[nasional_list] [ppiindia] Catatan Sastra Seorang Awam:MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA [14]

  • From: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <syarikat@xxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sun, 27 Nov 2005 07:49:56 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

14.


Kembali kepada masalah cara pengungkapan sastra lisan [oral]. Kalau 
pengamatanku benar, sastra lisan, terutama puisi ,  nampak bahwa puisi lisan 
seperti "Sansana Kayau" atau mantera-mantera di daerah Sungai Katingan, 
Kalimantan Tengah, selain bercirikan : [1]. pengungkapan yang langsung dari 
lubuk hati ; [2]. langsung menjawab keperluan kehidupan, dan [3]. walau pun 
sederhana tapi mempunyai puitisitas yang tinggi. Sederhana dan taraf puitisitas 
yang tinggi!. Dengan ciri-ciri ini, bisa kupastikan sastra oral tidak tergolong 
pada puisi-puisi gelap -- yang dipandang sebagai canggih atau modern. 
Puisi-puisi yang terkadang hanya penyairnya seorang yang paham akan maksudnya. 

Dalam kesederhanaannya, puisi oral  memperlihatkan usaha menyelami hakekat, dan 
tidak berhenti pada gejala di permukaan. Sebagai contoh , barangkali hal yang 
hakiki nampak dari pantun berikut:

"ke pulau sama ke pulau
ke pulau menangguk udang
merantau sama merantau
kalau mati, mati seorang"

Juga dari baris-baris alm.Cak Durasim pemain ludruk dari Jawa Timur yang 
dibunuh oleh pendudukan militeris Jepang:

pagupun omahe doro
melu nippon tambah sengsoro

Terjemahan bebas dengan harapan dapatkan puitisitas:

[pagupun rumah merpati
ikut nippon membuat  mati]


Pada baris "kalau mati, mati seorang", aku memahaminya terdapat masalah hakiki 
yang dihadapi oleh anak manusia dalam  hidup yaitu bahwa pada galibnya manusia 
itu adalah suatu individu dan individu ini menentukan sendiri jalan nasibnya, 
pada hakekatnya seorang anak manusia dalam menelusur jalan hidupnya tetap 
seorang diri juga. Orangtua, sanak-saudara, handai taulan, istri atau kekasih, 
keadaan sejarah atau lingkungan, betapa pun besar dan berartinya peranan 
mereka, tapi pada analisa terakhir, individu itu  seorang dirilah  yang 
menentukan.  Misalnya para tapol yang disekap di penjara atau pulau pembuangan 
Orba , hakekat ini pun tercermin. Macam-macam sikap dan perangai disaksikan 
bagaimana para tapol itu menghadapi cobaan ajal di bayonet Orba. Ada yang tetap 
gagah sampai  mati, ada yang belum apa-apa sudah menyerah dan sanggup jadi 
"tukang tunjuk" atau tak obah bagaikan "jago yang keok pagi-pagi". Hal ini pun 
terbayang pada berbagai sikap para mereka yang terpental di negeri 
 orang. 

Sederhana dan kedalaman renungan agaknya tidak terpisahkan, juga tidak 
terpisahkan dari keindahan. Karena itu tidak gampang menjadi sederhana dan 
indah. Berindah-indah dengan kata-kata dan  kalimat tapi hampa isi,  kukira 
tidak bisa dimasukkan sebagai suatu kesederhanaan. Pengalaman dan kemampuan 
menyimpulkan pengalaman, kiranya, akan berperan besar untuk bisa sampai pada 
"sederhana dan indah".

Contoh lain, adalah apa yang kualami ungkapan penduduk kampung di Sungai 
Kapuas, juga sebuah sungai yang terdapat di Kalimantan Tengah. Kejadiannya 
sebagai berikut:

Setelah menyelesaikan SMA Santo Thomas di Yogyakarta, aku menggunakan waktu 
liburan untuk pulang ke Kalimantan Tengah dan sebelum sampai ke Katingan aku 
manfaatkan waktuku untuk ke Kapuas dari Barito. Tak ada satu alamat pun yang 
kupunyai di saku. Malam sudah tiba ketika aku tiba di Kuala Kapuas. Untuk 
mendapatkan tempat tidur, maka kuberanikan diri mengetok sebuah rumah yang 
lampunya masih nampak masih menyala. Ketika pintu dibuka oleh yang empunya 
rumah, kujelaskan maksudkan untuk mencari tempat menumpang tidur semalam. Juga 
kujelaskan apa-siapa diriku dan dari mana serta mengapa aku sampai ke Kuala 
Kapuas. Yang empunya rumah menyilahkan aku masuk dengan segala keramahan. 
Sebelum tidur, kami berbincang hulu-hilir dan kemudian yang empunya rumah 
menjelaskan tentang perpindahan penduduk Dayak dari satu sungai ke sungai lain 
dengan mengatakan:

"Kita ini nak, seperti burung yang terbang dari dahan ke dahan mencari buah 
manis" 

Kata-kata ini sangat sederhana tapi kurasakan memiliki tingkat puitisitas yang 
tinggi. Di dalamnya terdapat sejarah manusia Dayak dan harapan-harapan mereka 
yaitu "mencari buah-manis" sehingga harus "seperti burung yang terbang dari 
dahan ke dahan". Kecuali mengandung unsur sejarah, dari kalimat di atas pun 
kudapatkan unsur mentalitas serta psikhologi  manusia Dayak pada waktu itu.

Sedangkan puitisitas, adalah masalah teknhik pengungkapan dalam bentuk puisi. 
Pengungkapan diri yang memperhitungkan unsur-unsur sebuah puisi, terutama 
irama, persamaan bunyi, perbandingan, pilihan dan jumlah kata serta plastisitas 
ungkapan.  

Kembali mengambil contoh pantun di atas:

"ke pulau sama ke pulau
ke pulau menangguk udang
merantau sama merantau
kalau mati, mati seorang"
 
Pantun ini, kalau pengamatanku benar, sangat kaya akan persamaan bunyi atau 
persajakan, baik berupa sajak awal mau pun  tengah, apalagi sajak akhir. Dengan 
jumlah kata yang terhitung sesuai tradisi pantun, bait di atas mengungkapkan 
ide filosofis sang penyair anonimnya -- ciri lain dari puisi lisan --  secara 
singkat padat. Dengan jumlah kata dan pilihan kata demikian maka sangat penyair 
berciptakan suatu irama tersendiri bagi pantunnya. Ada pun 
perbandingan-perbandingan yang ia gunakan juga sangat akrab dengan kehidupan 
orang kampung tanahair sehingga gampang dicerna dan menyusup ke relung jiwa 
pendengar atau pembacanya.   Hal begini pun kita dapatkan pada pantun berikut:

Pulau pandan jauh di tengah
Di balik pulau si angkasa dua
Hancur badan berkalang tanah
Budi baik dikenang jua


Menggunakan potensi yang disediakan oleh tradisi pantun ini, maka Sitor 
Situmorang menulis pantun berkaitnya berikut:

Lagu Gadis Itali

Buat Silvana Maccari


Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk Napoli

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari

Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Anda abang tak kembali
Adik menunggu sampai mati

Batu tandus di kebun anggur
Pasir teduh di bawah nyiur
Abang lenyap hatiku hancur
Mengejar bayang di salju gugur


Melalui puisinya ini, aku melihat bahwa Sitor Situmorang telah memperlihatkan 
bahwa pantun sebagai genre klasik sastra Nusantara belumlah kadaluwarsa. 
Masalahnya apakah kita bisa atau tidak menggunakan potensinya untuk 
pengungkapan  kekinian.

Beberapa contoh di atas, aku sajikan untuk kemudian melihat puisi Kathirina di 
bawah ini, terutama dari segi puitisitas:



BERAPA BANYAK LAGI.
   
  Aku benci peperangan!
  Aku sudah tidak tahan melihat darah bertumpahan
  Tubuh jatuh bergelimpangan angkara peluru kejam
  Aku sudah puas melihat kemusnahan
  Aku benci kekejaman ini!
   
  Aku sudah tidak tega lagi 
 Melihat anak- anak muda keperbatasan
  Kekasih-kekasih hatiku ini
  Harus di hantar ke barisan hadapan
  Bertarung hidup bergadai nyawa
  Antara pulang sebagai pahlawan tanpa nyawa
  Atau pulang bersama duka dan penderitaan.
   
  Aku benci peperangan ini!
  Berapa banyak lagi harus terkorban
  Berapa banyak lagi airmata harus mengalir
  Berapa banyak lagi jiwa jiwa harus terus menderita
  Kosovo! Afghanistan! Iraq!
  Pasti peperangan akan terus berkembang
  Apakah demokrasi harus diperolehi dari peperangan!
   
  Aku benci peperangan!
  Aku simpati pada mereka yang mengiringi perpisahan
  Melihat kekasih hati mereka berangkat ke perbatasan
  Kekasih hati yang bersumpah untuk berbakti
  Biar berputih tulang
  Jangan pulang berputih mata
  Harus berjuang hingga ke akhir nyawa
  Demi negaranya yang dikasihi.
   
  Namun kekasih-kekasih  hati ini
  Bukan mati memperjuangkan hak negara sendiri
  Tetapi harus gugur di tanah orang
  Mempertahankan sesuatu yang tidak pasti
  Satu visi yang samar!
   
  Berapa banyak lagi yang harus gugur
  Seperti mereka- mereka ini?
  Kekasih- kekasih hati 
  Yang perlu melihat sinar mentari terus bercahaya
  Memberi keceriaan dalam bahagia mereka
  Berapa banyak yang harus pergi lagi
  Bergadai nyawa 
 Antara pulang sebagai pahlawan yang terkorban
  Atau pulang bersama duka berjuta penderitaan.
   
  Aku benci peperangan!
  Aku benci pada ketamakan kuasa!
  Aku benci pada mereka yang membuatkan kekasih- kekasih hatiku terkorban!
  Aku benci pada mereka yang membuat ibu bapa kehilangan anak
  Anak kehilangan ibu bapa!
  Isteri kehilangan suami!
  Atau mungkin suami kehilangan isteri
  Yang harus tumpas di tanahair orang!
  Aku benci pada keegoan kuasa besar!
  Yang tidak memperdulikan hak- hak kekasih- kekasih hatiku!
   
   
  Kathirina Susanna
  Kota Kinibalu, November 2005
   
Sumber: <watan_sabah@xxxxxxxxxxxxxxx>; <mata-bambu@xxxxxxxxxxxxxxx>; "kemsas" 
<kemsas@xxxxxxxxxxxxxxx>, 25 novembre 2005 .

Dibandingkan dengan contoh-contoh di atas, dilihat dari segi puitisitas dengan 
unsur-unsurnya yang kusebutkan di atas, barangkali Kathirina masih jauh 
tertinggal. Aku tidak tahu, apakah  Kathirina dalam puisi-puisinya sudah cermat 
mempertimbangkan soal-soal seperti irama, persamaan bunyi, perbandingan, 
pilihan dan jumlah kata serta plastisitas ungkapan. Barangkali memang ya. Tapi 
seberapa jauh? Seberapa sadar? Seberapa berhitung?

Membaca puisi Kathirina di atas  yang jelas nampak adalah ide perdamaian dan 
anti perang pada penyair. Hal lain yang juga menonjol adalah keberanian 
Kathirina menggunakan kata-kata baru seperti ,"visi", "demokrasi" atau 
"keegoan". Penggunaan kata-kata asing begini kupahami sebagai keberanian 
penyair untuk keluar dari patokan-patokan seperti yang yang diberikan oleh 
"licensia poetica" kepada penyair yang jika dikembangkan bisa memberikan 
peluang kepada penyair dalam turut mengembangkan bahasa. Hanya saja, berangkat 
dari ide saja, kukira tidak memadai untuk menjadikan suatu tulisan sebagai 
puisi.  Barangkali ketika menulisnya Kathirina sudah tidak bisa menahan 
emosinya lagi sehingga kebenciannya pada perang dimuntahkannya begitu saja 
tanpa tersaring dan kurang sempat mempertimbangkan unsur-unsur puitisitas yang 
kiranya ditagih oleh puisi sebagai puisi sehingga tidak jatuh ke gaya prosaik 
atau slogan. Bisa terjadi seorang penyair menulis sebuah puisi hanya empat lima 
baris, tapi
  perengungan dan pengendapannya berlangsung tahunan karena ia tidak mau 
menulis sembarang tulis ide yang mengusik benaknya. Ia biarkan ide itu menyatu 
dengan hatinya dahulu, sehingga ia sampai pada ketika tanpa duga, mampu 
menuangkannya secara spontan. Masalah puisi selain soal pikiran juga dan sangat 
memerlukan hati. Kesempatan beginilah yang kusebut sebagai proses kesempatan 
lahirnya puisi.

Barangkali puisi Taufiq Ismail di bawah ini bisa dijadikan acuan dalam menulis 
soal politik menggunakan sarana puisi, sekaligus menjelaskan lebih lanjut 
apa-bagaimana yang kumaksudkan :

Karangan Bunga 


Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu


"Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati 
Siang tadi." 

1966

Puisi ini ditulis oleh Taufiq melukiskan keadaan Indonesia pada tahun 1966, 
yang tentu saja sesuai dengan pemahaman dan tafsirannya. Ia kuangkat bukan 
untuk memperdebatkan soal isi dan tafsiran Taufiq mengenai Tragedi Nasional 
September '65 tapi dari segi cara mengangkat masalah politik dalam puisi.

Untuk mengakhiri tulisan ini, aku merasa tertarik pada pertanyaan Ena Nakiah, 
seorang pengajar di sebuah universitas Jawa Timur, yang setelah membaca serie 
tulisan ini Serie 12, mengajukan pertanyaan cerdik: 


"Saya tertarik dengan tulisan puisi untuk "pengungkapan diri" Babe Kusni. Saya 
juga mempelajari tentang pengungkapan diri dari sisi psikologis. Banyak yang 
tidak terungkapkan dalam budaya timur. Banyak tangis rakyat yang harus di 
bungkam dan dihilangkan. Hingga pengungkapan diri menjadi suatu yang mahal di 
tanah air Indonesia. Pertanyaan saya untuk Babe, Bagaimana memulai agar rakyat 
bisa mengungkapkan diri secara jelas tentang keterpurukan bangsa ini?"

Salam
Najlah

Paris, Nopember 2005
-------------------
JJ. Kusni








[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Catatan Sastra Seorang Awam:MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA [14]