[nasional_list] [ppiindia] Kontroversi RUU TNI

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 25 Feb 2005 01:02:31 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

Refleksi: Kalau RUU TNI mempunyai konterversi dalam pandangan untuk negara 
berdemokrasi berazaskan HAM adalah hal yang bukan lagi aneh bin ajaib dan 
asing dalam memcerminkan doktrin "dwi fungsi" sebagai faktor fiktif 
stabilisator dan dinamisator  negara tetap dipertahankan.


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/opini/1190473.htm


Kamis, 05 Agustus 2004

Kontroversi RUU TNI
Oleh Rizal Sukma

SETELAH sempat "menghilang" akibat kontroversi dalam masyarakat, RUU TNI 
kembali menjadi bahan pembicaraan hangat. Kalau sebelumnya perhatian publik 
lebih terfokus pada soal "Pasal 19", kali ini kontroversi yang muncul jauh 
lebih luas. RUU TNI itu dilihat sebagai naskah yang secara keseluruhan sarat 
dengan berbagai persoalan yang dapat mengganggu jalannya demokratisasi di 
Indonesia.

Secara keseluruhan, RUU TNI itu tidak memberi road-map yang jelas bagi 
terwujudnya suatu TNI dengan peran, fungsi, dan kedudukan yang tepat dalam 
tatanan demokrasi. Bahkan, hampir semua pasal yang termuat dalam RUU TNI 
mengandung masalah dan mengundang pertanyaan.

Namun, dari sejumlah persoalan yang ada, terdapat beberapa bagian dengan 
tingkat permasalahan yang cukup serius, baik secara politik maupun 
strategis-pertahanan. Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dari dua segi 
tersebut, RUU TNI memang memerlukan kritik dan masukan dari publik demi 
kebaikan Indonesia dan TNI sendiri.

DARI segi politik, penerapan prinsip supremasi sipil dalam RUU TNI masih 
terasa kabur. Kekaburan itu, misalnya, terlihat dalam ketidaktegasan 
kedudukan TNI dalam hubungannya dengan Presiden. Pasal 4 RUU TNI menyebutkan 
bahwa "dalam penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah 
Presiden". Rumusan ini mengesankan adanya pembatasan kewenangan Presiden 
atas TNI dan seolah-olah TNI berada di bawah kendali Presiden hanya dalam 
hal "penggunaan kekuatan" (gunkuat), namun belum tentu demikian dalam hal 
"pembinaan" dan "pembangunan" kekuatan (binkuat dan bangkuat).

Kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden juga berarti jabatan tersebut masih 
merupakan jabatan setara kabinet. Artinya, TNI tetap terlibat dalam proses 
kebijakan dalam tataran politik yang seharusnya murni merupakan kewenangan 
pemerintah. Seharusnya Panglima TNI sebagai pelaksana kebijakan pemerintah 
berada di bawah Menteri Pertahanan yang menurut Pasal 16 UU No 3/2002 
tentang Pertahanan Negara berwenang untuk "menetapkan kebijakan tentang 
penyelenggaraan pertahanan negara" (Ayat 3) dan "merumuskan kebijakan umum 
penggunaan kekuatan TNI" (Ayat 5). Mekanisme bagi TNI untuk mewarnai 
kebijakan dapat dilakukan melalui kedudukan Panglima TNI sebagai anggota 
tetap Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Presiden. Melalui 
mekanisme ini, Pasal 15 Ayat (2) UU No 3/2002 menjamin keikutsertaan TNI 
untuk memberi masukan bagi Presiden dalam "menetapkan kebijakan umum 
pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara."

Pasal-pasal yang mengatur hubungan DPR dan TNI juga problematik. Pasal 14 
Ayat (2) menegaskan bahwa Presiden mengangkat dan memberhentikan Panglima 
setelah mendapat persetujuan DPR. Namun, dalam penjelasannya, kewenangan DPR 
itu dibatasi pada "alasan dan pertimbangan kuat tentang aspek moral dan 
kepribadian, dan tidak termasuk aspek-aspek kemampuan profesi." Ketentuan 
demikian jelas rancu karena keputusan DPR seharusnya juga didasarkan pada 
penilaian obyektif atas kemampuan profesi calon yang diajukan Presiden. 
Pembatasan itu juga mengesankan adanya ketidakpercayaan terhadap kemampuan 
DPR dalam menilai aspek-aspek profesionalitas militer. RUU TNI juga tidak 
mengatur hak, kewenangan, dan mekanisme oversight dari parlemen, yang 
sesungguhnya merupakan komponen penting dari prinsip supremasi sipil.

Masyarakat juga khawatir RUU TNI dapat menghidupkan kembali praktik 
dwifungsi. Pasal 45 Ayat (1) memungkinkan prajurit untuk menduduki "jabatan 
tertentu dalam struktur departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen" 
meskipun disertai dengan embel-embel "atas permintaan pimpinan departemen 
dan lembaga pemerintah nondepartemen" (Ayat 2). Dalam penjelasan memang 
disebutkan bahwa ketentuan tersebut dilaksanakan sesuai dengan peraturan 
pemerintah yang berlaku. Seharusnya ditegaskan pula departemen dan lembaga 
pemerintah non-departemen mana saja yang dapat diduduki oleh prajurit TNI.

