[breaktime-corner] Kenapa Makin Banyak yang Sirik Pada Jokowi?

  • From: "gunawan prakoso" <gunawan.prakoso@xxxxxxxxx>
  • To: <tea-corner@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sun, 8 Jan 2012 22:24:03 +0700

 

 


Kenapa Makin Banyak yang Sirik Pada Jokowi?


 


Description: 13259296041035966603

Sekitar 14 tahun lalu,saat masih bekerja di Surabaya, saya punya seorang
atasan yang bijak. Beliau senang bercerita sambil menyelipkan nasehat
tentang kehidupan. Nasehatnya tak terkesan menggurui, malah menarik karena
selalu didahului dengan cerita atau perumpamaan yang sangat mengena dengan
petuah yang bakal  diberikan. Itu sebabnya banyak nasehatnya yang melekat
kuat dalam ingatan saya dan sering menginspirasi saya.

Salah satu nasehatnya yang masih saya ingat sampai sekarang, kurang lebih
begini : "Orang cenderung marah dan benci pada orang lain yang
mengalahkannya, meski orang itu sebenarnya tidak sedang mengalahkannya". Nah
lho, bingung kan mencerna kalimatnya? Analoginya begini : seorang bocah
cilik yang baru saja mendapat adik baru, biasanya tak suka pada adiknya. Si
bocah beranggapan adiknya telah merebut perhatian dan cinta kasih
ibu-bapaknya. Itu sebabnya ada anak balita yang diam-diam suka mencubit adik
bayinya, memukul, bahkan menggigit, jika kebetulan orang tuanya tak
melihatnya. Padahal, adik bayinya tak mungkin punya niat untuk sengaja
mengalahkan si kakak dan merebut perhatian orang tuanya.

Kecenderungan ini ternyata manusiawi dan tak hanya terjadi pada anak balita.
Sampai usia sekolah bahkan remaja pun, kelakuan macam itu masih terbawa.
Buktinya : murid baru di suatu sekolah seringkali mengalami bullying dari
murid asli sekolah itu. Apa lagi kalau murid baru itu cantik, pintar, anak
orang kaya, makin lengkaplah alasan untuk membencinya. Juara kelas merasa
terancam prestasinya, siswi idola terancam reputasinya. Begitu juga siswa
senior gemar banget mem-plonco juniornya. Itu sebabnya acara opspek susah
sekali dihapuskan. Meski secara formal sekolah tak mengadakan, dengan dalih
apapun kakak kelas akan berusaha mengagendakan acara yang mengakomodir
keinginan terpendam mereka untuk menunjukkan senioritasnya. Di kalangan
mahasiswa yang usianya sudah memasuki dewasa pun, hal seperti ini tetap
terjadi.

Bagaimana di kehidupan orang dewasa? Fenomena ini juga tidak bisa dibilang
tidak ada. Seorang karyawan baru seringkali harus menahan diri dijadikan
bahan omongan di lingkungan kantor. Kalau dia rajin, pasti dibilang cari
muka. Kalau performanya baik dan atasan suka hasil kerjanya, diissukan "ada
apa-apa" dengan boss. Apalagi kalau dia seorang karyawati yang berpenampilan
menarik pula! Gak ganjen pun akan digossipkan macam-macam.

Siswa baru di kelas, anak kelas 1 yang baru masuk SMP/SMA, mahasiswa baru,
karyawan baru, mereka semuanya sebenarnya tidak sedang mengalahkan
teman-teman sekelasnya, kakak kelasnya, seniornya, dan karyawan lama. Apa
salah kalau kebetulan mereka cantik? Apa salah kalau memang siswa baru itu
pintar dan cerdas? Apa salah kalau pegawai baru itu rajin karena tak ingin
kehilangan pekerjaan yang mungkin sangat dibutuhkannya? Tentu tidak salah!
Lalu kenapa harus di-bullying, di-plonco, digossipkan, bahkan dikucilkan?
Ya, karena kehadiran mereka dianggap ancaman yang bisa mengalihkan perhatian
teman sekelas, guru, dosen, boss di kantor. Mereka yang nota bene siswa
lama, kakak kelas, mahasiswa senior, karyawan lama, tak mau kehilangan
comfort zone dan reputasi yang sudah mereka miliki.

--------------------

Hampir seminggu ini, hampir semua pemberitaan di TV dan koran - terutama
koran lokal Solo dan Jawa Tengah - menyajikan berita soal mobil nasional
karya siswa SMK di Solo, yang bermerk Kiat Esemka. Mungkin berita ini tak
akan jadi polemik kalau hanya membahas soal mobnas saja. Masalahnya :
Jokowi, Walikota Solo menjadi pemakai pertama mobil itu dan memutuskan
memilih Kiat Esemka jadi mobil dinasnya. Pemberitaan pun jadi bias. Bukan
cuma mobnasnya yang ngetop, Jokowi yang sudah ngetop pun jadi makin ngetop.
Anehnya, langkah Jokowi diikuti kepala daerah lain yang ikut-ikutan memesan
mobil itu jadi mobil dinas, termasuk Bupati Karanganyar, Rina Ariani. Bahkan
tadi saya baca di media online, para selebritis pun ikutan latah memesan
mobnas bikinan anak SMK Solo itu.

Apa yang dilakukan Jokowi sebenarnya masih proporsional dan tak berlebihan.
Ibarat seorang Bapak yang anaknya menunjukkan hasil karyanya, maka Jokowi
mengapresiasi karya anaknya dan bersedia membelinya. Langkah Jokowi yang mau
menjadi pemakai mobil karya anak Esemka bisa menimbulkan rasa bangga dan
memotivasi mereka untuk terus berkarya. Tidak aneh sebenarnya. Yang
membuatnya jadi berita besar justru karena akhir-akhir ini nama Jokowi
memang mulai me-nasional. Jangankan beli mobnas bikinan anak SMK, Jokowi
makan pakai lauk kerupuk pun mungkin bisa jadi berita heboh. Padahal bisa
jadi kerupuk itu memang favorit Jokowi sejak kecil dulu.

Setidaknya selama masa jabatannya 5 tahun pertama, Jokowi sudah membuktikan
prestasi kerjanya dan menunjukkan sikapnya yang merakyat. Kalau apa yang
dilakukan Jokowi selama ini dibuat-buat dan hanya pencitraan saja, tak
mungkin akan bertahan selamanya seperti itu. Orang bersandiwara pasti akan
ketahuan. Justru karena warga Solo yakin dan percaya bahwa Jokowi memang
pemimpin mereka yang layak dijadikan panutan dan dicintai rakyatnya, maka
mereka memilihnya kembali dengan raihan suara 90%. Jarang incumbent yang
terpilih kembali dengan semutlak itu. Bahkan kalau kepala daerah lain didemo
disuruh turun dari jabatan, Jokowi justru didemo tidak boleh meninggalkan
Solo, ketika ada issu yang mengatakan Jokowi layak memimpin Jakarta. Ya,
warga Solo tak rela melepas Jokowi, meski untuk naik jabatan.

Description: 13259297961199724362

Sebenarnya Jokowi tak butuh mobnas untuk jadi tunggangan cari popularitas.
Jokowi sudah populer sebelum mobil itu dibuat. Justru mobnas itulah yang
mendadak dangdut jadi populer karena Jokowi jadi "penunggang" pertamanya.
Coba kalau yang pesan mobnas itu Menristek atau Menteri Perdagangan atau
Menteri Perindustrian, belum tentu follower-nya banyak. Bahkan seandainya
Pak Beye yang pesan mobil Esemka, mungkin yang pesan hanya para Menteri yang
sengaja ikut himbauan Presidennya. Bupati Karanganyar atau kepala daerah
lain yang ikut-ikutan memesan, saya yakin bukan karena takut dan sungkan
pada Jokowi, sebab posisi mereka setara.

Tapi apa daya, penyakit "anak kecil" yang saya sebutkan di atas ternyata tak
hilang ketika seseorang sudah jadi pejabat publik sekalipun. Yang pertama
bereaksi "kakak kelas"Jokowi : Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. "Jokowi
ngawur beli mobil yang belum laik jalan. Kalo nabrak kebo gimana?" omel
Bibit. Walikota Semarang, Soemarmo - "rekan sekelas"  Jokowi -ikutan :
"Jokowi ojo narsis-lah!" katanya di depan wartawan. Soemarmo mengklaim di
Jawa Tengah belum ada yang bisa menandingi kemampuan siswa-siswa SMK 7 dan
SMK 1 Semarang terkait perakitan mobil siswa. "Belum sempat diluncurkan
sudah keduluan," katanya. Lho, kenapa sampai keduluan? Apa karena kurang
pembinaan dan kurangnya kepedulian Walikota Semarang? Padahal meski
seandainya Soemarmo mendahului Jokowi meluncurkan mobnas karya siswa SMK
Semarang, belum tentu gaungnya sebesar ini, sebab Soemarmo selama ini bukan
pusat berita seperti Jokowi.

Rupanya tak cukup di kalangan Jawa Tengah saja kecemburuan itu terjadi. kini
giliran Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengeluarkan sindiran serupa atas
wacana Jokowi menggunakan mobil Esemka untuk mobil dinasnya. Kata Pakde
Karwo - sebutan untuk Gubernur Jatim - ide Jokowi itu hanya bagus untuk tag
line untuk pencalonan presiden atau gubernur. Nah, sebenarnya ketahuan kan
siapa yang punya pikiran menunggangi mobnas untuk promosi saat maju dalam
ajang Pemilu?! Padahal ketika Pakde Karwo jadi bintang iklan pasta gigi, tak
ada yang usil mengkritiknya.

Begitulah manusia, seringkali watak aslinya kelihatan justru disaat emosi
menguasai mereka. Dalam kondisi cemburu, marah, iri, maka tanpa sadar
keluarlah ucapan atau pengakuan yang menggambarkan isi hati dan apa yang ada
dalam benak mereka. Bibit Waluyo misalnya, yang dengan sinis mengatakan
bagaimana kalau mobil itu nabrak kebo, sama saja dengan mengatakan dia tak
mempercayai kehandalan mobil itu. Sikap Bibit yang sinis dan pesimis,
menunjukkan bahwa dia memang enggan mengakomodir sesuatu yang baru hasil
karya anak bangsa. Dengan sinismenya itu, siapa tahu kelak kalau ada
mahasiswa Undip yang punya penemuan spektakuler jadi enggan memamerkannya
pada Bibit karena takut dicemooh. Mereka akan cari figur lain yang mengayomi
dan mau meng-endorse mereka. Dan figur itu kebetulan ada dalam diri Jokowi.
Bukan Jokowi yang menawarkan diri untuk numpang beken.

Begitulah para pejabat kita. Persaingan untuk mendapat tempat di hati rakyat
ternyata tidak membuat mereka berlomba-lomba berusaha dicintai rakyatnya.
Keberpihakan mereka kepada investor dan pengusaha - sampai rela jadi bintang
iklan produk pasta gigi milik pengusaha besar Jatim - sebenarnya sudah
memberikan pilihan pada rakyat untuk tidak dekat dengan pemimpinnya. Lihat
saja bagaimana warga Solo dan Jawa Tengah lebih membela Jokowi ketimbang
Bibit ketika berselisih soal pabrik es Sari Petojo. Herannya, para pejabat
itu bukannya berkaca pada cara Jokowi merebut hati rakyat, tapi malah
mencerca. Kalau begitu cara mereka, bagaimana mungkin rakyat akan
membelanya? Publik sekarang sudah melek informasi kok. Jadi segala tingkah
polah mereka dibaca dan direkam publik. Makin kekanak-kanakan mereka
bereaksi atas suatu hal, makin tak suka rakyat kepadanya. Nah, Gubernur
Jateng, Gubernur Jatim dan Walikota Semarang, mumpung masih ada waktu
sebelum Pilkada, segera ubah perilaku kalian. Cari cara merebut hati
rakyat, tak usah rebutan mobnas untuk jadi tunggangan. Masih banyak issu
kerakyatan yang bisa digarap. Tentu digarap dengan hati, bukan sekedar
proyek pencitraan semata! Nah, selamat berkompetisi tanpa rasa iri, semoga
semuanya sukses.

 

JPEG image

JPEG image

Other related posts: