** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/18/sh05.html Apatisme Rakyat dan Banalitas Politik Oleh Wartawan "SH" FRANSISCA RIA SUSANTI JAKARTA - Penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir-akhir ini bukan hanya diteriakkan ratusan orang yang menggelar demonstrasi di jalanan. Suara sama juga bergaung di gedung parlemen. Namun jangan pernah bermimpi bahwa kedua penolakan ini akan menjadi kekuatan politik yang bersinergi. Lihatlah demonstrasi penolakan BBM di jalan-jalan yang digelar organisasi mahasiswa, kelompok perempuan, sopir angkot dan ibu rumah tangga. Demonstrasi tersebut tak pernah lebih besar dari demonstrasi anti - Malaysia yang disulut perebutan Blok Ambalat. Sementara di gedung parlemen, sikap fraksi berubah dalam hitungan menit. Dengarlah suara keras penolakan kenaikan BBM yang ditunjukkan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), mendadak melunak keesokan hari pasca pertemuan Ketua Umum PPP Hamzah Haz dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlangsung tertutup. Dalam pemandangan fraksi-fraksi terkait kenaikan BBM di gedung parlemen, Selasa (15/3) petang, perwakilan F-PPP merekomendasikan agar pembahasan kenaikan BBM dikembalikan ke komisi terkait. Sementara Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) yang meneriakkan penolakan kenaikan BBM dengan kegarangan yang sama dengan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), ternyata cuma menyebut istilah peninjauan kembali - bergenit -genit dengan eufimisme - untuk menyatakan penolakan. Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) lebih seru lagi. Setelah beriringan dengan F-PDIP dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) melontarkan tudingan bahwa pemerintah melakukan pelanggaran UU No 36/2004 tentang APBN 2005 dan UU 17/2005 tentang Keuangan Negara, tiba-tiba Rabu (16/3) bersepakat dengan sejumlah fraksi lainnya untuk mengembalikan pembahasan kenaikan BBM ke komisi. Demikian halnya dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS). Melunaknya sikap sejumlah fraksi ini membuat Ketua DPR Agung Laksono merasa "percaya diri" saat mengetok palu sidang paripurna Rabu (16/3) petang dengan keputusan voting untuk pilihan: mengembalikan pembahasan BBM ke komisi atau membuat keputusan sikap DPR di paripurna. Kontan sikap "percaya diri" Agung Laksono ini berbuntut panjang. Sejumlah anggota DPR dari F-PDIP - sebagian dengan alasan microphone mati- maju ke depan meja pimpinan sidang paripurna dan membuat ricuh. Sebuah adegan yang kemudian disiarkan oleh media televisi dan membuat miris warga yang pernah memilih mereka sebagai wakil dalam pemilu legislatif lalu. Elitisme Partai Menjadi pahlawan atau pecundangkah para anggota DPR dari F-PDIP yang sejak pemerintah menaikkan harga BBM per 1 Maret lalu, terus menerus melontarkan penolakan? Lalu bagaimana dengan F-KB yang hingga Rabu masih seiring dengan F-PDIP? Bagaimana pula dengan F-PAN, F-PKS, F-PBR yang setelah rapat konsultasi Kamis (17/3) kemarin kembali bersikap tegas untuk menolak BBM jika opsi F-PDIP agar paripurna Senin (21/3) membuat keputusan untuk menolak atau menerima kenaikan BBM disetujui pimpinan dewan. Pertunjukan adu ngotot para wakil rakyat di parlemen mirip dengan opera sabun yang diputar berulang. Tak ada yang mengejutkan. Para penonton sudah bisa meraba akan ke mana cerita itu berakhir. Teriakan para penolak kenaikan BBM di parlemen sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan keberpihakan kepada rakyat yang menanggung dampak paling riil dari kenaikan BBM. Jika para wakil rakyat ini betul-betul menunjukkan keberpihakan, mestinya jauh-jauh hari mereka melakukan kerja-kerja politik untuk memasok kesadaran pada kader mereka tentang apa yang harus dilakukan dalam menyikapi kebijakan pemerintah, salah satunya soal kenaikan BBM. Seharusnya -jika kita belum ditahbiskan sebagai bangsa pelupa- kita masih ingat bahwa kebijakan kenaikan BBM ini sudah dirancang jauh-jauh hari. Kenaikan BBM merupakan kebijakan ekonomi politik neoliberal yang sepaket dengan kebijakan privatisasi perusahaan negara, rescheduling utang luar negeri, liberalisasi impor, dan sebagainya yang di akhir 1997 dianjurkan oleh IMF melalui kesepakatan LoI (Letter of Intent). Anjuran IMF yang dikenal sebagai model kebijakan Structural Adjusment Policy (SAP) tersebut dipraktikkan oleh pemerintahan Soeharto, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan neo-liberalisme sendiri memiliki arti penghapusan campur tangan negara (baca: pemerintah) dari segala kebijakan menyangkut perkembangan dan dinamika ekonomi pasar dan sektor privat (swasta) dengan mendukung proses liberalisasi perdagangan global yang bebas dari proteksi dan subsidi negara atas kemampuan ekonomi rakyatnya. Sayangnya, kita adalah bangsa yang cepat lupa. Parpol pun sekadar menjadi partai salon yang bergenit-genit dengan penampilan, tapi miskin ideologi. Pendidikan politik kepada para kader dan simpatisan partai di tingkatan akar rumput hanya merupakan utopia. Para kader dan simpatisan ini hanya diperah suaranya untuk proses pemilu lima tahun sekali. Setelah itu, mereka kembali dibiarkan menjadi massa mengambang (floating mass). Lalu apa bedanya dengan Orde Soeharto? Parpol masih bertengger sebagai kaum elitis yang sibuk melakukan klaim, tanpa menyentuh komunitas basisnya. Apa yang diperjuangkan partai kemudian memiliki muara yang sama sekali berbeda dengan aspirasi kader dan simpatisan yang berada di tataran akar rumput. Teriakan penolakan kenaikan BBM di luar dan di dalam parlemen mungkin memiliki nada yang sama. Namun muara dari kedua penolakan ini sama sekali berbeda. Kelompok radikal di parlemen mungkin berharap penolakan BBM akan bermuara pada pergantian pemerintahan. Sedangkan kelompok setengah radikal berharap lain kali pemerintah bicara dulu sebelum mengambil keputusan dan mendesak agar kompensasi subsidi diamati cermat. Sementara di luar, nasib rakyat terus bergulir. Mereka harus berjuang sendirian, menyiasati laju kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus melaju akibat kenaikan BBM. Partai politik, bagi rakyat, tak ada bedanya dengan para pemain opera sabun. Orang-orang berpenampilan rupawan yang sibuk dengan akting jatuh cinta dan patah hati dengan alur cerita yang sudah bisa ditebak. Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan bahwa kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditas (culture industri) hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal (banal), yang di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang bersifat temporer. Hal sama terjadi di politik. Ruang-ruang publik politik telanjur dipenuhi oleh segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal, dan populer. Sama sekali tidak konstruktif bagi pendidikan publik politik. Sayangnya, parpol -yang diyakini sebagai pelopor perubahan- juga terjebak dalam situasi ini. Jadi kalau Anda menyaksikan teriakan penolakan kenaikan BBM di parlemen akan bersambut dengan gelombang demonstrasi rakyat berhari-hari, juga pemogokan yang melumpuhkan negeri, maka Anda pasti bermimpi. Rakyat telanjur apatis dengan tontonan politik yang terlalu melelahkan ini. *** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **