[UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-16

  • From: "untirtanet@xxxxxxxxxxxxxx" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Mon, 2 Sep 2002 00:21:05 -0400

DIBALIK BAYANG-BAYANG WARSIDI


WARSIDI tidak sendiri, karena tidak ada kehidupan dalam kesendirian. Manusia
butuh pengakuan. Semakin banyak yang mengakui, semakin kukuh keberadaannya.
Warsidi pun demikian. la menjadi ada dan dikenal, karena ada orang-orang
yang menjadikannya dikenal. Padahal, kehidupan petani kecil dan buruh karet
ini jauh dari kemungkinan bisa diakui apalagi dikenal oleh banyak kalangan.

Sebagai pemimpin kelompok yang mengatasnamakan pengajian, sesungguhnya dia
lebih ditokohkan oleh pengikutnya untuk menjadi tokoh spiritual daripada
mengajar ngaji, sebagaimana lazimnya proses belajar-mengajar di dunia
pengajian. Menurut penuturan sebagian pengikutnya, tokoh ini kurang
menguasai banyak hal, terutama soal baca dan tulis ilmu Alquran. Oleh karena
itu, jangan pernah berharap banyak darinya untuk bisa menjelaskan kandungan
Alquran-Hadis berdasar kajian kitab. Warsidi lebih tepat menjadi simbol
pemersatu bagi kelompoknya dibanding sebagai tokoh intelektual yang
mempunyai gagasan besar, misalnya bercita-cita membangun Islamic Village
sebagai basis perjuangan Islam.

Siapa arsitek yang menjadikan Warsidi sehingga ia menjadi tokoh penting di
kawasan Cihideung itu? Lalu bagaimana reaksi mereka terhadap aksi Warsidi
yang kemudian bermas.a1ah? Berikut'ini sekilas tokoh-tokoh di balik
bayang-bayang Warsidi.

* * *


USMAN
Tokoh misterius tulen yang berhasil menjadikan Warsidi sebagai boneka
Cihideung. Anehnya, setiap langkah Insinyur Cihideung ini selalu mengundang
persoalan dan mendatangkan masalah. Mengapa?

Warsidi berubah total sejak Ir. Usman menetap di pondoknya. Padahal,
sebelumnya pondok Cihideung itu sepi dan biasa-biasa saja. Usman, tokoh yang
masih belum jelas asal usulnya ini, mampu mewarnai pondok dan
menghidupkanya, tidak sekadar sebagai tempat ngaji, tetapi juga tempat caci
maki, lampiasan rasa benci terutama kepada yang tidak sepaham dengannya. Tak
perduli kiai, pemerintah, atau siapa saja yang tidak mendukungnya, ia
jadikan musuh untuk diperangi. Itu sebabnya mengapa mulutnya tak pemah ragu
menyemburkan kata-kata kafir, zalim, thogut, dan lain sebagainya kepada
"musuh-musuh" nya itu.


Sebelum bergabung dengan Warsidi, pria kelahiran Semarang 13 September 1960
ini menjadi guru di Pondok Pesantren Al Islam, sekitar 1 km arah utara, dari
pondok Warsidi. Al Islam hanyalah pesantren kecil, milik Kiai Junaedi yang
belum lama ia singgahi. Usman kabamya termasuk seorang yang pandai bicara
dan pintar menarik perhatian orang. Tetapi, karena jiwanya yang tak pernah
tentram, Usman kerap bentrok dan bertikai dengan Kiai Junaedi sehingga ia
diusir.


Usman meninggalkan pesantren, tetapi tak sendiri. Sepuluh anak santri Al
Islam diboyong serta ke tempat Warsidi di Talangsari. Sejak itulah suasana
pondok semakin hidup. Khotbah-khotbahnya juga semakin mempunyai nilai.
Sayang, nilai yang dilontarkan dalam khotbahnya membangkitkan kebencian dan
permusuhan. Usman terang-terangan mengejek Pancasila. la melarang jamaah
membayar pajak atau iuran desa, menghormat bendera merah-putih dianggapnya
kafir, menjadi pegawai negeri pun haram. Keberadaan Usman sangat
mempengaruhi pola pikir dan cara pandang Warsidi. la dijadikan pembina utama
bagi jamaah Cihideung.

