[nasional_list] Re: [ppiindia] SBY: "I don't care"

  • From: Hery Hadityo Sugiarto <HeryH@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Mon, 7 Feb 2005 11:47:06 +0700

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

terima kasih artilelnya bagus sekali,pendapat saya ..Megawati sangat popular
di era-pengangkatannya ! (bahkan sangat popular dari pada gusdur) tetapi
nggak ada hasil ! melempem dan akhirnya tumbang,masyarakat mulai pintar
memilih tokoh yang mereka pilih sebagai wakilnya ! , belajar dari pengalama
diatas, menurut saya pribadi ! tingkat popularitas tidak akan berlangsung
lama kalau tidak ada hasil, justru sebaliknya bila memberikan perkembangan
hasil yang baik,masyarakat akan menilai baik tokoh itu,saya bukan pendukung
awal SBY tetapi, salut dengan Gebrakan yang diambil meskipun tidak
signifikan. Terus berjuang SBY ...

-----Original Message-----
From: radityo djadjoeri [mailto:radityo_dj@xxxxxxxxx]
Sent: 07 Februari 2005 8:25
To: bizzcomm-milis; mediacare
Cc: mudawijaya; wolu
Subject: [ppiindia] SBY: "I don't care"



Artikel cukup menarik dari Kompas edisi pagi hari ini...
Selamat menyimak
 
 
Oleh Effendi Gazali 

SAYA terpana cukup lama menyimak ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono:
"But everybody should know this: I donaEUR(tm)t care about my popularity""
(The Jakarta Post, 4/2/2005). Ingatan saya kembali ke lima tahun lalu ketika
saya menganalisis ungkapan yang lebih kurang sama oleh presiden yang
berbeda: "Gitu Saja Kok Repot!" (Kompas, 13/3/2000). 

Tersedia paling sedikit tiga interkoneksi atau interkonteks komunikasi di
seputar pernyataan semacam itu. Pertama, SBY capek campur kesal melihat
pembahasan persepsi publik tentang popularitasnya lebih riuh-rendah
dibandingkan substansi kerja yang (menurut SBY) sudah dilakukannya.
Sayangnya, dalam hal ini logika kita jadi terbentur-bentur. Duet SBY-JK,
atau siapa pun yang memenangkan pemilu presiden langsung September lalu,
dalam konteks transisi demokrasi Indonesia adalah pemenang kontes citra atau
popularitas; belum kompetisi pemaparan program (prospective policies)
sebagaimana yang sejatinya dituntut komunikasi politik. 

Berbagai penampilan SBY melantunkan lagu Zamrud Pelangi di Matamu adalah
salah satu kenangan riil kita akan nuansa tersebut. Lalu kenapa sekarang
konsep "popularitas" jadi dicuekin? 

Bisa saja SBY mengatakan ia tak pernah janji soal 100 hari, atau lebih
spesifik tidak pernah menjanjikan kalau dalam 100 hari program
pemerintahannya dapat membereskan sebagian masalah kenegaraan. Tapi dalam
komunikasi berlaku asumsi, jika Anda (dari awal) tidak bereaksi ke arah
berlawanan saat isu semacam "gebrakan 100 hari" diudarakan dan dijadikan
wacana penting di mana-mana, maka Anda dianggap "ikut dalam irama gendang
itu", lepas dari siapa yang menabuhnya. Apalagi kini komunikasi politik
memang semakin mendapat tantangan dari pemasaran politik yang amat
menekankan kontinuitas citra dan popularitas sekalipun seseorang sudah duduk
di kursi kepresidenan, parlemen, senat, dan sebagainya. 

Sebetulnya ada cara lain menjelaskan soal 100 hari ini. SBY cukup memakai
fakta dan mengatakan: "Sebagaimana kita semua ketahui, di banyak negara,
bahkan di Amerika Serikat sekalipun, lazim sekali popularitas seorang
presiden turun pada 100 hari pertamanya. Jangan lupa, tentu kita maklum
bahwa di Indonesia tantangan kita jauh lebih berat, apalagi kita punya beban
khusus peninggalan persoalan masa sebelumnyaaEUR|(dan seterusnya)!" Tentu
pernyataan seperti ini jauh lebih cantik dan strategik daripada I
donaEUR(tm)t care. 

Interkoneksi atau interkonteks komunikasi kedua adalah SBY yang mulai tak
peduli pada pers. Ibaratnya, anjing menggonggong kafilah (tetap) berlalu!
Apalagi sekarang sering dibuat dikotomi bahwa apa yang ada di media bukanlah
suara rakyat seluruhnya, namun cuma suara sekelompok elite. Sikap ini juga
membentur-benturkan logika kita. Orang mungkin saja tidak suka pada
kenyataan bahwa bagaimanapun public sphere kita coba dorong, tetap saja
manajemen isu lebih merefleksikan persepsi sekelompok elite dalam
masyarakat. 

Di atas semua itu (yang amat hakiki), ketidaksetujuan terhadap jajak
pendapat ilmiah manapun mestilah diarahkan pada aspek metodologisnya (jika
ada masalah) atau menekankan berkali-kali cara membaca hasil jajak pendapat
itu pada konteks validitas yang bagaimana. 

Saya pribadi tidak buru-buru percaya bahwa SBY mulai mengindikasikan sikap
"pers menggonggong, pemerintah berlalu". Kontribusi persoalan ini pada
kejatuhan Gus Dur dalam waktu relatif singkat tentu merupakan pelajaran
berharga yang belum jauh dari ingatan kita. Apalagi SBY sendiri, pada
kesempatan lain menyatakan bahwa dirinya dan para menteri, gubernur, serta
pimpinan daerah perlu menyambut kritik pers dengan jiwa besar dan terbuka. 

Mengontrol lagi? 

Kalau begitu, interkoneksi atau interkonteks komunikasi ketiga yang mungkin
lebih menonjol, yakni terdapatnya lingkungan di sekitar SBY, yang sengaja
atau tidak, mendorongnya berjalan ke arah berlawanan. Salah satu yang paling
kentara adalah terbentuknya Departemen Komunikasi dan Informatika melalui
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 ditetapkan 31 Januari. Menurut hemat
saya, sangat sulit bagi siapa pun untuk membuat dalih bahwa departemen ini
tak membawa semangat Departemen Penerangan. 

Perhatikan kata-kata "telematika" dan "diseminasi informasi" sebagai kunci
yang vital. Istilah ini relatif mirip gaya Orde Baru melalui apa yang
disebut Dedy N Hidayat (dalam International Journal for Communication
Studies, 2002) sebagai "mekanisme kontrol yang efektif dan menyeluruh";
bukankah "telematika" dimaksudkan meliputi telekomunikasi, media, dan
informatika? Pendek kata, alatnya dikuasai, medianya di sana-sini diatur
pemerintah (lihat kontroversi antara kewenangan independent regulatory body
seperti Komisi Penyiaran Indonesia dan kewenangan pemerintah yang masih
berlanjut) serta ada pula didesiminasi content oleh pemerintah. Jadi dengan
begini, akan mudah didengung-dengungkan bahwa rakyat puas terhadap
pemerintah seperti dahulu. 

Konsep "telematika" semacam itu terkesan memanipulasi istilah telematics
yang kalaupun memberikan peran pada pemerintah lebih pada membuat pasar
advanced telematics equipment and services menjadi tidak monopolistik,
transparan, dan memberi pelayanan tersebar luas serta termurah pada rakyat
(lihat antara lain bahasan Schiller sejak 1982). Bahwa lahan itu akan tumbuh
subur dengan persaingan ketat antar-investor sudah hal lumrah dan tak perlu
dibesar-besarkan. 

Di lain pihak, bagi ilmuwan dan praktisi komunikasi, strategi serta isi
pesan jauh lebih penting, sedangkan alat dan teknologi cuma membantu
mewujudkannya. Karena itu kita perlu khawatir bahwa kegetolan dan aspek
bisnis teknologi komunikasi bisa membuat strategi komunikasi publik jadi
terbengkalai. Selain pernyataan I donaEUR(tm)t care SBY tadi, keberangkatan
tim Indonesia berunding dengan wakil-wakil Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
umumnya bukan lagi pemegang paspor Indonesia, di luar negeri, dengan hasil
pahit pula, adalah cerminan kedodoran tersebut. Padahal inilah saat yang
paling tepat untuk menjawab aksi diplomasi GAM dengan gaya komunikasi no
need to communicate with! 

Untunglah, kabarnya SBY sedang menggagas sebuah institusi bernama Badan
Informasi Publik. Nama ini lumayan benar paradigmanya karena ialah yang
paling pas mencerminkan konsep "komunikasi publik" atau fungsi pemerintah
sebagai fasilitator dalam masyarakat sipil. Mestinya badan ini nanti tidak
berada di bawah kementerian manapun. Ia harus menjadi "ruang publik" di mana
masyarakat melalui aneka kelompok arisan, wadah komunikasi tradisional,
radio komunitas, dan lain-lain terlayani untuk menjadi senceiver (sender
sekaligus receiver, atau pengelola informasinya sendiri); kira-kira seperti
fasilitasi United States Information Services (USIS). Rekam jejak
Kementerian Negara Kominfo yang dinilai tidak memihak lembaga penyiaran
komunitas semakin membuat Badan Informasi Publik perlu bebas dari paradigma
lama, "bekerja untuk masyarakat". 

Ke depan, sebagai gantinya, SBY amat perlu memerhatikan konsep "bekerja
dengan masyarakat". Artinya, sambil ia tetap bekerja keras, publik pun perlu
diyakinkan agar memiliki persepsi bahwa SBY memang telah bekerja untuk
hal-hal yang dirasakan berpihak pada publik serta sejalan dengan ekspektasi
publik. Hanya strategi ini yang pas untuk mengubah luapan rasa kesal I
donaEUR(tm)t care menjadi pesan peyakinan yang cantik: I do care. 

Effendi Gazali Staf Pengajar Pascasarjana Komunikasi UI, Research Associate
di Radboud, Nijmegen University 



http://kompas.com/kompas-cetak/0502/07/opini/1543545.htm 

Kompas - Senin, 07 Februari 2005 


Posted by radityo to mediacare at 2/7/2005 08:16:30 AM 


Ungkapkan opini Anda di: http://mediacare.blogspot.com
                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term'

[Non-text portions of this message have been removed]




***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links



 




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts: