Perang Bagi Para Carder ? Dalam soal Teknologi Informasi (TI) Indonesia tergolong ''biasa-biasa saja''. Setidaknya jika dilihat dari pengakses internet, Indonesia tergolong rendah hanya dua persen dari 240 juta penduduk Indonesia. Sedang pemilik domain id hanya 1,4 juta orang. Namun angka-angka tersebut bukan berarti Indonesia ketinggalan dalam 'permainan' internet. Kenyataannya, Indonesia terbukti sebagai negara pengcarding terbesar ke-2 di dunia. Menurut catatan Mabes Polri, posisi pertama ditempati Ukraina, dikuti Yugoslavia, Lithuania, Mesir dan Rumania. Inilah yang memicu masuknya Indonesia ke dalam daftar hitam Amerika Serikat, Kanada dan Eropa, untuk transaksi on-line. Pasalnya, carder Indonesia sering menggondol kartu kredit dari negara tersebut. Fakta ini ditandai maraknya merchant on-line yang memblokir transaksi yang menggunakan IP (Internet Protocol) Indonesia. Bahkan ada website yang terang-terangan menyatakan : Indonesia is forbidden. Meski Polri telah membentuk unit khusus (Subdit Pidana Teknologi Informasi), pembasmian carder ini terhitung sukar. ''Salah satu sebabnya adalah perangkat hukum yang kurang memadai,'' tandas AKBP Brata Mandala, dari Mabes Polri dalam diskusi yang digelar I2BC beberapa waktu lalu di Jakarta. Salah satunya, papar Brata, Indonesia menganut prinsip testimonium de auditum, yakni mendengar, melihat dan mengalami sendiri. ''Prinsip ini menyulitkan, pasalnya, kejahatan yang dilakukan oleh pelaku cyber crime biasanya dilakukan di ruangan tersembunyi dan tidak ada kontak fisik dengan orang lain,''. Hal yang senada ditandaskan pengamat telekomunikasi Roy Suryo. Menurutnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak bisa menyaingi perkembangan teknologi. ''Dalam proses pembuktian, misalnya, apakah print out para carder saat log in di komputer bisa laku saat di pengadilan ?,'' tegasnya. Belum lagi, papar Roy, banyak carder yang sudah pintar-pintar. Selain bekerja sama dengan pemilik warnet untuk menghapus catatan log in tadi, para carder juga bisa menyamarkan IP (internet protocol)-nya. Caranya, kata dia, dengan memakai bandwith non-Indonesia, yakni menggunakan akses IP dari luar negeri. Praktek semacam ini bakal menyulitkan perangkat hukum untuk menentukan locus de liti atau lokasi kejadian. Belum lagi laporan kepada pemilik kartu kredit baru 1,5 hingga 2 bulan kemudian. Setelah itu pun harus ada trace out yang berbelit-belit, katanya. ''Mereka kini di atas angin,'' ujar Roy menyimpulkan. Yayan tea ==============================================================(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org