[list_indonesia] [ppiindia] Apatisme Rakyat dan Banalitas Politik

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 18 Mar 2005 12:27:21 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0503/18/sh05.html

Apatisme Rakyat dan Banalitas Politik   

Oleh Wartawan "SH"
FRANSISCA RIA SUSANTI

JAKARTA - Penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir-akhir ini 
bukan hanya diteriakkan ratusan orang yang menggelar demonstrasi di jalanan. 
Suara sama juga bergaung di gedung parlemen. Namun jangan pernah bermimpi bahwa 
kedua penolakan ini akan menjadi kekuatan politik yang bersinergi. 
Lihatlah demonstrasi penolakan BBM di jalan-jalan yang digelar organisasi 
mahasiswa, kelompok perempuan, sopir angkot dan ibu rumah tangga. Demonstrasi 
tersebut tak pernah lebih besar dari demonstrasi anti - Malaysia yang disulut 
perebutan Blok Ambalat.



Sementara di gedung parlemen, sikap fraksi berubah dalam hitungan menit. 
Dengarlah suara keras penolakan kenaikan BBM yang ditunjukkan Fraksi Partai 
Persatuan Pembangunan (F-PPP), mendadak melunak keesokan hari pasca pertemuan 
Ketua Umum PPP Hamzah Haz dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang 
berlangsung tertutup. 
Dalam pemandangan fraksi-fraksi terkait kenaikan BBM di gedung parlemen, Selasa 
(15/3) petang, perwakilan F-PPP merekomendasikan agar pembahasan kenaikan BBM 
dikembalikan ke komisi terkait.

Sementara Fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR) yang meneriakkan penolakan 
kenaikan BBM dengan kegarangan yang sama dengan Fraksi Partai Demokrasi 
Indonesia Perjuangan (F-PDIP), ternyata cuma menyebut istilah peninjauan 
kembali - bergenit -genit dengan eufimisme - untuk menyatakan penolakan. 


Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) lebih seru lagi. Setelah beriringan 
dengan F-PDIP dan Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) melontarkan tudingan bahwa 
pemerintah melakukan pelanggaran UU No 36/2004 tentang APBN 2005 dan UU 17/2005 
tentang Keuangan Negara, tiba-tiba Rabu (16/3) bersepakat dengan sejumlah 
fraksi lainnya untuk mengembalikan pembahasan kenaikan BBM ke komisi. Demikian 
halnya dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS). 

Melunaknya sikap sejumlah fraksi ini membuat Ketua DPR Agung Laksono merasa 
"percaya diri" saat mengetok palu sidang paripurna Rabu (16/3) petang dengan 
keputusan voting untuk pilihan: mengembalikan pembahasan BBM ke komisi atau 
membuat keputusan sikap DPR di paripurna.


Kontan sikap "percaya diri" Agung Laksono ini berbuntut panjang. Sejumlah 
anggota DPR dari F-PDIP - sebagian dengan alasan microphone mati- maju ke depan 
meja pimpinan sidang paripurna dan membuat ricuh. Sebuah adegan yang kemudian 
disiarkan oleh media televisi dan membuat miris warga yang pernah memilih 
mereka sebagai wakil dalam pemilu legislatif lalu. 

Elitisme Partai 
Menjadi pahlawan atau pecundangkah para anggota DPR dari F-PDIP yang sejak 
pemerintah menaikkan harga BBM per 1 Maret lalu, terus menerus melontarkan 
penolakan? 

Lalu bagaimana dengan F-KB yang hingga Rabu masih seiring dengan F-PDIP? 
Bagaimana pula dengan F-PAN, F-PKS, F-PBR yang setelah rapat konsultasi Kamis 
(17/3) kemarin kembali bersikap tegas untuk menolak BBM jika opsi F-PDIP agar 
paripurna Senin (21/3) membuat keputusan untuk menolak atau menerima kenaikan 
BBM disetujui pimpinan dewan. 

Pertunjukan adu ngotot para wakil rakyat di parlemen mirip dengan opera sabun 
yang diputar berulang. Tak ada yang mengejutkan. Para penonton sudah bisa 
meraba akan ke mana cerita itu berakhir. 
Teriakan para penolak kenaikan BBM di parlemen sama sekali tidak bisa 
diidentikkan dengan keberpihakan kepada rakyat yang menanggung dampak paling 
riil dari kenaikan BBM. 


Jika para wakil rakyat ini betul-betul menunjukkan keberpihakan, mestinya 
jauh-jauh hari mereka melakukan kerja-kerja politik untuk memasok kesadaran 
pada kader mereka tentang apa yang harus dilakukan dalam menyikapi kebijakan 
pemerintah, salah satunya soal kenaikan BBM. 

Seharusnya -jika kita belum ditahbiskan sebagai bangsa pelupa- kita masih ingat 
bahwa kebijakan kenaikan BBM ini sudah dirancang jauh-jauh hari. Kenaikan BBM 
merupakan kebijakan ekonomi politik neoliberal yang sepaket dengan kebijakan 
privatisasi perusahaan negara, rescheduling utang luar negeri, liberalisasi 
impor, dan sebagainya yang di akhir 1997 dianjurkan oleh IMF melalui 
kesepakatan LoI (Letter of Intent). Anjuran IMF yang dikenal sebagai model 
kebijakan Structural Adjusment Policy (SAP) tersebut dipraktikkan oleh 
pemerintahan Soeharto, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan 
Susilo Bambang Yudhoyono. 


Kebijakan neo-liberalisme sendiri memiliki arti penghapusan campur tangan 
negara (baca: pemerintah) dari segala kebijakan menyangkut perkembangan dan 
dinamika ekonomi pasar dan sektor privat (swasta) dengan mendukung proses 
liberalisasi perdagangan global yang bebas dari proteksi dan subsidi negara 
atas kemampuan ekonomi rakyatnya. 
Sayangnya, kita adalah bangsa yang cepat lupa. Parpol pun sekadar menjadi 
partai salon yang bergenit-genit dengan penampilan, tapi miskin ideologi. 
Pendidikan politik kepada para kader dan simpatisan partai di tingkatan akar 
rumput hanya merupakan utopia. Para kader dan simpatisan ini hanya diperah 
suaranya untuk proses pemilu lima tahun sekali. Setelah itu, mereka kembali 
dibiarkan menjadi massa mengambang (floating mass). Lalu apa bedanya dengan 
Orde Soeharto? 

Parpol masih bertengger sebagai kaum elitis yang sibuk melakukan klaim, tanpa 
menyentuh komunitas basisnya. Apa yang diperjuangkan partai kemudian memiliki 
muara yang sama sekali berbeda dengan aspirasi kader dan simpatisan yang berada 
di tataran akar rumput. 


Teriakan penolakan kenaikan BBM di luar dan di dalam parlemen mungkin memiliki 
nada yang sama. Namun muara dari kedua penolakan ini sama sekali berbeda. 
Kelompok radikal di parlemen mungkin berharap penolakan BBM akan bermuara pada 
pergantian pemerintahan. Sedangkan kelompok setengah radikal berharap lain kali 
pemerintah bicara dulu sebelum mengambil keputusan dan mendesak agar kompensasi 
subsidi diamati cermat. 
Sementara di luar, nasib rakyat terus bergulir. Mereka harus berjuang 
sendirian, menyiasati laju kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus melaju 
akibat kenaikan BBM. 

Partai politik, bagi rakyat, tak ada bedanya dengan para pemain opera sabun. 
Orang-orang berpenampilan rupawan yang sibuk dengan akting jatuh cinta dan 
patah hati dengan alur cerita yang sudah bisa ditebak. 
Theodor Adorno, di dalam The Culture Industry (1991) mengatakan bahwa 
kebudayaan yang dibangun mengikuti model-model budaya komoditas (culture 
industri) hanya menghasilkan wujud-wujud kebudayaan yang dangkal (banal), yang 
di dalamnya lebih dipentingkan daya tarik, keterpesonaan dan ekstasi massa yang 
bersifat temporer. 
Hal sama terjadi di politik. Ruang-ruang publik politik telanjur dipenuhi oleh 
segala sesuatu yang bersifat permukaan, dangkal, dan populer. Sama sekali tidak 
konstruktif bagi pendidikan publik politik. 


Sayangnya, parpol -yang diyakini sebagai pelopor perubahan- juga terjebak dalam 
situasi ini. Jadi kalau Anda menyaksikan teriakan penolakan kenaikan BBM di 
parlemen akan bersambut dengan gelombang demonstrasi rakyat berhari-hari, juga 
pemogokan yang melumpuhkan negeri, maka Anda pasti bermimpi. Rakyat telanjur 
apatis dengan tontonan politik yang terlalu melelahkan ini. ***



 
 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Apatisme Rakyat dan Banalitas Politik