ISLAH SEBUAH ALTERNATIF PERDAMAIAN, dambaan semua orang. Bahkan seluruh makhluk Tuhan membutuhkan anugerah damai. Hanya dengan damai, perjalanan menuju ke suatu tempat bisa selamat. Itu sebabnya tidak hanya perorangan atau kelompok, bahkan tingkatan negara pun, sejatinya selalu mendambakan anugerah damai itu. Segala cara dicoba, berbagai jalan ditempuh untuk mencari format menuju damai. Islam telah mengajarkan jalan damai dengah cara islah jika terjadi perselisihan, pertikaian atau permusuhan. Format damai cara islah ini pun telah dilakukan bahkan oleh para nabi-nabi, ketika hendak menyelesaikan suatu masalah. Tetapi di negeri ini, islah hanya populer sebagai wacana para da'i ketika mengajar ngaji atau berdakwa. Hanya di kalangan terbatas seperti pesantren atau perguruan Islam, wacana islah dikenal. Selebihnya, islah hanya tersimpan dalam buku-buku catatan agama, selayaknya jimat, hanya dibuka jika diperlukan. Ketika bangsa ini sedang sekarat didera pertikaian dan perselisihan yang tak kunjung selesai, ketika kita sudah bosan mendengar cekcok sesama saudara, kita pernah dikejutkan oleh berita tentang orang-orang yang mengadakan rujuk damai dengan cara islah. Inilah ejawantah rekonsiliasi yang didambakan banyak orang, meskipun belum banyak dimengerti orang. Ejawantah rekonsiliasi yang bernama islah itu, dilakukan oleh "kelompok Lampung" tahun 1998, di Jakarta. Suatu kelompok yang dahulu terlibat per selisihan dan pertikaian yang melahirkan geger Talangsari 1989. Ketika itu Fauzi Isnan, mantan jamaah Warsidi bersama teman-temannya, mencetuskan gagasan islah di depan Hendropriyono, mantan petinggi Korem Garuda Hitam Lampung, saat pertikaian berlangsung. Hendro menyambut gagasan Fauzi setelah dijelaskan maksud dan tujuan islah AM. Hendropriyono segera didaulat sebagai fasilitator terselenggaranya islah tersebut. Semangat Hendropriyono tentang islah, juga disambut oleh AM Fatwa, yang saat itu sebagai penanggungjawab asimilasi dua tokoh peristiwa Lampung, Fauzi dan Nurhidayat. Melalui AM Fatwa, pertemuan antara Hendropriyono dengan 14 orang matan jamaah Warsidi, berlangsung mulus dan menghasilkan berbagai hal tak hanya material tetapi juga moral yang selama itu telah terkoyak oleh angkaramurka. Menurut Yani Wahid, penggagas buku ini, pertemuan dua pihak yang dulu saling berseberangan itu, berlangsung sangat akrab, seperti layaknya tak pemah terjadi silang sengketa pada masa lalunya. "Kita sedang menjalani takdir. Kita pun sedih karena peristivva Talangsari harus terjadi. Hanya saja, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari masa lampau yang tidak kita inginkan itu. Kita perlu memberi makna di masa kini dengan bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat, demikian Hendropriyono memulai pembicaraan serius setelah cukup berbasa-basi. Para tokoh kasus Talangsari, Lampung, yang hadir antara lain, Sudarsono, Fauzi Isnan, Sukardi, Dede Saifuddin dan Maulana Latif. Terjadinya pertemuan islah itu, menurut berbagai pihak, merupakan peristiwa sejarah tersendiri bagi Indonesia yang tengah centang perenang. Belum pernah terjadi sebelumnya, bahwa seorang pejabat tinggi terpanggil untuk bertemu dengan pihak-pihak yang bisa dikategorikan sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Maka, apa yang dilakukan Hendropriyono menjadi fenomena. Dialah satu-satunya jenderal dan bahkan seorang pejabat negara, yang sudi berhubungan dengan pihak "lawan dan korban", mempelopori rekonsiliasi damai, bernama islah, sukarela tanpa paksa. Agenda utama islah ialah berupaya membebaskan narapidana dari rumah tahanan. Pada awalnya, Hendropriyono hanya sanggup menolong pembebasan narapidana untuk 3 orang saja. Tetapi Darsono berteriak, lebih baik tidak, bila tidak semua dibebaskan. Darsono menuntut agar 15 orang teman-temannya yang ada di Nusakambangan turut dibebaskan. Berkah perdamaian itulah akhirnya seluruh pesakitan Lampung itu, boleh lega menghirup udara kebebasan. Cahaya perdamaian telah hidup di dada mereka. Antara jamaah Warsidi, masyarakat Way Jepara dan pihak aparat yang diwakili AM Hendropiryono, hari itu berazam, untuk meninggalkan masa suram menuju ke masa depan yang lebih punya nilai. Mereka adalah pejuang islah yang telah melaksanakan ajaran Islam, "Islahul-Mu'amalah". Dasar Moral Islah Dasar moral Islah tidak ngambang, apalagi ngawur. Kalimat-kalimat islah sudah sering kita dapatkan dalam Al Quranul Karim. Islah artinya perdamaian atau "perbaikan". Perintah islah secara umum ialah perbaikan menyeluruh mencakup tashlihul-aqidah (perbaikan aqidah), tashlihul-ibadah (perbaikan ibadah), tashlihul-akhlaq (perbaikan akhlak), tashlihul-iqtishodiyah (perbaikan ekonomi), tashlihul-siyasah (perbaikan sistem politik) dan lain-lain. Perintah-perintah ini lebih menitikberatkan pada peningkatan yaitu kesungguhan untuk memperbaiki yang sudah baik. Tetapi perintah secara khusus ialah memperbaiki yang rusak, yang mencakup tashlihul-mu'amalah (perbaikan hubungan mu'amalah) yaitu mengakhiri keadaan yang dirusak oleh suasana pertengkaran, permusuhan, perselisihan, hujat-menghujat, iri dengki dan lain sebagainya. Khusus untuk mencapai yang terakhir dalam pelaksanaannya mempersyaratkan adanya keadaan psikologi tertentu yaitu kelayakan moral keadaban (al-hilm) yang secara garis besar mencakup watak-watak seperti kesabaran, pengekangan nafsu, pemaaf dan terbebas dari emosi nekat dan kepala batu. Islah tidak dapat terjadi apabila salah satu pihak masih tergoda oleh semangat jahiliyah (hamiyat al jahiliyah) dan perbuatan jahiliyah (amr al jahiliyah), yaitu kegelapan atau nafsu setan yang menjadi ciri bagi mereka yang tidak mengetahui bagaimana membedakan antara yang baik dan buruk, yang tak pernah meminta maaf atas kejahatan yang telah mereka lakukan, yang tuli terhadap kebaikan, bisu terhadap kebenaran dan buta terhadap kenyataan. Dalam pandangan Alquran, kegelapan dan nafsu setan adalah penyebab permusuhan yang tiada henti-hentinya dan penyebab kesengsaraan serta bencana yang tak terhitung banyaknya dalam sejarah peradaban manusia. Ketika terjadi pertengkaran hebat nyaris berbunuhan antara dua suku terbesar di Madinah, Aus dan Hazrat, Nabi saw. cepat-cepat bertindak melerai mereka dengan perkataannya: "Hai orang-orang yang beriman, betapa beraninya engkau melupakan Tuhan. Kalian telah tergoda lagi oleh seruan jahiliyah (bi da wa al-jahiliyah). Ingatlah aku berada di sini di antara kalian. Ingatlah, Tuhan telah membimbing ke dalam Islam, memuliakan kaliah sehingga ikatan jahiliyah terputus darikalian, melepaskan kalian dari kekufuran dan menyebabkan kalian bersahabat satu sama lain". Demikian Nabi saw mengislahkan mereka dengan nasihat sampai mereka menyadari bahwa mereka tergoda oleh setan, kemudian mereka saling berangkulan dan menangis. (Lihat, Shirah Nabawi, Ibnu Ishaq). Lain lagi yang ditempuh Nabi saw ketika telah terjadi pertumpahan darah. Nabi tidak hanya mencukupkan nasihat untuk menutup semangat persaingan dan keangkuhan kelompok, melainkan dengan klarifikasi dan rehabilitasi. Sebagai contoh adalah yang terjadi pada tahun 8 H, yaitu ketika sepasukan tentara di bawah pimpinan Khalid bin Walid masih terbawa perasaan marah dan membunuhi kelompok suku Banu Jadhimah padahal masa perang telah usai. Nabi saw menempuh jalan islah dengan mengutus Ali bin Abu Thalib disertai perintah : "Segeralah pergi kepada orang-orang itu, selidikilah dengan teliti peristi\va itu, serta hentikanlah kebiasaan jahíliyah itu!". Ali pun bergegas menuju lokasi kejadian dengan membawa banyak uang guna dibayarkan sebagai pengganti darah yang tumpah dan harta benda yang hilang. Yang dimaksud dengan kebiasaan jahiliyah oleh Nabi ialah ketidakmampuan menahan diri dari perasaan marah yang masih ada pada diri Khalid dan pasukannya. Kedua contoh kasus di atas, merupakan praktik islah di zaman Rasulullah saw. Dengan jalan islah itu, Nabi saw menciptakan kembali iklim persaudaraan, perdamaian dan persatuan serta mengakhiri iklim persengketaan dan permusuhan. Dan memang, ajaran atau konsep islah pada hakekatnya merupakan cara praktis mengatasi fragmentasi politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah saw juga menerapkan esensi ajaran ini dalam peristiwa Futuh Makkah atau pembebasan kota Makah. Rasulullah saw berhasil mengantarkan perubahan untuk memerdekakan semua penduduk Makkah dengan pengampunan yang menutup semua celah pertentangan dan permusuhan. Pada masa reformasi sekarang ini, kita sebagai umat yang besar, seolah-olah kehilangan tempat berpijak, seolah-olah Islam mengajarkan umatnya menjadi penuntut dan penghukum, bukan manusia-manusia pemaaf yang memiliki meta strategi dalam menghadapi masa depan. Kita seharusnya juga merenungkan kebijakan Rasul menghadapi orang Thaif yang telah mengusir dan menghujani Rasulullah dengan lemparan batu. Atau ambillah hikmah meta strategi Rasul dalam membangun kembali kesatuan masyarakat pada peristiwa futuh makkah yang pantang memberi malu kepada Abu Sofyan, orang terkenal yang terang-terangan memusuhi beliau dan umat Islam hampir selama dua puluh tahun. Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang telah ditempuh Rasul, yang memancarkan hikmah islah untuk mengembalikan martabat dan kehormatan semua pihak dalam damai, kehormatan setiap orang yang tak lagi bermusuhan, kehormatan lembaga bersama seperti Masjidil-Haram. Sebagai nilai, ajaran islah ini akan selalu muncul untuk dijadikan rujukan semua pihak di kalangan umat yang ingin memperbaiki keadaan agar menjadi lebih baik dan atau memperbaiki hubungan yang rusak akibat perselisihan, pertengkaran maupun permusuhan. Di tengah-tengah teriakan tentang penegakan HAM dan Demokrasi sangat memungkinkan munculnya kelompok yang menuntut pengusutan berbagai kasus masa lalu melalui pengadilan HAM. Namun dari, kompleksnya persoalan, mungkin sangat tidak efektif dari segi apa pun karena dapat mengarah pada ketidakadilan baru yang dijustifikasi oleh lembaga formal. Banyak sekali contoh bahwa di ruang pengadilan malah lahir kezaliman baru yang diabsahkan tanpa kita pemah mampu meluruskannya kembali. Oleh karena itu pilihan untuk menerapkan konsep islah yang mempakan konsep religius itu bisa jadi lebih tepat dalam rangka menutup semua cerita "ketololan politik" masa lalu yang menyebabkan tipisnya solidaritas dan silaturahmi antar eksponen bangsa. Dalam konsep ini, nilai utama yang diperintahkan adalah perbaikan hubungan untuk menyatukan kembali masyarakat yang terlibat konflik. Tujuannya bukan pengadilan melainkan pemulihan harkat dan kehormatan, baik kehormatan pribadi, lembaga, maupun kehormatan para pemimpin masyarakat. Dalam kondisi masyarakat Indonesia seperti sekarang ini, konsep islah menemukan urgensinya sebagai ajang perbaikan hubungan dan pembudayaan silaturahmi nasional serta ajang klarifikasi kasus-kasus lama yang dianggap sebagai represi struktural di masa lalu. Dalam konteks moral Islam, pihak-pihak yang terlibat berusaha saling mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan kasih sayang (táwashau bis-shabri wätawashau bil-marhamah) * * * =============================================================== (C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org