** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/16/opini/1620065.htm Rabu, 16 Maret 2005 Politik Deteritorialisasi Oleh Yasraf Amir Piliang ADA berbagai persoalan geopolitik yang dihadapi negara- bangsa ini sejak lebih dari satu dekade terakhir, yang sebenarnya telah-dan terus-mengancam kedaulatan teritorialitas negara: lalu lintas bebas para teroris, illegal logging, illegal fishing, penyelundupan pasir laut, penyelundupan barang bekas, pembuangan sampah industri, pengusiran tenaga kerja, dan terakhir ancaman pencaplokan teritorial (Ambalat) oleh Malaysia. Kondisi tidak tertanganinya berbagai masalah teritorialitas itu menunjukkan lemahnya, tidak saja strategi geopolitik, tetapi juga strategi geoekonomi dan geokultural bangsa (geocultural). Terabaikannya daerah-daerah perbatasan penting itu-yang ironisnya dianggap sebagai daerah "pinggiran", baik secara politik, ekonomi, dan kultural-merupakan ancaman serius bagi keutuhan teritorialitas negara di masa depan. Energi politik bangsa selama ini telah terkuras untuk politik teritorial lokal (local territorial politics), yaitu perebutan teritorial antara daerah-daerah (provinsi, kabupaten) sebagai ekses otonomi daerah, dengan melupakan politik teritorial regional maupun global, sehingga berbagai persoalan deteritorialisasi yang ditimbulkannya tidak mampu ditangani secara sistematis, profesional, dan konsisten. Lemahnya politik teritorial regional dan global, baik pada tingkat diplomasi, militer, ekonomi, sosial, dan kultural, telah menyebabkan berlangsungnya sebuah proses deteritorialisasi di wilayah Indonesia dalam berbagai bentuk-penyelundupan, pelintasan batas, penggeseran batas, pencaplokan, pengusiran-yang menunjukkan lemahnya kedaulatan atas teritorial (territorial sovereignity). Disebabkan aneka kelemahan strategi geopolitik itulah, berbagai manuver "politik deteritorialiasi"-yaitu strategi dan taktik pengambilalihan, perampasan, dan penguasaan teritorial oleh pihak luar secara sistematis, profesional, dan terorganisasi-tidak dapat diantisipasi oleh otoritas negara secara lebih awal, disebabkan kelemahan mendasar otoritas negara, yang mengancam keutuhan teritorialitasnya-the politics of deterritorialisation. LEPASNYA Sipadan dan Ligitan ke Malaysia-dan sikap arogansi mereka atas kedaulatan wilayah Indonesia lainnya (Ambalat)-menunjukkan lebih lihai, profesional, dan konsistennya otoritas teritorial mereka dalam melakukan "politik deteritorialisasi", sehingga dengan leluasa melakukan berbagai manuver teritorial atas wilayah Indonesia, secara diam-diam maupun terang-terangan. Gilles Deleuze & Felix Guattari, dalam On the Line (1986), menjelaskan aneka bentuk "politik deteritorialisasi": perampasan teritorial oleh pihak luar; pengaburan batas teritorial untuk suatu saat menguasainya (perubahan sepihak peta teritorial); melupakan sebuah teritorial (karena lemahnya otoritas) sehingga leluasa dikuasai pihak lain; meninggalkan teritorial sendiri dalam rangka pindah ke teritorial lain atau sebaliknya terusir dari sebuah teritorial (pengusiran massal tenaga kerja Indonesia dari Malaysia); perusakan, penyusutan, atau pengurangan teritorial (pengerukan pasir pantai). "Politik deteritorialisasi" dapat berlangsung melalui aneka strategi: kultural, ekonomi, diplomatik, dan militer, yang digunakan secara parsial maupun komprehensif, dalam rangka mengambil alih dan menguasai wilayah teritorial yang sah, untuk diklaim sebagai wilayah teritorial sendiri. Deteritorialisasi kultural (cultural deterritorialisation) adalah politik deteritorial (penguasaan, perampasan, pencaplokan teritorial) melalui aneka strategi kebudayaan, melalui penguasaan secara halus dan sistematis simbol, citra, makna, dan nilai-nilai kultural oleh kekuatan asing sehingga melunturkan kekuatan budaya sendiri. Misalnya, beberapa daerah di perbatasan Malaysia, yang disebabkan kuatnya pengaruh strategi kebudayaan Melayu, merasa lebih menjadi bagian Malaysia ketimbang Indonesia. Deteritorialisasi ekonomi (economic deterritorialisation) adalah politik deteritorial melalui strategi ekonomi, yaitu penguasaan dengan berbagai cara teritorial ekonomi sehingga mengancam keutuhan geoekonomi sebuah negara. Pengiriman pasir laut ke Singapura-secara resmi maupun liar-tidak saja telah merugikan negara secara ekonomi, tetapi telah menimbulkan deteritorialisasi berupa penyusutan wilayah pantai (abrasion). Penyelundupan kayu ke Malaysia-yang tampaknya dilindungi otoritas Malaysia-tidak saja menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi lebih parah lagi deteritorialisasi deforestasi (deforestation). Deteritorialisasi diplomatik (diplomatic deterritorialisation) adalah politik deteritorial yang memanfaatkan kelemahan otoritas diplomatik pihak lain, dengan memanipulasi fakta-fakta historis tentang teritorial, dan menyiapkan segala kekuatan legalitasnya dalam konteks hukum internasional, dalam rangka melegitimasi pemalsuan peta teritorial, dan akhirnya menguasainya. Inilah kekuatan diplomasi yang dimainkan Malaysia dengan amat lihai, termasuk secara sepihak mengubah peta negaranya, sehingga secara legal mampu menguasai di dalamnya wilayah seperti Sipadan dan Ligitan. Deteritorialisasi militer (military deterritorialisation) adalah politik deteritorial dengan menggunakan kekuatan militer, yang dengan memanfaatkan kondisi kelemahan lawan, misalnya, kelemahan akibat krisis multidimensi berkepanjangan, rangkaian bencana, pertikaian lokal yang tak kunjung usai, degradasi moral dan kultural. Inilah aneka manuver militer yang dengan amat arogan dilakukan Malaysia atas otoritas wilayah Indonesia, yang bila berlanjut ke bentuk perang terbuka (semoga tidak terjadi) akan mengubah peta teritorial. BERBAGAI problem deteritorialisasi yang dihadapi Indonesia akhir-akhir ini hendaknya menjadi pelajaran amat berharga, tentang perlunya aneka upaya yang serius, profesional, dan konsisten dalam menjaga wilayah teritorialnya, sehingga tidak mudah dipermainkan oleh politik deteritorialisasi asing. Diperlukan politik teritorial baru di masa depan, dalam rangka mempertahankan keutuhan teritorial negara-bangsa. Gilles Deleuze & Felix Guattari, dalam A Thousand Plateaus: Capitalism & Schizophrenia (1992), menjelaskan aneka bentuk politik teritorial. Di antaranya, politik segmentasi sirkuler (circular segmentation), yaitu segmentasi mengikuti model sasaran panah, atau segmentasi teritorial atas pusat, lingkar dalam (tengah), dan lingkar luar (pinggiran), di mana wilayah pusat dianggap paling penting. Politik teritorial Indonesia selama ini berorientasi ke pusat (Jakarta), yang menjadi orientasi pembangunan dan kemajuan. Akibatnya, wilayah-wilayah pinggiran (puluhan pulau) yang amat strategis dari segi geopolitik dan pertahanan negara, justru benar-benar terpinggirkan secara politik, ekonomi, sosial, dan kultural, sehingga amat rentan terhadap aneka manuver politik deteritorialisasi pihak-pihak asing yang berkepentingan. Selama ini politik teritorial telah terdistorsi politik teritorial internal yang berkembang sebagai ekses otonomi daerah, yang menyebabkan berbagai pihak larut dalam hasrat perebutan wilayah dan konflik batas-batas (border) pada tingkat daerah, yang menguras energi, perhatian, dan pemikiran sehingga melupakan komponen bangsa pada politik teritorial, regional, dan global, yang justru lebih rentan terhadap berbagai ancaman. Akibatnya, batas-batas regional dan global menjadi amat longgar (loose) dan rentan (fragile), yang di dalamnya seakan- akan tidak ada lagi otoritas yang mempunyai kekuasaan dalam melakukan pemeriksaan, pembatasan, penyensoran, dan pelarangan (antara lain disebabkan mentalitas korup aparat dan pejabatnya) sehingga memungkinkan berlangsungnya secara bebas berbagai bentuk pelintasan, penyelundupan, pelarian, penggelapan, pencurian, perampasan, pencucian (uang) di dalamnya oleh pihak-pihak asing. Di masa datang, amat mendesak dipikirkan bersama-terutama oleh pihak-pihak yang mempunyai otoritas-berbagai pengetahuan, konsep, strategi, taktik, dan politik teritorialitas yang kreatif dan efektif, yang harus dilakukan sistematis, profesional, dan konsisten. Selama ini pemecahan terhadap berbagai persoalan teritorialitas dan deteritorialitas cenderung bersifat reaktif, diskontinu (discontinuous), dan inkonsisten, yang membuat orang gemas, berang, emosi, dan berjiwa nasionalistik sesaat, untuk kemudian larut dalam sifat kelupaannya, the politics of forgetfullness. Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **