[nasional_list] [ppiindia] Trend Baru Konglomerasi Kekuasaan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 13 Feb 2005 22:06:26 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

Media Indonesia

      Senin, 14 Februari 2005



      Trend Baru Konglomerasi Kekuasaan

      Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif Cetro
     
      FENOMENA perangkapan jabatan antara pejabat pemerintah dan pimpinan 
parpol sudah dirintis kembali oleh Partai Golkar yang memilih Wapres Jusuf 
Kalla sebagai Ketua Golkar. Bukan tidak mungkin bahwa 'trend' ini akan diikuti 
oleh parpol-parpol lain yang merasa bahwa cara yang paling efektif dan jitu 
untuk mendominasi kekuasaan adalah dengan merangkap jabatan di pimpinan parpol 
dan pada jabatan pemerintah atau lembaga legislatif. Fenomena ini mirip dengan 
fenomena konglomerasi yang mewarnai dunia swasta sebagai salah satu cara untuk 
memaksimalkan keuntungan dengan memusatkan kekuatan modal dan produksi.

      Sebenarnya fenomena ini menghidupkan kembali paham 'integralistik' dan 
pemusatan kekuasaan yang dianut sejak masa Demokrasi Terpimpin dan masa Orde 
Baru yang memberi peluang bagi praktik perangkapan jabatan sebagai metode untuk 
memperkukuh kekuasaan rezim. Perangkapan jabatan antara jabatan swasta, 
pemerintah, parpol sampai militer merupakan ciri yang tidak terpisahkan dari 
rezim Orde Baru. Akibatnya, sirkulasi elite menjadi stagnan, pembersihan sistem 
politik macet dan proses pembuatan kebijakan didominasi hanya oleh satu 
kelompok elite politik.

      Tidak mengherankan bahwa Golkar yang tidak berhasil mengusung calonnya ke 
kursi presiden berupaya untuk meningkatkan posisi tawarnya dengan 'cara-cara 
lama' yang biasa digunakan pada era Orde Baru. Sebaliknya Wapres Jusuf Kalla 
merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan pemerintahannya adalah 
dengan menguasai salah satu parpol besar di DPR. Kepentingan jangka pendek yang 
tertuju hanya pada pemilu 2009 ini sebenarnya membahayakan proses demokrasi 
karena mengikis suara alternatif yang dapat mengimbangi dominasi kekuasaan oleh 
salah satu kelompok. Kebijakan pemerintah cenderung menjadi sejalan dengan 
kebijakan parpol, dalam hal ini Golkar. Lebih jauh lagi praktik KKN antara 
pemerintah, parpol, dan DPR menjadi terbuka lebar karena tidak ada aturan yang 
membedakan hak dan kewajiban aktor-aktor yang merangkap jabatan di semua lini 
kekuasaan. Akibatnya, keuntungan politik maupun ekonomi di setiap posisi 
tersebut dapat didominasi hanya oleh satu kelompok elite.

      Tarik-menarik antara pemusatan kekuasaan yang menjadi ciri sistem yang 
otoriter dan desentralisasi kekuasaan yang menjadi ciri sistem yang demokratis 
sering kali mewarnai negara-negara yang masih mengalami transisi dari sistem 
otoriter ke demokrasi, seperti Indonesia. Negara-negara transisi biasanya tidak 
hanya menghadapi tantangan krisis politik, tetapi juga krisis ekonomi yang 
mengharuskan adanya pemerintahan yang kuat dan kredibel untuk dapat mengelola 
roda ekonomi menuju pemulihan. Masalahnya, krisis politik yang mewarnai periode 
transisi sering kali justru menghasilkan pemerintahan yang lemah yang tidak 
diimbangi pula dengan pranata-pranata demokrasi yang kukuh. Hal ini pulalah 
yang terus-menerus mendera Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1997 yang juga 
memicu transisi politik yang mengakhiri rezim Orde Baru pada tahun 1998.

      Pemusatan kekuasaan pada masa transisi dianggap sebagai cara efektif agar 
proses pembuatan kebijakan tidak terus menerus dibajak oleh proses politik di 
lembaga legislatif, apalagi dengan sistem multipartai. Pemerintah menjadi kukuh 
dan mudah dalam menentukan dan menerapkan arah kebijakan publik tanpa harus 
terus-menerus mengikuti kemauan berbagai kepentingan politik yang mewarnai 
proses di Parlemen. Namun, bahayanya, seperti dipaparkan di atas, pemusatan 
kekuasaan yang terlalu kukuh justru akan menyebabkan rapuhnya sistem yang hanya 
bertumpu pada satu faksi politik tanpa perimbangan dan pengawasan dari 
faksi-faksi politik yang lain. Tanpa perimbangan ini mustahil proses pembuatan 
kebijakan secara transparan dan akuntabel bisa tercapai.

      Sebaliknya, desentralisasi kekuasaan menimbulkan permasalahan sebaliknya 
bila tidak dikelola secara efektif. Setiap faksi kekuasaan akan dapat menjegal 
proses pembuatan kebijakan tanpa ada kata putus. Proses pembuatan kebijakan 
menjadi sangat lama dan pemerintah tidak dapat bersikap lugas sebagai pelaksana 
kebijakan karena harus mengikuti arah angin politik di parlemen. 
Masalah-masalah ekonomi menjadi sulit teratasi.

      ***

      Inilah dilema yang juga dihadapi oleh pemerintahan Susilo-Kalla yang 
tentunya cemas bahwa pemerintahan yang dipimpinnya tidak akan langgeng tanpa 
dukungan salah satu kekuatan politik yang dominan di DPR, yaitu Partai Golkar. 
Jalan pintas yang diambil oleh Wapres Kalla sepintas merupakan langkah logis 
dari seorang penguasa dengan pendekatan konglomerasi yang mungkin dikenalnya 
dari latar belakang swastanya. Namun, yang tak terpikirkan adalah biaya politik 
yang harus ditanggung oleh negara ini apabila Partai Golkar kembali hanya 
berfungsi sebagai mesin politik pemerintah sedangkan pemerintah tidak lebih 
dari sebuah konglomerasi kepentingan tanpa akuntabilitas. Inilah yang 
dikhawatirkan oleh Lord Acton dalam dictumnya power tends to corrupt, but 
absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung menjadi korup, tetapi 
kekuasaan yang absolut pasti korup).

      Padahal, justru dalam masa transisi ini, pranata demokrasi harus ditata 
sedemikian rupa agar kekuasaan tidak sepenuhnya dibajak oleh kepentingan faksi 
tertentu namun tanpa mengorbankan efektivitas dan efisiensi pengelolaan proses 
pembuatan kebijakan. Metode ini biasanya dikenal dengan istilah checks and 
balances (kontrol dan perimbangan). Berbagai cara dapat digagas untuk mencapai 
jalan tengah ini. Pemilihan presiden langsung sebenarnya digagas untuk memecah 
konglomerasi kekuasaan yang mempersatukan kekuatan presiden dan parlemen di 
tangan satu kelompok seperti era Orde Baru. Melalui pemilihan presiden langsung 
seharusnya posisi presiden sebagai kepala pemerintahan menjadi lebih kuat untuk 
mengimbangi kekuatan DPR dan MA. Sebaliknya DPR juga menjadi entitas yang lebih 
mandiri dari presiden, tidak semata menjadi stempel politik presiden seperti 
masa Orde Baru. Melalui mekanisme veto dan proses legislasi yang ditata rapi, 
niscaya proses kontrol dan perimbangan bisa menceg
 ah konglomerasi kekuasaan dan sekaligus membuat proses pembuatan kebijakan 
menjadi lebih efektif.

      Teladan yang dimulai oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat 
Nurwahid untuk mengundurkan diri dari posisi Presiden PKS setelah terpilih 
menjadi Ketua MPR merupakan langkah positif ke arah good governance untuk 
mencegah terjadinya konglomerasi kekuasaan. Sayangnya pemahaman mengenai peran 
partai politik dan peran anggota legislatif sebagai representasi kepentingan 
publik masih sangat langka. Partai politik dan posisi anggota legislatif masih 
sepenuhnya dilihat dari sudut pandang upaya untuk memperoleh kekuasaan, bukan 
sebagai bentuk pelayanan bagi kepentingan publik. Cara pandang yang ada 
cenderung merupakan cara pandang jangka pendek yang mendorong langkah-langkah 
jalan pintas untuk membentuk konglomerasi kekuasaan.

      Konstitusi kita tidak sepenuhnya menjamin adanya proses kontrol dan 
perimbangan yang efektif karena proses amendemen yang parsial dan tambal sulam 
sehingga menutup peluang penyusunan suatu sistem ketatanegaraan yang secara 
komprehensif dapat menjadi dasar proses bernegara yang demokratis. Proses 
kontrol dan perimbangan seharusnya sudah secara eksplisit dinyatakan di 
konstitusi, sehingga tidak perlu lagi ada interpretasi yang bertentangan dengan 
konstitusi di tingkat undang-undang ataupun di tingkat kebijakan. Bila 
konstitusi sudah dapat dijadikan dasar yang kuat bagi proses bernegara, maka 
konglomerasi kekuasaan tidak lagi diperlukan dan bahkan dapat dicegah. Ingat 
bahwa seluruh proses transisi menuju demokrasi yang dimulai sejak tahun 1998 
didasari oleh keinginan untuk menghancurkan konglomerasi kekuasaan yang ada. 
Lalu mengapa kini justru kita memulai tren baru konglomerasi kekuasaan baru 
lima tahun setelah proses transisi dimulai?
     


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Trend Baru Konglomerasi Kekuasaan