[UntirtaNet] Apa yang Sebenarnya Terjadi?

  • From: "yayantea" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
  • Date: Mon, 30 Sep 2002 17:35:26 -0400

Krisis Ekonomi Negara Berkembang 
Apa yang Sebenarnya Terjadi? 

KRISIS yang susul-menyusul tanpa jeda di sejumlah negara berkembang akhir-akhir 
ini, memunculkan kesan dunia sudah menjadi langganan krisis. Kondisi 
perekonomian global yang rapuh dengan sistem finansialnya yang tidak berfungsi 
baik, menempatkan negara-negara berkembang pada posisi yang kian rentan untuk 
terseret ke dalam krisis seperti yang dialami sejumlah negara Asia tahun 
1997-1998. Belum berakhir sepenuhnya krisis finansial Asia dan Rusia, krisis 
ekonomi baru kembali menggulung Turki dan sejumlah negara Amerika Latin yang 20 
tahun lalu juga mengalami krisis serupa dan selama satu dekade setelahnya harus 
menghadapi lost generation(satu generasi hilang), akibat krisis utang tahun 
1980-an. 

Krisis utang Amerika Latin kali ini dimulai dari Ekuador. Negara ini gagal 
memenuhi kewajiban (default) atas surat utang Brady Bonds yang jatuh tempo 
tahun 1999. Kemudian diikuti Argentina yang defaultpada Desember 2001, lalu 
Uruguay dan Brasil pada Juli 2002.

Hal serupa dialami Turki, yang seperti Brasil kondisinya semakin diperumit lagi 
oleh ketidakpastian politik menjelang pemilu. Ditambah kondisi perekonomian 
domestik yang rentan, krisis utang ini segera memicu ambruknya sistem finansial 
dan membuat aliran sumber pendanaan ke negara-negara itu juga terputus.

Data Komite Pembangunan (Development Committee) Bank Dunia menyebutkan arus 
penanaman modal langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI atau Penanaman 
Modal Asing/PMA) secara neto ke Amerika Latin anjlok hingga 24 persen pada 
paruh pertama tahun 2002 saja.

Mengapa krisis terus berulang di negara yang sama? Dan, mengapa campur tangan 
Dana Moneter Internasional (IMF) dengan resep-resep konvensionalnya untuk 
keluar dari krisis, tak bisa mencegah negara-negara tersebut kembali terjerumus 
ke dalam krisis serupa?

Padahal, sebagian besar negara Amerika Latin sebenarnya sudah meliberalisasikan 
pasarnya, memperbaiki anggaran pemerintahnya dan membenahi pasar modal dan 
pasar uangnya.

Menurut mantan chief economistBank Dunia sekaligus penerima hadiah Nobel 
ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz, selama ini Argentina bisa dikatakan 'murid 
paling patuh' (A-plus student) IMF. 

Negara ini melakukan apa saja yang disuruh IMF, termasuk meliberalisasi 
pasarnya dan memprivatisasi sebagian besar BUMN-nya. Karena dianggap sebagai 
"murid yang patuh", Argentina dengan mudah bisa mengutang ke pasar modal AS 
atau negara-negara Barat lainnya. 

Akibatnya, karena tidak terkontrol, utang membengkak mencapai 144 persen dari 
Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, dengan meningkatnya suku bunga, Argentina 
menjadi kesulitan membayar utang luar negerinya yang mencapai 141 milyar dollar 
AS. 

Karena situasi sudah memburuk sedemikian rupa, IMF pun masuk dan seperti 
dilakukan di negara-negara lain, IMF memaksa Argentina menerapkan kebijakan 
fiskal yang kontraktif. 

Dengan angka pengangguran yang mencapai dua digit, konsekuensi pengetatan 
anggaran itu sudah bisa diduga. Perekonomian yang mengalami resesi sejak empat 
tahun terakhir itu terus memburuk dan pengangguran melonjak hingga 20 persen 
lebih, belum termasuk pengangguran terselubung yang sekitar 10-15 persen, 
sehingga akhirnya memicu gejolak politik.

Apa yang terjadi di Argentina, membuat investor, kreditor dan negara-negara 
tetangganya ikut nervous, karena jika Argentina yang "murid paling patuh" IMF 
saja bisa mengalami itu, bagaimana dengan yang lain? Akibatnya, seperti yang 
terjadi di Asia tahun 1997, investor beramai-ramai menarik dananya dari kawasan 
dan kreditor memutus pendanaannya dan minta utang segera dibayar.


***
KEPALA Western Hemisphere Department di IMF, Claudio Loser, seperti dikutip 
kantor berita AFPmengakui kondisi yang dihadapi negara-negara Amerika Latin 
sekarang ini memang 'sangat sulit'. Namun, ia membantah kawasan itu kini sedang 
di ambang krisis baru. 

