[list_indonesia] Re: [ppiindia] BBM dan Ironisme Kaum Intelektual

  • From: ANDREAS MIHARDJA <mihardja@xxxxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Fri, 4 Mar 2005 00:31:23 -0800 (PST)

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

Ini kaum intelectual menulis BS. tidak logic dari sudut macro atau micro 
economy. Rupanya mereka hanya supporter pemerintah. Atau mereka kurang 
pendidikan yg logic atau up to date dlm bidang ekonomi
Indonesia tidak sanggup berikan subsidie lagi karena harus import. Kalau BBM 
made in Indonesia maka tanpa subsidie juga sudah jadi lebih murah. 
Didalam ongkos beli BBM ini harus diperhitungkan ongkos BBM dipasaran dunia + 
ongkos transport dari lautan Arab ke Indonesia + ongkos % importer + ongkos % 
utk memperlicin surat2 import. 
Kalau made in Indonesia hanya ongkos BBM sipasaran dunia harus dibayar jadi 
sudah 30-40% lebih murah. dan dipotong % untuk dijual tanpa profit.  Ini tanpa 
subsidi.
Simple logic bukan ???
Politik ini hanya sandiwara ketidak mampuan pemerintah.
Andreas

Ambon <sea@xxxxxxxxxx> wrote:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/03/opi01.html

BBM dan Ironisme Kaum Intelektual
Oleh Triyono Lukmantoro

Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akhirnya dinaikkan pemerintah pada 1 Maret 
2005. Ini bukan kabar yang mengejutkan karena rencana menaikkan harga BBM 
sudah menjadi perbincangan umum. Yang sangat mengagetkan adalah sikap yang 
ditunjukkan sejumlah intelektual. Melalui iklan di media cetak ibu kota, 
sebanyak 36 intelektual, di antaranya akademisi, sastrawan, jurnalis, 
peneliti dan juru bicara presiden, menyatakan mendukung kebijakan menaikkan 
harga BBM.
Judul iklan itu sangat provokatif, yaitu Mengapa Kami Mendukung Pengurangan 
Subsidi BBM? Dalam iklan itu dipaparkan argumentasi yang terkesan sedemikian 
meyakinkan, seperti subsidi pemerintah melalui BBM tidak tepat sasaran 
karena justru dinikmati oleh golongan kaya, murahnya harga BBM di dalam 
negeri menyebabkan terjadinya penyelundupan, meneruskan praktik inefisiensi 
serta memperlebar ketidakdilan. Juga disajikan data statistik yang sangat 
memberikan optimisme bagi pengurangan jumlah penduduk miskin Indonesia: 
Kondisi awal penduduk miskin 16,25%. Jika terjadi kenaikan harga BBM 30%, 
maka penduduk miskin menjadi 16,43%. Namun, setelah pemerintah memberikan 
kompensasi, penduduk miskin menurun menjadi 13,87%.

Salahkah kalangan intelektual menunjukkan sikapnya dengan cara beriklan? 
Pantaskah kaum intelektual mendukung kebijakan pemerintah yang sekilas sama 
sekali tidak memihak rakyat kecil? Sejumlah pertanyaan sejenis itu pantas 
bermunculan. Sebab, melalui pemasangan iklan itu, terdapat sebuah "tradisi 
baru" yang dipertontonkan oleh kalangan intelektual dalam menyikapi 
kebijakan pemerintah.
Selama ini, terutama dalam rezim politik yang represif dan otoriter, 
kalangan intelektual selalu menunjukkan sikap bermusuhan terhadap kekuasaan. 
Ketika kalangan intelektual memihak rezim politik yang sedang berkuasa 
sekarang, berarti pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memang 
sudah demokratis? Sudah pasti bukanlah hal yang keliru kalau kaum 
intelektual membela kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa. Sebab, 
sebagaimana dikemukakan filosof Michel Foucault, kekuasaan tidak selalu 
bersifat represif. Kekuasaan dapat juga menunjukkan wataknya yang positif 
dalam bentuk kewenangan untuk melakukan regulasi.
Kekuasaan juga memiliki kebenaran karena didukung oleh sejenis pengetahuan 
(dan ideologi) tertentu yang memberikan legitimasi baginya untuk diterima 
oleh semua pihak (terutama masyarakat kebanyakan).


Jalinan Relasional
Yang harus diberikan penegasan adalah antara kekuasaan, pengetahuan 
(ideologi) serta kebenaran memiliki jalinan relasional yang sulit untuk 
dipisahkan. Apabila kekuasaan selalu mengatakan "tidak" dan berkarakter 
opresif, tidak mungkin kekuasaan itu dapat diterima oleh rakyat. Jadi, 
prinsipnya, kekuasaan (negara) memang tidak selalu bersalah.
Keterlibatan kaum intelektual dalam kekuasaan pun tidaklah harus dicela 
sebagai sejenis perbuatan yang terkutuk. Antonio Gramsci bahkan semenjak 
awal sudah mendorong agar kaum intelektual selalu terlibat, berinteraksi, 
dan bahkan kalau perlu masuk dalam struktur kekuasaan itu sendiri. Maka, 
Gramsci pun membagi intelektual menjadi dua jenis, yaitu intelektual 
tradisional dan intelektual organis.

Pada jenis intelektual yang pertama dapat dicontohkan guru, ulama, serta 
administratur yang secara rutin menjalankan pekerjaan yang sama dari waktu 
ke waktu. Keterlibatan dengan masyarakat dan kekuasaan pun sengaja 
dihindarkan. Sedangkan pada jenis intelektual kedua dapat dicontohkan mereka 
yang terlibat secara langsung dengan kelas dan sejumlah perusahaan untuk 
berbagai kepentingan, kekuasaan serta pengendalian.

Di sini sosok teknokrat dan staf ahli pejabat negara pun, misalnya, dapat 
ditunjuk sebagai sekelompok intelektual organis. Namun, dalam kasus 
pemasangan iklan yang berisi dukungan terhadap pemerintah untuk mengurangsi 
subsidi BBM tersebut, kalangan intelektual itu layak disebut intelektual 
organis. Inilah persoalan yang sulit untuk diberikan evaluasinya.
Sebab, kedudukan dan status profesionalitas ke-36 intelektual itu sangat 
beragam. Jadi, ada yang duduk dalam struktur pemerintahan serta ada juga 
yang berposisi di luar tatanan kekuasaan resmi negara. Mereka yang menduduki 
jabatan dalam pemerintahan, di antaranya adalah Anggito Abimanyu, Andi 
Mallarangeng, serta Dino Patti Djalal. Sementara yang beroposisi di luar 
struktur kekuasaan negara, di antaranya adaah Ayu Utami, Franz 
Magnis-Suseno, serta Goenawan Mohamad.

Hanya satu saja yang mengikat keanekaragaman profesionalitas serta status 
sosial kaum intelektual itu, yakni iklan itu mengatasnamakan (dan secara 
otomatis juga dibiayai?) lembaga Freedom Institute. Bukankah institusi itu 
didanai oleh konglomerat besar yang sekarang menjabat sebagai Menteri 
Koordinator Perekonomian, yaitu Aburizal Bakrie? Selain itu, Freedom 
Institute juga memiliki slogan (semboyan) Center for Democracy, Nationalism, 
and Market Economy Studies.
Sudah pasti slogan bukanlah sekadar sederetan kata-kata kosong tanpa makna, 
tetapi juga bernilai ideologis (mengandung sejumlah pemikiran yang diyakini 
sebagai kebenaran konkret karena berisi jalan hidup. Sehingga dapat 
dikatakan kalangan intelektual yang beraneka karakter ideologinya itu 
tampaknya mampu dipersatukan untuk tidak mengatakannya sebagai ditundukkan 
oleh sebuah institusi yang membela kepentingan pasar.

Jadi, secara sadar atau tidak, kalangan intelektual itu tampaknya memiliki 
kecenderungan menyetujui ideologi neoliberalisme yang secara konkret telah 
menghancurkan negara-negara berkembang. Dalam suasana keterhubungan yang 
melibatkan pejabat negara, penyandang dana, serta sejumlah intelektual yang 
berposisi di luar negara semacam itu, kita dapat saja (serta sangat pantas) 
menaruh kecurigaan bahwa yang terjadi adalah konspirasi. Apalagi iklan 
dukungan itu dipasang menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM.

