untuk membangun Blok B-E, PD Pasar Jaya juga tidak melakukan tender 
sesuai prosedur. Ini jelas menyalahi Keppres No 80 Tahun 2003. Sejak Juli 2004, 
ribuan pedagang di PRTA sudah beberapa kali berdemonstrasi menolak rencana 
pembongkaran Blok B-E, namun pihak Pemprov DKI Jakarta tampaknya tidak peduli 
dengan keberatan mereka. 

            Kasus penggusuran di Indonesia, juga sudah menjadi fenomena 
nasional. Pada berbagai kasus penggusuran, kebanyakan terjadi ketegangan, 
protes keras, bahkan caci maki dan isak tangis dari keluarga miskin. Kasus 
bongkar paksa tempat usaha dan rumah penduduk yang berlangsung dramatis sering 
terjadi di banyak kota besar. Berdasarkan data Uplink Jaringan Rakyat Miskin 
Kota Indonesia, hingga kini tak kurang dari 900.000 jiwa menjadi korban kasus 
penggusuran maupun perampasan kesempatan kerja pada berbagai kota di Indonesia. 

            Penggusuran paksa umumnya menimpa pemukiman warga miskin dan 
kegiatan ekonomi informal. Padahal, akumulasi penggusuran paksa itu menjadi 
sebuah ledakan penghancur peradaban. Akibatnya, kehidupan ekonomi informal, 
relasi dan kohesi sosial serta ekspresi budaya yang sudah terbangun berpuluh 
tahun lamanya, kini rusak dan tercerai berai. Kenaikan harga bahan bakar minyak 
(BBM) telah memperparah kehidupan kaum miskin yang kian terjepit trauma ekonomi 
maupun psikis, sehingga kini mengalami kerawanan pangan dan terganggunya akses 
pendidikan untuk anak-anak. 

            Di era modernisasi yang terjerat sekularisasi, pembangunan di 
negara-negara berkembang telah menimbulkan serangkaian masalah krusial dan 
kronik. Pertambahan penduduk yang tak terkendali, kerusakan lingkungan, utang 
negara yang kian bertumpuk, meningkatnya angka kejahatan/korupsi, tingkah elit 
politik sarat kekerasan seperti yang terjadi di DPR, carut-marutnya 
implementasi hukum, ditambah deraan arus neoliberalisme, telah membuat harapan 
rakyat kecil untuk bisa menikmati kemakmuran tinggal impian belaka. 

            Pertambahan penduduk akibat kelahiran maupun urbanisasi tak mampu 
disangga lagi, baik oleh kekuatan anggaran Pemda maupun lingkungan alam dan 
sosial di sekitarnya. Di satu sisi, kalaupun disertai kerja keras, kebijakan 
publik akan selalu tumpul berhadapan dengan pertambahan penduduk, sehingga 
ruang urban yang kian terbatas telah menciptakan "neraka-neraka" dunia di 
sejumlah kota metropolitan. Tetapi di sisi lain, pada skala nasional tampaknya 
negara tidak mampu membiayai ongkos jaringan sosial yang mestinya menjadi 
bantal bagi kaum miskin yang terlempar dari kompetisi lingkungan. 

            Realitas Kaum Miskin
            Mengacu pada analisis sosial George M Soares-Prabhu, kaum miskin 
merupakan kelompok masyarakat yang terpatri dalam tiga realitas sosial. 


            Pertama, identitas kelompok sosial kaum miskin sering dibentuk 
bukan oleh eksklusivitas sikap agamis, tapi dibentuk oleh situasi sosial 
mereka. Dalam konteks ini, kemiskinan merupakan problem sosiologis-material 
yang harus diangkat secara sosial-material lintas agama, lintas etnik, dan 
lintas golongan. 

            Kedua, kaum miskin merupakan kelompok dialektis yang situasinya 
sering ditentukan kelompok-kelompok antagonis yang menindas/melawan mereka atas 
nama kekuasaan. Karenanya, pengentasan mereka dari kemiskinan justru kerap 
menjadi tindakan ironis seperti tampak dalam aksi penggusuran paksa. Padahal, 
mereka butuh perlindungan, kenyamanan, keamanan, dan kesejahteraan. Bukan 
penertiban paksa ala tentara dan penguasa. 

            Ketiga, kaum miskin merupakan kelompok dinamis dalam arti bukan 
sebagai korban sejarah yang pasif, melainkan kelompok yang secara ilahiah 
justru membentuk sejarah kehidupan. Dalam konteks inilah, kemenangan Megawati 
Soekarnoputri pada Pemilu 1999, dan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono pada 
Pemilu 2004 sesungguhnya bukanlah faktor kebetulan, tetapi merupakan 
manifestasi dari jargon "suara rakyat adalah suara Tuhan" (vox populi, vox 
Dei). Itu adalah sejarah yang selalu terukir dalam diri rakyat miskin, lemah 
dan tertindas. 

            Agaknya dalam keyakinan inilah Bung Karno menyerukan lewat 
kata-kata, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah", apalagi jika terkait 
penderitaan kaum fakir-miskin yang potensial menjadi "bom waktu" bagi 
masalah-masalah sosial. Ironisnya, suara rakyat lagi-lagi disalahgunakan oleh 
pemimpin yang menang Pemilu, karena para pemimpin telah menyalahi janjinya 
ketika kampanye Pemilu untuk segera melakukan perubahan nasib bagi wong cilik. 

            Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2003, jumlah masyarakat 
miskin di Indonesia tercatat lebih dari 15 juta kepala keluarga yang meliputi 
37,5 juta jiwa. Dengan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), jumlahnya 
tembus mendekati 40 juta jiwa. Tiga juta di antaranya adalah anak-anak. Mereka 
kini terpaksa terjun ke jalanan (menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan) 
untuk sekadar mempertahankan hidup. Dari tiga juta jiwa anak itu, diprediksi 
hanya 25 persen yang berprilaku baik. 

            Sementara kekerasan hidup dan lingkungan pergaulan yang tidak 
kondusif mengakibatkan sisanya akan tumbuh sebagai anak jalanan, dan ke depan 
merupakan "bom waktu" karena mereka bisa berprilaku ke arah kriminalitas. Sebab 
itu, pemerintahan Yudhoyono tidak bisa setengah hati dalam mengatasi beragam 
problem sosial-ekonomi -- termasuk masalah penggusuran -- yang kian mencekik 
kaum miskin. Pemerintahan Yudhoyono harus menciptakan jurus-jurus baru untuk 
mencabut akar masalah yang menyangkut kemiskinan itu. Jika tidak, maka problem 
sosial-ekonomi kaum miskin akan semakin kompleks, sehingga akan lebih sukar 
ditangani. 

            Terkait KKN


            Penggusuran paksa terhadap warga penduduk miskin selalu memiliki 
benang merah dengan masalah kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang kian 
meruyak di negara kita. Banyak formula yang ditawarkan para ekonom dan 
janji-janji dari para politikus ketika berkampanye pemilu, mulai dari upaya 
percepatan pertumbuhan ekonomi, program pengentasan kemiskinan, dan lain 
sebagainya. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah komitmen, konsistensi, 
keberanian moral, kemampuan dari semua pihak terkait serta political will dari 
pemerintah dalam penegakan hukum dan pemberantasan KKN, selain keteladanan para 
pemimpin kita. 

            Kasus penggusuran paksa merupakan batu ujian bagi para penegak 
hukum. Penggusuran paksa mestinya tidak terjadi, jika master plan rencana tata 
ruang wilayah perkotaan memang bagus. Tetapi pejabat yang berkompeten banyak 
yang tidak konsisten dan terlibat KKN atau menerima suap, sehingga penggusuran 
paksa merajalela terutama di kota-kota besar. 

            Penggusuran dengan pemaksaan, sering terjadi karena pejabat 
pemerintah berikut pihak-pihak terkait hendak secepatnya membebaskan tanah yang 
bersangkutan, sementara mereka tidak dapat memenuhi besarnya tuntutan ganti 
rugi untuk para korban penggusuran. Jika para korban memiliki bukti-bukti kuat, 
mereka berhak mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri setempat. 

            Sekadar contoh kasus, penggusuran warga Tanjung Duren, Jakarta 
Barat, misalnya, menuai gugatan para warga setempat via Pengadilan Negeri 
Jakarta Barat. Gugatan mereka beberapa waktu lalu, menurut kuasa hukum warga 
Tanjung Duren, Petrus Leatomu, pada prinsipnya dilakukan atas kerugian bahan 
bangunan dari rumah milik sekitar 280 keluarga yang hilang akibat penggusuran. 
Padahal, warga setempat memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan Kartu Keluarga 
(KK) yang sah dari Pemda DKI Jakarta, bahkan memiliki bukti surat perjanjian 
dengan Agustina Munawar (selaku pemilik tanah) untuk menempati/membangun rumah 
di atas tanah Gerald Tugo Faber selaku ahli warisnya. 

            Walikota Jakarta Barat, PT Sinar Slipi Jaya, Badan Pertanahan 
Nasional Provinsi DKI Jakarta, dan Agustina Munawar, dianggap telah melakukan 
perbuatan melawan hukum karena melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 
tentang Hak Asasi Manusia, UU No 4/1992 tentang Perumahan, dan Kitab UU Hukum 
Perdata. 

            Jika pihak penggusur seperti kasus di atas tidak mau menuai 
gugatan, mereka seharusnya memberikan alternatif secara win-win solution. 
Misalnya, para warga yang tergusur diberikan lokasi perumahan baru/rumah susun 
atau kompensasi sepadan lainnya. Namun hal terpenting itu tidak dapat dipenuhi, 
antara lain karena berbagai kelemahan dari kebijakan pemerintah. Selama ini, 
karena kepastian hukum tidak berjalan, kadang ada kepentingan khusus dari 
pemodal besar di balik penggusuran, sedangkan pihak yang digusur tidak 
memperoleh alternatif yang mereka harapkan. Sebab itu, semua pihak terkait 
perlu berpartisipasi dalam pengelolaan dan perumusan kebijakan pemerintah, 
sehingga mereka tahu persis dan terlibat dalam keputusan-keputusan pemerintah. 

            Begitu juga jika penggusuran yang menyangkut kepentingan publik 
seperti pelebaran jalan, atau proyek penanggulangan bencana banjir, seperti 
proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang menuntut pembebasan tanah secepatnya, maka 
pihak tergusur juga berhak mendapat ganti rugi yang memadai, minimal sesuai 
dengan nilai jual obyek pajak (NJOP). Jika pihak Pemprov DKI Jakarta tidak 
memberikan besaran ganti rugi yang memadai, maka proses pembebasan tanah 
tersebut menjadi berlarut-larut. *** 

            (Penulis, peneliti bekerja di Universitas Indonesia).  
     
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Fenomena Kemiskinan dan KKN