Sebaliknya, Ricardo Haussman, profesor ekonomi pembangunan dari Harvard 
University, tidak melihat adanya perbedaan antara apa yang terjadi di Amerika 
Latin dewasa ini dengan krisis utang yang dialami negara-negara tersebut tahun 
1980-an. Krisis yang terus berulang dan berulang ini, menurut dia, menunjukkan 
bahwa ada yang salah dalam sistem finansial global.

Pendapat serupa dilontarkan Stiglitz. Menurut Stiglitz, sebagaimana diungkapkan 
dalam artikel berjudul The Disastrous Consequences of Instability, apa yang 
terjadi di Amerika Latin dan Turki, sebenarnya membuktikan bahwa IMF telah 
gagal mengatasi problem mendasar penyebab krisis. 

Bahkan, dalam banyak kasus resep kebijakannya justru memperparah krisis, 
seperti di Indonesia tahun 1998. Di Amerika Latin, setelah satu dekade 
reformasi di bawah IMF, pertumbuhan ekonomi negara-negara selama dekade 1990-an 
justru merosot menjadi hanya separuh level pertumbuhan sebelum adanya program 
IMF.

Pada saat yang sama, upah juga turun, sementara pengangguran membengkak. 
Problem mendasar yang dimaksud Stiglitz itu sendiri antara lain berupa 
ketidakseimbangan ekonomi global, risiko fluktuasi nilai tukar, dan suku bunga.


***
DALAM bukunya Globalization and Its Discontent, Stiglitz menuding globalisasi 
sebagai penyebab meningkatnya volatilitas dan terpaparnya negara-negara 
berkembang pada risiko tinggi untuk mengalami krisis.

Mantan ketua dewan penasihat ekonomi pemerintahan AS semasa Bill Clinton ini 
juga menganggap IMF, Bank Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan 
Departemen Keuangan AS, memiliki andil besar dalam mencetuskan krisis di 
emerging market.

Ini dilakukan dengan memaksa negara-negara tersebut melakukan liberalisasi 
pasar modal dan pasar uang secara serampangan di masa lalu. Liberalisasi pasar 
tanpa batas menyebabkan para pemilik modal bisa masuk atau keluar sesuka hati 
mereka dari negara berkembang, dalam jumlah berapapun dan kapanpun mereka mau. 

Aksi ini biasanya diikuti oleh yang lain, jika mereka merasa portofolio mereka 
terancam. Akibatnya, negara-negara berkembang yang tidak mampu membangun 
cadangan devisa yang memadai, rentan dihadapkan pada problem neraca pembayaran.

Dalam banyak kasus, apa yang semula hanya dimulai sebagai krisis finansial atau 
krisis utang, berkembang menjadi krisis ekonomi, bahkan krisis politik atau 
krisis multidimensi yang menuntun pada tumbangnya pemerintahan, karena berbeda 
dengan negara-negara Barat, negara-negara berkembang umumnya belum memiliki apa 
yang disebut jaring pengaman sosial (sosial safety net).

Dari pengamatan terhadap berbagai kasus krisis besar yang pernah terjadi dalam 
dua dekade terakhir, Andres Berg dan Chaterine Patillo dari Departemen Riset 
IMF, seperti disebutkan dalam artikelnya The Challenge of Predicting Economic 
Crisis, melihat adanya semacam evolusi dari pola krisis.

Krisis utang dekade 1980-an di Amerika Latin yang dimulai dari keputusan 
Meksiko untuk mengemplang utang luar negeri pada Agustus 1982, menurut Berg dan 
Patillo, dipicu oleh kombinasi faktor eksternal (external shock) dengan 
ketidakseimbangan makro ekonomi di dalam negeri negara itu sendiri, yang 
terjadi selama periode boominvestasi beberapa tahun sebelumnya.

Faktor eksternal meliputi antara lain, merosotnya harga atau nilai tukar (terms 
of trade) komoditas yang diekspor Meksiko, melonjaknya suku bunga pinjaman 
untuk dollar AS, dan penurunan ekonomi global. 

Ketidakseimbangan makro ekonomi domestik dicerminkan oleh membengkaknya defisit 
fiskal dan nilai tukar mata uang yang over valuasi(dihargai terlalu tinggi, 
sehingga berpeluang besar mengalami koreksi ke bawah atau devaluasi).

Salah urus (mismanagement) arus modal masuk, terutama lewat pemberian jaminan 
kurs, baik secara implisit maupun eksplisit, kepada debitor (swasta maupun 
BUMN), kian memperparah krisis itu. Sebaliknya, krisis Meksiko tahun 1994/1995 
lebih banyak dipicu oleh kepanikan berlebihan para pelaku pasar yang kemudian 
menuntun pada ambruknya peso. Namun, di luar faktor itu, ada penyebab lain, 
yakni kerawanan dalam perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan posisinya 
rentan terhadap kemungkinan serangan spekulan. 

Kerawanan itu di antaranya adalah membengkaknya defisit neraca transaksi 
berjalan (current account) akibat mata uang yang overvaluedserta kebijakan 
manajemen utang yang sembrono sebelum krisis, yang kemudian terbukti 
menyebabkan terjadinya akumulasi utang jangka pendek dalam dollar AS yang 
sangat besar. Selain itu, ekspansi yang terlalu cepat dari sektor finansial 
dalam negeri selama masa boomjuga menyebabkan buruknya kualitas portofolio 
kredit perbankan dan membuka potensi terjadinya devaluasi mata uang. 

Lain Amerika Latin, lain krisis Asia tahun 1997 yang sempat membuat dunia 
terhenyak, sebab krisis juga menyapu negara-negara yang selama ini dianggap 
sebagai bagian dari "keajaiban Asia" (Asian miracle), karena pertumbuhan 
ekonominya yang sangat tinggi selama hampir dua dekade sebelumnya.

Sebelum krisis terjadi, bisa dikatakan negara-negara ini hampir tidak pernah 
mengalami apa yang disebut sebagai problem ketidakseimbangan makro ekonomi. 
Kondisi fiskal umumnya surplus, dan tingkat inflasi tergolong rendah atau 
moderat selama bertahun-tahun.

Dengan perkecualian Thailand, nilai tukar mata uang negara-negara itu juga 
tidak mengalami apresiasi yang berarti pada tahun-tahun menjelang krisis. Kalau 
pun ada perlambatan pertumbuhan ekspor di sejumlah negara di kawasan ini sejak 
tahun 1996, penurunan itu terjadi setelah beberapa tahun ekspansi yang luar 
biasa.

Meskipun demikian, kualitas portofolio kredit dari lembaga-lembaga keuangan di 
negara-negara tersebut mengalami pemburukan, sementara sektor dunia usaha juga 
terjerat beban utang sangat berat sehingga secara finansial kondisinya juga 
menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya shock.

Menurut Berg dan Pattillo, kelemahan di sektor finansial dan korporasi ini 
merupakan satu-satunya kesamaan di antara negara-negara Asia yang terkena imbas 
krisis finansial tahun 1997. Celakanya, krisis yang terjadi dengan cepat 
menyebar dari satu negara ke negara lain, karena investor yang ketakutan 
investasinya akan terpukul, berlomba-lomba menarik dananya.

Dengan faktor pencetus krisis yang juga berbeda-beda antara satu negara dengan 
negara lain atau antara satu kawasan dengan kawasan lainnya, menurut Berg dan 
Pattillo, sulit membuat model analisa krisis yang bisa berlaku untuk semua.

Meskipun demikian, keduanya berhasil mendeteksi adanya gejala umum yang ditemui 
di negara-negara yang pernah mengalami krisis. Gejala dimaksud adalah 
menyusutnya dengan cepat cadangan devisa hingga ke tingkat yang berbahaya, dan 
tingginya beban utang luar negeri dibandingkan skala ekonomi negara 
bersangkutan.


***
UNTUK mendeteksi dan mencegah terjadinya krisis serupa di masa mendatang, sejak 
krisis Asia tahun 1997 IMF secara lebih aktif mulai melakukan 
surveillance(semacam monitoring) terhadap kondisi dan kebijakan ekonomi dan 
finansial negara-negara anggotanya. Surveillanceini dilakukan lewat diskusi 
atau konsultasi berkala dengan negara-negara anggota mengenai kebijakan ekonomi 
dan keuangan negara-negara tersebut, serta secara terus-menerus memantau dan 
melakukan penilaian terhadap perkembangan ekonomi dan finansial di negara 
bersangkutan, di kawasan dan di lingkungan global. 

Dengan cara ini, IMF bisa membantu mendeteksi secara lebih awal kemungkinan 
ancaman bahaya, sehingga bisa dilakukan koreksi secepatnya terhadap kebijakan 
yang ada sebelum krisis memburuk. 

Pertanyaannya, dengan sistem ini saja, apakah memadai? Yang kita lihat, krisis 
tetap menyapu Amerika Latin dan Turki sekarang ini, meski IMF sudah 
memperkenalkan mekanisme-mekanisme pencegahan krisis tersebut pasca krisis Asia 
tahun 1997.

Direktur Pelaksana IMF Horst Kohler sendiri dalam salah satu pernyataannya, 
menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin, mengakui tidak realistis 
berharap bisa menghindari semua krisis, meskipun sistem surveillanceterus 
diperbaiki.