Terakhir, TNI masih ditempatkan sebagai entitas yang memiliki privilege 
dalam hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan negara. Dalam Pasal 7 Ayat 
(2), misalnya, TNI ditempatkan sebagai "komponen utama dalam sistem 
pertahanan negara untuk menghadapi ancaman" tanpa ada kualifikasi mengenai 
sumber, bentuk, dan sifat ancaman yang akan dihadapi. Rumusan demikian 
mengabaikan peran komponen bangsa dan lembaga negara lainnya, yang oleh UUD 
1945 Pasal 30 dijamin memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam usaha 
pertahanan negara.

Lagi pula, Pasal 7 Ayat (2) UU No 3/2003 menegaskan bahwa TNI menjadi 
komponen utama sistem pertahanan negara hanya dalam menghadapi ancaman 
militer. Kemudian, Pasal 2 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa dalam mengabdi 
dan membela kepentingan negara dan bangsa, TNI melakukannya secara sukarela. 
Padahal, sebagai alat negara, tugas mengabdi dan membela kepentingan negara 
dan bangsa merupakan suatu keharusan atau kewajiban.

DALAM konteks strategis-pertahanan, kelemahan dari RUU TNI juga cukup 
menonjol. Pertama, RUU TNI tidak membuka ruang bagi kemungkinan terwujudnya 
modernisasi pertahanan, yang sejalan dengan dinamika ancaman, kemajuan 
teknologi, dan kemampuan negara. RUU TNI masih menganut doktrin perang 
rakyat (people's war), dan bukan pertahanan semesta (total defense) sebagai 
inti kekuatan pertahanan negara. Hal itu terlihat dalam Pasal 2 Ayat (1) 
mengenai kemanunggalan TNI dengan rakyat.

Rumusan ini menjadi problematik ketika Pasal 8 Ayat (2c) menyebutkan upaya 
"mewujudkan kemanunggalan TNI dengan rakyat" itu dilakukan dengan 
"melaksanakan pembinaan teritorial sesuai dengan peran dan wewenang TNI". 
Ketidakjelasan mengenai kondisi yang disebut sebagai "kemanunggalan TNI dan 
rakyat" dalam RUU TNI itu mengaburkan fungsi dan tugas yang seharusnya 
dijalankan oleh TNI.

Kedua, rumusan tugas TNI dalam Pasal 8 mengandung kerancuan dalam 
menjelaskan hubungan antartugas, yang menyebutkan TNI memiliki tiga tugas, 
yakni operasi militer untuk perang, operasi militer selain perang, dan 
pembinaan teritorial. Dari konteks doktrin pertahanan rakyat, konstruksi ini 
problematik karena pembinaan teritorial (binter) seharusnya merupakan aspek 
inheren bagi pengembangan kemampuan TNI dalam menjalankan operasi militer, 
baik untuk perang maupun selain perang, dan bukan sebagai kategori tugas 
yang terpisah dari kedua jenis operasi militer tersebut.

Ketiga, penegasan atas kemanunggalan TNI dengan rakyat dan penempatan binter 
sebagai bagian tugas tersendiri, berimplikasi bagi pembakuan atas postur 
pertahanan nasional. Postur, yang terdiri dari kekuatan (strength), 
kemampuan (capability), dan gelar (deployment) bersifat dinamis. Pembakuan 
binter sebagai tugas TNI dalam perspektif doktrin perang rakyat jelas 
mempermanenkan komando teritorial (koter) sebagai wadah dan instrumen 
pelaksana binter. Pada gilirannya, pembakuan koter akan mempersulit 
pengembangan postur pertahanan yang sesuai dengan tantangan keamanan 
nasional dan kebutuhan pertahanan. Apabila kebutuhan akan modernisasi dan 
pembangunan postur pertahanan dibatasi oleh sebuah undang-undang, maka 
kemampuan pertahanan Indonesia tidak akan pernah beranjak maju dari sistem 
pertahanan yang mengandalkan kekuatan manusia (perang rakyat).

DI samping kelemahan di atas, masih terdapat sejumlah kelemahan lainnya yang 
terlalu panjang untuk dibahas dalam tulisan ini. Misalnya, banyak rumusan 
yang tidak konsisten dengan ketentuan yang ada dalam UU No 3/2002. Hal ini 
antara lain terlihat dalam hal pemaknaan ancaman dan pembagian kewenangan 
antara presiden dan panglima. Yang juga menonjol adalah minimnya ketentuan 
mengenai hak-hak kesejahteraan prajurit. Misalnya, tidak ada ketentuan 
mengenai hak-hak pensiun, hak mendapatkan asuransi, dan tunjangan cacat.

Melihat berbagai kelemahan di atas, pemerintah sebaiknya segera menarik 
kembali RUU tersebut dari DPR. Pemerintah sekarang sebaiknya menyerahkan 
kewenangan untuk menyusun RUU TNI tersebut kepada pemerintahan baru hasil 
pemilu September 2004. Kalau pemerintah tetap bersikukuh, sebaiknya DPR 
tidak memaksakan diri untuk menyelesaikan pembahasan sebelum tanggal 30 
September 2004.

Pembahasan terhadap sebuah RUU TNI yang begitu penting maknanya bagi masa 
depan demokrasi Indonesia, dan bagi kemajuan TNI sendiri, jelas membutuhkan 
waktu yang lebih lama. Yang berkepentingan terhadap RUU TNI bukan hanya TNI 
saja, tetapi juga seluruh bangsa. Oleh karena itu, konsultasi publik dan 
partisipasi masyarakat dalam menyampaikan pandangannya perlu didorong secara 
luas, bukan disikapi dengan umpatan "geblek" seperti yang dilontarkan KASAD 
Jenderal Ryamizard Ryacudu.
Rizal Sukma Direktur Studi CSIS, Jakarta



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kontroversi RUU TNI