DIBALIK BAYANG-BAYANG WARSIDI WARSIDI tidak sendiri, karena tidak ada kehidupan dalam kesendirian. Manusia butuh pengakuan. Semakin banyak yang mengakui, semakin kukuh keberadaannya. Warsidi pun demikian. la menjadi ada dan dikenal, karena ada orang-orang yang menjadikannya dikenal. Padahal, kehidupan petani kecil dan buruh karet ini jauh dari kemungkinan bisa diakui apalagi dikenal oleh banyak kalangan. Sebagai pemimpin kelompok yang mengatasnamakan pengajian, sesungguhnya dia lebih ditokohkan oleh pengikutnya untuk menjadi tokoh spiritual daripada mengajar ngaji, sebagaimana lazimnya proses belajar-mengajar di dunia pengajian. Menurut penuturan sebagian pengikutnya, tokoh ini kurang menguasai banyak hal, terutama soal baca dan tulis ilmu Alquran. Oleh karena itu, jangan pernah berharap banyak darinya untuk bisa menjelaskan kandungan Alquran-Hadis berdasar kajian kitab. Warsidi lebih tepat menjadi simbol pemersatu bagi kelompoknya dibanding sebagai tokoh intelektual yang mempunyai gagasan besar, misalnya bercita-cita membangun Islamic Village sebagai basis perjuangan Islam. Siapa arsitek yang menjadikan Warsidi sehingga ia menjadi tokoh penting di kawasan Cihideung itu? Lalu bagaimana reaksi mereka terhadap aksi Warsidi yang kemudian bermas.a1ah? Berikut'ini sekilas tokoh-tokoh di balik bayang-bayang Warsidi. * * * USMAN Tokoh misterius tulen yang berhasil menjadikan Warsidi sebagai boneka Cihideung. Anehnya, setiap langkah Insinyur Cihideung ini selalu mengundang persoalan dan mendatangkan masalah. Mengapa? Warsidi berubah total sejak Ir. Usman menetap di pondoknya. Padahal, sebelumnya pondok Cihideung itu sepi dan biasa-biasa saja. Usman, tokoh yang masih belum jelas asal usulnya ini, mampu mewarnai pondok dan menghidupkanya, tidak sekadar sebagai tempat ngaji, tetapi juga tempat caci maki, lampiasan rasa benci terutama kepada yang tidak sepaham dengannya. Tak perduli kiai, pemerintah, atau siapa saja yang tidak mendukungnya, ia jadikan musuh untuk diperangi. Itu sebabnya mengapa mulutnya tak pemah ragu menyemburkan kata-kata kafir, zalim, thogut, dan lain sebagainya kepada "musuh-musuh" nya itu. Sebelum bergabung dengan Warsidi, pria kelahiran Semarang 13 September 1960 ini menjadi guru di Pondok Pesantren Al Islam, sekitar 1 km arah utara, dari pondok Warsidi. Al Islam hanyalah pesantren kecil, milik Kiai Junaedi yang belum lama ia singgahi. Usman kabamya termasuk seorang yang pandai bicara dan pintar menarik perhatian orang. Tetapi, karena jiwanya yang tak pernah tentram, Usman kerap bentrok dan bertikai dengan Kiai Junaedi sehingga ia diusir. Usman meninggalkan pesantren, tetapi tak sendiri. Sepuluh anak santri Al Islam diboyong serta ke tempat Warsidi di Talangsari. Sejak itulah suasana pondok semakin hidup. Khotbah-khotbahnya juga semakin mempunyai nilai. Sayang, nilai yang dilontarkan dalam khotbahnya membangkitkan kebencian dan permusuhan. Usman terang-terangan mengejek Pancasila. la melarang jamaah membayar pajak atau iuran desa, menghormat bendera merah-putih dianggapnya kafir, menjadi pegawai negeri pun haram. Keberadaan Usman sangat mempengaruhi pola pikir dan cara pandang Warsidi. la dijadikan pembina utama bagi jamaah Cihideung. Usman, bagi jamaah Cihideung, merupakan tokoh intelektual bergelar insinyur. Oleh karena itu, bom molotov Talangsari disebut-sebut hasil rekaan insinyur ini. Bom malotov ini dipakai kelompok Warsidi ketika bentrok dengan rakyat dan alat negara. Begitu pun ketika mengadakan teror di sejumlah tempat, bom molotov juga digunakan. Bom tersebut dibuat dari botol kosong yang diisi serbuk gergaji dan bensin, serta dilengkapi sumbu penyulut. Benda ini efektif digunakan untuk menimbulkan kebakaran pada sasaran dekat. Usman diperkirakan sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab setelah Warsidi dan diduga tewas bersama jamaah ketika terjadi bentrokan. Sebelum di Cihideung, Usman disebut-sebut sebagai aktivis anti pemerintah. la banyak berceramah di berbagai tempat, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada jamaah Usroh. Tersebutlah pada April 1985, lelaki ini divonis Pengadilan Negeri Sleman Yogyakarta 1 tahun penjara atas dakwaan menghina Soeharto, yang dilakukan di Temanggung, Sleman, Klaten, dan Magelang. Sejak itu namanya hilang dan baru muncul setelah terjadi Geger Talangsari. Tidak banyak yang tahu, apakah melalui Usman gerakan Warsidi membuka komunikasi dan jaringan dengan tokoh-tokoh di luar Lampung. Hanya setelah Usman bergabung, para pendatang dari Jakarta dan Pulau Jawa lainnya banyak hijrah ke markas Warsidi di Cihideung. * * * NURHIDAYAT Pernah menjadi pegawai bea cukai. la juga dikenal sebagai seorang karateka, tetapi memilih hídup sebagai avonturir. Drama penangkapan tokoh unik ini cukup seru. Ketika peristiwa Cihideung meletus, Nurhidayat baru berusia sekitar 30 tahun. la lahir di Jakarta tanggal 26 Maret 1959, anak kedua dari 4 bersaudara, pasangan Abdul Muthalib dan Ning Suhami. Masa kecilnya tidak begitu mengembirakan. Ayahnya kena sanering dan melego seluruh harta miliknya. Nur kecil ikut ibunya hijrah ke Cilimus, Kuningan, Cirebon, Jawa Barat. Sementara itu, ayahnya seorang purnawirawan ABRI, tetap di Jakarta, mengais nafkah dengan membuka bengkel di Tanah Abang. Bertubuh kurus dan kerempeng dan jauh dari ideal, begitu kondisinya. Nurhidayat kecil sering sakit-sakitan, sehingga senantiasa tampak sebagai anak yang lemah. Selisih umur 17 tahun dari kakak-kakaknya menyebabkan ia menjadi tumpahan kasih sayang. Akibatnya, bocah sakit-sakitan ini menjadi manja, cengeng, cepat putus asa dan penuh ketergantungan. Menginjak remaja, menjadi pemalu, rendah diri, dan penakut. Di kalangan kawan-kawannya di SMP dan SMA Cirebon, Nur remaja menjadi bahan olok-olokan dan sasaran godaan. Oleh karena itu, bocah kolokan ini, ketika mengenal olahraga karate, tumbuh semangatnya untuk bisa menutupi segala kekurangannya melalui olahraga. la berlatih beladiri secara sungguh-sungguh. Setelah SMA, ketika kembali ke Jakarta, ia mengikuti kakaknya seorang perwira menengah polisi, yang kemudian membimbingnya sehingga ia tumbuh menjadi karateka tangguh. Dunia karate mulai menjanjikan masa depan. Gelar juara karate se Jakarta Selatan diraihnya. Dan karirnya di kelas 60 kg mengantarkannya menjadi karyawan bea cukai (1980). la bertugas di Tanjungbalai Karimun. Sayangnya, di tempat tugas yang sepi itu Nur berkenalan dengan minuman keras dan obat-obatan. Teler dan bolos kerja menjadi kebiasaan barunya. Sejak itu, prestasinya mulai ambruk. Pikirannya jadi melantur. Kemiskinan akibat sanering, penggusuran bengkel ayahnya, kekalahan-kekalahannya, semuanya berakumulasi, membuatnya frustasi dan merasa diperlakukan tidak adil. Masih untung Nur melarikan diri ke agama, hingga menjadikan agama sebagai suatu kesenangan baru baginya. Sudah banyak ustad ia datangi, termasuk banyak pengajian yang ia ikuti. la berkesimpulan bahwa keadilan dan hukum Islam harus ditegakkan. Akhirnya, pekerjaan di bea cukai ia lepas, begitu pula status pegawai negerinya. Nurhidayat kemudian lebih memilih menjadi pedagang. Suatu pekerjaan yang ia nilai lebih terhormat daripada harus menjadi pegawai negeri yang ia pahami sebagai pekerjaan orang-orang kafir. Nurhidayat bersama teman-temannya kemudian mendirikan kelompok pengajian. Sejumlah anak-anak muda, termasuk Sudarsono dan Fauzi pun ikut bergabung dan saling mendukung. Dalam struktur organisasi yang lebih luas, Nurhidayat masuk dalam saf Ali, bahkan sebagai Amir Musafir atau Amir Perjalanan yang fungsinya memimpin perjalanan jamaah dari berbagai daerah, hijrah ke Cihideung. Kelompok pengajian ini, secara intens membina kader-kadernya menjadi militan melalui beberapa tahapan doktrin yang intinya membenci pemerintah Orde Baru. Lantas ada pula tahapan berpuasa selang-seling selama 40 hari, membaca wirid secara intensif, serta salat tengah malam berjamaah. Mereka yang dinilai berhasil kemudian dikirim ke Lampung untuk bergabung dengan Warsidi, membangun basis perjuangan di Cihideung. Setelah terjadi Geger Talangsari, Nurhidayat ditangkap aparat dalam suatu penggerebekan di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, akhir Februari 1989. Ketika itu, ia bersama rekan-rekannya bersembunyi di sebuah rumah kontrakan milik Haji Armad. Nurhidayat berupaya kabur melalui atap genting. Aparat tak mudah dikadali dan drama penangkapan Nurhidayat berakhir di atas genting. Kepada petugas ia mengaku bernama Abdullah, meskipun akhirnya ia mengatakan nama yang sebenamya, Nurhidayat. Dari rumah kontrakan itu petugas menyita satu ember anak panah beracun dan seperangkat busur sebagai alat pelontarnya. Sejumlah bom molotov dan bahan-bahan kimia serta peta-peta lokasi beberapa tempat di daerah juga turut disita. * * * SUDARSONO Termasuk salah seorang yang paling banyak disebut, terutama bila orang berbicara tentang Talangsari dan Warsidi. Meskipun tak pernah menetap apalagi tinggal di Talangsari, pria bertubuh tegap ini mempunyai peran penting bagi perjuangan hidup Warsidi. Dialah yang memberi inspirasi munculnya panah beracun, sekaligus ikut mengontrol kegiatan jamaah di Talangsari, Lampung. Sudarsono lahir di Belawan, Deli Serdang, Sumatera Utara, 21 April 1963. Ayahnya seorang TNI berpangkat Sersan Mayor. Meskipun lahir di Sumatera, Darsono lebih senang menyebut dirinya asli Jawa Timur. Aktivitas organisasinya diavvali dari Mesjid Al Falah di Surabaya, sebagai pengurus BKPMI (Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia). Tamat SLA, ia hijrah ke Jakarta (1983), kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Wiraswasta As Syafi'iyah (STWA) dan Universitas Terbuka. Darsono tak meneruskan studinya karena berbagai alasan. Terutama setelah STWA dilebur ke dalam Universitas Islam As Syafi'iyah. la kemudian bergabung dan aktif di LSP (Lembaga Studi Pembangunan), LSM pimpinan Adi Sasono. Selain itu, Sudarsono juga aktif dalam kelompok pengajian kampus bemama Farmi (Forum antar mahasiswa Islam). Dari kegiatan pengajian inilah, Darsono bertemu dengan Nurhidayat, Fauzi, dan beberapa lainnya untuk membentuk suatu wadah yang kelak dikenal sebagai "kelompok kecil" di Jakarta. Kelompok inilah yang berhubungan langsung dengan kegiatan Warsidi di Talangsari. Dari kelompok ini pula lahir gagasan mendirikan perkampungan muslim, sebagai basis perjuangan tegaknya Darul Islam di Indonesia. Darsono memilih Talangsari sebagai pusat kegiatan, antara lain karena lokasinya dipandang strategis dan mudah ditempuh dari segala arah, termasuk dari Jakarta. Lebih dari itu, tokoh Warsidi, dianggap sebagai sosok yang mempunyai potensi. la dianggap bisa mewujudkan Islamic Village yang ia gagas. Bagi Darsono, peristiwa ini sangat menyedihkan karena telah menghancurkan cita-citanya itu. Darsono pun menjadi buronan. la pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, menyelamatkan diri dari kejaran aparat. Akhirnya Darsono tertangkap setelah Marfaid Harahap, sahabatnya sendiri, menjebaknya dan melaporkannya kepada aparat. Bersamaan dengan itu, beberapa temannya juga tertangkap. Sukardi kena tembak kakinya. Heriyanto, Ridwan, Maulana, Dede Syaifuddin serta Abdullah Fatah Qosim, juga kena ciduk. * * * AHMAD FAUZI ISNAN Kisah hidupnya unik. Lahirdari keluarga militer, namun tak membekas sedikit pun kesantunannya terhadap militer. la malah membuka front, membentuk kekuatan untuk mengadili Militer. Ada apa ? Ketika peristiwa Cihideung meletup, ia baru berusia 22 tahun. Namun perannya dalam kelompok Warsidi cukup penting. Bersama Nurhidayat, Sudarsono, dan Wahidin, ia termasuk pemrakarsa pembentukan perkampungan jamaah di Cihideung yang diwarnai perlawanan kepada pemerintah. Fauzi sebetulnya berasal dari keluarga yang sejak lama tinggal di Lampung. Masa kecilnya ia lewatkan di suatu kompleks militer, tempat ayahnya bertugas sebagai anggota TNI AD. Dia lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Di kompleks GATAM (Garuda Hitam) Lampung itulah, Fauzi dibesarkan. Masa kecil Fauzi sudah mengenal ajaran-ajaran Islam, termasuk membaca Al Quran dan menulis bahasa Arab. Hal ini karena lingkungan keluarganya memang dekat dengan agama. Orang tuanya mendorong ia dan saudaranya yang lain untuk dekat dengan agama. Setelah menamatkan SMP-nya pada tahun 1982, Fauzi melanj utkan ke salah satu SMA di Tanjungkarang. Tapi, tahun kedua ia keluar dari sekolah itu. Fauzi kemudian pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, hingga lulus tingkat Aliyah. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan diterima bekerja di Biro Pusat Statistik (BPS). Di BPS, mendapat ikatan dinas di Akademi Ilmu Statistik (AIS), dan lulus 1988. Namun, setelah lulus, Fauzi justru tak pernah masuk kantor. Dia lebih memilih mengikuti pengajian-pengajian. Di sinilah ia berkenalan dengan Sudarsono dan Nurhidayat. Mereka, melalui pertemuan di Ciloto, Jawa Barat, Maret 1988, membentuk organisasi yang diproyeksikan sebagai basis untuk menegakkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Talangsari, Lampung. Kumpulan jamaah ini sempat pecah, kemudian dapat bersatu kembali di bawah pengaruh Wahidin yang mempunyai basis jamaah di Condet, Jakarta Timur. Setelah Darsono memperkenalkannya kepada Warsidi, kabamya Fauzi bersama Nurhidayat menipu puluhan orang untuk dikirim ke Lampung. Orang-orang itulah yang menjadi korban Geger Talangsari yang menghebohkan sampai ke mancanegara 1989 lalu. Kini, Fauzi mempunyai versi sendiri tentang peristiwa di Cihideung. Menurut Fauzi, kejadian di Cihideung Talangsari bermula dari kelompok Usroh (kelompok pengajian) yang berencana membuat perkampungan Islam, setelah terpecah-pecah. Saat itu, Warsidi menawarkan sebidang tanah di Cihideung sebagai basis perkampungan Islam. Sekitar Desember 1988, jama'ah Usroh yang berasal dari Solo, Bandung, dan Jakarta, mulai didatangkan ke Cihideung, bergabung dengan Warsidi. Konsentrasi massa yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, menurut Fauzi menimbulkan kecurigaan aparat. Pada tanggal 6 Februari 1989, Danramil Soetiman, yang mengendarai dua buah jip dan delapan motor, datang ke perkampungan Warsidi. Mengira hendak diserbu jamaah yang menetap di perkampungan itu menyerang dengan menggunakan panah. Akhirnya, Soetiman tewas. Malam harinya, tentara mengepung perkampungan jamaah. Peperangan pun terjadi setelah subuh mulai menyingsing, sedangkan di Sidoredjo terhadap kepala desa Arifin Santoso, diakuinya atas perintah Warsidi. Tentang tewasnya Pratu Budi, menurut Fauzi, aparat itu dibunuh jamaah Warsidi di luar Cihideung, ketika sama-sama menumpang sebuah kendaraan umum. Pembunuhan dilakukan karena jamaah sangat benci dengan tentara, dan begitu melihat Pratu Budi mengenakan pakaian seragam, langsung dibunuh. Keterangan Fauzi ini ternyata diperoleh darí berita di koran dan juga kata orang. Sebab, ketika peristiwa berlangsung Fauzi berada di suatu tempat di Jakarta. Malah menurut Darsono, karib seperjuangannya, Fauzi sesungguhnya tidak tahu apa-apa soal Cihideung atau Talangsari. Datang ke tempat itu pun, kata Darsono, cuma sekali. Meskipun Fauzi mengaku secara lisan kepada penulis, telah dua kali datang ke Talangsari. Soal benarkah apa yang diungkap oleh Fauzi, karena ia sendiri tidak berada di sana, masih silang sengketa. Menurut beberapa temannya, Fauzi tergolong suatu sosok pribadi yang aneh. Fauzi secara psikologis masih sangat labil dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, ia pun tega menohok kawan seiring dan menggunting dalam lipatan. Yang jelas, hubungan Fauzi dengan kawan-kawannya selalu retak dan tidak akur. Buktinya, setelah mereka ke luar dari penjara (1999), Fauzi mempelopori terjadinya islah sebagai cara penyelesaian kasus ini, tetapi kemudian dikhianatinya sendiri dengan membentuk Koramil (Komite Korban Kekerasan Militer) Lampung yang terus mencoba membuka kembali kasus Cihideung. Hanya karena ada masalah pribadi dengan Hendropriyono. Hal ini dianggap pengkhianatan oleh Sudarsono dan kawan-kawannya yang tergabung dalam Jamaah Islah. Menurut rekannya ini kasus Lampung sudah ditutup karena kedua belah pihak, baik korban dari pihak jamaah Warsidi maupun militer, sudah melakukan Islah perdamaian. * * * RIYANTO Di mata Warsidi, ada dua orang yang pantas menjadi panglima. Salah satunya ialah Riyanto. Riyanto inilah yang kemudian bersama Fadhillah alias Sugito. la dipercaya Warsidi untuk memimpin teror Lampung, sebelas tahun lalu. Sekilas orang tak akan percaya bahwa Riyanto, yang kini telah berusia 48 tahun ini juga bisa beringas. Malah keberingasannya dinilai oleh banyak orang sebagai sesuatu yang cukup "mengerikan". Di tanah Lampung, sebelas tahun lalu ketika terjadi huru-hara Warsidi, orang yang melakukan huru hara itu salah satunya ialah Riyanto. Bersama Fadillah, Riyanto berhasil memimpin anggotanya menciptakan gegeran Lampung 1989. Perkenalannya dengan Warsidi berawal dari cerita Aminuddin, seorang sahabatnya, yang menyatakan bahwa di Lampung, telah berdiri sebuah tempat perjuangan untuk bisa mewujudkan tegaknya Negara Islam. Bagi Riyanto, cerita itu tidak menarik bila tidak melihat langsung kenyataannya. la segera berangkat ke Lampung untuk membuktikan cerita sahabatnya itu. Di sana ia melihat kebenaran bahwa ada sekelompok orang yang sepaham, sedang gigih memperjuangkan cita-cita tegaknya Negara Islam. Riyanto kepincut dan memutuskan ingin segera berjuang bersama Warsidi untuk merajut masa depan yang gemilang. la bergabung dengan rombongan Alex, yang memboyong istri dan tiga anaknya dari Tanjung Priok, berangkat menuju tanah harapan meninggalkan Jakarta yang penuh kenangan. Riyanto telah menjalani takdir untuk hidup bersama orang-orang yang belum ia kenal, termasuk Warsidi. Riyanto juga harus menjalani takdirnya ketika ada 5 anggota Warsidi tertangkap aparat, dan Warsidi memerintahkan untuk merebutnya kembali dari tangan aparat itu. Dari sanalah sejarah buram hidupnya mulai dirajut. Bersama Fadhilah dan sejumlah anak buahnya, la menjadi tokoh rojo pati membunuh orang yang tak ia ingini, serta mengacau keamanan yang menyusahkan banyak pihak. Setelah dibebaskan dari Nusakambangan, tak banyak orang mengetahui kegiatan Riyanto. Tetapi, tokoh ontran-ontran Lampung ini acap kali muncul jika ada pihak yang mengusik soal Talangsari. Misalnya, ketika Fauzi Isnan menyatakan bahwa korban Talangsaritelah mendapat sejumlah uang, rumah, tanah bahkan sapi. Riyanto tersinggung dan langsung menulis surat bantahannya ke berbagai media. Dalam suratnya itu, Riyanto malah membeberkan aib dan bejatnya moral Fauzi. Surat Bantahan Riyanto Bantahan Riyanto ini dimuat Majalah Panji Masyarakat, 3 Mei 2000. la menyatakan bahwa tidak benar korban Talangsari telah mendapat uang, rumah, tanah,bahkan sapi, seperti yang dituduhkan Fauzi Isnan melalui berbagai media pers. Menurut Riyanto, justru Fauzilah yang paling banyak mengeruk keuntungan dari islah yang disepakati bersama Hendropriyono tahun 1998. Fauzi telah meminta satu kendaraan Kijang untuk kepentingan para korban melalui Yayasan Bunaiya, tetapi kendaraan tersebut telah disalahgunakan dan bahkan telah dijualnya. Diakuinya bahwa beberapa orang korban Talangsari memang telah menerima santunan dari Hendropriyono, tetapi itu untuk mereka yang baru bebas dari penjara, sedangkan Fauzi sudah menerima jauh lebih banyak dari itu. Riyanto mengingatkan bahwa jika Fauzi tidak menghentikan kegiatannya yang memfitnah dan meresahkan para korban Talangsari, Fauzi sendiri akan menemui kesulitan yang besar. ZAMZURI Secara tidak langsung, Zamzuri punya peran cukup penting, bagi perjuangan Warsidi. Orang kaya Sidoredjo ini tak cuma dihormati, tetapi juga dicintai, terutama mereka yang tengah bergairah memperjuangkan cita-citanya mendirikan "Negara Islam " di Lampung. Padahal, jarak antara rumah Zamzuri di Sidoredjo dan tempat tinggal Warsidi di Cihideung, terhitung tidak dekat, sekitar 30 km. Bedanya, Zamzuri berada di tengah kota Sidoredjo, Warsidi tinggal di belantara ladang Cihideung. Di rumah Zamzuri inilah para aktivis Cihideung itu sering singgah. Tak heran, rumah Zamzuri tak pernah sepi pengunjung yang membuat curiga dan iri banyak orang, terutama aparat keamanan wilayah. Kalau saja tidak terjadi gegeran di Sidoredjo yang membawa korban sejumlah aparat serta penduduk setempat, mungkin saja nama Zamzuri tidak tercatat dalam lembaran hitam kota lada ini. Gegeran di kaki Gunung Balak itu menyiratkan, betapa tidak harmonisnya hubungan antara aparat dengan kelompok Warsidi yang sejak lama telah menyatakan "perang" terhadap pemerintah. Gegeran itu berbuntut panjang.dan membawa malapetaka, tidak saja Zamzuri dan kelompoknya tetapi juga orang-orang kecil yang tengah mengemban tugas. Kisahnya, berawal dari kecurigaan aparat yang mencium aroma tidak beres di rumah Zamzuri. Ketika hendak memeriksa rumah tokoh tersebut, dari dalam muncul salah seorang anak buah Zamzuri berteriak dan mengejar petugas tersebut. Kejar mengejar itu berhenti setelah polisi memberi tembakan peringatan. Tetapi, tidak diperkirakan bahwa anak buah Zamzuri tersebut kemudian merebut senjata aparat, meski pada akhirnya ia tewas diterjang peluru petugas. Mengetahui anak buahnya tewas, Zamzuri dan teman-temannya panas. Dari dalam rumah segera berhamburan mengejar Dargo, polisi yang menembak korban tersebut. Insiden Gunung Balak ini merenggut nyawa Dargo (Dansek Gunung Balak), Santosa Arifin (Lurah Sidoredjo), Giono (Guru SMP Muhammadiyah) serta beberapa korban luka dari kelompok pengajian Warsidi. Zamzuri, kemudian diadili dan dibui di Nusakambangan selama lebih sepuluh tahun, sebelum dibebaskan atas perjuangan islah dari teman-temannya. Kini, pria Gunung Kidul, Yogyakarta yang lahir tahun 1942 dan tergolong sukses di kawasan Gunung Balak Lampung itu, menuai hari tuanya di bekas puing-puing kejayaan masa lalunya di Sidoredjo. Kehidupan penjara telah membawanya ke alam spiritual yang lebih mapan dalam hidupnya. Masa lalunya adalah harta yang tak akan pernah hilang, Sedang masa kini ialah amanah yang harus dijalaninya dengan kesadaran untuk tidak lancung dalam ujian yang kedua kalinya. Kepada penulis ia mengaku masih harus belajar. lebih banyak lagi untuk mengenal kehidupan. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang sia-sia di mata Tuhan. Apa pun yang telah ia jalani, tidak mungkin tanpa sepengetahuan Allah. la menyadari, semua kejadian yang menimpanya, pasti kehendak-Nya dan itu pasti pilihan terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu, ketika mendengar ada sejumlah orang yang ingin mengadakan tuntutan kepada aparat, karena menganggap aparatlah yang salah, Zamzuri mengatakan, tidak ingin ikut campur. la malah menyatakan, jika ingin menuntut, sesungguhnya siapakah yang harus dituntut. Sebab para aparat, hanya menjalankan tugas yang memang sudah menjadi tanggungjawabnya. Bagi Zamzuri, kebenaran tidak akan bisa tertipu, dia senantiasa akan datang bersama orang-orang yang mencintai perdamaian. * * *
Attachment:
0002.gif
Description: GIF image
Attachment:
0001.gif
Description: GIF image