[UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-17

  • From: "untirtanet@xxxxxxxxxxxxxx" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Mon, 2 Sep 2002 00:21:15 -0400

ISLAH SEBUAH ALTERNATIF


PERDAMAIAN, dambaan semua orang. Bahkan seluruh makhluk Tuhan membutuhkan
anugerah damai. Hanya dengan damai, perjalanan menuju ke suatu tempat bisa
selamat. Itu sebabnya tidak hanya perorangan atau kelompok, bahkan tingkatan
negara pun, sejatinya selalu mendambakan anugerah damai itu. Segala cara
dicoba, berbagai jalan ditempuh untuk mencari format menuju damai. Islam
telah mengajarkan jalan damai dengah cara islah jika terjadi perselisihan,
pertikaian atau permusuhan. Format damai cara islah ini pun telah dilakukan
bahkan oleh para nabi-nabi, ketika hendak menyelesaikan suatu masalah.
Tetapi di negeri ini, islah hanya populer sebagai wacana para da'i ketika
mengajar ngaji atau berdakwa. Hanya di kalangan terbatas seperti pesantren
atau perguruan Islam, wacana islah dikenal. Selebihnya, islah hanya
tersimpan dalam buku-buku catatan agama, selayaknya jimat, hanya dibuka jika
diperlukan.

Ketika bangsa ini sedang sekarat didera pertikaian dan perselisihan yang tak
kunjung selesai, ketika kita sudah bosan mendengar cekcok sesama saudara,
kita pernah dikejutkan oleh berita tentang orang-orang yang mengadakan rujuk
damai dengan cara islah. Inilah ejawantah rekonsiliasi yang didambakan
banyak orang, meskipun belum banyak dimengerti orang.


Ejawantah rekonsiliasi yang bernama islah itu, dilakukan oleh "kelompok
Lampung" tahun 1998, di Jakarta. Suatu kelompok yang dahulu terlibat per
selisihan dan pertikaian yang melahirkan geger Talangsari 1989. Ketika itu
Fauzi Isnan, mantan jamaah Warsidi bersama teman-temannya, mencetuskan
gagasan islah di depan Hendropriyono, mantan petinggi Korem Garuda Hitam
Lampung, saat pertikaian berlangsung. Hendro menyambut gagasan Fauzi setelah
dijelaskan maksud dan tujuan islah AM. Hendropriyono segera didaulat sebagai
fasilitator terselenggaranya islah tersebut.


Semangat Hendropriyono tentang islah, juga disambut oleh AM Fatwa, yang saat
itu sebagai penanggungjawab asimilasi dua tokoh peristiwa Lampung, Fauzi dan
Nurhidayat. Melalui AM Fatwa, pertemuan antara Hendropriyono dengan 14 orang
matan jamaah Warsidi, berlangsung mulus dan menghasilkan berbagai hal tak
hanya material tetapi juga moral yang selama itu telah terkoyak oleh
angkaramurka. Menurut Yani Wahid, penggagas buku ini, pertemuan dua pihak
yang dulu saling berseberangan itu, berlangsung sangat akrab, seperti
layaknya tak pemah terjadi silang sengketa pada masa lalunya.

"Kita sedang menjalani takdir. Kita pun sedih karena peristivva Talangsari
harus terjadi. Hanya saja, bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari masa
lampau yang tidak kita inginkan itu. Kita perlu memberi makna di masa kini
dengan bersama-sama melakukan sesuatu yang bermanfaat, demikian
Hendropriyono memulai pembicaraan serius setelah cukup berbasa-basi. Para
tokoh kasus Talangsari, Lampung, yang hadir antara lain, Sudarsono, Fauzi
Isnan, Sukardi, Dede Saifuddin dan Maulana Latif.

Terjadinya pertemuan islah itu, menurut berbagai pihak, merupakan peristiwa
sejarah tersendiri bagi Indonesia yang tengah centang perenang. Belum pernah
terjadi sebelumnya, bahwa seorang pejabat tinggi terpanggil untuk bertemu
dengan pihak-pihak yang bisa dikategorikan sebagai anggota Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK). Maka, apa yang dilakukan Hendropriyono menjadi fenomena.
Dialah satu-satunya jenderal dan bahkan seorang pejabat negara, yang sudi
berhubungan dengan pihak "lawan dan korban", mempelopori rekonsiliasi damai,
bernama islah, sukarela tanpa paksa.

Agenda utama islah ialah berupaya membebaskan narapidana dari rumah tahanan.
Pada awalnya, Hendropriyono hanya sanggup menolong pembebasan narapidana
untuk 3 orang saja. Tetapi Darsono berteriak, lebih baik tidak, bila tidak
semua dibebaskan. Darsono menuntut agar 15 orang teman-temannya yang ada di
Nusakambangan turut dibebaskan. Berkah perdamaian itulah akhirnya seluruh
pesakitan Lampung itu, boleh lega menghirup udara kebebasan.

Cahaya perdamaian telah hidup di dada mereka. Antara jamaah Warsidi,
masyarakat Way Jepara dan pihak aparat yang diwakili AM Hendropiryono, hari
itu berazam, untuk meninggalkan masa suram menuju ke masa depan yang lebih
punya nilai. Mereka adalah pejuang islah yang telah melaksanakan ajaran
Islam, "Islahul-Mu'amalah".

Dasar Moral Islah
Dasar moral Islah tidak ngambang, apalagi ngawur. Kalimat-kalimat islah
sudah sering kita dapatkan dalam Al Quranul Karim. Islah artinya perdamaian
atau "perbaikan". Perintah islah secara umum ialah perbaikan menyeluruh
mencakup tashlihul-aqidah (perbaikan aqidah), tashlihul-ibadah (perbaikan
ibadah), tashlihul-akhlaq (perbaikan akhlak), tashlihul-iqtishodiyah
(perbaikan ekonomi), tashlihul-siyasah (perbaikan sistem politik) dan
lain-lain.

Perintah-perintah ini lebih menitikberatkan pada peningkatan yaitu
kesungguhan untuk memperbaiki yang sudah baik. Tetapi perintah secara khusus
ialah memperbaiki yang rusak, yang mencakup tashlihul-mu'amalah (perbaikan
hubungan mu'amalah) yaitu mengakhiri keadaan yang dirusak oleh suasana
pertengkaran, permusuhan, perselisihan, hujat-menghujat, iri dengki dan lain
sebagainya.

Khusus untuk mencapai yang terakhir dalam pelaksanaannya mempersyaratkan
adanya keadaan psikologi tertentu yaitu kelayakan moral keadaban (al-hilm)
yang secara garis besar mencakup watak-watak seperti kesabaran, pengekangan
nafsu, pemaaf dan terbebas dari emosi nekat dan kepala batu.

Islah tidak dapat terjadi apabila salah satu pihak masih tergoda oleh
semangat jahiliyah (hamiyat al jahiliyah) dan perbuatan jahiliyah (amr al
jahiliyah), yaitu kegelapan atau nafsu setan yang menjadi ciri bagi mereka
yang tidak mengetahui bagaimana membedakan antara yang baik dan buruk, yang
tak pernah meminta maaf atas kejahatan yang telah mereka lakukan, yang tuli
terhadap kebaikan, bisu terhadap kebenaran dan buta terhadap kenyataan.


Dalam pandangan Alquran, kegelapan dan nafsu setan adalah penyebab
permusuhan yang tiada henti-hentinya dan penyebab kesengsaraan serta bencana
yang tak terhitung banyaknya dalam sejarah peradaban manusia.

Ketika terjadi pertengkaran hebat nyaris berbunuhan antara dua suku terbesar
di Madinah, Aus dan Hazrat, Nabi saw. cepat-cepat bertindak melerai mereka
dengan perkataannya: "Hai orang-orang yang beriman, betapa beraninya engkau
melupakan Tuhan. Kalian telah tergoda lagi oleh seruan jahiliyah (bi da wa
al-jahiliyah). Ingatlah aku berada di sini di antara kalian. Ingatlah, Tuhan
telah membimbing ke dalam Islam, memuliakan kaliah sehingga ikatan jahiliyah
terputus darikalian, melepaskan kalian dari kekufuran dan menyebabkan kalian
bersahabat satu sama lain". Demikian Nabi saw mengislahkan mereka dengan
nasihat sampai mereka menyadari bahwa mereka tergoda oleh setan, kemudian
mereka saling berangkulan dan menangis. (Lihat, Shirah Nabawi, Ibnu Ishaq).

Lain lagi yang ditempuh Nabi saw ketika telah terjadi pertumpahan darah.
Nabi tidak hanya mencukupkan nasihat untuk menutup semangat persaingan dan
keangkuhan kelompok, melainkan dengan klarifikasi dan rehabilitasi. Sebagai
contoh adalah yang terjadi pada tahun 8 H, yaitu ketika sepasukan tentara di
bawah pimpinan Khalid bin Walid masih terbawa perasaan marah dan membunuhi
kelompok suku Banu Jadhimah padahal masa perang telah usai. Nabi saw
menempuh jalan islah dengan mengutus Ali bin Abu Thalib disertai perintah :
"Segeralah pergi kepada orang-orang itu, selidikilah dengan teliti
peristi\va itu, serta hentikanlah kebiasaan jahíliyah itu!". Ali pun
bergegas menuju lokasi kejadian dengan membawa banyak uang guna dibayarkan
sebagai pengganti darah yang tumpah dan harta benda yang hilang.

Yang dimaksud dengan kebiasaan jahiliyah oleh Nabi ialah ketidakmampuan
menahan diri dari perasaan marah yang masih ada pada diri Khalid dan
pasukannya.

Kedua contoh kasus di atas, merupakan praktik islah di zaman Rasulullah saw.
Dengan jalan islah itu, Nabi saw menciptakan kembali iklim persaudaraan,
perdamaian dan
persatuan serta mengakhiri iklim persengketaan dan permusuhan. Dan memang,
ajaran atau konsep islah pada hakekatnya merupakan cara praktis mengatasi
fragmentasi politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah saw
juga menerapkan esensi ajaran ini dalam peristiwa Futuh Makkah atau
pembebasan kota Makah. Rasulullah saw berhasil mengantarkan perubahan untuk
memerdekakan semua penduduk Makkah dengan pengampunan yang menutup semua
celah pertentangan dan permusuhan.

Pada masa reformasi sekarang ini, kita sebagai umat yang besar, seolah-olah
kehilangan tempat berpijak, seolah-olah Islam mengajarkan umatnya menjadi
penuntut dan penghukum, bukan manusia-manusia pemaaf yang memiliki meta
strategi dalam menghadapi masa depan. Kita seharusnya juga merenungkan
kebijakan Rasul menghadapi orang Thaif yang telah mengusir dan menghujani
Rasulullah dengan lemparan batu. Atau ambillah hikmah meta strategi Rasul
dalam membangun kembali kesatuan masyarakat pada peristiwa futuh makkah yang
pantang memberi malu kepada Abu Sofyan, orang terkenal yang terang-terangan
memusuhi beliau dan umat Islam hampir selama dua puluh tahun. Masih banyak
lagi peristiwa-peristiwa yang telah ditempuh Rasul, yang memancarkan hikmah
islah untuk mengembalikan martabat dan kehormatan semua pihak dalam damai,
kehormatan setiap orang yang tak lagi bermusuhan, kehormatan lembaga bersama
seperti Masjidil-Haram.

Sebagai nilai, ajaran islah ini akan selalu muncul untuk dijadikan rujukan
semua pihak di kalangan umat yang ingin memperbaiki keadaan agar menjadi
lebih baik dan atau memperbaiki hubungan yang rusak akibat perselisihan,
pertengkaran maupun permusuhan.

Di tengah-tengah teriakan tentang penegakan HAM dan Demokrasi sangat
memungkinkan munculnya kelompok yang menuntut pengusutan berbagai kasus masa
lalu melalui pengadilan HAM. Namun dari, kompleksnya persoalan, mungkin
sangat tidak efektif dari segi apa pun karena dapat mengarah pada
ketidakadilan baru yang dijustifikasi oleh lembaga formal.

Banyak sekali contoh bahwa di ruang pengadilan malah lahir kezaliman baru
yang diabsahkan tanpa kita pemah mampu meluruskannya kembali. Oleh karena
itu pilihan untuk menerapkan konsep islah yang mempakan konsep religius itu
bisa jadi lebih tepat dalam rangka menutup semua cerita "ketololan politik"
masa lalu yang menyebabkan tipisnya solidaritas dan silaturahmi antar
eksponen bangsa.


Dalam konsep ini, nilai utama yang diperintahkan adalah perbaikan hubungan
untuk menyatukan kembali masyarakat yang terlibat konflik. Tujuannya bukan
pengadilan melainkan pemulihan harkat dan kehormatan, baik kehormatan
pribadi, lembaga, maupun kehormatan para pemimpin masyarakat. Dalam kondisi
masyarakat Indonesia seperti sekarang ini, konsep islah menemukan urgensinya
sebagai ajang perbaikan hubungan dan pembudayaan silaturahmi nasional serta
ajang klarifikasi kasus-kasus lama yang dianggap sebagai represi struktural
di masa lalu.

Dalam konteks moral Islam, pihak-pihak yang terlibat berusaha saling
mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan kasih sayang
(táwashau bis-shabri wätawashau bil-marhamah)

* * *





===============================================================
(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia 
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten 
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, 
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke  
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet 
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-17