Syahril pada pertemuan Komite Moneter dan Finansial Internasional 
(International Monetary and Financial Committe/IMFC) menjelang Sidang Tahunan 
IMF-Bank Dunia akhir pekan ini mengatakan, efektivitas surveillanceIMF akan 
sangat tergantung pada keterbukaan kedua pihak dalam dialog kebijakan dengan 
negara-negara anggota.

Para staf IMF, menurut Syahril, semestinya juga terbuka menyangkut berbagai 
alternatif pendekatan yang dimungkinkan untuk mengatasi problem makro ekonomi, 
mengingat kondisi riil sosial, politik dan ekonomi satu negara dengan negara 
yang lain tak sama. 

Dialog terbuka mengenai kebijakan ini diperlukan untuk menciptakan 
akuntabilitas dan rasa ikut memiliki dari kedua pihak terhadap program 
kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi kesulitan yang ada. 

Bahkan, untuk meningkatkan integritasnya, menurut Syahril, sudah sewajarnya IMF 
juga harus mau bertanggung jawab terhadap implikasi yang mungkin muncul akibat 
saran kebijakan yang sudah diberikannya. Selain itu, IMF juga harus bersedia 
melakukan modifikasi atau, bahkan mencabut sama sekali saran kebijakan 
tersebut, jika dalam pelaksanaannya ternyata kebijakan itu tidak cocok atau 
tidak menyelesaikan masalah.

Hasil survei World Institute for Development Economics Research (WIDER) dengan 
sponsor PBB menyebutkan, selama tidak ada regulasi lebih ketat (termasuk untuk 
membatasi sepak terjang para spekulan) dan upaya-upaya lain untuk meredam 
dampak dari siklus naik-turun (boom and bust)-nya serta merosotnya arus modal 
global ke negara-negara berkembang, sulit mencegah terulangnya kembali krisis 
seperti dialami sejumlah negara berkembang akhir-akhir ini.

Globalisasi 'tanpa pengawal/pengaman'-karena dipaksakan saat arsitektur 
finansial global sendiri lemah, sementara langkah-langkah preventif untuk 
mencegah atau mendeteksi secara lebih dini potensi terjadinya krisis yang 
diperkenalkan IMF juga belum efektif-ini berisiko tinggi memunculkan 
korban-korban baru bertumbangan di kalangan emerging marketsseperti sudah 
terjadi di Asia.

Studi ini menyebut Cile sebagai contoh kasus liberalisasi pasar terbaik. Negara 
ini pernah membuka secara penuh perekonomiannya pada tahun 1980-1981. Dengan 
liberalisasi penuh itu, negara ini pada awalnya memang berhasil menarik modal 
asing dalam skala masif. Namun, situasi ini hanya berlangsung sesaat, sebab 
akibat imbas krisis utang besar Meksiko tahun 1982 yang kemudian diikuti 
sejumlah negara tetangganya, para pemodal asing beramai-ramai menarik modalnya 
dari negara tersebut.

Belajar dari kejadian itu, pada awal tahun 1990-an, Cile mulai memperkenalkan 
serangkaian kebijakan kontrol modal yang didefinisikan dengan sangat jelas, 
yang membatasi jumlah dana yang bisa ditarik investor keluar dari negara 
tersebut sewaktu-waktu.

Hasilnya bisa dilihat. Ketika krisis Meksiko kembali meledak tahun 1995 dan 
menyeret seluruh Amerika Latin ke dalam krisis, Produk Domestik Bruto (PDB) 
Cile justru tumbuh 9 persen. Dewasa ini, negara ini merupakan satu-satunya 
negara di Amerika Latin yang lembaga pemeringkat dinilai layak investasi 
(investment grade). 


(Sri Hartati Samhadi di Washington, dari berbagai sumber)

DIAGNOSA PENYEBAB KRISIS ASIA 1997

Negara  Faktor Penyebab  
Thailand Faktor fundamental, yakni membengkaknya defisit Neraca Transaksi 
Berjalan terhadap PDB dan menurunnya cadangan devisa  
Malaysia Faktor fundamental, yakni membengkaknya defisit Neraca Transaksi 
Berjalan terhadap PDB, menyusutnya cadangan devisa dan nilai tukar mata uang 
yang overvaluasi.
Indonesia dan Korsel Penyebabnya adalah besarnya utang luar negeri jangka 
pendek dan menyusutnya cadangan devisa. Kondisi ini menempatkan kedua negara 
dalam 'zona bahaya' begitu krisis Thailand terjadi.


Sumber: The Challenge of Predicting Economic Crisis, Economic Issues IMF

Yayan tea
==============================================================(C)opyright 
1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx,
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] Apa yang Sebenarnya Terjadi?