[nasional_list] [ppiindia] Politik Revivalisme Islam

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 19 Feb 2005 00:12:15 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

Media Indonesia
Jum'at, 18 Februari 2005

OPINI

Politik Revivalisme Islam
Mun'im A Sirry, Mahasiswa Fulbright di University of California, Los Angeles

BELAKANGAN ini kita menyaksikan suatu tendensi untuk melihat hubungan Islam 
dan gagasan-gagasan modern tidak dari perspektif doktrinal semata, tetapi 
juga empiris. Ini jelas sekali terlihat dalam beberapa survei yang dilakukan 
di Indonesia dan sejumlah negara di dunia muslim untuk mengukur tingkat 
kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Hasilnya sangat menjanjikan: dukungan 
publik muslim terhadap demokrasi ternyata sangat tinggi.
Secara akademis, pergeseran paradigma dalam melihat hubungan Islam dan 
modernitas semacam ini sangat penting diapresiasi. Sebab, sebelumnya 
kebanyakan sarjana Barat cenderung melihat Islam secara monolitik. Islam 
dari zaman nabi hingga sekarang tidak berubah, dan tidak memiliki 
kapabilitas untuk berkembang. Corak cara pandang seperti ini masih tersisa 
pada sebagian sarjana Barat, seperti Bernard Lewis, Samuel Huntington, dan 
lain-lain. Mereka cenderung menempatkan Islam sebagai faktor pengganggu 
kemajuan dunia muslim.
Karena itu, kita bisa memahami mengapa mereka terperangkap ke dalam 
penjelasan tunggal ketidakcocokan Islam dengan demokrasi. Sisi-sisi 
doktrinal Islam dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan, 
kebebasan, dan mayoritarian. Memang agak ironis, ternyata cara pandang 
seperti ini juga dianut sebagian aktivis Islam yang berusaha mengunggulkan 
Islam dengan argumen tekstual-doktrinal yang tidak terbukti dalam alam 
realitas.
***
Untuk menghindari oversimplifikasi, umumnya para pengamat melihat 
perkembangan politik muslim dalam konteks regional, bahkan negara per 
negara. Hal itu bisa dimengerti, karena respons politik muslim terhadap 
perubahan-perubahan akibat modernitas berbeda dari satu tempat ke tempat 
lain dan dari satu masa ke masa lain. Contoh yang baik mengenai hal ini 
adalah kasus Ikhwan Muslimun. Di Mesir, Yordania, dan Sudan, gerakan Ikhwan 
Muslimun memberikan respons berbeda, dari menolak legitimasi pemerintah, 
terlibat secara terbatas, hingga tampil sebagai "the ruling party".
Bagi mereka yang membaca sejarah Islam, keragaman politik dalam dunia muslim 
tidaklah mengejutkan. Sejak khilafah Umayyah hingga Abbasiyah, koherensi 
kekuasaan tidak pernah berlangsung lama. Di sana-sini senantiasa muncul 
tuntutan otonomi. Pada masa khilafah Usmaniyah, berdasarkan sistem 
millet-nya otonomi kultural di berbagai wilayah tampak sangat dominan. Hal 
ini dengan sendirinya menyebabkan Islam menjadi agama yang 
terdesentralisasi. Warna lokal Islam mendapat lahan subur untuk berkembang.
Dalam konteks sejarah modern Timur Tengah, di mana batas-batas negara 
ditentukan secara arbriter oleh penguasa kolonial Eropa berdasarkan 
kepentingan mereka dan bukan atas kehendak warga lokal, faktor Islam atau 
Arab menjadi kurang signifikan. Negara-negara Timur Tengah tidak berdiri di 
atas garis sekte keagamaan atau etnik tertentu. Di Iran, walaupun mayoritas 
penduduknya Syiah, tetapi kelompok Sunni juga signifikan. Di Arab Saudi 
bagian timur juga terdapat penduduk Syiah. Situasi di Irak lebih runyam 
lagi, karena kelompok minoritas Sunni berkuasa atas mayoritas Syiah. 
Demikian juga problem etnik Kurdi yang melintasi perbatasan Irak, Iran, 
Suriah, dan Turki kerap kali menyulut konflik cukup serius.
Problem warisan dari Usmaniyah dan penentuan batas negara yang arbriter 
merupakan faktor penting mengapa ketegangan di Timur Tengah tidak kunjung 
reda. Pemikir Jamaluddin Afghani (w. 1897) pernah menggagas Pan-Islamisme 
untuk menyatukan Islam-Arab, tetapi gagal karena realitas keragaman politik 
muslim telah berakar kuat dalam tradisi. Demikian juga gagasan Pan-Arabisme 
hanya menjadi slogan perebutan hegemoni regional.
Sampai poin ini, kiranya cukup alasan untuk mengatakan dua hal. Pertama, 
realitas politik Islam bertolak belakang dengan pencitraan Islam yang 
monolitik, apalagi adanya ancaman Pan-Islam. Kendati memiliki kesamaan 
orientasi Islam, negara-negara muslim berseberangan satu dengan yang lain, 
terutama karena perbedaan kepentingan nasional dan prioritas. Bahkan, mereka 
tampak lebih harmonis dengan Barat ketimbang antarmereka sendiri.
Kedua, agenda politik sejumlah aktivis muslim untuk 'menunggalkan' Islam 
bukan saja ahistoris, melainkan juga tidak realistis. Islam merupakan teks 
sekaligus konteks, sehingga terbuka untuk ditafsirkan berbeda sesuai 
perbedaan waktu dan tempat. Teks-teks keagamaan bercerita banyak tentang hal 
itu. Dan, fakta yang tak perlu diperdebatkan, bahwa terjadi hubungan 
resiprokal antara Islam dan politik lokal. Artinya, di satu sisi Islam 
banyak mewarnai corak pola politik, tetapi di sisi lain kekhasan politik 
lokal juga membentuk (shaping) bagaimana seharusnya Islam berperan dalam 
percaturan politik muslim.
***
Apabila kita beranjak dari paradigma monolitik ke pengamatan empiris, kita 
akan mendapatkan harapan baru untuk optimistik mengenai prospek politik 
revivalisme Islam. Saya cenderung berpendapat, seperti halnya Indonesia, 
negara-negara di Timur Tengah tidak akan menjadi pengecualian 
(exceptionalism) dalam arus gelombang demokratisasi. Cepat atau lambat, 
kekuatan demokrasi akan berhasil menembus tembok otoritarianisme yang 
membelenggu kebebasan dan hak otonomi warga.
Saya terkesima membaca kesaksian Dr Saad Eddin Ibrahim, pemikir dan aktivis 
pro-demokrasi Mesir: ''Masyarakat di mana pun menginginkan kebebasan dan 
demokrasi. Barangkali mereka tidak bisa mengartikulasikan harapan-harapannya 
secara lugas sehingga bisa terdengar di Barat, tetapi mereka ada di sana. 
Mereka membutuhkan kesempatan mengorganisasi diri dan melakukan hal-hal yang 
diperlukan. Di Mesir, kita memiliki sektor civil society selama lebih dari 
satu setengah abad,'' (Journal of Democracy, 14, Oktober 2003).
Barangkali argumen 'eksepsionalisme' Timur Tengah dari gelombang ketiga 
demokratisasi (pinjam istilah Huntington) sudah saatnya ditinggalkan. 
Beberapa survei mengenai dukungan publik terhadap demokrasi juga menguatkan 
optimisme ini. Memang, pada level praktik politik negara, survei Freedom 
House menunjukkan negara-negara Muslim umumnya tergolong tidak demokratis 
(not free). Tetapi, pada level mikro (individu) ternyata dukungan terhadap 
demokrasi cukup tinggi. Penelitian Pippa Norris (Universitas Harvard), Ron 
Inglehart (Universitas Michigan), dan Pew Research Center menunjukkan, 
mayoritas kaum muslim lebih memilih demokrasi ketimbang bentuk pemerintahan 
lain. Steven Ryan Hofmann (Universitas Indiana) melakukan penelitian 
komparatif membandingkan antara dukungan kaum kristiani dan muslim terhadap 
demokrasi di sejumlah negara yang dikategorikan Freedom House sebagai partly 
free atau not free. Salah satu kesimpulannya empirical evidence shows that 
Muslims, in aggregate, provide more positive assessments of democracy than 
Eastern Christian Orthodox respondents.*** 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Politik Revivalisme Islam