** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.kompas.com/kompas-cetak/0511/22/opini/2225068.htm Pemerintah dan Pengusaha Hendardi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengemukakan, kini terbuka peluang lebih besar bagi para pengusaha untuk menjadi menteri karena telah terjadi perubahan dalam institusi TNI, Polri, dan birokrasi yang menghalangi personelnya yang aktif untuk menjadi politisi. Dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disebutkan 13 orang berlatar belakang pengusaha (Kompas, 14/11/2005). Adanya sejumlah pengusaha yang menduduki jabatan politik bukanlah sepenuhnya monopoli periode pasca-Soeharto. Tentu timbul pertanyaan, apa yang membedakan hubungan pemerintah dan pengusaha di masa Orde Baru dengan masa kini? Apakah pola hubungan patronase telah berakhir ataukah masih tetap berlanjut? Jika terus berlanjut, apa bedanya dengan patronase sebelumnya? Patronase Orde Baru Dinamika bisnis yang ada sekarang tak dapat diabaikan dari apa yang telah berkembang selama lebih tiga dasawarsa sebelumnya. Di sinilah letak signifikansi politik dan ekonomi Orde Baru. Pengaruh masa lalu tetap kuat membentuk dan mewarisi watak hubungan di antara kekuasaan politik, birokratik, dan bisnis. Hubungan ini secara khusus disebut patronase bisnis (business patronage). Awal program ekonomi Orde Baru memang ditandai dengan masuknya modal asing dan utang luar negeri. Hal ini mengesankan seolah-olah di Indonesia belum muncul suatu golongan yang disebut pengusaha. Tapi setelah diberkahi limpahan "uang minyak" pada paruh 1970-an, keadaan pun berubah. Negara (state) seolah-olah bisa bertindak atas nama dan kepentingannya sendiri, terutama dengan mengusung Industrialisasi Substitusi Impor (ISI). Sejak itu, investasi dan proyek-proyek negara menjadi "mesin pertumbuhan". Negara bahkan memfasilitasi dan memodali tumbuhnya pengusaha di dalam dirinya melalui beroperasinya sejumlah perusahaan industri perakitan otomotif, elektronik, semen, petrokimia, gelas, dan plastik. Mereka juga menikmati fasilitas proteksi dan monopoli pasar. Dasawarsa 1980-an, mereka berkembang menjadi sejumlah konglomerat. Patronase bisnis itu terpusat di sekitar keluarga Soeharto. Kendati begitu, jaringannya juga menyebar ke sejumlah personel dan institusi militer dan polisi. Dengan pertumbuhan ini, sebagian mereka tak lagi sekadar birokrat atau politisi, melainkan harus ditengok sebagai golongan pengusaha yang memiliki akses yang besar pada penguasaan sumber daya negara dan kekayaan alam (Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, 1986). Sistem patronase itu bukan saja telah menciptakan kolusi politik dalam bisnis, tapi juga merebaknya korupsi dalam birokrasi negara. Sehingga tak mengherankan jika kekayaan negara dan sumber daya alam (SDA) telah menjadi "sapi perah" yang luar biasa dan membangkitkan suatu lapisan orang kaya di Indonesia, termasuk birokrat sipilnya. Hubungan seperti itu tak selalu berjalan tanpa dinamikanya. Akhir dasawarsa 1980-an, ketika sejumlah konglomerat dituding telah berbuat sangat tamak, kalangan militer yang mulai dirintangi aksesnya pun melancarkan isu "keterbukaan politik". Dinamika ini bertambah dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan dan lapisan buruh industri ringan yang berorientasi ekspor, serta berbagai kasus penggusuran penduduk dari lahan garapannya yang ikut menaikkan kembali peran politik mahasiswa. Dengan begitu, sejak 1980-an, kabinet di bawah Soeharto juga harus ditengok sebagai wakil dari kepentingan pengusaha. Bahkan, Soeharto sendiri haruslah ditengok sebagai bos mereka. Desentralisasi Para pengusaha yang kini menjadi pejabat teras pemerintah, seperti Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, dan Mari Pangestu, pada dasarnya mereka adalah kelanjutan dari apa yang telah dilakukan mantan Presiden Soeharto dan Habibie. Mereka menikmati hubungan patronase dalam menjalankan roda bisnis yang mereka geluti sebelumnya. Rasanya melenceng untuk menyebut adanya beberapa menteri dari kalangan pengusaha sebagai suatu kecenderungan baru dan terlalu berlebihan jika dibandingkan dengan jabatan-jabatan menteri di Amerika Serikat. Adanya perintang bagi personel TNI dan Polri aktif untuk terlibat politik atau jabatan politik, memang menjadi lebih terbuka bagi kalangan pengusaha untuk menduduki jabatan menteri atau pejabat tinggi. Tapi jika soalnya adalah kepentingan mereka untuk memakmurkan orang banyak, tampaknya perlu dipertanyakan. Apa jaminannya mereka menaruh komitmen tersebut karena patronase tetap berlanjut? Pertama, para pengusaha jelas membutuhkan pemerintah untuk memperluas kepentingan atau mempertahankan usaha mereka. Mereka membutuhkan akses pada sumber daya negara baik untuk mendapatkan proyek maupun fasilitas yang dapat memperluas jaringan bisnisnya. Mereka tetap menjalankan pola patronase bisnis, tapi lebih tersebar karena telah terjadi desentralisasi kekuasaan negara. Kedua, dalam mempertahankan jabatan-jabatan politik itu, mereka diharuskan menggunakan partai-partai. Sebagaimana yang banyak dipersoalkan, proses ini lebih berperan dengan apa yang disebut "politik uang" (money politics). Hal ini lebih dimungkinkan jika mereka berasal atau berlatar dari kalangan pengusaha. Ketiga, desentralisasi kekuasaan negara telah membuka suatu gelanggang politik sebagai ajang perebutan atau bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Pada umumnya, Golkar mewarisi tampuk kekuasaan politik lokal baik pemerintahan maupun DPRD. Jaringan patronase pun menjadi terdesentralisasi dan menjadi rebutan akses di antara birokrat, pengusaha, dan politisi lokal. Keempat, program good governance, seperti penghapusan KKN, transparansi, dan akuntabilitas yang dicanangkan lembaga-lembaga donor internasional, ternyata telah mengalami kegagalan. Korupsi dan kolusi justru semakin menyebar ke daerah-daerah, baik yang terjadi pada banyak anggota DPRD, tapi juga mereka yang bertanggung jawab dalam program-program sosial. Apa jaminannya mereka lebih berkomitmen pada kemakmuran orang banyak? Watak mereka tetap sama berebut akses pada sumber daya negara demi bisnis dan politiknya. Bedanya, jika dulu jaringan patronasenya tersentralisasi di sekitar Soeharto, kini lebih terdesentralisasi. Hendardi Ketua Majelis Anggota PBHI dan Pendiri Setara Institute [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital. http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **