[UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-18

  • From: "untirtanet@xxxxxxxxxxxxxx" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Mon, 2 Sep 2002 22:47:31 -0400

TANGGAPAN SEPUTAR ISLAH

KONFLIK sosial dan politik yang berkepanjangan akan berdampak pada jatuhnya
martabat bangsa dan negara. Pasca Orde Baru ini, pada hakikatnya seluruh
lapisan masyarakat mendambakan agar konflik-konflik di tingkat elite politik
maupun konflik antar masyarakat dapat segera diakhiri dan diselesaikan
dengan baik. Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas bangsa
Indonesia memiliki posisi tersendiri dalam memberikan tuntunan maupun
mengembangkan budaya penyelesaian konflik dengan cara-cara yang terhormat
dan bermartabat. Salah satu konsep yang diajarkan Islam ia1ah konsep moral
agar mereka yang berselisih menyelesaikannya dengan islah. Yaitu merekat
kembali tali silatutahmi, saling memaafkan, dan memusyawarahkan apa-apa yang
bisa dilakukan bersama. Konsep inilah yang diperkenalkan dan dijadikan
landasan moral oleh kelompok Islah Kasus Lampung. Niat mereka itu dapat
dipandang sangat mulia karena bukan saja ingin menyelesaikan konflik yang
pernah mereka alami, melainkan juga seka1igus dapat menyumbang bagi
penciptaan iklim Sosial yang rukun dan damai dalam masyarakat Indonesia yang
sedang. bergejolak sekarang ini.

Akan tetapi, memasyarakatkan konsep islah bukanlah hal yang mudah. Apalagi
di tengah-tengah kusutnya isu penegakan dan pengadilan HAM sebagai cara yang
dianggap terpenting sekarang ini. Ada misalnya yang menyesalkan sikap
memaafkan dari anggota masyarakat. Dikatakannya hal itu sebagai hak
individu. Namun bukan berarti pemerintah berdiam diri. Negara wajib menuntut
Kedudukan hukum harus dikedepankan karena telah terjadi pelanggaran. Bagi
orang seperti itu pendekatan hukum dianggap yang terpenting. Tetapi bagi
Arifin, mantan tahanan politik kasus Talangsari, lain lagi. Arifin
mengatakan, yang penting ialah pembebasan teman-temannya yang masih
dipenjara, dibantu memperoleh pekerjaan dan santunan pada keluarga-keluarga
korban yang membutuhkan. Tentang pilihan Islah, Arifin mengatakan: "Kami
telah bertemu langsung dengan Pak Hendro (mantan Danrem Lampung). Dengan dia
kami saling memaafkan. Kami memilih hukum penyelesaian dengan cara Islam
yakni islah yang tidak saling melakukan penuntutan. Apalagi saling balas
dendam yang dilarang agama Islam". Arifin mengakui kenangan pahit atas
kejadian Talangsari. Anak dan istrinya ikut meninggal dalam peristiwa itu.
"Kalau mengikuti hukum kafir, maka kehendak hati maunya berontak. Tetapi
saya meyakini, sampai kiamat pun keadilan. dan penegakan hukum tidak pemah
tercapai selama masih menggunakan hukum thaghut buatan manusia," katanya.
(Lampung Pos, 5 September 1998).

Isu HAM yang baru muncul sekarang tentunya sangat sulit dan boleh jadi tidak
tepat untuk mengukur iklim politik masa lalu yang bernuansa politik
kekerasan. Kasus Lampung sebagai kasus masa lalu bisa sangat "empuk"
dijadikan sasaran tembak atas nama penegakan HAM. Namun siapakah yang
diuntungkan melalui isu itu, sungguh sesuatu yang perlu dicermati. Justru
pihak-pihak yang terlibat langsung kejadian Talangsari merasa perlu menempuh
jalan lain yaitu islah, bukan pendekatan hukum. Mereka menggugat LSM.
tanggapan seputar islah ke mana saja mereka selama ini, kok tiba-tiba
sekarang baru muncul sebagai pembela Warsidi dan kasusnya? Apa dulu mereka
pernah peduli terhadap jamaah Warsidi yang terlunta-lunta, yang menjadi
janda, yang kehilangan usaha, yang meringkuk dalam penjara dan lain-lain.
Mengapa baru sekarang ingin bertindak seperti pejuang dan seolah-olah kasus
ini menjadi penting di mata mereka?" kata Sudarsono.

Menurut Sudarsono, buat apa mengungkap masa lalu jika ujung-ujungnya tidak
memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan pelaku/korban peristiwa itu sendiri
tanggapan seputar islah Kami muak dengan cara-cara LSM tertentu yang hanya
cari muka di depan penyandang dana internasional untuk mengobok-obok
Indonesia atas nama HAM", tegasnya. Sudarsono dan mantan napol lainnya
berharap sikap arif dan gentleman yang telah dilakukan Hendropriyono
terhadap kasus Lampung melalui pendekatan bantuan kegiatan usaha/ekonomi
dapat dilakukan oleh para pembesar lainnya agar para korban politik masa
lalu tidak dijadikan obyek komoditas politik kelompok tertentu yang
ujung-ujungnya tidak untuk kemanfaatan para korban dan keluarganya.
(Republika, 10 September 1998).

Banyak orang memang meragukan siapa yang diuntungkan dengan usaha-usaha
pengungkapan seperti yang dimaui mereka yang gandrung isu hak-hak asasi
manusia (HAM). Lebih jauh berikut ini penjelasan, sikap dan pembelaan para
mantan narapidana kasus GPK Warsidi tentang Islah yang mereka lakukan serta
tanggapan masyarakat luas.


Attachment: tanggapan8.gif
Description: GIF image

Attachment: sempal.gif
Description: GIF image

Attachment: sikap.gif
Description: GIF image

Attachment: tanggapan1.gif
Description: GIF image

Attachment: tanggapan2.gif
Description: GIF image

Attachment: tanggapan3.gif
Description: GIF image

Attachment: tanggapan4.gif
Description: GIF image

Attachment: tanggapan5.gif
Description: GIF image

Attachment: tanggapan7.gif
Description: GIF image

Attachment: catatan.gif
Description: GIF image

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-18