Usman, bagi jamaah Cihideung, merupakan tokoh intelektual bergelar insinyur.
Oleh karena itu, bom molotov Talangsari disebut-sebut hasil rekaan insinyur
ini. Bom malotov ini dipakai kelompok Warsidi ketika bentrok dengan rakyat
dan alat negara. Begitu pun ketika mengadakan teror di sejumlah tempat, bom
molotov juga digunakan. Bom tersebut dibuat dari botol kosong yang diisi
serbuk gergaji dan bensin, serta dilengkapi sumbu penyulut. Benda ini
efektif digunakan untuk menimbulkan kebakaran pada sasaran dekat.

Usman diperkirakan sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab setelah
Warsidi dan diduga tewas bersama jamaah ketika terjadi bentrokan. Sebelum di
Cihideung, Usman disebut-sebut sebagai aktivis anti pemerintah. la banyak
berceramah di berbagai tempat, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada
jamaah Usroh.

Tersebutlah pada April 1985, lelaki ini divonis Pengadilan Negeri Sleman
Yogyakarta 1 tahun penjara atas dakwaan menghina Soeharto, yang dilakukan di
Temanggung, Sleman, Klaten, dan Magelang. Sejak itu namanya hilang dan baru
muncul setelah terjadi Geger Talangsari.

Tidak banyak yang tahu, apakah melalui Usman gerakan Warsidi membuka
komunikasi dan jaringan dengan tokoh-tokoh di luar Lampung. Hanya setelah
Usman bergabung, para pendatang dari Jakarta dan Pulau Jawa lainnya banyak
hijrah ke markas Warsidi di Cihideung.

* * *


NURHIDAYAT
Pernah menjadi pegawai bea cukai. la juga dikenal sebagai seorang karateka,
tetapi memilih hídup sebagai avonturir. Drama penangkapan tokoh unik ini
cukup
seru.

Ketika peristiwa Cihideung meletus, Nurhidayat baru berusia sekitar 30
tahun. la lahir di Jakarta tanggal 26 Maret 1959, anak kedua dari 4
bersaudara, pasangan Abdul Muthalib dan Ning Suhami. Masa kecilnya tidak
begitu mengembirakan. Ayahnya kena sanering dan melego seluruh harta
miliknya. Nur kecil ikut ibunya hijrah ke Cilimus, Kuningan, Cirebon, Jawa
Barat. Sementara itu, ayahnya seorang purnawirawan ABRI, tetap di Jakarta,
mengais nafkah dengan membuka bengkel di Tanah Abang.


Bertubuh kurus dan kerempeng dan jauh dari ideal, begitu kondisinya.
Nurhidayat kecil sering sakit-sakitan, sehingga senantiasa tampak sebagai
anak yang lemah. Selisih umur 17 tahun dari kakak-kakaknya menyebabkan ia
menjadi tumpahan kasih sayang. Akibatnya, bocah sakit-sakitan ini menjadi
manja, cengeng, cepat putus asa dan penuh ketergantungan. Menginjak remaja,
menjadi pemalu, rendah diri, dan penakut. Di kalangan kawan-kawannya di SMP
dan SMA Cirebon, Nur remaja menjadi bahan olok-olokan dan sasaran godaan.

Oleh karena itu, bocah kolokan ini, ketika mengenal olahraga karate, tumbuh
semangatnya untuk bisa menutupi segala kekurangannya melalui olahraga. la
berlatih beladiri secara sungguh-sungguh. Setelah SMA, ketika kembali ke
Jakarta, ia mengikuti kakaknya seorang perwira menengah polisi, yang
kemudian membimbingnya sehingga ia tumbuh menjadi karateka tangguh.

Dunia karate mulai menjanjikan masa depan. Gelar juara karate se Jakarta
Selatan diraihnya. Dan karirnya di kelas 60 kg mengantarkannya menjadi
karyawan bea cukai (1980). la bertugas di Tanjungbalai Karimun. Sayangnya,
di tempat tugas yang sepi itu Nur berkenalan dengan minuman keras dan
obat-obatan. Teler dan bolos
kerja menjadi kebiasaan barunya.


Sejak itu, prestasinya mulai ambruk. Pikirannya jadi melantur. Kemiskinan
akibat sanering, penggusuran bengkel ayahnya, kekalahan-kekalahannya,
semuanya berakumulasi, membuatnya frustasi dan merasa diperlakukan tidak
adil.


Masih untung Nur melarikan diri ke agama, hingga menjadikan agama sebagai
suatu kesenangan baru baginya. Sudah banyak ustad ia datangi, termasuk
banyak pengajian yang ia ikuti. la berkesimpulan bahwa keadilan dan hukum
Islam harus ditegakkan.

Akhirnya, pekerjaan di bea cukai ia lepas, begitu pula status pegawai
negerinya. Nurhidayat kemudian lebih memilih menjadi pedagang. Suatu
pekerjaan yang ia nilai
lebih terhormat daripada harus menjadi pegawai negeri yang ia pahami sebagai
pekerjaan orang-orang kafir.

Nurhidayat bersama teman-temannya kemudian mendirikan kelompok pengajian.
Sejumlah anak-anak muda, termasuk Sudarsono dan Fauzi pun ikut bergabung dan
saling mendukung. Dalam struktur organisasi yang lebih luas, Nurhidayat
masuk dalam saf Ali, bahkan sebagai Amir Musafir atau Amir Perjalanan yang
fungsinya memimpin perjalanan jamaah dari berbagai daerah, hijrah ke
Cihideung.

Kelompok pengajian ini, secara intens membina kader-kadernya menjadi militan
melalui beberapa tahapan doktrin yang intinya membenci pemerintah Orde Baru.
Lantas ada pula tahapan berpuasa selang-seling selama 40 hari, membaca wirid
secara intensif, serta salat tengah malam berjamaah. Mereka yang dinilai
berhasil kemudian dikirim ke Lampung untuk bergabung dengan Warsidi,
membangun basis perjuangan di Cihideung.

Setelah terjadi Geger Talangsari, Nurhidayat ditangkap aparat dalam suatu
penggerebekan di Cipinang Melayu, Jakarta Timur, akhir Februari 1989. Ketika
itu, ia bersama rekan-rekannya bersembunyi di sebuah rumah kontrakan milik
Haji Armad. Nurhidayat berupaya kabur melalui atap genting. Aparat tak mudah
dikadali dan drama penangkapan Nurhidayat berakhir di atas genting. Kepada
petugas ia mengaku bernama Abdullah, meskipun akhirnya ia mengatakan nama
yang sebenamya, Nurhidayat.

Dari rumah kontrakan itu petugas menyita satu ember anak panah beracun dan
seperangkat busur sebagai alat pelontarnya. Sejumlah bom molotov dan
bahan-bahan kimia serta peta-peta lokasi beberapa tempat di daerah juga
turut disita.

* * *


SUDARSONO
Termasuk salah seorang yang paling banyak disebut, terutama bila orang
berbicara tentang Talangsari dan Warsidi.

Meskipun tak pernah menetap apalagi tinggal di Talangsari, pria bertubuh
tegap ini mempunyai peran penting bagi perjuangan hidup Warsidi. Dialah yang
memberi inspirasi munculnya panah beracun, sekaligus ikut mengontrol
kegiatan jamaah di Talangsari, Lampung.


Sudarsono lahir di Belawan, Deli Serdang, Sumatera Utara, 21 April 1963.
Ayahnya seorang TNI berpangkat Sersan Mayor. Meskipun lahir di Sumatera,
Darsono lebih senang menyebut dirinya asli Jawa Timur. Aktivitas
organisasinya diavvali dari Mesjid Al Falah di Surabaya, sebagai pengurus
BKPMI (Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia). Tamat SLA, ia hijrah ke
Jakarta (1983), kemudian melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Wiraswasta As
Syafi'iyah (STWA) dan Universitas Terbuka. Darsono tak meneruskan studinya
karena berbagai alasan. Terutama setelah STWA dilebur ke dalam Universitas
Islam As Syafi'iyah. la kemudian bergabung dan aktif di LSP (Lembaga Studi
Pembangunan), LSM pimpinan Adi Sasono.

Selain itu, Sudarsono juga aktif dalam kelompok pengajian kampus bemama
Farmi (Forum antar mahasiswa Islam). Dari kegiatan pengajian inilah, Darsono
bertemu dengan Nurhidayat, Fauzi, dan beberapa lainnya untuk membentuk suatu
wadah yang kelak dikenal sebagai "kelompok kecil" di Jakarta. Kelompok
inilah yang berhubungan langsung dengan kegiatan Warsidi di Talangsari. Dari
kelompok ini pula lahir gagasan mendirikan perkampungan muslim, sebagai
basis perjuangan tegaknya Darul Islam di Indonesia.

Darsono memilih Talangsari sebagai pusat kegiatan, antara lain karena
lokasinya dipandang strategis dan mudah ditempuh dari segala arah, termasuk
dari Jakarta. Lebih dari itu, tokoh Warsidi, dianggap sebagai sosok yang
mempunyai potensi. la dianggap bisa mewujudkan Islamic Village yang ia
gagas. Bagi Darsono, peristiwa ini sangat menyedihkan karena telah
menghancurkan cita-citanya itu. Darsono pun menjadi buronan. la pindah dari
satu tempat ke tempat yang lain, menyelamatkan diri dari kejaran aparat.
Akhirnya Darsono tertangkap setelah Marfaid Harahap, sahabatnya sendiri,
menjebaknya dan melaporkannya kepada aparat.


Bersamaan dengan itu, beberapa temannya juga tertangkap. Sukardi kena tembak
kakinya. Heriyanto, Ridwan, Maulana, Dede Syaifuddin serta Abdullah Fatah
Qosim, juga kena ciduk.

* * *


AHMAD FAUZI ISNAN
Kisah hidupnya unik. Lahirdari keluarga militer, namun tak membekas sedikit
pun kesantunannya terhadap militer. la malah membuka front, membentuk
kekuatan untuk mengadili Militer. Ada apa ?

Ketika peristiwa Cihideung meletup, ia baru berusia 22 tahun. Namun perannya
dalam kelompok Warsidi cukup penting. Bersama Nurhidayat, Sudarsono, dan
Wahidin, ia termasuk pemrakarsa pembentukan perkampungan jamaah di Cihideung
yang diwarnai perlawanan kepada pemerintah. Fauzi sebetulnya berasal dari
keluarga yang sejak lama tinggal di Lampung. Masa kecilnya ia lewatkan di
suatu kompleks militer, tempat ayahnya bertugas sebagai anggota TNI AD. Dia
lahir sebagai anak ketiga dari lima bersaudara. Di kompleks GATAM (Garuda
Hitam) Lampung itulah, Fauzi dibesarkan.


Masa kecil Fauzi sudah mengenal ajaran-ajaran Islam, termasuk membaca Al
Quran dan menulis bahasa Arab. Hal ini karena lingkungan keluarganya memang
dekat dengan agama. Orang tuanya mendorong ia dan saudaranya yang lain untuk
dekat dengan agama. Setelah menamatkan SMP-nya pada tahun 1982, Fauzi melanj
utkan ke salah satu SMA di Tanjungkarang. Tapi, tahun kedua ia keluar dari
sekolah itu.


Fauzi kemudian pindah ke Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur, hingga
lulus tingkat Aliyah. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan diterima bekerja di
Biro Pusat Statistik (BPS). Di BPS, mendapat ikatan dinas di Akademi Ilmu
Statistik (AIS), dan lulus 1988. Namun, setelah lulus, Fauzi justru tak
pernah masuk kantor. Dia lebih memilih mengikuti pengajian-pengajian. Di
sinilah ia berkenalan dengan Sudarsono dan Nurhidayat. Mereka, melalui
pertemuan di Ciloto, Jawa Barat, Maret 1988, membentuk organisasi yang
diproyeksikan sebagai basis untuk menegakkan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) di Talangsari, Lampung. Kumpulan jamaah ini sempat pecah,
kemudian dapat bersatu kembali di bawah pengaruh Wahidin yang mempunyai
basis jamaah di Condet, Jakarta Timur.


Setelah Darsono memperkenalkannya kepada Warsidi, kabamya Fauzi bersama
Nurhidayat menipu puluhan orang untuk dikirim ke Lampung. Orang-orang itulah
yang menjadi korban Geger Talangsari yang menghebohkan sampai ke mancanegara
1989 lalu.

Kini, Fauzi mempunyai versi sendiri tentang peristiwa di Cihideung. Menurut
Fauzi, kejadian di Cihideung Talangsari bermula dari kelompok Usroh
(kelompok pengajian) yang berencana membuat perkampungan Islam, setelah
terpecah-pecah. Saat itu, Warsidi menawarkan sebidang tanah di Cihideung
sebagai basis perkampungan Islam. Sekitar Desember 1988, jama'ah Usroh yang
berasal dari Solo, Bandung, dan Jakarta, mulai didatangkan ke Cihideung,
bergabung dengan Warsidi.

Konsentrasi massa yang jumlahnya lebih dari 100 orang itu, menurut Fauzi
menimbulkan kecurigaan aparat. Pada tanggal 6 Februari 1989, Danramil
Soetiman, yang mengendarai dua buah jip dan delapan motor, datang ke
perkampungan Warsidi. Mengira hendak diserbu jamaah yang menetap di
perkampungan itu menyerang dengan menggunakan panah. Akhirnya, Soetiman
tewas.

Malam harinya, tentara mengepung perkampungan jamaah. Peperangan pun terjadi
setelah subuh mulai menyingsing, sedangkan di Sidoredjo terhadap kepala desa
Arifin Santoso, diakuinya atas perintah Warsidi. Tentang tewasnya Pratu
Budi, menurut Fauzi, aparat itu dibunuh jamaah Warsidi di luar Cihideung,
ketika sama-sama menumpang sebuah kendaraan umum. Pembunuhan dilakukan
karena jamaah sangat benci dengan tentara, dan begitu melihat Pratu Budi
mengenakan pakaian seragam, langsung dibunuh.

Keterangan Fauzi ini ternyata diperoleh darí berita di koran dan juga kata
orang. Sebab, ketika peristiwa berlangsung Fauzi berada di suatu tempat di
Jakarta. Malah menurut Darsono, karib seperjuangannya, Fauzi sesungguhnya
tidak tahu apa-apa soal Cihideung atau Talangsari. Datang ke tempat itu pun,
kata Darsono, cuma sekali. Meskipun Fauzi mengaku secara lisan kepada
penulis, telah dua kali datang ke Talangsari.

Soal benarkah apa yang diungkap oleh Fauzi, karena ia sendiri tidak berada
di sana, masih silang sengketa. Menurut beberapa temannya, Fauzi tergolong
suatu sosok pribadi yang aneh. Fauzi secara psikologis masih sangat labil
dalam berpikir dan bertindak. Bahkan, ia pun tega menohok kawan seiring dan
menggunting dalam lipatan. Yang jelas, hubungan Fauzi dengan kawan-kawannya
selalu retak dan tidak akur.

Buktinya, setelah mereka ke luar dari penjara (1999), Fauzi mempelopori
terjadinya islah sebagai cara penyelesaian kasus ini, tetapi kemudian
dikhianatinya sendiri
dengan membentuk Koramil (Komite Korban Kekerasan Militer) Lampung yang
terus mencoba membuka kembali kasus Cihideung. Hanya karena ada masalah
pribadi
dengan Hendropriyono. Hal ini dianggap pengkhianatan oleh Sudarsono dan
kawan-kawannya yang tergabung dalam Jamaah Islah. Menurut rekannya ini kasus
Lampung sudah ditutup karena kedua belah pihak, baik korban dari pihak
jamaah Warsidi maupun militer, sudah melakukan Islah perdamaian.

* * *


RIYANTO
Di mata Warsidi, ada dua orang yang pantas menjadi panglima. Salah satunya
ialah Riyanto. Riyanto inilah yang kemudian bersama Fadhillah alias Sugito.
la dipercaya Warsidi untuk memimpin teror Lampung, sebelas tahun lalu.


Sekilas orang tak akan percaya bahwa Riyanto, yang kini telah berusia 48
tahun ini juga bisa beringas. Malah keberingasannya dinilai oleh banyak
orang sebagai sesuatu yang cukup "mengerikan". Di tanah Lampung, sebelas
tahun lalu ketika terjadi huru-hara Warsidi, orang yang melakukan huru hara
itu salah satunya ialah Riyanto. Bersama Fadillah, Riyanto berhasil memimpin
anggotanya menciptakan gegeran Lampung 1989.

Perkenalannya dengan Warsidi berawal dari cerita Aminuddin, seorang
sahabatnya, yang menyatakan bahwa di Lampung, telah berdiri sebuah tempat
perjuangan untuk bisa mewujudkan tegaknya Negara Islam. Bagi Riyanto, cerita
itu tidak menarik bila tidak melihat langsung kenyataannya. la segera
berangkat ke Lampung untuk membuktikan cerita sahabatnya itu. Di sana ia
melihat kebenaran bahwa ada sekelompok orang yang sepaham, sedang gigih
memperjuangkan cita-cita tegaknya Negara Islam. Riyanto kepincut dan
memutuskan ingin segera berjuang bersama Warsidi untuk merajut masa depan
yang gemilang. la bergabung dengan rombongan Alex, yang memboyong istri dan
tiga anaknya dari Tanjung Priok, berangkat menuju tanah harapan meninggalkan
Jakarta yang penuh kenangan.

Riyanto telah menjalani takdir untuk hidup bersama orang-orang yang belum ia
kenal, termasuk Warsidi. Riyanto juga harus menjalani takdirnya ketika ada 5
anggota Warsidi tertangkap aparat, dan Warsidi memerintahkan untuk
merebutnya kembali dari tangan aparat itu. Dari sanalah sejarah buram
hidupnya mulai dirajut. Bersama Fadhilah dan sejumlah anak buahnya, la
menjadi tokoh rojo pati membunuh orang yang tak ia ingini, serta mengacau
keamanan yang menyusahkan banyak pihak.

Setelah dibebaskan dari Nusakambangan, tak banyak orang mengetahui kegiatan
Riyanto. Tetapi, tokoh ontran-ontran Lampung ini acap kali muncul jika ada
pihak yang mengusik soal Talangsari. Misalnya, ketika Fauzi Isnan menyatakan
bahwa korban Talangsaritelah mendapat sejumlah uang, rumah, tanah bahkan
sapi. Riyanto tersinggung dan langsung menulis surat bantahannya ke berbagai
media. Dalam suratnya itu, Riyanto malah membeberkan aib dan bejatnya moral
Fauzi.


Surat Bantahan Riyanto
Bantahan Riyanto ini dimuat Majalah Panji Masyarakat, 3 Mei 2000. la
menyatakan bahwa tidak benar korban Talangsari telah mendapat uang, rumah,
tanah,bahkan sapi, seperti yang dituduhkan Fauzi Isnan melalui berbagai
media pers. Menurut Riyanto, justru Fauzilah yang paling banyak mengeruk
keuntungan dari islah yang disepakati bersama Hendropriyono tahun 1998.
Fauzi telah meminta satu kendaraan Kijang untuk kepentingan para korban
melalui Yayasan Bunaiya, tetapi kendaraan tersebut telah disalahgunakan dan
bahkan telah dijualnya.

Diakuinya bahwa beberapa orang korban Talangsari memang telah menerima
santunan dari Hendropriyono, tetapi itu untuk mereka yang baru bebas dari
penjara, sedangkan Fauzi sudah menerima jauh lebih banyak dari itu.

Riyanto mengingatkan bahwa jika Fauzi tidak menghentikan kegiatannya yang
memfitnah dan meresahkan para korban Talangsari, Fauzi sendiri akan menemui
kesulitan yang besar.

ZAMZURI
Secara tidak langsung, Zamzuri punya peran cukup penting, bagi perjuangan
Warsidi. Orang kaya Sidoredjo ini tak cuma dihormati, tetapi juga dicintai,
terutama mereka yang tengah bergairah memperjuangkan cita-citanya mendirikan
"Negara Islam " di Lampung.

Padahal, jarak antara rumah Zamzuri di Sidoredjo dan tempat tinggal Warsidi
di Cihideung, terhitung tidak dekat, sekitar 30 km. Bedanya, Zamzuri berada
di tengah kota Sidoredjo, Warsidi tinggal di belantara ladang Cihideung. Di
rumah Zamzuri inilah para aktivis Cihideung itu sering singgah. Tak heran,
rumah Zamzuri tak pernah sepi pengunjung yang membuat curiga dan iri banyak
orang, terutama aparat keamanan wilayah.

Kalau saja tidak terjadi gegeran di Sidoredjo yang membawa korban sejumlah
aparat serta penduduk setempat, mungkin saja nama Zamzuri tidak tercatat
dalam lembaran hitam kota lada ini. Gegeran di kaki Gunung Balak itu
menyiratkan, betapa tidak harmonisnya hubungan antara aparat dengan kelompok
Warsidi yang sejak lama telah menyatakan "perang" terhadap pemerintah.
Gegeran itu berbuntut panjang.dan membawa malapetaka, tidak saja Zamzuri dan
kelompoknya tetapi juga orang-orang kecil yang tengah mengemban tugas.

Kisahnya, berawal dari kecurigaan aparat yang mencium aroma tidak beres di
rumah Zamzuri. Ketika hendak memeriksa rumah tokoh tersebut, dari dalam
muncul salah seorang anak buah Zamzuri berteriak dan mengejar petugas
tersebut. Kejar mengejar itu berhenti setelah polisi memberi tembakan
peringatan. Tetapi, tidak diperkirakan bahwa anak buah Zamzuri tersebut
kemudian merebut senjata aparat, meski pada akhirnya ia tewas diterjang
peluru petugas.

Mengetahui anak buahnya tewas, Zamzuri dan teman-temannya panas. Dari dalam
rumah segera berhamburan mengejar Dargo, polisi yang menembak korban
tersebut. Insiden Gunung Balak ini merenggut nyawa Dargo (Dansek Gunung
Balak), Santosa Arifin (Lurah Sidoredjo), Giono (Guru SMP Muhammadiyah)
serta beberapa korban luka dari kelompok pengajian Warsidi. Zamzuri,
kemudian diadili dan dibui di Nusakambangan selama lebih sepuluh tahun,
sebelum dibebaskan atas perjuangan islah dari teman-temannya.

Kini, pria Gunung Kidul, Yogyakarta yang lahir tahun 1942 dan tergolong
sukses di kawasan Gunung Balak Lampung itu, menuai hari tuanya di bekas
puing-puing kejayaan masa lalunya di Sidoredjo. Kehidupan penjara telah
membawanya ke alam spiritual yang lebih mapan dalam hidupnya. Masa lalunya
adalah harta yang tak akan pernah hilang, Sedang masa kini ialah amanah yang
harus dijalaninya dengan kesadaran untuk tidak lancung dalam ujian yang
kedua kalinya.

Kepada penulis ia mengaku masih harus belajar. lebih banyak lagi untuk
mengenal kehidupan. Menurutnya, tidak ada sesuatu yang sia-sia di mata
Tuhan. Apa pun yang telah ia jalani, tidak mungkin tanpa sepengetahuan
Allah. la menyadari, semua kejadian yang menimpanya, pasti kehendak-Nya dan
itu pasti pilihan terbaik bagi dirinya.

Oleh karena itu, ketika mendengar ada sejumlah orang yang ingin mengadakan
tuntutan kepada aparat, karena menganggap aparatlah yang salah, Zamzuri
mengatakan, tidak ingin ikut campur. la malah menyatakan, jika ingin
menuntut, sesungguhnya siapakah yang harus dituntut. Sebab para aparat,
hanya menjalankan
tugas yang memang sudah menjadi tanggungjawabnya.

Bagi Zamzuri, kebenaran tidak akan bisa tertipu, dia senantiasa akan datang
bersama orang-orang yang mencintai perdamaian.

* * *



Attachment: 0002.gif
Description: GIF image

Attachment: 0001.gif
Description: GIF image

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-16