Apakah ini sekadar faktor kebetulan belaka? Tampaknya, tidak! Sehingga kita 
dengan tegas harus mengatakan kalangan intelektual itu sengaja bersedia, dan 
memang menyediakan diri, untuk digunakan sebagai "bemper" atau pun "tameng 
pengaman" bagi pihak pemerintah. Dan, pihak pemerintah pun akan dengan 
gampang melanjutkan programnya untuk mencabut subsidi BBM karena telah 
mendapatkan dukungan moral dari kaum intelektual.


Pasukan Khusus
Apabila kita menggunakan perspektif Gramscian untuk menilai peristiwa itu, 
maka kalangan intelektual telah dijadikan sebagai sekelompok pasukan khusus 
yang menjalankan peperangan pada tingkat penanaman kesadaran dalam benak 
masyarakat. Maksudnya sebelum pemerintah melakukan gebrakan secara terbuka 
dan melakukan serangan secara fisik dalam bentuk pengerahan kebijakan 
pencabutan subsidi BBM, pemerintah sudah menciptakan situasi-situasi khusus 
atau pra-kondisi ideologis.
Yakni, suatu pengertian yang dapat diterima dalam derajat kejernihan 
pemikiran bahwa kenaikan harga BBM merupakan sebuah langkah yang rasional 
dan justru memihak kepada rakyat. Hal ini berarti juga bahwa kalangan 
intelektual telah dijadikan sebagai pelicin bagi pemerintah untuk melakukan 
penetrasi politis, sehingga masyarakat pun akan gampang direngkuh.
Di sinilah moralitas serta pilihan etis kaum intelektual itu layak 
dipertanyakan. Menyampaikan pendapat, sikap atau pun gagasan yang kebetulan 
sesuai dan bahkan sangat persis dengan berbagai kebijakan penguasa bukanlah 
hal yang keliru. Namun, apabila kalangan intelektual itu sengaja menyediakan 
diri untuk dimobilisasikan opini serta pendiriannya oleh lembaga yang 
memiliki jalinan dengan kekuasaan negara, maka berbagai gugatan pun layak 
dilontarkan. Sebab, yang pantas dikhawatirkan adalah independensi kalangan 
intelektual memang telah sengaja dipersembahkan bagi pihak yang berkuasa.
Dalam relasi kekuasaan semacam ini, intelektual tidak lebih berperan sebagai 
sekelompok klien yang dipayungi oleh patron. Dalam langkah politis 
berikutnya, sekelompok intelektual-klien itu menjadi alas kaki bagi 
perjalanan kekuasaan sang pejabat-patron.

Menjadi relevan dalam kasus ini apabila kita merujuk pendapat yang 
dikemukakan oleh Edward W. Said. Dalam bukunya yang berjudul Peran 
Intelektual (1998: 93), Said dengan tegas menyatakan: "Intelektual harus 
mengitari, harus punya ruang untuk berdiri dan berkata balik kepada 
otoritas, karena kepatuhan mati kepada otoritas dalam dunia sekarang 
merupakan salah satu ancaman terbesar bagi kehidupan intelektual yang aktif 
dan bermoral." Apa yang dimaksudkan Said sebagai otoritas itu tidak lain 
adalah "dewa-dewa" yang akan berperan sebagai patron yang memberikan 
berbagai fasilitas dari yang berwujud jabatan, uang, serta popularitas nama.

Apabila kalangan intelektual tidak menyadari situasi ini, maka sikap 
ironisme yang agaknya sedang dimainkan kalangan intelektual kita. Yaitu, 
pura-pura tidak mengetahui kekuasaan tidak selamanya berwajah represif, 
namun juga dapat bertransformasi dalam formula yang lebih persuasif dan 
berisi bujukan dan rayuan.


Penulis adalah pengajar filsafat dan etika pada Jurusan Ilmu Komunikasi 
FISIP Universitas Diponegoro Semarang.





***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx



Yahoo! Groups SponsorADVERTISEMENT


---------------------------------
Yahoo! Groups Links

   To visit your group on the web, go to:
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/
  
   To unsubscribe from this group, send an email to:
ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx
  
   Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts: