NGRUKI DAN TALANGSARI BAGI kebanyakan orang luar kota Surakarta atau kota Solo, Jawa Tengah, tentu tak mudah menyebut kata Ngruki. Apalagi nama itu tak menggambarkan sebuah pengertian apa pun. Padahal, di desa itulah sebuah kelompok pengajian Usroh Ngruki dan sebuah pondok pesantren yang bemama Al-Mukrnin, berdomisili. Dari sana sejumlah kader Islam dicetak dan dibentuk. Para penegak sunnah Rasul itulah yang kelak kemudian ditebar ke sejumlah tempat. Salah satunya ialah yang bergabung menjadi kelompok Warsidi di Cihideulig, Talangsari III, Way Jepara, Lampung Tengah. Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan sekitar 1973 oleh Abdullah Sungkar bersama Abu Bakar Ba' asy, dua orang ulama di kawasan Jawa Tengah. Pada awalnya menempati sebuah lokasi mesjid di Jalan Sukohardjo, sisi Selatan kota Surakarta. Selain pondok pesantren, .di sana juga dihidupkan sebuah stasiun radio bemama Radis (Radio Dakwah Islam). Satu-satunya radio non komersial, bersaing di puluhan radio swasta niaga ketika itu,. seperti Radio ABC, Rama, PTPN, Panca, dan sejumlah radio swasta niaga lainnya. Meskipun non-niaga, Radis mampu menghidupi dirinya sendiri mela1ui sumbangan sejumlah donatur dan menyedot sejumlah pendengar setia, bahkan fanatik. Radio ini hanya menyiarkan dakwah Islam semata-mata, baik melalui pelajaran-pelajaral1 agamaIslam maupun siaran langsung untuk mendengarkan ceramah-ceramah Abdullah Sungkar di berbagai tempat pengajian. Pada waktli-waktu tertentu, siaran Radio diselingi dengan lagu-lagu kasidah dan lagu-lagu melayu. Radio ini tetap berdiri meski tanpa iklan. Selain tidak menerima penyiar putri, semua petugas Radio Radis harus meJlgikuti pengajian malam yang diasuh oleh dua tokoh pimpinan pondok tersebut. Inti pengajian, ialah membahas pengertian Islam, aturan- .aturannya, sejarahnya, dan yang paling utama ialah bagaimana menjalankan perintah Islam berdasarajaran Rasulullah. Dalam ha1 mengajar, kedua tokoh tersebut masih dibantu oleh sejumlah ulama, seperti Kiai Hasan Basri, Amir S.H., Abdullah Thofel, dan kiai-kiai kota Surakarta lainnya. Pengajian Ngruki inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok Pengajian Usroh (penga.jian keluarga), yang bermasalah baik bagi pemerintah maupun bagi pengikut Sungkar pada umumnya. Anehnya kelompok pengajian ini berkembang pesat, bebas, dan tak terbatas. Bahkan, perkembangannya demikian cepat hingga dikenal ke mana-mana. Karena berkernbang dernikian pesat, lokasi yang sernula lapang seakan tampak menyempit. Oleh karena itu, lokasi dipindahkan ke suatu tempat yang lebih luas. Apalagi dari hari ke bari pengikut pengajian dan juga para santri bertambah terus memenuhi Pondok Pesantren AI-Mukrnin. Sekitar awal 1974, lokasi dipindah ke Ngruki. Ngruki adalah nama dusun di kelurahan Tipes, tidak jauh dari terminal bus dalam kota Surakarta di belahan selatan. Sejak pindah ke lokasi inilah, radio Radis dan kelompok Sungkar mulai disantroni penguasa setempat. Pernerintah mehilai Sungkar terlalu keras dalam menyampaikan ceramah dan ajaran-ajarannya kepada para pengikutnya. Agaknya, pemerintah tak mau, menanggung risiko apalagi bereksperimen terhadap ulama yang telah mempunyai banyak pengikut ini. Langkah Sungkar kemudian dihalangi hingga tersandung-sandung. Terakhir, malah ia akan diringkus. Sungkar tak rnau berisiko. Dia segera rnengarnbil langkah seribu, menghilang. ke negeri seberang Malaysia adalah negeri yang ditujunya. Setelah sang kiai menghilang, bukan hanya para pendiri melainkan pondok itu sendiri selalu dalam baying bayang ketakutan. Pernerintah mernberi warna tersendiri terhadap Pondok Pesantren AI-Mukmin sebagai salah satu tempat untuk mencetak kader-kader ekstrern yang sangat membahayakan negara. Di sana tidak hanya mendidik orang-orang mengenal Tuhannya, tetapi juga mendidik orang agar mengenal politik. Ideologi negara dipertandingkan dengan ideologi agama. Padahal, jumlah para santri dan anggota pengajian Usroh Ngruki semakin banyak. Tak cuma lokal, tetapi juga berasal dari berbagai penjuru. Umumnya mereka belum mengetahui bahwa ada berbagai rintangan yang telah menghadang perjalanan Al-Mukmin maupun pengajian Usroh itu. Justru mereka semakin terpukau dan tertarik dengan ajaran-ajaran yang diberikan. Keberadaan mereka akhirnya tak nyaman lagi, karena seringnya pondok digerebek oleh aparat secara tiba-tiba. Pimpinan pondok pun mulai silih berganti. Pernah dijabat Amir S.H., Farid Ma'ruf, dan terus ganti berganti. Jumlah santri lebih dari 5.000-an dengan sistem pendidikan sekolah umum dan sekolah agama Islam. Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar Ba'syir ikut menghilang, dan ternyata ia telah menyusul seniornya, Abdullah Sungkar, ke Malaysia. Pondok Ngruki menjadi muram setelah beberapa pemimpinnya hilang. Hasan Basri meninggal, meskipun kegiatan pengajian dan pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki tetap berlangsung seperti tak pernah ada masalah. Para santri dari Ngruki banyak yang hijrah ke berbagai tempat. Sebagian mendirikan pondok pesantren sendiri, yang lain bergabung menjadi tenaga pengajar pada pesantren yang sudah ada. Secara resmi kegiatan pengajian dibubarkan. Para pengikutnya diamankan atau ditangkap oleh yang benvajib. Tak semua tertangkap, yang berhasil lolos kemudian lari menyelamatkan diri. Sebagian dari mereka menuju Lampung, setelah mengetahui bahwa di Lampung masih ada tempat untuk bergabung. Mereka berkumpul kembali menyambung tali Usroh. Dari sinilah awal kisah Geger Talangsari, Lampung, dimulai. Pada avvalnya hanya beberapa saja yang datang ke Talangsari, untuk bergabung dengan Warsidi yang hendak menjadikan Cihideung sebagai "perkampungan Islam". Setelah dianggap aman, mereka secara berangsur memboyong keluarganya hijrah ke tanah harapan baru itu. Di sana mereka bertemu, antara lain dengan kelompok NII Lampung yang tengah bingung. Juga bertemu dengan kelompok Jakarta yang sedang linglung, mencari tempat untuk "basis perjuangannya. Talangsari, ternyata tak cuma menarik bagi kelompok Ngruki dan kelompok Lampung yang sama-sama bingung. Kelompok Jakarta yang dimotori oleh Nurhidayat, Achmad Fauzi, Wahidin, dan Sudarsono ternyata juga bernafsu mengangkanginya. Dua kelompok (Ngruki dan Lampung) itulah yang akhirnya terprovokasi oleh kelompok Jakarta untuk membangun basis perjuangannya, melanjutkan cita-cita Negara Islam Indonesia yang belum selesai. Suatu cita-cita yang kandas, karena ambisi perjuangannya dilakukan dengan kekerasan, mendapat reaksi yang juga keras dari masyarakat Talangsari III dan Pakuan Aji, yang didukung pemerintah bersama alat negara setempat. Satu cita-cita yang dikemas mengatasnamakan Islam, sekilas tampak ideal di negeri yang mayoritas muslim ini. Perjuangan atas nama Islam ialah perjuangan agama. Kejayaan agama tak pernah mengenal tajamnya pedang. Madinatun Naby ditegakkan Rasulullah hanya dengan jalan menajamkan akhlakul karim. * * * =============================================================== (C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org