[nasional_list] Re: [ppiindia] Di Luar Enaknya Ketupat

  • From: Nugroho Dewanto <ndewanto@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Mon, 07 Nov 2005 14:37:42 +0700

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
ya...ya...ya...

perbedaan agama dan keyakinan memang sama sekali
bukan bahaya.....

yang berbahaya adalah perbedaan pendapatan.... (perbedaan
satu ini jelas bukan rahmat....)

alangkah baik bila institut orang miskinnya moeslim
abdurrahman tak cuma berisi ahli agama tapi juga
ahli ekonomi dan manajer......

salam,



At 09:24 AM 11/4/05 +0000, you wrote:
>***** sangat menyejukkan, mendengar gaung kalimat ini:
>
>"..Idul Fitri, hari raya yang menyimbolkan kemenangan fitrah manusia,
>sebenarnya memiliki komitmen yang amat jelas tentang pentingnya
>memperjuangkan keadilan sosial.
>
>Sebab, tanpa kesetaraan umat manusia dalam memperoleh sumber-sumber
>kehidupan, apalah arti mencari kesalehan diri sendiri dengan puasa
>jika ibadah yang menyampaikan pesan moral tentang bahaya kerakusan
>ini hanya berhenti sebagai ritual rutin sambil menyisakan lestarinya
>ketimpangan harkat dan martabat umat manusia, di mana-mana...."
>
>
>
>
>Di Luar Enaknya Ketupat
>
>
>Moeslim Abdurrahman
>
>Dalam sebuah majelis Ramadhan seorang ustadz sedang asyik menerangkan
>apa saja yang membatalkan puasa. Tiba-tiba seorang hadirin mengajukan
>pertanyaan yang agak nakal.
>
>Pertanyaannya, apakah puasa seseorang menjadi batal jika di siang
>hari, waktu kerja di kantor, melakukan korupsi dengan memanipulasi
>kuitansi.
>
>Ustadz itu agak bingung menjawabnya karena pertanyaannya tidak lazim
>jika harus dikaitkan dengan soal fikihnya puasa. Namun, seorang
>ustadz biasanya tidak kehabisan jawaban. Dijawablah, soal orang
>korupsi sebenarnya dilarang agama di bulan apa pun, apalagi di bulan
>puasa yang suci.
>
>Menyadari pertanyaannya kurang pas, si penanya buru-buru memodifikasi
>dengan pertanyaan lanjutan, apakah harta hasil korupsi wajib
>dikeluarkan sedekah dan zakatnya? Pertanyaan itu bagi seorang ustadz
>lebih gampang dan jelas mencari hukum agamanya karena harta korupsi
>sama halnya dengan mencuri. Karena itu, harta haram itu tidak boleh
>dikeluarkan zakatnya.
>
>Menggugah iman
>
>Pertanyaan dan jawaban itu, bagi siapa pun yang mengikuti majelis
>pengajian, akan terperanjat mendengarnya dan bagi orang-orang
>tertentu mungkin amat menggugah imannya.
>
>Jika pertanyaan seperti itu muncul menjadi wacana sentral agama,
>misalnya boleh dipertanyakan apakah seseorang yang melakukan korupsi
>dan merugikan kepentingan rakyat banyak bisa dianggap termasuk
>berdosa besar? Dengan demikian, boleh jadi hal itu tergolong dosa
>yang bisa membatalkan keislamannya atau paling kurang segala
>ibadahnya akan ditolak Allah SWT. Dampaknya, apakah orang seperti ini
>layak berpuasa?
>
>Kita tak habis pikir, mengapa kadang kita tergoda untuk
>mempertanyakan hal-hal seperti itu sebagai keresahan moralitas.
>Padahal, jika kita mau beragama yang tenang dan tidak terlalu resah,
>soal orang berdosa seperti koruptor jangan terlalu didramatisasi dan
>dikaitkan dengan status keberagamaannya. Toh pelaku korupsiâ?"dari
>segi fikih, seperti tindak kriminal lainnya (karena bukan termasuk
>syirik, yakni dosa yang tak terampuni)â?"kalau mau gampangnya, asal
>mereka mau bertobat dan di bulan Ramadhan banyak bersedekah serta
>menebar kedermawanan dengan ikhlas sambil berpuasa yang khusyuk,
>insya Allah di hari Idul Fitri siapa tahu akan termasuk golongan
>orang yang secara spiritual bagai lahir kembali, sama layaknya anak
>baru lahir, bersih dan suci karena ampunan-Nya.
>
>Agama, apabila harus direnungkan, sebenarnya tidak cukup hanya
>menjalankan ritual. Agama lebih dari itu, sebagai penghayatan rohani,
>bagaimanapun amat dibutuhkan interpretasi, perspektif, dan kesadaran
>yang dinamis. Sebab, seperti puasa, orang bisa menjalankan ibadah
>dengan khusyuk sambil berharap mendapat pahala dan ampunan-Nya meski
>tanpa harus memetik perspektif kesadaran yang bersifat emansipatoris.
>
>Dari mana semangat emansipasi semacam itu bisa muncul dalam ibadah
>puasa, meski mereka yang melaksanakannya dengan perjuangan spiritual
>yang gigih berhasil menahan lapar dan dahaga di siang hari, toh
>kebanyakan teks makna puasa yang disampaikan para dai dan ustadz
>tidak menyentuhnya ke wilayah itu.
>
>Akhirnya, semua tergantung kita. Dari sudut pandang mana kita hendak
>memberi makna ritual yang dilakukan sendiri, apakah puasa dimaksudkan
>sebagai penyucian dosa, atau sebagai mekanisme refleksif guna
>memperluas pandangan hidup, atau bisa juga bagian untuk sekadar
>memperkuat pencitraan diri dalam gaya hidup kesalehan?
>
>Sekali lagi, pada hakikatnya, jika mau jujur, pemaknaan keberagamaan
>seseorang tidak terdapat dalam teks-teks ritual. Namun, sesuatu yang
>baru muncul saat ritual itu dilaksanakan dalam pergulatan hidup
>keseharian, dalam realitas obyektif yang terus berubah. Di sanalah
>muncul berbagai pertanyaan spiritual yang menantang keberagamaan kita
>semua.
>
>Seperti soal korupsi dan meluasnya bentuk kemungkaran sosial lainnya
>(yang mungkin belum muncul saat para ulama menyusun fikih puasa),
>setiap kita melaksanakan puasa tentu telah menjumpai tantangan
>spiritualitas berbeda-beda. Dengan demikian, kesadaran moralitas yang
>diharapkan dari menjalankan ibadah puasa amat bergantung pada sejauh
>mana kita berani memperhadapkan keberagamaan yang kita hayati dengan
>tantangan kemanusiaan dan peradaban.
>
>Di zaman ekonomi negeri ini sedang tumbuh, mereka yang berduit dan
>antusias membentuk gaya hidup kesalehannya mungkin merasa
>perluâ?"misalnyaâ?"menyewa ruangan di hotel mewah sebagai tempat
>tarawih agar terasa nyaman dan bergengsi. Secara sosial, hal ini
>tidak dipandang sebagai gejala berlebihan dan mencolok.
>
>Coba bandingkan dengan keadaan sekarang. Negeri ini terus terpuruk.
>Di mana-mana orang kehilangan pekerjaan. Jumlah orang miskin
>meningkat, penderita busung lapar membengkak, dan kualitas
>kesengsaraan rakyat meningkat.
>
>Dengan demikian, apakah berpuasa tidak harus memiliki kepekaan
>terhadap mereka yang menderita?
>
>Kemiskinan
>
>Bagi orang-orang yang lapar sepanjang hari, bahkan sepanjang bulan
>dan tahun, mereka tak tahu bagaimana secara agama harus menghayati
>rasa kelaparannya. Sebab, mereka bukan lapar dalam rangka ibadah.
>Bahkan, kebanyakan di antara mereka yang menderita sosial ini tak
>tahu mengapa nasibnya menjadi kaum miskin yang lapar.
>
>Mereka juga bukan bagian dari pengikut hunger ideology, yaitu mereka
>yang takut kenyang, takut gemuk, dan takut kebanyakan kolesterol
>sehingga perlu diet ketat dan membiasakan sedikit lapar. Sudah tentu,
>keadaan mereka yang lahir miskin, hidup sengsara dan mati miskin,
>tidak lain karena faktor struktural yang tidak mungkin bisa berubah
>tanpa ada kekuatan politik yang memihak nasib mereka.
>
>Harus diakui, ibadah puasa bukan mekanisme politik untuk itu. Namun,
>jika saja syariah puasa secara moral dan spiritualitas tidak ikut
>menumbuhkan semangat pemerdekaan sosial, dari mana lagi masih muncul
>harapan perubahan saat infrastruktur sosial sekarang ini hampir
>semuanya lumpuh, termasuk negara yang gagal.
>
>Karena itu, jangan lupa saat lapar sebagai ibadah telah berakhir
>dengan suasana kegembiraan menikmati makanan enak, ingatlah bahwa
>mereka yang lapar beneran jumlahnya kian banyak dan hanya dengan
>perjuangan keadilan sosial mereka akan mempunyai peluang menjadi
>orang saleh dan manusiawi yang sama gembiranya dengan keadaan kita di
>hari Lebaran seperti ini.
>
>Idul Fitri, hari raya yang menyimbolkan kemenangan fitrah manusia,
>sebenarnya memiliki komitmen yang amat jelas tentang pentingnya
>memperjuangkan keadilan sosial. Sebab, tanpa kesetaraan umat manusia
>dalam memperoleh sumber-sumber kehidupan, apalah arti mencari
>kesalehan diri sendiri dengan puasa jika ibadah yang menyampaikan
>pesan moral tentang bahaya kerakusan ini hanya berhenti sebagai
>ritual rutin sambil menyisakan lestarinya ketimpangan harkat dan
>martabat umat manusia, di mana-mana.
>
>Selamat Lebaran, minalaidin walfaizin.
>
>Moeslim Abdurrahman Antropolog, Ketua Al Maun Institute, Jakarta
>



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts: