[nasional_list] [ppiindia] Perempuan dan Kekerasan Negara

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 25 Nov 2005 01:38:28 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suaramerdeka.com/harian/0511/25/opi4.htm


Perempuan dan Kekerasan Negara
Oleh Maya Yudayanti
SETIAP 25 November komunitas pergerakan perempuan mengenangnya sebagai Hari 
Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Peringatan ini adalah bentuk 
penghargaan atas peristiwa tragis yang dialami tiga perempuan bersaudara, 
Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel.

Peristiwanya bermula saat 25 November 1960 Minerva, Maria Teresa, dan Patricia 
Mirabel pulang seusai menjenguk suami mereka yang dipenjara rezim militer 
Jenderal Rafael Leonidas Trujillo yang saat itu menjadi penguasa tifan di 
Republik Dominika.

Jenderal Trujillo memerintahkan polisi rahasia untuk menculik tiga perempuan 
bersaudara tersebut. Sebelum kemudian akhirnya dibunuh, Minerva, Maria Teresa, 
dan Patricia Mirabel disiksa dan diperkosa secara bergiliran.

Mirabel bersaudara memang bukan dari kalangan perempuan biasa. Mereka adalah 
para aktivis perlawanan bawah tanah (klandestin) terhadap rezim kediktatoran 
kekuasaan militer Jenderal Trujillo. Ayah ketiga perempuan bersaudara ini pun, 
Don Enrique Mirabal, berulang kali harus merasakan kekuasaan tiran El Jefe 
(Tuan Besar), sebutan untuk sang diktator, hanya untuk persoalan sepele.

Suami ketiga perempuan bersaudara itu juga dikenal sebagai aktivis bawah tanah 
dari Popular Socialist Party, organisasi perlawanan yang didirikan oleh 
Pericles Franco Omes di tahun 1940. 

Bersama-sama dengan suami mereka, ketiga perempuan ini menggalang 
pengorganisasi di tengah kelas pekerja Dominika dan melalui gereja-gereja. La 
Miraposa (Sang Kupu-kupu) demikian Minerva, Maria Teresa, dan Patricia Mirabel 
mendapat julukan di kalangan dunia pergerakan perlawanan terhadap kediktatoran 
Jenderal Trujillo.

Dengan latar belakang sosial-politik itulah La Miraposa dipetakan sebagai duri 
bagi kekuasaan rezim militer yang dibangun Jenderal Trujillo. Tetapi ketika El 
Jefe memutuskan untuk menyingkirkan duri tersebut, sontak menggelora perlawanan 
rakyat terhadap Sang Tiran yang akhirnya terbunuh oleh serangan Pasukan 
Pembebasan Dominika di tahun 1961.

Adalah Kongres Feminis Latin Amerika dan Kepulauan Karibia di tahun 1981 yang 
kali pertama mempopulerkan tanggal terbunuhnya la miraposa sebagai Hari 
Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Tetapi baru pada tahun 1991 
Hari Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan menjadi kalender 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Delapan tahun kemudian (1999) Hari Internasional Antikekerasan terhadap 
Perempuan menjadi kalender internasional dan diperingati secara bersa-maan 
dengan peringatan Hari AIDS Sedunia (1 Desember), hari internasional bagi para 
penyandang cacat (2 Desember), hari penghapusan perbudakan (3 Desember), dan 
hari internasional sukarelawan (5 Desember), serta hari tiada toleransi bagi 
kekerasan terhadap perempuan (6 Desember).

Kekerasan Negara

Tragedi Mirabel bersaudara adalah kisah perlawanan terhadap kekuasaan negara 
tiran dan militeristik, tempat dimana kekerasan yang langsung ditujukan kepada 
tubuh perempuan dengan semangat mudah dilakukan aparat negara.

Serupa dengan Mirabel ber-saudara, meski dengan alur peristiwa yang berbeda, 
perilaku sadis aparat keamanan terhadap tubuh Marsinah tidak akan pernah dapat 
dihapus dari catatan sejarah kekerasan negara terhadap perempuan. Penyiksaan 
yang dialami Marsinah bukan saja sudah di luar batas-batas kewajaran, tetapi 
juga sebuah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri (HAM) 
yang tegas dan eksplisit tercatum dalam konstitusi dasar republik.

Hal itu pula yang dialami pe-rempuan-perempuan yang ditu-duh terlibat atau 
menjadi bagian dari apa yang Orde Baru sebut sebagai G30S/PKI. Tanpa pembuktian 
di depan peradilan, pe-rempuan-perempuan harus dipisahkan dari keluarga dan 
menjadi penghuni terali-terali besi.

Kekerasan negara terhadap perempuan, dengan demikian, bukan semata peristiwa 
penundukan atas (tubuh) perempuan itu sendiri. Kekerasan tersebut tak lain 
adalah penghancuran dan penundukan perempuan korban secara sosial, termasuk 
penghancuran dan penundukan asal-usul komunitas perempuan korban.

Pada kasus Marsinah, pe-rempuan dan komunitas gerakan buruh perempuan (sebelum 
reformasi bergulir) selalu ada dalam bayang-bayang ancaman serangan fisik 
negara. Demikian halnya dengan komunitas pe-rempuan-perempuan yang di-tuduh 
terlibat G30S/PKI. Mes-kipun sebagian perempuan tersebut kemudian dikeluarkan 
dari jeruji besi, stigma sebagai antek PKI terus mereka sandang hingga ke liang 
kubur.

Tragisnya, pola-pola ke-ke-rasan negara terhadap perempuan kemudian 
diinternalisasi oleh masyarakat dan dengan bebas dipraktikkan untuk 
mende-gradasikan komunitas sosial tertentu. Itu yang terlihat dari kasus 
pemerkosaan massal Mei 1998. Dan terbaru pembunuhan dengan sadis tiga perempuan 
pelajar secara signifikan meningkatkan ketegangan dua komunitas sosial di Poso. 

Bentuk-bentuk tindak kekerasan negara yang dialami Mirabel bersaudara, 
Marsinah, perempuan-perempuan aktivis Gerwani dus perempuan-perempuan di daerah 
konflik adalah sebuah refleksi dimana kekerasan yang dilakukan aparat negara 
terhadap perempuan kerap terjadi bukan karena semata-mata fakta biologisnya, 
tetapi karena faktor kejenderan yang berhimpitan dengan identitas sosial dan 
kepentingan politik

Representasi Patriaki

Pertanyaan lebih lanjut, mengapa negara dengan mudah melakukan kekerasan 
terhadap perempuan? Kita paham dan sepertinya dapat menerima, bahwa negara 
adalah satu-satunya institusi politik yang sah dan memiliki legitimasi untuk 
memaksa kepatuhan warga negara. Justru dalam konteks semacam itu muncul 
persoalan yang sangat mendasar.

Sebab senyatanya negara bukanlah institusi politik yang netral. Negara 
sesungguhnya adalah representasi kekuasaan patriaki yang mendapat topangan 
budaya, ideologi, norma sosial dan bahkan agama. Menjadi tidak aneh jika 
kemudian tindakan-tindakan negara terhadap warga negaranya, langsung atau 
tidak, menghasilkan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Alhasil, negara tempat dimana kaum perempuan tumbuh dan hidup tetap menjadi 
wilayah yang tidak ramah kepada perempuan. Kaum perempuan tetap menjadi 
kelompok yang sangat rentan terhadap berbagai tindak kekerasan berbasis jender.

Hal ini pula yang menjelaskan mengapa kehadiran peraturan hukum semacam UU No 
7/1987 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala 
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU No 5/1998 tentang Pengesahan 
Konvensi Anti-Penyiksaan atau UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam 
Rumah Tangga (PKDRT) membentur tembok tebal dalam tahapan implementasinya.

Peraturan-peraturan hukum tersebut, diakui atau tidak, baru mampu menyentuh 
permukaan institusi-institusi negara dan masyarakat tanpa berhasil merasuk ke 
dalam struktur dasarnya.

Dalam lain perkataan, peraturan-peraturan hukum yang telah dihasilkan belum 
mampu menjadi palu godam untuk membongkar batas-batas kognitif masyarakat, tak 
terkecuali kaum perempuan sendiri. Hal ini terefleksi dari pengakuan atas HAP 
yang baru sebatas bahan retorika pejabat-pejabat negara, pusat dan daerah. Atau 
bahan pelengkap dalam dokumen kerja departemen-departemen.

Dengan demikian, dalam kondisi di mana negara adalah representasi patriaki, 
perjuangan pengakuan dan penegakan hak-hak asasi perempuan (HAP) tidak 
memberikan jaminan terhapuskannya ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan 
perempuan, apalagi ketimpangan sosial-ekonomi di dalam masyarakat yang lebih 
luas. 

Setiap upaya yang dianggap membahayakan harmoni sosial yang telah dibangun 
kekuasaan patriaki, justru dan pasti memunculkan resistensi baik dari kaum 
laki-laki maupun kaum perempuan sendiri.

Ini pula sebabnya perjuangan kaum perempuan untuk memperoleh ruang publik yang 
lebih luas, tidak selalu direspon secara signifikan oleh massa perempuan secara 
umum. Karena ketiadaan dukungan ini, pada akhirnya persoalan fundamental 
menyangkut hubungan patriakal antara laki-laki dan perempuan tidak tersentuh 
secara tuntas.

Memang kondisi tersebut bukan salah kaum perempuan sendiri. Betapan pun juga 
bukan sesuatu yang mudah membongkar hegemoni patriakal yang telah tertanam di 
benak kesadaran kaum perempuan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Meskipun demikian, persoalan mendasar yang bersumber dari hubungan patriakal 
antara laki-laki dan perempuan tidak akan pernah menyurutkan semangat komunitas 
pergerakan perempuan di tanah air menuntut pengakuan sebagai warga negara 
dengan segala hak-haknya. 

Selama negara dan masyarakat tidak memberikan ruang bagi pengembangan atau 
realisasi potensi eksistensial perempuan, selama itu pula komunitas pergerakan 
perempuan di tanah air akan terus melakukan tekanan-tekanan kepada 
institusi-institusi negara.

Sebab hanya dengan pengakuan negara dan masyarakat atas HAP, domain sosial 
memiliki harapan untuk dibersihkan dari anasir-anasir yang potensial mereduksi 
kemanusiaan perempuan. Dalam perspektif semacam itulah peringatan Hari 
Internasional Antikekerasan terhadap Perempuan tahun ini memiliki relevansi dan 
pesan yang teramat jelas. Yaitu kekerasan negara (dan masyarakat) terhadap 
perempuan adalah nyata.(11)

- Maya Yudayanti, S Sos, pendamping Forum Peduli Perempuan Boyolali . 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Perempuan dan Kekerasan Negara