[nasional_list] [ppiindia] Guru-guru yang Terpinggirkan

  • From: "Listy" <listy@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "Ppiindia (E-mail)" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Fri, 25 Nov 2005 08:09:44 +0700

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** 
Selamat memperingati Hari Guru - 25 November
 
-----Original Message-----
From: 
Sent: 
To: 
Subject: Guru-guru yang Terpinggirkan 


 
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0511/25/utama/2240171.htm
 
Jumat, 25 November 2005         
        
        
        


Guru-guru yang Terpinggirkan 



P Bambang Wisudo dan Indira Permanasari

Sejak kecil Atrianil (42) bercita-cita menjadi guru. Selulusnya dari program 
diploma pendidikan akuntansi di IKIP Padang pada tahun 1986, ia mengajar 
sebagai tenaga honorer di SMP Negeri I Payakumbuh.

Gagal menjadi pegawai negeri karena pemerintah mengubah kebijakan kualifikasi 
guru SMA dan tidak memenuhi kriteria sebagai guru ekonomi di SMP, ia hijrah ke 
Jakarta.

Genap sebelas tahun Atrianil mencari peruntungan di Jakarta, tetapi nasibnya 
tidak berubah, tetap saja ia berstatus sebagai guru honorer. Ia bekerja dari 
pagi hingga petang hari dengan hitungan per jam mengajar yang hanya dibayar 
pada minggu pertama untuk satu bulan mengajar. Ia mengajar 80 jam per minggu 
dengan penghasilan total kurang dari Rp 1 juta. Tidak ada jaminan sosial, 
penggantian biaya berobat ketika sakit. Tidak ada tanda-tanda nasibnya akan 
membaik.

Niat baik

Di balik pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Guru dan Dosen yang hampir 
selesai dibahas di DPR, tebersit keinginan pemerintah untuk memperbaiki 
kesejahteraan dan profesionalisme guru. Akan tetapi, sejauh mana niat baik itu 
akan mengubah wajah suram nasib guru di Indonesia. Tidak dimungkiri ada 
sebagian guru sekolah negeri dan sekolah elite yang hidup berkecukupan, tetapi 
jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan jumlah guru yang mencapai 2,2 juta 
orang.

Andaikata nasib guru sekolah negeri diperbaiki, bagaimana dengan nasib ratusan 
ribu guru honorer, guru bantu, dan guru sekolah swasta menengah bawah yang 
berada dalam kasta paling rendah dalam sistem pendidikan di Tanah Air?

Atrianil hanya bisa menahan kesedihannya ketika saat mudik Lebaran baru-baru 
ini kedua anaknya menolak diajak pulang ke Jakarta.

"Mama realistis saja, kita tidak mungkin bertahan hidup dengan kondisi seperti 
ini. Bila ada duit buat Ari, kumpulin saja untuk betulin atap yang bocor," 
tutur Atrianil menirukan argumentasi anaknya menjelang ia kembali ke Jakarta.

Atrianil hampir-hampir tidak percaya ucapan itu keluar dari mulut anaknya, Ari 
Kurniawan (12), yang baru keluar dari masa kanak-kanaknya. Ari tergolong anak 
yang pandai di bangku sekolah. Di SD ia sering juara pertama, bahkan pernah 
menjadi juara II kompetisi anak cerdas di Tangerang.

Dengan penghasilan kurang dari Rp 1 juta memang hampir tidak mungkin Atrianil 
hidup layak dan sendirian membesarkan kedua anaknya. Suaminya, sejak dipecat 
dari perusahaannya beberapa tahun lalu, jarang pulang ke rumah.

Beban hidup mereka agak teringankan karena Atrianil tidak perlu mengeluarkan 
uang kontrak rumah. Ia memiliki rumah seluas 50 meter persegi di Kampung 
Gondrong, Tangerang. Tanah dibelinya dari uang tabungan yang diperoleh dari 
saudara- saudaranya.

Dulu Atrianil paling pandai di antara delapan bersaudara. Ia satu-satunya yang 
bertahan menjadi guru.

Bertahun-tahun Atrianil mengajar dari pagi sampai sekitar pukul 21.00. 
Pagi-pagi ia bertolak ke sekolah, mengajar dari sekolah satu ke sekolah lain, 
dan kadang-kadang baru pulang ke rumah saat larut malam.

Suatu hari ia terserang tifus. Belum sampai benar-benar sembuh, ia berangkat 
mengajar. Tiba-tiba ia hilang kesadaran, jatuh terantuk batu, pelipisnya robek. 
Oleh karena tidak punya uang, sesuai dengan saran sopir bus, ia mengoleskan oli 
mesin untuk menghentikan pendarahan.

Darah di bajunya belum kering saat ia ke sekolah, sekadar untuk mengetes 
kepedulian sekolah. Bukannya diberi ongkos berobat, ia justru disalahkan, 
dianggap kurang berhati-hati.

"Seminggu luka saya kering, tetapi luka di hati saya tidak pernah kering. 
Ternyata begitu perlakuan terhadap guru," kata Atrianil.

Jadi korban gusuran

Tidak berbeda dengan Atrianil, Deddy Sudardi (47) juga terpinggirkan oleh 
ketidakadilan dalam sistem pendidikan yang berlaku sampai hari ini. Ia telah 
mengajar selama 20 tahun. Ia mengajar 50 jam pelajaran dalam seminggu dengan 
upah total Rp 1,3 juta.

Untuk menutup defisit membesarkan tiga anak, kini istrinya bekerja sebagai 
buruh pabrik garmen dengan upah Rp 150.000 per minggu.

Dengan penghasilan seperti itu, Deddy tidak mampu tinggal di rumah yang layak. 
Selama 10 tahun di Jakarta, ia terpaksa berpindah- pindah tempat tinggal, dari 
rumah satu ke rumah yang lain di permukiman kumuh yang berdiri di atas tanah 
tak bertuan.

Deddy tidak hanya dipinggirkan oleh sistem, tetapi juga tergusur dalam arti 
sesungguhnya. Rumahnya seluas 30 meter persegi di Jembatan Besi, Jakarta Barat, 
diroboh paksa bersama ratusan rumah lainnya dalam peristiwa penggusuran tahun 
2003. Bangunan, alat-alat elektronik, dan perabotan rumah tangga hilang tak 
berbekas. Akibat kasus penggusuran itu, Deddy yang mengajar akuntansi di tiga 
sekolah kejuruan swasta terpaksa absen mengajar selama dua minggu. Deddy bahkan 
sempat menginap satu malam di kantor polisi karena melakukan perlawanan. 
Kepalanya sempat dijahit karena pentungan petugas tramtib. Sampai sekarang ia 
mengaku masih sering pusing tiba-tiba.

"Kadang kepala saya berdenyut, sakit secara tiba-tiba. Seperti ditusuk jarum," 
tutur Deddy.

Deddy sampai sekarang tinggal di area tak bertuan demi sekolah anak-anaknya. Ia 
mengontrak rumah bedeng di pinggir rel kereta api di daerah Kalideres, Jakarta 
Barat. Bertetangga dengan para penjual makanan keliling, buruh, dan tukang 
becak. Ia sudah merasa nyaman tinggal di rumah kontrakan dengan dua kamar. 
Apalagi tiga anaknya tidak tinggal bersamanya. Anaknya yang pertama kuliah di 
perguruan tinggi Bina Sarana Informatika. Biaya per semester Rp 1,5 juta dan 
pengeluaran bulanan tidak kurang dari Rp 600.000. Biaya sebesar itu tidak 
mungkin terbayarkan bila anaknya tidak kuliah sambil bekerja. Dua anak Deddy 
yang lain tinggal di pondok pesantren dengan biaya Rp 400.000 per bulan.

Syarifudin (54), guru honorer yang lebih dari 20 tahun mengajar di SMP dan SMA 
PGRI Balaraja, Tangerang, selama ini hidup pas-pasan dengan empat anak. Ia 
mengajar 40 jam seminggu dengan penghasilan Rp 560.000 per bulan. Sebagai wakil 
kepala sekolah di SMP, ia mendapatkan tambahan tunjangan setara 40 jam mengajar.

Putri pertamanya tergolong anak pandai sehingga diterima di Sekolah Menengah 
Analis Kimia Bogor. Uang masuknya hampir Rp 5 juta. Tiap bulan ia harus 
mengeluarkan uang Rp 665.000 per bulan untuk biaya hidup anaknya yang pertama. 
Jumlah itu separuh dari penghasilannya per bulan. Sisanya habis untuk kontrak 
rumah, listrik, keperluan dapur, dan transpor sehari-hari. Beruntung dua 
anaknya masih duduk di bangku SD.

Ia tidak berharap banyak akan disamakan status dan kesejahteraannya seperti 
pegawai negeri. Seperti Atrianil, Deddy, dan guru-guru nonpegawai negeri sipil 
yang selama ini dipinggirkan, mereka hanya berharap campur tangan pemerintah 
agar bisa hidup layak sebagai seorang guru.

Setahun lalu, pada peringatan Hari Guru 25 November di kabupaten, ia bersama 
belasan guru honor yang telah mengabdi selama 20 tahun diminta berdiri di 
depan. Disaksikan ribuan orang, Syarifudin menerima sebuah amplop sebagai tanda 
penghargaan. Isinya Rp 100.000.



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Guru-guru yang Terpinggirkan