[nasional_list] [ppiindia] mawar merah café bandar: xu xing, pengarang tiongkok di luar sirkuit resmi

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 22 Feb 2006 17:03:47 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Mawar Merah Café Bandar:


XU XING  
PENGARANG TIONGKOK DI LUAR SIRKUIT 


Masih terbayang di mata kenanganku kegarangan gelora Huang He yang mengalir di 
Tiongkok Utara yang disenanandungkan oleh Xing Xing Hai -- komponis lulusan 
Paris -- dalam Kantata Sungai Kuning.  Bersamaan dengan itu terbayang sama 
jelasnya, Yang Tse Kiang yang menyimpan misteri mengusik tanya dan sempat 
berkali-kali kulayari.  

Dua sungai raksasa ini sekarang sudah ditundukkan untuk kepentingan rakyat 
Tiongkok, tanda bahwa Tiongkok telah bangkit dan berdiri gagah di antara 
bangsa-bangsa lain di dunia bahkan merupakan satu kekuatan dunia yang tak bisa 
diabaikan. Shanghai sekarang bukanlah lagi Shanghai "Di bawah Lampu Neon",  
drama yang melukiskan keadaan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok [TPRT] ketika  
baru pertama kali memasuki kota ini. Perobahan Tiongkok dilukiskan oleh Dorian 
Malovic,  wartawan Harian La Croix, Paris dengan kata-kata "Dalam metamorfosa, 
Tiongkok terbang melaju" [Harian La Croix, Paris, 1 Oktober 2003].

Terhadap perkembangan ini, berbagai  pendapat telah dikemukakann seperti 
'Tiongkok sudah menempuh jalan kapitalis', bersamaan dengan itu masih 
menyebutnya sebagai 'negara diktatur', 'negeri tanpa demokrasi',  sementara 
Tiongkok sendiri mengatakan perkembangan ekonomi yang dicapainya sekarang 
berkat  jalan 'ekonomi pasar sosialis' yang ia pilih di perjalanan pencarian, 
sedangkan tingkat sosialisme itu masih jauh dari periode sekarang yang disebut 
sebagai 'tahap pra- sosialis'.   Perkembangan ini pun berdampak nyata di bidang 
sastra-seni,  tersirat dalam pernyataan para pemimpin Partai Komunis Tiongkok 
[PKT] yang berkuasa bahwa di Tiongkok sekarang telah terjadi "polusi ideologi". 
Jalan reformasi yang diawali oleh Deng Xiao-bing begitu ia kembali memasuki 
ruang kekuasaan setelah tersingkir selama Revolusi Besar Kebudayaan Proletar 
[RBKP] yang mengejawantahkan  ide lama tapi tertunda dari  Mao Zedong dan Chou 
En-lai tentang "empat modernisasi", membawa Tiongkok ke keadaan sekarang. "Apa 
artinya sosialisme jika tidak bisa memperlihatkan secara nyata keunggulannya 
dari kapitalisme", ujar Mao.

Reformasi Tiongkok  yang juga berdampak dalam dunia sastra-seni,  membuat  
kendali atas dunia ini menjadi longgar seperti kesaksian Xu  Xing [50 tahun],  
dalam keterangannya pada Harian Katolik Paris, La Croix [1 Oktober  2003], di 
teras café ketika ia berkunjung ke Paris dalam rangka peluncuran buku-bukunya 
"Dan Itulah Saja Yang Tertinggal Untukmu" dan "Variasi Tanpa Tema" yang yang 
diterbitkan di ibukota Perancis ini oleh Editions de l'Olivier, Paris, 2003.  

Berkunjung keluar negeri  atas undangan penerbit asing bagi seorang sastrawan 
Tiongkok, pada masa sebelum reformasi, sungguh keadaan yang tidak terbayangkan. 
Tapi sekarang sudah bukan lagi sesuatu yang aneh. Bahkan tahun lalu, sampai 
sekarang, menyaingi  Jepang,  wisatawan Tiongkok lah yang membanjiri Paris. 
Paris memberikan tempat khusus dalam hubungannya dengan Tiongkok, hingga pada 
2004 dijadikan Tahun Tiongkok yang langsung dibalas oleh Tiongkok dengan 
mengadakan Tahun Perancis di Tiongkok pda tahun berikutnya.

"Tahun-tahun terakhir ini, Tiongkok benar-benar terbuka, saya adalah produk 
keterbukaan ini", ujar Xu Xing.  Dalam suasana "terbuka" inilah maka Xu Xing 
yang tinggal di pinggiran selatan kota Beijing leluasa berbicara. "Saya memang 
seorang penulis Tiongkok, miskin tapi bebas!" Sebagai penulis "Saya berada di 
luar sirkuit resmi dan saya mempraktekkan pekerjaan liberal bernama penulis" , 
jawabnya kepada Dorian Malovic. "Kebebasan mengungkapkan diri mengalami 
kemajuan dari hari ke hari di Tiongkok dan saya harapkan akan terus berkembang 
di jurusan demikian. Saya bisa menulis kapan saja dan tentang apa saja yang 
saya mau tulis tanpa kekangan apa pun, termasuk soal-soal yang disenangi oleh 
Barat.  Tapi saya pun tidak menutup mata dan melihat kepincangan-kepincangan di 
negeri saya. Walau pun banyak kemajuan-kemajuan, Tiongkok tidak luput dari 
kekurangan.  Apa yang nampaknya  modern di Tiongkok, saya kira, itu tidak lebih 
dan terutama adalah bentuk luar belaka.Di balik yang disebut modern  ini saya 
tidak melihat adanya perkembangan di kepala orang. Di daerah pinggiran seperti 
pinggiran kota, desa-desa atau provinsi-provinsi memperlihatkan kemunduran". 
Soal-soal inilah antara lain yang disentuh oleh Xu Xing dalam karya-karyanya 
sebagai "orang-orang yang tidak kita lihat dan tidak kita dengar".  Ketika 
melihat Tiongkok tidak sedikit orang yang lupa kelompok "orang-orang yang tidak 
kita lihat dan tidak dengar suaranya" . Xu Xing sebagai penulis Tiongkok, 
produk dari gerakan reform, ingin tidak menjadi orang lupa , apalagi ia memang 
sadar memilih profesi sebagai penulis. "Saya memang miskin, tapi saya merasa 
bebas dalam melakukan profesiku",  Xu Xing mengulang pernyataannya seakan mau 
menggarisbawahinya.  

Masalah kemiskinan ini  ia tampilkan setelah menilai bahwa di Tiongkok sekarang 
"manusia ditakar dengan uang atau materi", sedangkan soal kebebasan sebagai 
penulis, ia tonjolkan karena ia menolak jadi penulis pesanan. "Saya memang 
sering diminta menulis tapi saya tidak bisa mengerjakannya. Saya tidak bisa 
menulis atas dasar pesanan" tandasnya. Penolakan terang-terangan begini, saya 
kira merupakan gejala baru dalam dunia sastra Republik Rakyat Tiongkok [RRT]. 
Gejala baru yang memperlihatkan bahwa gerakan reform agaknya mengembalikan 
sastra-seni ke tempatnya yang layak serta menciptakan syarat pengembangan 
sastra-seni sesuai ide lama "biar bunga mekar bersama seribu aliran bersaing 
suara". Ide lama yang timbul tenggelam dalam sejarah RRT sejak 1949. Xu Xing 
menurut Dorian Malovic, adalah seorang "penulis murni" [Lihat: La Croix,  
1Oktober 2003].  Sebagai 'penulis murni' , Xu Xing menjaga kemerdekaannya 
sebagai penulis dan juga tidak hanyut di arus riam  "uang dan materi". Ia 
mencoba mengamati jiwa bangsanya.  Xu Xing melihat modernisasi negerinya lebih 
bersifat fisik tapi belum bersifat kejiwaan atau pemikiran.  "Perobahan 
Tiongkok belum menyusup ke kepala manusianya", ujar Xu Xing.  

Ketika melihat Indonesia, pernyataan Xu Xing ini membuatku merenung dan 
bertanya: "Apa-bagaimana perkembangan di kepala manusia Indonesia sekarang?. 
Sejauh mana perkembangan pola pikir dan mentalitas bangsa ini, termasuk para 
sastrawan dan senimannya  dalam menghadapi kemelut majemuk yang mengancam 
kehidupan berbangsa dan bernegeri? Benarkah isi kepala kita sudah modern dalam 
arti tanggap zaman dan aspiratif  ? Adakah reform maju dalam artian manusiawi, 
memang sudah terjadi di kepala dan hati  manusia Indonesia?"

Saya kira, posisi  sebagai "penulis murni" sebagaimana yang diambil oleh Xu 
Xing dan sejumlah seniman lainnya seperti yang nampak pada filem-filem RRT yang 
hadir dalam Festival filem internasional Cannes, sangat penting bagi RRT 
sendiri. Posisi 'seniman murni" yang berada "diluar sirkuit resmi", berbagai 
pihak bisa memungut banyak masukan dan perbandingan. Posisi ini, kiranya, 
memang kedudukan niscaya dari sastrawan-seniman sebagai warga republik 
sastra-seni yang berdaulat , seperti "kandil dalam angin" jika menggunakan 
istilah Elton John, bagai 'mawar merah  batu cadas". Penulis atau sastrawan 
murni, bagi saya, tidak mempunyai pertentangan dengan komitmen atau 
keberpihakan manusiawi serta status sebagai warga republik sastra-seni yang 
berdaulat.  Karena itu saya tidak heran jika Xu Xing tidak segan 
berterus-terang  mengatakan kekurangan-kekurangan yang dia lihat di masyarakat 
bangsanya. Menuturkan kekurangan tidak identik dengan menjelek-jelekkan bangsa 
seperti yang pernah umum dituduhkan oleh orang pada pada oposan Orba dahulu.  
Ketika Solzenitzin menelanjangi soal "gulag" di Uni Soviet dan berakibatkan ia 
dihalau dari tanahair sendiri, apakah dengan menelanjangi praktek "gulag", 
Solzenitzin bisa dikatakan anti rakyat Russia? Apakah ketika Zola membela 
Dreyfus ,  yang membuatnya harus mengungsi ke Inggris, Emile Zola lalu bisa 
dikatakan sebagai anti Perancis dan rakyat Perancis ataukah justru sebaliknya? 
Kalau penglihatan saya benar, maka posisi 'penulis murni" seperti yang diambil 
oleh Xu Xing, agaknya merupakan posisi hakiki dari seorang sastrawan. Dengan 
posisi yang serupa maka Ronggowarsito, sastrawan keraton Solo sanggup menulis 
tentang 'zaman edan'.  Jika penglihatan saya benar, selayaknyalah, penguasa 
yang sehat,  akan menghargai para sastrawan-senimannya yang tidak enggan 
menentang arus.

Meneruskan tradisi sastrawan murni begini, Xu Xing  pun tidak  segan-segan 
mengetengahkan kekurangan yang terdapat di negerinya yang terdapat di balik 
kemilau 'modernisasi' fisik, tapi belum terjadi "modernisasi kepala dan hati".

"Di Tiongkok memang ada penindasan intern yang nyata dan keras, terutama 
terhadap buruh, petani, anak-anak yang menyertai perobahan sekarang". Sebagai 
contoh, Xu Xing mengambil apa yang telah terjadi disebuah desa provinsi Henan 
di mana penduduk terpaksa menjual darah mereka demi bisa hidup [survive], 
kemudian melalui darah yang dijual itu berjangkitlah virus HIV [sida, dalam 
bahasa Perancis]. Reformasi juga dibuntuti oleh kesenjangan sosial, pelacuran 
di mana-mana. "Ini pun adalah kenyataan RRT yang di reform" tutur Xu Xing yang 
kemudian mempertanyakan: Apakah orientasi reform ini sudah tepat?  Apalagi ia  
melihat dengan jelas bahwa di RRT sekarang bahwa "mereka yang tidak mempunyai 
syarat untuk melakukan sesuatu guna membela diri  akan berada dalam posisi kian 
tertindas". Xu Xing mendapatkan senjata berlawan dengan pena serta kebebasannya 
sebagai penulis.

Dalam percakapannya dengan Harian La Croix, Paris, Xu Xing juga memperingatkan 
pihak Barat agar  tidak terperosok ke dalam jebakan cendekiawan-cendekiawan 
Tiongkok di pengasingan yang mengutuk RRT kekurangan demokrasi, HAM karena 
tudingan-tudingan demikian menurut Xu Xing "hanyalah diskursus konsepsional 
tidak jujur yang tidak melihat perkembangan Tiongkok sesungguhnya" [Ibid]. 
"Benar bahwa Tiongkok pun melakukan propaganda" sebagaimana juga Barat dan 
siapa pun melakukan propaganda.  "Hanya saja, Xu Xing menyayangkan bahwa "Barat 
banyak orang menjadi korban propaganda tanpa mereka sadari",  korban propaganda 
dari berbagai penjuru, termasuk korban dari propaganda pemerintah  negeri 
mereka sendiri, seperti  yang juga dialami oleh Indonesia yang berdampak nyata 
sampai sekarang sehingga orang-orang tidak merdeka dan tidak mampu menjadi diri 
sendiri. 

Dengan pertanyaan-pertanyaan dan penyataan-pernyataan di atas, saya melihat 
bahwa Xu Xing sebagai "penulis murni" yang tidak sibuk dan asyik dengan 
dirinya, tapi mengkhayati dirinya sebagai bagian dari masyarakat. Apa saja yang 
terjadi di dalam masyarakat, cepat atau lambat akan mengenai dirinya sendiri, 
karena itu ia sangat acuh pada situasi.  

Yang saya pelajari dari diri Xu Xing sebagaimana juga dari Zola, Victor Hugo, 
Solzenitzin, Duong Thu Huong, dan lain-lain nama sastrawan sejenis, termasuk 
Cak Durasim si aktor ludruk yang dibunuh fasis Jepang, adalah semangat mereka  
sebagai sastrawan dan seniman "murni" [pur, pure], sastrawan dan seniman dalam 
artian terdalam, mawar merah kehidupan, sebagaimana yang kudapatkan juga di 
Café Bandar dalam langlangbuanaku tak bertepi. Barangkali pada Mawar Merah 
beginilah harapan dan haridepan serta kemanusiaan bisa digantungkan. 
Barangkali. Yang pasti di Indonesia pun masih ada manusia dan "sastrawan murni" 
dan pemimpi yang sanggup menempuh jalan sunyi menantang laut tanya tak bertepi. 
Orang-orang inilah yang kunamakan Mawar Merah Kehidupan, Marah Merah Bukit 
Padas.

Sastrawan negeriku, bisakah kau menjadi Mawar Merah Bukit Padas?! Atau siapakah 
kau gerangan sebenarnya?!***


Paris,  Februari 2006.
-----------------------------
JJ. Kusni

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] mawar merah café bandar: xu xing, pengarang tiongkok di luar sirkuit resmi