** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Refleksi: Better late than never? REPUBLIKA Kamis, 01 Desember 2005 Simpang Siur Radikalisme Adian Husaini Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Harian Republika, Jumat (27/11/2005), halaman 20, memuat berita berjudul: ''Depag Kaji Buku Jihad Radikal''. Dalam berita ini tertulis: ''Menyinggung pembentukan tim penanggulangan ajaran radikalisme Islam yang dibentuk Depag dan Mejelis Ulama Indonesia (MUI), Faisal mengakui jika tim yang digagas dalam pertemuan antara ulama, MUI, dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, ini, tidak akan bersifat operasional-lapangan seperti halnya tim penanggulangan lainnya.'' Pernyataan Sekjen Depag, Faisal Ismail, itu, sebenarnya memunculkan wacana yang sangat penting dan riskan. Yakni upaya untuk menggandengkan istilah ''terorisme'' dan ''radikalisme''. Karena ada Bom Bali dan bom-bom lain yang dilakukan sebagian orang Islam yang dicap radikal, maka ''radikalisme Islam'' dipersepsikan sebagai ajaran terkutuk, biadab, dan akan dilarang. Padahal, definisi ''radikalisme'' masih simpang siur. Hingga kini, wacana terorisme dan radikalisme menjadi perbincangan akademis dan politis yang hangat. Dalam soal terorisme, misalnya, dunia Islam belum sepakat dengan dunia Barat. Misalnya dalam merumuskan siapa yang sebenarnya teroris: Hamas atau Israel? Tapi karena hegemoni wacana politik, ekonomi, militer Barat yang sangat kuat, mau tidak mau, wacana terorisme disesuaikan dengan definisi dan kepentingan AS dan sekutunya. Pada 11 September 2003, Harian terkemuka di Timur Tengah, Al-Syarqul Awsat, menulis, bahwa setelah dua tahun peristiwa 11 September 2001 berlalu, AS belum mampu mengatasi aksi terorisme. Malah perluasan konsep terorisme yang dipegangnya menciptakan banyak masalah baru. ''Dua tahun setelah peristiwa 11 September, seharusnya AS sadar bahwa konsep terorisme yang dipegangnya tidak relevan dan [AS] harus mendengar usul dunia Arab. Sebab terbukti AS makin kepayahan menghadapi aksi tersebut,'' demikian Al-Sharqul Awsat. Diingatkan agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. ''Usul Arab agar lebih dulu menentukan definisi terorisme yang disetujui dunia adalah salah satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang dan melelahkan. Kita berharap agar kejadian di Irak menyadarkan kelompok konservatif di Washington,'' demikian laporan harian terbesar Arab itu. Radikalisme Sama halnya dengan wacana ''terorisme'', pendefinisian ''radikalisme'', ''fundamentalisme'', dan ''militan'', juga sangat rumit dalam lapangan akademis. Apalagi, makna suatu istilah juga bisa mengalami perkembangan. Di masa penjajahan Belanda, istilah ''radikal'' bermakna positif bagi pejuang kemerdekaan RI. Dalam disertasinya di Utrecht, Belanda, Adnan Buyung Nasution mencatat bahwa pada tahun 1918, di Indonesia dibentuk apa yang disebut sebagai Radicale Concentratie, yang terdiri atas Budi Utomo, Sarekat Islam, Insulinde, dan Indische Sociaal Democratische Vereniging. Tujuannya untuk membentuk parlemen yang terdiri atas wakil-wakil yang dipilih dari kalangan rakyat. Saat ini, tentu saja wacana radikalisme sudah sangat berbeda dengan dulu. Apalagi jika ditambahi dengan kata ''Islam'' menjadi ''radikal Islam'' atau ''Islam radikal''. Siapa yang mendapat cap itu, maka sudah mendapatkan stigma kejahatan. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk buku berjudul ''Gerakan Salafi Radikal di Indonesia'' (Penyunting: Jamhari dan Jajang Jahroni). Ada empat kelompok yang mendapat cap ''salafi radikal'' dalam buku ini, yaitu Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir. Dalam pengantar buku itu ditulis: ''Meskipun dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dilanda fenomena gerakan salafi radikal, namun ternyata, survei membuktikan bahwa mayoritas Muslim masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.'' Dari kalimat tersebut bisa diambil mafhum mukhalafah bahwa FPI, Laskar Jihad, MMI, dan Hizbut Tahrir, tidak moderat dan tidak toleran. Jadi, sesuai hasil penelitian UIN Jakarta itu, FPI, Laskar Jihad (sudah membubarkan diri), MMI, Hizbut Tahrir, bisa jadi tinggal menunggu waktu untuk diberangus. Yang menarik adalah kriteria ''Islam radikal'' yang disebutkan dalam buku ini. Kriteria pertama, kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis tinggi dan fanatik, yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung; Kriteria kedua, dalam kegiatannya, mereka sering menggunakan aksi-aksi yang keras, bahkan tidak menutup kemungkinan kasar terhadap kegiatan kelompok lain yang dinilai bertentangan dengan keyakinan mereka. Kriteria ketiga, secara sosio-kultural dan sosio-religius, kelompok radikal mempunyai ikatan kelompok yang kuat dan menampilkan ciri-ciri penampilan diri dan ritual yang khas. Kriteria keempat, kelompok ''Islam radikal'' seringkali bergerak secara bergerilya, walaupun banyak juga yang bergerak secara terang-terangan. Tentang ideologi ''Islam radikal'', buku ini mengutip pendapat John L Esposito (dari bukunya, Islam: The Straight Path), yang lebih suka menggunakan istilah ''Islam revivalis''. Pertama, mereka berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak dipisahkan dari politik, hukum, dan masyarakat. Kedua, mereka seringkali menganggap ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan cenderung materislistis harus ditolak. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ''kembali kepada Islam'' sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Keempat, karena idelogi masyarakat Barat harus ditolak, maka secara otomatis peraturan-peraturan sosial yang lahir dari tradisi Barat, juga harus ditolak. Kelima, mereka tidak menolak modernisasi sejauh tidak bertentangan dengan standar ortodoksi keagamaan yang telah mereka anggap mapan, dan tidak merusak sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran yang sudah final. Keenam, mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menekankan aspek pengorganisasian ataupun pembentukan sebuah kelompok yang kuat. Dengan kriteria semacam itu, maka MUI, PKS, DDII, PBB, dan sederet organisasi Islam lainnya dengan mudah bisa dimasukkan kategori ''Islam radikal'', hanya karena mereka kritis terhadap pandangan hidup dan nilai-nilai sekuler-liberal Barat, serta meyakini Islam sebagai alternatif solusi kehidupan mereka. Padaha l, logikanya, jika Barat boleh meyakini nilai-nilai mereka, mengapa umat Islam tidak boleh? Hati-hati Dengan rumitnya perumusan definisi ''terorisme'' dan ''radikalisme'', sebaiknya ulama, cendekiawan, dan pejabat lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah-istilah tersebut. Wacana intelektual yang terbangun saat ini lebih banyak Western oriented. Kaum Muslim saat ini diintimidasi dan diteror dengan wacana yang menyudutkan pandangan hidup mereka. Mereka yang menolak ideologi, pandangan hidup, sistem hukum, dan nilai-nilai sekuler Barat, langsung dicap sebagai ''Islam radikal''. Karena itu, hingga kini, kecaman terhadap fatwa MUI yang mengharamkan paham sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama, tak kunjung berhenti. Bahkan, malam Idul Fitri 1426 H lalu, salah satu stasiun TV swasta secara khusus menayangkan obrolan yang mencaci-maki fatwa-fatwa MUI. Kita sangat menyesalkan aplikasi konsep jihad yang keliru oleh sejumlah pelaku Bom Bali. Tapi, masalahnya kemudian jangan ditarik kemana-mana, tanpa batasan ilmiah yang jelas. Jika mau berburu teroris, baiknya bicara masalah terorisme saja. Jika berburu Jamaah Islamiyah, baiknya bicara tentang Jamaah Islamiyah saja. Karena itu, mungkin ada baiknya, Tim Penanggulangan Terorisme Depag, diganti namanya menjadi ''Tim Penanggulangan Jamaah-Islamiyah'' atau ''Tim penanggulangan Kelompok Dr Azahari dan Nordin M Top.'' Jangan sampai para ulama yang ada di Tim itu masuk perangkap, dan digunakan sebagai bagian dari strategi global ''perang melawan Islam'', sebagaimana dirumuskan ilmuwan ''neo-orientalis'', Samuel P Huntington, dalam bukunya Who Are We? (2004). Dalam buku ini, Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul Militant Islam Vs America, yang menekankan bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS: ''This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.'' Upaya pemerintah melibatkan ulama dalam penanggulangan masalah terorisme merupakan hal yang baik. Agar jangan sampai perang melawan terorisme diseret menjadi perang melawan Islam, mengadudomba antarumat Islam, sehingga akan berdampak pada pelemahan bangsa. Kini, umat Islam sedang menunggu, apakah para ulama, cendekiawan, serta pejabat Depag dalam Tim Penanggulangan Terorisme bisa merumuskan definisi ''terorisme'' dan ''radikalisme'' dan bersikap adil terhadap ''semua jenis teroris''? Jalan pendek untuk keluar dari kemelut ini adalah harapan dan imbauan kita bahwa sebaiknya Noordin M Top segera menyerahkan diri kepada polisi. Kemudian mempertanggungjawabkan perbuatannya, memberikan penjelasan secara terbuka, dan membuka semua cerita misteri di balik tragedi dan drama tentang aksi-aksi bom yang terjadi di Indonesia. Itu perlu dilakukan oleh Noordin M Top, agar masalah terorisme cepat tuntas Daripada bunuh diri, lebih baik menyerahkan diri dan berargumentasi di depan televisi. Juga, agar umat Islam Indonesia tidak menjadi korban stigmatisasi dan kambing hitam dari berbagai persoalan bangsa. Sebuah stasiun TV membuat teks berita bahwa seorang pengunjung masjid dicurigai hanya karena di tasnya ditemukan buku-buku berbahasa Arab. Wallahu a'lam. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org! http://us.click.yahoo.com/SBefZD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **