** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/25/opi4.htm Perempuan dan Kekerasan Negara Oleh Maya Yudayanti SETIAP 25 November komunitas pergerakan perempuan mengenangnya sebagai Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Peringatan ini adalah bentuk penghargaan atas peristiwa tragis yang dialami tiga perempuan bersaudara, Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel. Peristiwanya bermula saat 25 November 1960 Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel pulang seusai menjenguk suami mereka yang dipenjara rezim militer Jenderal Rafael Leonidas Trujillo yang saat itu menjadi penguasa tifan di Republik Dominika. Jenderal Trujillo memerintahkan polisi rahasia untuk menculik tiga perempuan bersaudara tersebut. Sebelum kemudian akhirnya dibunuh, Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel disiksa dan diperkosa secara bergiliran. Mirabel bersaudara memang bukan dari kalangan perempuan biasa. Mereka adalah para aktivis perlawanan bawah tanah (klandestin) terhadap rezim kediktatoran kekuasaan militer Jenderal Trujillo. Ayah ketiga perempuan bersaudara ini pun, Don Enrique Mirabal, berulang kali harus merasakan kekuasaan tiran El Jefe (Tuan Besar), sebutan untuk sang diktator, hanya untuk persoalan sepele. Suami ketiga perempuan bersaudara itu juga dikenal sebagai aktivis bawah tanah dari Popular Socialist Party, organisasi perlawanan yang didirikan oleh Pericles Franco Omes di tahun 1940. Bersama-sama dengan suami mereka, ketiga perempuan ini menggalang pengorganisasi di tengah kelas pekerja Dominika dan melalui gereja-gereja. La Miraposa (Sang Kupu-kupu) demikian Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel mendapat julukan di kalangan dunia pergerakan perlawanan terhadap kediktatoran Jenderal Trujillo. Dengan latar belakang sosial-politik itulah La Miraposa dipetakan sebagai duri bagi kekuasaan rezim militer yang dibangun Jenderal Trujillo. Tetapi ketika El Jefe memutuskan untuk menyingkirkan duri tersebut, sontak menggelora perlawanan rakyat terhadap Sang Tiran yang akhirnya terbunuh oleh serangan Pasukan Pembebasan Dominika di tahun 1961. Adalah Kongres Feminis Latin Amerika dan Kepulauan Karibia di tahun 1981 yang kali pertama mempopulerkan tanggal terbunuhnya la miraposa sebagai Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Tetapi baru pada tahun 1991 Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan menjadi kalender Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Delapan tahun kemudian (1999) Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan menjadi kalender internasional dan diperingati secara bersa-maan dengan peringatan Hari AIDS Sedunia (1 Desember), hari internasional bagi para penyandang cacat (2 Desember), hari penghapusan perbudakan (3 Desember), dan hari internasional sukarelawan (5 Desember), serta hari tiada toleransi bagi kekerasan terhadap perempuan (6 Desember). Kekerasan Negara Tragedi Mirabel bersaudara adalah kisah perlawanan terhadap kekuasaan negara tiran dan militeristik, tempat dimana kekerasan yang langsung ditujukan kepada tubuh perempuan dengan semangat mudah dilakukan aparat negara. Serupa dengan Mirabel ber-saudara, meski dengan alur peristiwa yang berbeda, perilaku sadis aparat keamanan terhadap tubuh Marsinah tidak akan pernah dapat dihapus dari catatan sejarah kekerasan negara terhadap perempuan. Penyiksaan yang dialami Marsinah bukan saja sudah di luar batas-batas kewajaran, tetapi juga sebuah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri (HAM) yang tegas dan eksplisit tercatum dalam konstitusi dasar republik. Hal itu pula yang dialami pe-rempuan-perempuan yang ditu-duh terlibat atau menjadi bagian dari apa yang Orde Baru sebut sebagai G30S/PKI. Tanpa pembuktian di depan peradilan, pe-rempuan-perempuan harus dipisahkan dari keluarga dan menjadi penghuni terali-terali besi. Kekerasan negara terhadap perempuan, dengan demikian, bukan semata peristiwa penundukan atas (tubuh) perempuan itu sendiri. Kekerasan tersebut tak lain adalah penghancuran dan penundukan perempuan korban secara sosial, termasuk penghancuran dan penundukan asal-usul komunitas perempuan korban. Pada kasus Marsinah, pe-rempuan dan komunitas gerakan buruh perempuan (sebelum reformasi bergulir) selalu ada dalam bayang-bayang ancaman serangan fisik negara. Demikian halnya dengan komunitas pe-rempuan-perempuan yang di-tuduh terlibat G30S/PKI. Mes-kipun sebagian perempuan tersebut kemudian dikeluarkan dari jeruji besi, stigma sebagai antek PKI terus mereka sandang hingga ke liang kubur. Tragisnya, pola-pola ke-ke-rasan negara terhadap perempuan kemudian diinternalisasi oleh masyarakat dan dengan bebas dipraktikkan untuk mende-gradasikan komunitas sosial tertentu. Itu yang terlihat dari kasus pemerkosaan massal Mei 1998. Dan terbaru pembunuhan dengan sadis tiga perempuan pelajar secara signifikan meningkatkan ketegangan dua komunitas sosial di Poso. Bentuk-bentuk tindak kekerasan negara yang dialami Mirabel bersaudara, Marsinah, perempuan-perempuan aktivis Gerwani dus perempuan-perempuan di daerah konflik adalah sebuah refleksi dimana kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap perempuan kerap terjadi bukan karena semata-mata fakta biologisnya, tetapi karena faktor kejenderan yang berhimpitan dengan identitas sosial dan kepentingan politik Representasi Patriaki Pertanyaan lebih lanjut, mengapa negara dengan mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan? Kita paham dan sepertinya dapat menerima, bahwa negara adalah satu-satunya institusi politik yang sah dan memiliki legitimasi untuk memaksa kepatuhan warga negara. Justru dalam konteks semacam itu muncul persoalan yang sangat mendasar. Sebab senyatanya negara bukanlah institusi politik yang netral. Negara sesungguhnya adalah representasi kekuasaan patriaki yang mendapat topangan budaya, ideologi, norma sosial dan bahkan agama. Menjadi tidak aneh jika kemudian tindakan-tindakan negara terhadap warga negaranya, langsung atau tidak, menghasilkan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Alhasil, negara tempat dimana kaum perempuan tumbuh dan hidup tetap menjadi wilayah yang tidak ramah kepada perempuan. Kaum perempuan tetap menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap berbagai tindak kekerasan berbasis jender. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa kehadiran peraturan hukum semacam UU No 7/1987 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No 5/1998 tentang Pengesahan Konvensi Anti-Penyiksaan atau UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) membentur tembok tebal dalam tahapan implementasinya. Peraturan-peraturan hukum tersebut, diakui atau tidak, baru mampu menyentuh permukaan institusi-institusi negara dan masyarakat tanpa berhasil merasuk ke dalam struktur dasarnya. Dalam lain perkataan, peraturan-peraturan hukum yang telah dihasilkan belum mampu menjadi palu godam untuk membongkar batas-batas kognitif masyarakat, tak terkecuali kaum perempuan sendiri. Hal ini terefleksi dari pengakuan atas HAP yang baru sebatas bahan retorika pejabat-pejabat negara, pusat dan daerah. Atau bahan pelengkap dalam dokumen kerja departemen-departemen. Dengan demikian, dalam kondisi di mana negara adalah representasi patriaki, perjuangan pengakuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan (HAP) tidak memberikan jaminan terhapuskannya ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan, apalagi ketimpangan sosial-ekonomi di dalam masyarakat yang lebih luas. Setiap upaya yang dianggap membahayakan harmoni sosial yang telah dibangun kekuasaan patriaki, justru dan pasti memunculkan resistensi baik dari kaum laki-laki maupun kaum perempuan sendiri. Ini pula sebabnya perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh ruang publik yang lebih luas, tidak selalu direspon secara signifikan oleh massa perempuan secara umum. Karena ketiadaan dukungan ini, pada akhirnya persoalan fundamental menyangkut hubungan patriakal antara laki-laki dan perempuan tidak tersentuh secara tuntas. Memang kondisi tersebut bukan salah kaum perempuan sendiri. Betapan pun juga bukan sesuatu yang mudah membongkar hegemoni patriakal yang telah tertanam di benak kesadaran kaum perempuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Meskipun demikian, persoalan mendasar yang bersumber dari hubungan patriakal antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah menyurutkan semangat komunitas pergerakan perempuan di tanah air menuntut pengakuan sebagai warga negara dengan segala hak-haknya. Selama negara dan masyarakat tidak memberikan ruang bagi pengembangan atau realisasi potensi eksistensial perempuan, selama itu pula komunitas pergerakan perempuan di tanah air akan terus melakukan tekanan-tekanan kepada institusi-institusi negara. Sebab hanya dengan pengakuan negara dan masyarakat atas HAP, domain sosial memiliki harapan untuk dibersihkan dari anasir-anasir yang potensial mereduksi kemanusiaan perempuan. Dalam perspektif semacam itulah peringatan Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan tahun ini memiliki relevansi dan pesan yang teramat jelas. Yaitu kekerasan negara (dan masyarakat) terhadap perempuan adalah nyata.(11) - Maya Yudayanti, S Sos, pendamping Forum Peduli Perempuan Boyolali . [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **