** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Mawar Merah Café Bandar: XU XING PENGARANG TIONGKOK DI LUAR SIRKUIT Masih terbayang di mata kenanganku kegarangan gelora Huang He yang mengalir di Tiongkok Utara yang disenanandungkan oleh Xing Xing Hai -- komponis lulusan Paris -- dalam Kantata Sungai Kuning. Bersamaan dengan itu terbayang sama jelasnya, Yang Tse Kiang yang menyimpan misteri mengusik tanya dan sempat berkali-kali kulayari. Dua sungai raksasa ini sekarang sudah ditundukkan untuk kepentingan rakyat Tiongkok, tanda bahwa Tiongkok telah bangkit dan berdiri gagah di antara bangsa-bangsa lain di dunia bahkan merupakan satu kekuatan dunia yang tak bisa diabaikan. Shanghai sekarang bukanlah lagi Shanghai "Di bawah Lampu Neon", drama yang melukiskan keadaan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok [TPRT] ketika baru pertama kali memasuki kota ini. Perobahan Tiongkok dilukiskan oleh Dorian Malovic, wartawan Harian La Croix, Paris dengan kata-kata "Dalam metamorfosa, Tiongkok terbang melaju" [Harian La Croix, Paris, 1 Oktober 2003]. Terhadap perkembangan ini, berbagai pendapat telah dikemukakann seperti 'Tiongkok sudah menempuh jalan kapitalis', bersamaan dengan itu masih menyebutnya sebagai 'negara diktatur', 'negeri tanpa demokrasi', sementara Tiongkok sendiri mengatakan perkembangan ekonomi yang dicapainya sekarang berkat jalan 'ekonomi pasar sosialis' yang ia pilih di perjalanan pencarian, sedangkan tingkat sosialisme itu masih jauh dari periode sekarang yang disebut sebagai 'tahap pra- sosialis'. Perkembangan ini pun berdampak nyata di bidang sastra-seni, tersirat dalam pernyataan para pemimpin Partai Komunis Tiongkok [PKT] yang berkuasa bahwa di Tiongkok sekarang telah terjadi "polusi ideologi". Jalan reformasi yang diawali oleh Deng Xiao-bing begitu ia kembali memasuki ruang kekuasaan setelah tersingkir selama Revolusi Besar Kebudayaan Proletar [RBKP] yang mengejawantahkan ide lama tapi tertunda dari Mao Zedong dan Chou En-lai tentang "empat modernisasi", membawa Tiongkok ke keadaan sekarang. "Apa artinya sosialisme jika tidak bisa memperlihatkan secara nyata keunggulannya dari kapitalisme", ujar Mao. Reformasi Tiongkok yang juga berdampak dalam dunia sastra-seni, membuat kendali atas dunia ini menjadi longgar seperti kesaksian Xu Xing [50 tahun], dalam keterangannya pada Harian Katolik Paris, La Croix [1 Oktober 2003], di teras café ketika ia berkunjung ke Paris dalam rangka peluncuran buku-bukunya "Dan Itulah Saja Yang Tertinggal Untukmu" dan "Variasi Tanpa Tema" yang yang diterbitkan di ibukota Perancis ini oleh Editions de l'Olivier, Paris, 2003. Berkunjung keluar negeri atas undangan penerbit asing bagi seorang sastrawan Tiongkok, pada masa sebelum reformasi, sungguh keadaan yang tidak terbayangkan. Tapi sekarang sudah bukan lagi sesuatu yang aneh. Bahkan tahun lalu, sampai sekarang, menyaingi Jepang, wisatawan Tiongkok lah yang membanjiri Paris. Paris memberikan tempat khusus dalam hubungannya dengan Tiongkok, hingga pada 2004 dijadikan Tahun Tiongkok yang langsung dibalas oleh Tiongkok dengan mengadakan Tahun Perancis di Tiongkok pda tahun berikutnya. "Tahun-tahun terakhir ini, Tiongkok benar-benar terbuka, saya adalah produk keterbukaan ini", ujar Xu Xing. Dalam suasana "terbuka" inilah maka Xu Xing yang tinggal di pinggiran selatan kota Beijing leluasa berbicara. "Saya memang seorang penulis Tiongkok, miskin tapi bebas!" Sebagai penulis "Saya berada di luar sirkuit resmi dan saya mempraktekkan pekerjaan liberal bernama penulis" , jawabnya kepada Dorian Malovic. "Kebebasan mengungkapkan diri mengalami kemajuan dari hari ke hari di Tiongkok dan saya harapkan akan terus berkembang di jurusan demikian. Saya bisa menulis kapan saja dan tentang apa saja yang saya mau tulis tanpa kekangan apa pun, termasuk soal-soal yang disenangi oleh Barat. Tapi saya pun tidak menutup mata dan melihat kepincangan-kepincangan di negeri saya. Walau pun banyak kemajuan-kemajuan, Tiongkok tidak luput dari kekurangan. Apa yang nampaknya modern di Tiongkok, saya kira, itu tidak lebih dan terutama adalah bentuk luar belaka.Di balik yang disebut modern ini saya tidak melihat adanya perkembangan di kepala orang. Di daerah pinggiran seperti pinggiran kota, desa-desa atau provinsi-provinsi memperlihatkan kemunduran". Soal-soal inilah antara lain yang disentuh oleh Xu Xing dalam karya-karyanya sebagai "orang-orang yang tidak kita lihat dan tidak kita dengar". Ketika melihat Tiongkok tidak sedikit orang yang lupa kelompok "orang-orang yang tidak kita lihat dan tidak dengar suaranya" . Xu Xing sebagai penulis Tiongkok, produk dari gerakan reform, ingin tidak menjadi orang lupa , apalagi ia memang sadar memilih profesi sebagai penulis. "Saya memang miskin, tapi saya merasa bebas dalam melakukan profesiku", Xu Xing mengulang pernyataannya seakan mau menggarisbawahinya. Masalah kemiskinan ini ia tampilkan setelah menilai bahwa di Tiongkok sekarang "manusia ditakar dengan uang atau materi", sedangkan soal kebebasan sebagai penulis, ia tonjolkan karena ia menolak jadi penulis pesanan. "Saya memang sering diminta menulis tapi saya tidak bisa mengerjakannya. Saya tidak bisa menulis atas dasar pesanan" tandasnya. Penolakan terang-terangan begini, saya kira merupakan gejala baru dalam dunia sastra Republik Rakyat Tiongkok [RRT]. Gejala baru yang memperlihatkan bahwa gerakan reform agaknya mengembalikan sastra-seni ke tempatnya yang layak serta menciptakan syarat pengembangan sastra-seni sesuai ide lama "biar bunga mekar bersama seribu aliran bersaing suara". Ide lama yang timbul tenggelam dalam sejarah RRT sejak 1949. Xu Xing menurut Dorian Malovic, adalah seorang "penulis murni" [Lihat: La Croix, 1Oktober 2003]. Sebagai 'penulis murni' , Xu Xing menjaga kemerdekaannya sebagai penulis dan juga tidak hanyut di arus riam "uang dan materi". Ia mencoba mengamati jiwa bangsanya. Xu Xing melihat modernisasi negerinya lebih bersifat fisik tapi belum bersifat kejiwaan atau pemikiran. "Perobahan Tiongkok belum menyusup ke kepala manusianya", ujar Xu Xing. Ketika melihat Indonesia, pernyataan Xu Xing ini membuatku merenung dan bertanya: "Apa-bagaimana perkembangan di kepala manusia Indonesia sekarang?. Sejauh mana perkembangan pola pikir dan mentalitas bangsa ini, termasuk para sastrawan dan senimannya dalam menghadapi kemelut majemuk yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegeri? Benarkah isi kepala kita sudah modern dalam arti tanggap zaman dan aspiratif ? Adakah reform maju dalam artian manusiawi, memang sudah terjadi di kepala dan hati manusia Indonesia?" Saya kira, posisi sebagai "penulis murni" sebagaimana yang diambil oleh Xu Xing dan sejumlah seniman lainnya seperti yang nampak pada filem-filem RRT yang hadir dalam Festival filem internasional Cannes, sangat penting bagi RRT sendiri. Posisi 'seniman murni" yang berada "diluar sirkuit resmi", berbagai pihak bisa memungut banyak masukan dan perbandingan. Posisi ini, kiranya, memang kedudukan niscaya dari sastrawan-seniman sebagai warga republik sastra-seni yang berdaulat , seperti "kandil dalam angin" jika menggunakan istilah Elton John, bagai 'mawar merah batu cadas". Penulis atau sastrawan murni, bagi saya, tidak mempunyai pertentangan dengan komitmen atau keberpihakan manusiawi serta status sebagai warga republik sastra-seni yang berdaulat. Karena itu saya tidak heran jika Xu Xing tidak segan berterus-terang mengatakan kekurangan-kekurangan yang dia lihat di masyarakat bangsanya. Menuturkan kekurangan tidak identik dengan menjelek-jelekkan bangsa seperti yang pernah umum dituduhkan oleh orang pada pada oposan Orba dahulu. Ketika Solzenitzin menelanjangi soal "gulag" di Uni Soviet dan berakibatkan ia dihalau dari tanahair sendiri, apakah dengan menelanjangi praktek "gulag", Solzenitzin bisa dikatakan anti rakyat Russia? Apakah ketika Zola membela Dreyfus , yang membuatnya harus mengungsi ke Inggris, Emile Zola lalu bisa dikatakan sebagai anti Perancis dan rakyat Perancis ataukah justru sebaliknya? Kalau penglihatan saya benar, maka posisi 'penulis murni" seperti yang diambil oleh Xu Xing, agaknya merupakan posisi hakiki dari seorang sastrawan. Dengan posisi yang serupa maka Ronggowarsito, sastrawan keraton Solo sanggup menulis tentang 'zaman edan'. Jika penglihatan saya benar, selayaknyalah, penguasa yang sehat, akan menghargai para sastrawan-senimannya yang tidak enggan menentang arus. Meneruskan tradisi sastrawan murni begini, Xu Xing pun tidak segan-segan mengetengahkan kekurangan yang terdapat di negerinya yang terdapat di balik kemilau 'modernisasi' fisik, tapi belum terjadi "modernisasi kepala dan hati". "Di Tiongkok memang ada penindasan intern yang nyata dan keras, terutama terhadap buruh, petani, anak-anak yang menyertai perobahan sekarang". Sebagai contoh, Xu Xing mengambil apa yang telah terjadi disebuah desa provinsi Henan di mana penduduk terpaksa menjual darah mereka demi bisa hidup [survive], kemudian melalui darah yang dijual itu berjangkitlah virus HIV [sida, dalam bahasa Perancis]. Reformasi juga dibuntuti oleh kesenjangan sosial, pelacuran di mana-mana. "Ini pun adalah kenyataan RRT yang di reform" tutur Xu Xing yang kemudian mempertanyakan: Apakah orientasi reform ini sudah tepat? Apalagi ia melihat dengan jelas bahwa di RRT sekarang bahwa "mereka yang tidak mempunyai syarat untuk melakukan sesuatu guna membela diri akan berada dalam posisi kian tertindas". Xu Xing mendapatkan senjata berlawan dengan pena serta kebebasannya sebagai penulis. Dalam percakapannya dengan Harian La Croix, Paris, Xu Xing juga memperingatkan pihak Barat agar tidak terperosok ke dalam jebakan cendekiawan-cendekiawan Tiongkok di pengasingan yang mengutuk RRT kekurangan demokrasi, HAM karena tudingan-tudingan demikian menurut Xu Xing "hanyalah diskursus konsepsional tidak jujur yang tidak melihat perkembangan Tiongkok sesungguhnya" [Ibid]. "Benar bahwa Tiongkok pun melakukan propaganda" sebagaimana juga Barat dan siapa pun melakukan propaganda. "Hanya saja, Xu Xing menyayangkan bahwa "Barat banyak orang menjadi korban propaganda tanpa mereka sadari", korban propaganda dari berbagai penjuru, termasuk korban dari propaganda pemerintah negeri mereka sendiri, seperti yang juga dialami oleh Indonesia yang berdampak nyata sampai sekarang sehingga orang-orang tidak merdeka dan tidak mampu menjadi diri sendiri. Dengan pertanyaan-pertanyaan dan penyataan-pernyataan di atas, saya melihat bahwa Xu Xing sebagai "penulis murni" yang tidak sibuk dan asyik dengan dirinya, tapi mengkhayati dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Apa saja yang terjadi di dalam masyarakat, cepat atau lambat akan mengenai dirinya sendiri, karena itu ia sangat acuh pada situasi. Yang saya pelajari dari diri Xu Xing sebagaimana juga dari Zola, Victor Hugo, Solzenitzin, Duong Thu Huong, dan lain-lain nama sastrawan sejenis, termasuk Cak Durasim si aktor ludruk yang dibunuh fasis Jepang, adalah semangat mereka sebagai sastrawan dan seniman "murni" [pur, pure], sastrawan dan seniman dalam artian terdalam, mawar merah kehidupan, sebagaimana yang kudapatkan juga di Café Bandar dalam langlangbuanaku tak bertepi. Barangkali pada Mawar Merah beginilah harapan dan haridepan serta kemanusiaan bisa digantungkan. Barangkali. Yang pasti di Indonesia pun masih ada manusia dan "sastrawan murni" dan pemimpi yang sanggup menempuh jalan sunyi menantang laut tanya tak bertepi. Orang-orang inilah yang kunamakan Mawar Merah Kehidupan, Marah Merah Bukit Padas. Sastrawan negeriku, bisakah kau menjadi Mawar Merah Bukit Padas?! Atau siapakah kau gerangan sebenarnya?!*** Paris, Februari 2006. ----------------------------- JJ. Kusni [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **