Kalau pasangannya: SBY-Boediono Mega-Prabowo JK-Win Kelihatannya yang menang masih SBY-Boediono karena Mega dan JK sbg Capres adalah "stok lama". Kalau dibalik Prabowo jadi Capres dan Mega jadi Cawapres kelihatannya SBY-Boediono masih menang karena popularitas SBY masih sangat besar. Tapi kalau dirubah, Prabowo-Iwan Fals atau Prabowo-Deddy Mizwar bisa jadi pasangan ini menang karena popularitasnya terangkat oleh popularitas Iwan Fals. Cuma kalau dgn artis, darimana Prabowo dapat suara parpol yang 20%? Artis jadi Cawapres menggelikan? Di AS, aktor kelas 2 Ronald Reagan saja bisa terpilih jadi presiden AS 2x sementara Arnold Schwarzenegger jadi gubernur California. Di Indonesia, Dede Yusuf sebagai Cawagub berhasil mengangkat pasangannya yang tidak ngetop sebagai gubernur Jabar sementara Rano Karno berhasil mengangkat pasangannya sebagai Bupati Tangerang. Helmi Yahya juga mungkin bisa mengangkat pasangannya Syahrial Oesman sebagai Gubernur Sumsel jika Syahrial Oesman tidak terkena gosip foto di tempat judi Genting Highland. Dari sisi ekonomi saya lihat: SBY-Boediono: Neoliberal. Boediono dikenal sebagai orang pasar. Paling2 cuma main2 bunga SBI...:) Prabowo: Ekonomi Kerakyatan, namun Megawati bersama Laksamana Soekardi dulu sangat Neoliberalis terbukti dengan harga minyak mengikuti pasar dan privatisasi besar2an. JK: Bersama SBY sebetulnya neoliberalis. Tapi di satu media massa JK menyerukan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dgn produk Indonesia. Apa mungkin kalah pengaruh dgn SBY. Wiranto? Belum jelas Menurut saya, Capres Indonesia harus: 1. Membentuk BUMN2 untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak dan membuka lapangan kerja 2. Memberi modal usaha bagi rakyatnya seperti transmigrasi yang memmberi modal tanah bagi petani, teknologi kapal nelayan yang lebih efisien bagi nelayan, dsb. 3. Menggunakan credit money seperti US$ sebelum tahun 1971 sehingga rupiah lebih stabil. Zaman SBY rupiah anjlok dari RP 8000/1 US$ jadi Rp 11.000. Wassalam === Ayo Belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits http://media-islam.or.id --- Pada Kam, 14/5/09, sapto waluyo <swaluyo02@xxxxxxxxx> menulis: Dari: sapto waluyo <swaluyo02@xxxxxxxxx> Topik: [JMP] Rilis Pers segera- Popularitas SBY-Boediono diragukan Kepada: pks-depok@xxxxxxxxxxxxxxx Cc: "milis profetik" <profetik@xxxxxxxxxxxxxxx> Tanggal: Kamis, 14 Mei, 2009, 9:27 AM Center for Indonesian Reform (CIR) Rilis Pers Segera “Survei LSI tentang Popularitas SBY-Boediono Sangat Menyesatkan” [Jakarta, 14 Mei 2009] – Suasana politik nasional semakin memanas setelah calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Boediono sebagai calon wakil presidennya. Berbagai kelompok masyarakat, yang mendukung atau menolak pasangan SBY-Boediono, telah menyatakan aspirasinya lewat pernyataan atau aksi politik. Tak terkecuali, partai-partai pendukung koalisi bersama Partai Demokrat telah mengungkapkan sikap pro atau kontra. Tiba-tiba di tengah dinamika politik itu terbetik kabar Lembaga Survei Indonesia (LSI) menggelar survei pada 27 April hingga 3 Mei 2009. Hasilnya, sangat mengejutkan, tatkala dipresentasikan dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (14/5). LSI mengatakan jumlah sampel yang diambil secara nasional sebanyak 2.014 orang dengan raihan SBY-Boediono sebesar 72,5 persen dan Megawati-Prabowo mencapai 21,5 persen.. Apabila diambil tiga pasangan, antara lain SBY-Boediono, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Endriartono Sutarto berurutan meraih suara sebanyak 70%, 21%, dan 3%, sedangkan pemilih yang belum tahu sebesar 6%. Sedangkan untuk survei dengan responden kelas menengah sebanyak 400 pemilih di 33 ibukota provinsi dengan teknik wawancara melalui telepon secara acak (random), maka pasangan SBY-Boediono meraih 79% dan Megawati-Prabowo (10%), serta belum tahu 11%. Wartawan bertanya, mengapa JK dipasangkan dengan Endriartono? LSI menjelaskan, saat survei dilakukan, LSI belum menerima informasi JK akan menggandeng Wiranto sehingga Ketua Umum Golkar tersebut dipasangkan dengan Endiartono. Sebuah jawaban apologis, karena pasangan JK-Wiranto telah dideklarasikan tanggal 1 Mei 2009 yang masih termasuk rentang waktu pelaksanaan survei. Seharusnya metodologi survei segera diperbaiki, karena terjadi perubahan fakta signifikan, agar relevan dengan pengetahuan umum responden. Sehingga hasilnya lebih mendekati kenyataan. Lebih parah lagi, publik menyaksikan bahwa pasangan SBY-Boediono baru definitif pada Senin (11/5), jauh setelah survei dilaksanakan. Jika ingin fair, pada periode 27 April-3 Mei, pasangan SBY yang paling kuat adalah: Hidayat Nur Wahid (HNW), Hatta Rajasa, dan Akbar Tanjung. Setelah itu, baru muncul figur Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono. Hal itu dibuktikan temuan penyelenggara survey berbeda. LP3ES, misalnya, menyelenggarakan survei melalui wawancara telepon (telepoling) tanggal 28–29 April 2009. Respondennya dipilih secara acak sistematis berdasarkan buku telepon residensial. Jumlah sampelnya 1.118 responden, mewakili masyarakat pengguna telpon rumah tangga di lima kota besar: Jakarta (Jadetabek), Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan. Margin of error 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%. Hasilnya, pasangan paling popular untuk SBY adalah: HNW (37,9%), Akbar Tanjung (13,2), Sri Mulyani (12,5), dan Hatta Rajasa (7,7). Nama Boediono sama sekali tak muncul, malah ada tokoh lain semisal Soetrisno Bachir (3,6), Muhaimin Iskandar (1,5), dan Fadel Muhammad (1,5). Responden yang menyatakan tidak tahu akan memilih pasangan mana cukup besar (16,3%). Ada lagi survei berikutnya yang dilakukan Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik (PKSPSP) FISIP UI dan dipublikasikan pada Kamis (7/5). Survei itu melibatkan responden lebih luas (2.000 orang) di 20 provinsi di Indonesia. Hasilnya, tak begitu berbeda dengan LP3ES, HNW menempati popularitas teratas sebagai cawapres (34 persen), jauh di atas Sri Sultan Hamengkubuwono X di urutan kedua yang dipilih 17,4 persen reponden. Nama Boediono sama sekali tak tampil dalam survei ini. FISIP UI menggunakan dua metode, yaitu metode kuantitatif dan metode kualitatif. Metode kuantitatif menyerahkan sepenuhnya pilihan responden terhadap capres atau cawapres yang akan mereka pilih. Sedangkan metode kualitatif dilakukan terhadap 100 tokoh yang dinilai mengerti perkembangan politik mutakhir. Survei terkini diselenggarakan Lembaga Riset Informasi (LRI) pada 3 -7 Mei 2009, yang melibatkan 2.066 responden di 33 provinsi di Indonesia. Hasilnya semakin menguatkan kedua survei terdahulu (LP3ES dan FISIP UI) bahwa pasangan SBY-HNW paling popular (36,2%) mengalahkan dua pasangan lainnya, JK–Wiranto (27,6%) dan Megawati–Prabowo (19,1%). Sedangkan 17 persen responden belum menentukan pilihan. Saat pasangan cawapres SBY disebut Boediono, maka LRI menemukan suara SBY turun menjadi 32,1%. Survei yang menggunakan metode random sampling ini menentukan margin of error 2,2% dan tingkat kepercayaan 95%. Perbedaan hasil survei merupakan hal lumrah, apalagi jika metodologi penarikan sampling atau format kuesionernya berbeda. Tetapi, suatu kejanggalan fatal dalam survei LSI terkini adalah penentuan pasangan SBY-Boediono yang telah dipastikan jauh sebelum pernyataan resmi. Hal itu menyebabkan perbedaan yang mencolok dari ketiga penyelenggara survei lainnya. Kredibilitas lembaga survei sekali lagi menjadi taruhan, apabila tidak menjalankan kaidah ilmiah sebagaimana mestinya, tapi hanya melayani kepentingan sponsor. Publik menyaksikan salah satu alasan SBY untuk memilih Boediono sebagai cawapresnya adalah karena ada masukan terbaru dari sebuah survei, sebagaimana diungkapkan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng. Mungkinkah yang dimaksud Andi adalah survei LSI tersebut? Jika benar, maka hasil survei yang diragukan metodologinya akan membuahkan rekomendasi yang menyesatkan. Untuk itu, Center for Indonesian Reform (CIR) menyerukan: 1. Kepada seluruh lembaga survei publik agar tetap memegang teguh standar ilmiah dan kode etik surveyor yang penuh tanggung-jawab; 2. Kepada Asosiasi Riset dan Opini Publik Indonesia agar mengawasi dengan cermat kinerja lembaga survei yang menjadi anggotanya atau bukan, dan kerap mempublikasikan hasil survei mereka untuk mempengaruhi opini publik. Jika terdapat penyimpangan, maka jangan segan-segan untuk memberikan sanksi, agar hak masyarakat untuk mendapat informasi yang benar tetap terlindungi; 3. Kepada para penentu kebijakan, termasuk para capres dan cawapres yang akan menggunakan jasa surveyor untuk menangkap aspirasi publik yang genuin, hendaklah bersikap jujur dan terbuka atas hasil survei yang dapat dipertanggung- jawabkan. Apapun hasil survei, bila dilakukan sesuai dengan kaidah ilmiah dan profesional, maka patut dipertimbangkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Demikian, seruan ini sebagai wujud keprihatinan anak bangsa akan kisruh politik yang muncul, antara lain, disebabkan publikasi hasil survei yang lemah metodologinya dan memiliki tendensi politik tersendiri. Jakarta, 14 Mei 2009 Direktur Eksekutif CIR: Sapto Waluyo Gedung PP Plaza Lantai 3, Jl. TB Simatupang No. 57, Jakarta Timur Email: sapto.waluyo@ gmail.com dan HP: 0817 960 700 ___________________________________________________________________________ Nama baru untuk Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. Cepat sebelum diambil orang lain! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/