** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** Media Indonesia Jum'at, 18 Februari 2005 OPINI Politik Revivalisme Islam Mun'im A Sirry, Mahasiswa Fulbright di University of California, Los Angeles BELAKANGAN ini kita menyaksikan suatu tendensi untuk melihat hubungan Islam dan gagasan-gagasan modern tidak dari perspektif doktrinal semata, tetapi juga empiris. Ini jelas sekali terlihat dalam beberapa survei yang dilakukan di Indonesia dan sejumlah negara di dunia muslim untuk mengukur tingkat kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Hasilnya sangat menjanjikan: dukungan publik muslim terhadap demokrasi ternyata sangat tinggi. Secara akademis, pergeseran paradigma dalam melihat hubungan Islam dan modernitas semacam ini sangat penting diapresiasi. Sebab, sebelumnya kebanyakan sarjana Barat cenderung melihat Islam secara monolitik. Islam dari zaman nabi hingga sekarang tidak berubah, dan tidak memiliki kapabilitas untuk berkembang. Corak cara pandang seperti ini masih tersisa pada sebagian sarjana Barat, seperti Bernard Lewis, Samuel Huntington, dan lain-lain. Mereka cenderung menempatkan Islam sebagai faktor pengganggu kemajuan dunia muslim. Karena itu, kita bisa memahami mengapa mereka terperangkap ke dalam penjelasan tunggal ketidakcocokan Islam dengan demokrasi. Sisi-sisi doktrinal Islam dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, dan mayoritarian. Memang agak ironis, ternyata cara pandang seperti ini juga dianut sebagian aktivis Islam yang berusaha mengunggulkan Islam dengan argumen tekstual-doktrinal yang tidak terbukti dalam alam realitas. *** Untuk menghindari oversimplifikasi, umumnya para pengamat melihat perkembangan politik muslim dalam konteks regional, bahkan negara per negara. Hal itu bisa dimengerti, karena respons politik muslim terhadap perubahan-perubahan akibat modernitas berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu masa ke masa lain. Contoh yang baik mengenai hal ini adalah kasus Ikhwan Muslimun. Di Mesir, Yordania, dan Sudan, gerakan Ikhwan Muslimun memberikan respons berbeda, dari menolak legitimasi pemerintah, terlibat secara terbatas, hingga tampil sebagai "the ruling party". Bagi mereka yang membaca sejarah Islam, keragaman politik dalam dunia muslim tidaklah mengejutkan. Sejak khilafah Umayyah hingga Abbasiyah, koherensi kekuasaan tidak pernah berlangsung lama. Di sana-sini senantiasa muncul tuntutan otonomi. Pada masa khilafah Usmaniyah, berdasarkan sistem millet-nya otonomi kultural di berbagai wilayah tampak sangat dominan. Hal ini dengan sendirinya menyebabkan Islam menjadi agama yang terdesentralisasi. Warna lokal Islam mendapat lahan subur untuk berkembang. Dalam konteks sejarah modern Timur Tengah, di mana batas-batas negara ditentukan secara arbriter oleh penguasa kolonial Eropa berdasarkan kepentingan mereka dan bukan atas kehendak warga lokal, faktor Islam atau Arab menjadi kurang signifikan. Negara-negara Timur Tengah tidak berdiri di atas garis sekte keagamaan atau etnik tertentu. Di Iran, walaupun mayoritas penduduknya Syiah, tetapi kelompok Sunni juga signifikan. Di Arab Saudi bagian timur juga terdapat penduduk Syiah. Situasi di Irak lebih runyam lagi, karena kelompok minoritas Sunni berkuasa atas mayoritas Syiah. Demikian juga problem etnik Kurdi yang melintasi perbatasan Irak, Iran, Suriah, dan Turki kerap kali menyulut konflik cukup serius. Problem warisan dari Usmaniyah dan penentuan batas negara yang arbriter merupakan faktor penting mengapa ketegangan di Timur Tengah tidak kunjung reda. Pemikir Jamaluddin Afghani (w. 1897) pernah menggagas Pan-Islamisme untuk menyatukan Islam-Arab, tetapi gagal karena realitas keragaman politik muslim telah berakar kuat dalam tradisi. Demikian juga gagasan Pan-Arabisme hanya menjadi slogan perebutan hegemoni regional. Sampai poin ini, kiranya cukup alasan untuk mengatakan dua hal. Pertama, realitas politik Islam bertolak belakang dengan pencitraan Islam yang monolitik, apalagi adanya ancaman Pan-Islam. Kendati memiliki kesamaan orientasi Islam, negara-negara muslim berseberangan satu dengan yang lain, terutama karena perbedaan kepentingan nasional dan prioritas. Bahkan, mereka tampak lebih harmonis dengan Barat ketimbang antarmereka sendiri. Kedua, agenda politik sejumlah aktivis muslim untuk 'menunggalkan' Islam bukan saja ahistoris, melainkan juga tidak realistis. Islam merupakan teks sekaligus konteks, sehingga terbuka untuk ditafsirkan berbeda sesuai perbedaan waktu dan tempat. Teks-teks keagamaan bercerita banyak tentang hal itu. Dan, fakta yang tak perlu diperdebatkan, bahwa terjadi hubungan resiprokal antara Islam dan politik lokal. Artinya, di satu sisi Islam banyak mewarnai corak pola politik, tetapi di sisi lain kekhasan politik lokal juga membentuk (shaping) bagaimana seharusnya Islam berperan dalam percaturan politik muslim. *** Apabila kita beranjak dari paradigma monolitik ke pengamatan empiris, kita akan mendapatkan harapan baru untuk optimistik mengenai prospek politik revivalisme Islam. Saya cenderung berpendapat, seperti halnya Indonesia, negara-negara di Timur Tengah tidak akan menjadi pengecualian (exceptionalism) dalam arus gelombang demokratisasi. Cepat atau lambat, kekuatan demokrasi akan berhasil menembus tembok otoritarianisme yang membelenggu kebebasan dan hak otonomi warga. Saya terkesima membaca kesaksian Dr Saad Eddin Ibrahim, pemikir dan aktivis pro-demokrasi Mesir: ''Masyarakat di mana pun menginginkan kebebasan dan demokrasi. Barangkali mereka tidak bisa mengartikulasikan harapan-harapannya secara lugas sehingga bisa terdengar di Barat, tetapi mereka ada di sana. Mereka membutuhkan kesempatan mengorganisasi diri dan melakukan hal-hal yang diperlukan. Di Mesir, kita memiliki sektor civil society selama lebih dari satu setengah abad,'' (Journal of Democracy, 14, Oktober 2003). Barangkali argumen 'eksepsionalisme' Timur Tengah dari gelombang ketiga demokratisasi (pinjam istilah Huntington) sudah saatnya ditinggalkan. Beberapa survei mengenai dukungan publik terhadap demokrasi juga menguatkan optimisme ini. Memang, pada level praktik politik negara, survei Freedom House menunjukkan negara-negara Muslim umumnya tergolong tidak demokratis (not free). Tetapi, pada level mikro (individu) ternyata dukungan terhadap demokrasi cukup tinggi. Penelitian Pippa Norris (Universitas Harvard), Ron Inglehart (Universitas Michigan), dan Pew Research Center menunjukkan, mayoritas kaum muslim lebih memilih demokrasi ketimbang bentuk pemerintahan lain. Steven Ryan Hofmann (Universitas Indiana) melakukan penelitian komparatif membandingkan antara dukungan kaum kristiani dan muslim terhadap demokrasi di sejumlah negara yang dikategorikan Freedom House sebagai partly free atau not free. Salah satu kesimpulannya empirical evidence shows that Muslims, in aggregate, provide more positive assessments of democracy than Eastern Christian Orthodox respondents.*** ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **