"Super White Collar Crime" Oleh Tb Ronny Rahman Nitibaskara DI belahan Bumi mana pun, senantiasa terdapat kecenderungan pejabat tinggi negara yang tersangkut perkara korupsi sulit dijerat hukum, apalagi sampai dijatuhi pidana. Terlebih-lebih bila pejabat-pejabat tersebut tengah menduduki posisi-posisi strategis. Berbagai macam power yang dipegangnya akan menjadi batu sandungan serius bagi penegakan hukum atas dirinya. Untuk menumbuhkan citra hukum ditegakkan, dan guna membuktikan diri bersih, dengan gagah berani mungkin proses hukum formal sengaja dibiarkan berjalan menuju ke arah dirinya. Untuk keperluan itu, perhitungan yang sangat cermat dan matang dipersiapkan. Sebanyak mungkin pihak dilibatkan untuk mendukungnya. Proses hukum yang sesungguhnya unpredictable itu dicoba diukur melalui berbagai preseden berdasarkan paradigma lama, dengan harapan hasil akhir proses itu sejak awal sudah dapat diramalkan. Akan tetapi, proses mengadili sebagai pergulatan manusia melawan berbagai kepentingan untuk menegakkan keadilan pada masyarakat yang kian terbuka, selalu memunculkan kejutan. Mereka yang berharap akan bebas dari segala tuntutan atau memperoleh vonis yang sangat ringan, bisa jadi menemui kenyataan yang mengecewakan, karena ternyata ada sebagian kecil hakim yang tetap memelihara nurani dan integritas moral, sehingga berani menjatuhkan putusan sebagaimana seharusnya. Memang sudah lama masyarakat berharap, agar para hakim yang tengah menyidangkan kasus-kasus korupsi jangan silau terhadap tingginya jabatan yang tengah diduduki terdakwa. Para pengadil itu diharapkan dalam mempertimbangkan jabatan terdakwa hanya sebatas kaitan bahwa jabatan itu sebagai sarana untuk melakukan kejahatan sebagaimana yang dituduhkan. Jenis-jenis kekuasaan lain, yang tak terkait dengan kasus korupsi yang disidangkannya, sebaiknya tidak turut menjadi bahan pertimbangan dalam menilai perkara yang tengah dihadapi. *** DAKWAAN korupsi terhadap beberapa petinggi negara memiliki kesamaan prinsipiil, yakni bahwa tindak pidana yang didakwakan tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang disandang tatkala kejahatan itu dilakukan. Jabatan (okupasi), yang di dalamnya mengandung sejumlah power and authority (kekuasaan dan kewenangan), menjadi instrumen utama dimungkinkannya kejahatan yang dituduhkan itu dapat dilaksanakan pelaku. Oleh karena, hampir senantiasa bertalian dengan jabatan, maka tindak pidana korupsi sering pula dikelompokkan sebagai occupational crime (kejahatan jabatan), yakni kejahatan yang terlaksananya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang dilindungi undang-undang. Dominannya peran jabatan dalam tindak pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit dilacak secara yuridis dibandingkan dengan rata-rata pelaku tindak pidana lain, karena ia memiliki kedudukan yang ditopang oleh berbagai ketentuan yang memungkinkan dijalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu, korupsi yang dilakukan dapat dibungkus dengan kebijakan (policy) yang sah, sehingga dari segi hukum dapat dinilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi jabatan resmi. Itulah antara lain sebabnya, semakin tinggi tampuk jabatan yang diduduki, semakin powerful pelaku delik ini. Ia mempunyai keliatan (toughness) tersendiri yang tidak dipunyai orang lain dalam menghadapi setiap jerat hukum pidana yang mungkin sewaktu-waktu mengancam dirinya. Jaringannya luas, struktur birokrasi yang didudukinya kokoh, dan fasilitas yang berupa berbagai kemudahan (termasuk akses kepada uang) lumayan banyak. Kesemuanya itu memungkinkan pelakunya tetap dapat bertahan pada posisinya sekalipun berbagai macam tuduhan tindak pidana menerpanya. Barangkali tepat istilah Ezzat F Fattah (1997) menamakan mereka sebagai penjahat-penjahat berkekuasaan dan penjahat-penjahat yang memegang kekuasaan (powerful criminals and criminals in power). Menurut kriminolog dari Kanada tersebut, penjahat-penjahat jenis tangguh ini terdiri dari dua kelas: pertama, yang tak tersentuh (untouchable), yakni pelaku-pelaku kejahatan yang realitasnya benar-benar di atas hukum (above the law), seperti Hitler, Idi Amin, Pinochet, dan sebagainya pada saat mereka berkuasa. Kedua, yang tak terjangkau (unreachable). Termasuk dalam kategori ini adalah para pelaku kejahatan yang berkekuasaan (formal maupun informal) yang cukup tinggi dan sangat sulit dijangkau tangan hukum, except with great dificulty and in exceptional circumtances (kecuali dengan kesulitan yang besar dan dalam kondisi-kondisi khusus). Apa yang dibicarakan di sini tampaknya masuk dalam kategori kedua, yakni unreachable, mengingat yang hendak kita teropong adalah pelaku yang memiliki keliatan dan ketangguhan dalam menghadapi hukum karena adanya jabatan yang disandangnya. Karena kedudukan resmi mereka yang tinggi itulah, menyebabkan pengungkapan tindak kejahatan yang dilakukan membutuhkan keahlian dan energi yang luar biasa, sehingga kejahatan itu menjadi semakin tampak istimewa. Bila tindak pidana itu juga menimbulkan moral hazard yang cukup besar di kalangan masyarakat, karena semakin banyak orang-orang penting dalam suatu negara turut terlibat, barangkali kejahatan ini kualitasnya menyerupai apa yang disebut oleh WJ Chambliss (1968) sebagai state-organized crime (kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara). Dalam kerangka Chambliss, state-organized crime adalah perbuatan yang menurut hukum ditentukan sebagai kejahatan dan dilakukan oleh pejabat-pejabat negara dalam tugas jabatannya selaku wakil negara (acts defined by law as crime and comitted by state officials in the pursuit of their job as representative of state). Untuk menentukan kekhususan kejahatan ini, ia tidak memasukkan ke dalamnya kejahatan-kejahatan yang tujuannya hanya menguntungkan diri pribadi, atau sekadar kelompok kecil yang tidak memiliki orientasi lain kecuali sekadar keuntungan material. Terorganisirnya korupsi baru sampai pada kualifikasi kejahatan ini, bila di balik korupsi itu terdapat tujuan-tujuan lain yang memiliki jangkauan lebih luas, misalnya, kemenangan politis. Saya sendiri cenderung menamai kejahatan terorganisir pejabat tinggi negara yang berupa korupsi semacam ini sebagai super white collar crime (SWCC), yakni kejahatan kerah putih super. Kejahatan ini menjadi super, bukan hanya semata-mata karena tujuannya, melainkan juga karena kesuperan pelaku dalam menghadapi hukum yang berlaku. *** UNTUK mengetahui lebih lanjut karakter SWCC itu, barangkali dapat dicermati kerangka kejahatan kerah putih yang diperkenalkan Laura Snider (1993: 14). Pertama, pelanggaran hukum yang dilakukan merupakan bagian atau terkait erat dengan jabatan resmi. Hal ini telah dijelaskan, yaitu sebagai instrumen pokok yang memungkinkan kejahatan dapat dilaksanakan. Kedua, melibatkan pelanggaran terhadap kepercayaan yang diberikan. Apa yang dilakukan oleh para pelaku tersebut merupakan violation of public trust, yaitu pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Pelanggaran ini secara otomatis juga identik dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan cacat moral yang dapat menggoncangkan sendi-sendi moralitas masyarakat. Ketiga, tidak ada paksaan fisik secara langsung, meskipun kerugian yang ditimbulkan banyak mencederai fisik banyak orang. Dalam kasus-kasus SWCC yang kini sebagian menjalani proses hukum di negara kita, hampir dapat dipastikan tidak ada unsur paksaan secara fisik, kendatipun kerugian negara secara fisik cukup luar biasa. Keempat, tujuannya adalah uang, prestise, dan kekuasaan. Ketiga hal inilah menjadi tujuan hampir semua tindak pidana korupsi, baik yang terorganisir maupun tidak. Kelima, secara khusus terdapat pihak-pihak yang sengaja diuntungkan dengan kejahatan itu. Dilihat dari sifat terorganisirnya, maka sudah barang tentu terdapat pihak-pihak yang secara strategis akan memperoleh keuntungan lebih besar, dan oleh karenanya rela melakukan berbagai macam cara agar kejahatan ini tidak terungkap. Maka dari itu, yang keenam karakter SWCC, menurut Snider, adalah adanya usaha untuk menyamarkan kejahatan yang dilakukan, dan upaya menggunakan kekuasaan untuk mencegah diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku. Sementara itu, Muladi (1992) mengajukan tujuh macam karakteristik kejahatan orang-orang terhormat tersebut. Pertama, kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks. Kedua, kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity), karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun. Ketiga, terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi. Keempat, penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization). Karakter berikutnya (5, 6, dan 7), yang diajukan mantan Menteri Kehakiman dan HAM itu menurut hemat saya menginjak pada penegakan hukum atas kejahatan kerah putih. Pada dasarnya ia senada dengan Snider, bahwa kejahatan orang-orang terhormat ini sangat kompleks, sehingga untuk mengungkapkannya diperlukan keahlian yang memadai dari aparat penegak hukum. Khusus untuk perkara dalam kategori SWCC, keahlian itu harus diiringi dengan keberanian, komitmen moral dan kesediaan untuk senantiasa belajar. Penuntasan kasus itu melalui jalur hukum semakin sulit manakala sebagian pelaku utama masih menduduki posisi penting di dalam penyelenggaraan negara, atau setidak-tidaknya masih memiliki jaringan dan pengaruh yang luas di tengah-tengah masyarakat. Jabatan itu (juga uang), sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan sebagai alat penekan ke tubuh peradilan, sebagai cara untuk meloloskan diri dari hukum yang berlaku. Bila tekanan itu berhasil, biasanya lantas muncul dalam persidangan itu putusan-putusan yang berisi pembenaran-pembenaran yuridis yang kadangkala sulit dicerna sekalipun dari logika hukum. Yang dimaksud dengan persidangan tersebut, tidak hanya pada pengadilan tingkat pertama, melainkan juga pada tingkat banding maupun kasasi. Fenomena demikian belum lama ini terjadi di pengadilan kita. Pada pengadilan negeri, tertuduhnya dipidana penjara; ternyata dalam peradilan banding tertuduh diputus bebas murni. Putusan tersebut tidak menutup kemungkinan menjadi preseden untuk kasus serupa. Pada umumnya, mayoritas anggota masyarakat tak begitu paham dengan seluk-beluk teknik pemenangan perkara dalam persidangan. Karenanya, mereka dalam memberikan penilaian terhadap suatu perkara yang tengah digelar di pengadilan cenderung hitam putih. Pembenaran yuridis yang dirasa melawan keadilan, biasanya ditentang dengan semata-mata berdasarkan pertimbangan akal sehat dan kejernihan nurani. Masyarakat sama sekali tidak bisa menerima misalnya, bila ada terdakwa yang dalam perhitungan commonsense bersalah tetapi dibebaskan oleh pengadilan. Ketidakpuasan itu, pada satu sisi bisa jadi juga merupakan indikasi dari ketidakmengertian masyarakat terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi petugas hukum menangani kasus-kasus dalam kategori super white collar crime ini. Karena itu, tidak ada salahnya bila masyarakat juga perlu sedikit disadarkan bahwa khusus dalam penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi orang kuat, agar tidak mengharap terlalu berlebih-lebihan kepada aparat penegak hukum, karena pelakunya sendiri sangat pandai berkelit dari jeratan hukum. Tb Ronny Rahman Nitibaskara Guru Besar kriminologi UI Yayan tea ==============================================================(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org