[nasional_list] [ppiindia] Kita Selalu Kecolongan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 19 Jul 2006 00:25:41 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Refleksi : Apakah  bencana alam  yang 
makin banyak menimpa Indonesia  karena  para penguasa negara memakai nama Allah 
untuk menipu rakyat dan oleh karena itu Allah murka? Ataukah masalahnya hanya 
proses alamiah belaka?

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/072006/19/0901.htm


Kita Selalu Kecolongan
Oleh Dr. BUDI BRAHMANTYO 


INNA lillahi wa inna ilaihi rojiun...

BELUM lekang dari persoalan pascagempa Yogyakarta, semburan lumpur panas 
Sidoarjo, banjir bandang di Sulawesi dan Kalimantan, negeri kita kembali 
dirudung bencana. Gempa 6,8 skala Richter yang berpusat 260 km selatan Bandung 
di Samudra Hindia yang kemudian diikuti gelombang tsunami yang menerpa 
pantai-pantai selatan Pulau Jawa, menambah deretan bencana alam di masa 
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sejak bencana masif tsunami Aceh-Sumatra 
Utara 26 Desember 2004.

Mungkin belum lekang juga dari ingatan pembaca harian ini bahwa untuk 
mengantisipasi bencana gempa bumi jika terjadi di Bandung, diskusi panjang 
diadakan di aula Redaksi Pikiran Rakyat pada tanggal 24 Juni 2006. Penuangan 
hasil diskusi dalam artikel di harian ini pada hari berikutnya, menggugah warga 
Bandung bahwa bencana gempa bumi sedang mengintai tetapi sulit diprediksi kapan 
dan dimana akan menerkam.

Di sinilah persoalannya. Menghadapi fenomena geologis gempa bumi kita selalu 
merasa kecolongan. Peralatan canggih alat perekam getaran gempa hingga bantuan 
teknologi satelit belum dapat memprediksi dengan tepat kapan dan di mana gempa 
bumi akan terjadi. Kita baru bisa menentukan daerah-daerah rawan bencana gempa 
bumi.

Namun demikian, pengetahuan tentang daerah-daerah yang rawan bencana gempa bumi 
adalah karya yang luar biasa. Dengan peta-peta ini, masyarakat setidaknya 
mengetahui bagaimana kerawanan terhadap bencana di daerahnya masing-masing. 
Mestinya pengetahuan tersebut ditindaklanjuti dengan suatu pola bermasyarakat 
yang hidup waspada, tetapi tenang dan aman di daerah-daerah rawan bencana.

Dibandingkan usaha-usaha prediksi dengan peralatan canggih nan mahal, justru 
perilaku tanggap masyarakat terhadap bencana itulah yang selalu harus dibina. 
Risiko dan akibat bencana alam sebenarnya merupakan perbandingan antara 
kekuatan bencana alam dengan kesiapsiagaan/ketahanan masyarakat. Ketika kita 
tidak kuasa melawan kekuatan alam, maka yang paling rasional adalah menguatkan 
kesiapsiagaan masyarakat. 

Risiko atau kerugian akan tinggi jika besaran bencana alam memang tinggi 
sekalipun masyarakat siap siaga seperti bencana gempa dan tsunami di Aceh 2004. 
Tetapi jika ketahanan masyarakat lemah, bencana kecil sekalipun bisa 
menimbulkan risiko yang besar. Salah satu cara untuk mempertinggi kesiapsiagaan 
masyarakat adalah memberi pengetahuan tanggap terhadap bencana.

Tanggap masyarakat terhadap datangnya tsunami yang terjadi di pantai selatan 
Jawa kemarin sudah baik. Di luar dari korban yang masih berjatuhan, dari 
informasi melalui media cetak dan televisi, menunjukkan bagaimana kebanyakan 
masyarakat waspada ketika sesaat setelah goncangan gempa terjadi dan air laut 
tiba-tiba surut, mereka segera mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Pelajaran 
dari bencana tsunami Aceh yang sangat berharga telah dipraktikkan, dan terbukti 
telah menyelamatkan banyak nyawa.

Tetapi hal itu masih belum cukup. Peran mitigasi yang menyangkut prediksi dan 
early warning system di dalamnya, penataan ruang, kode bangunan dan pendidikan 
bencana alam kepada masyarakat, harus terus digalakkan, jauh sebelum bencana 
datang. Banyak pejabat negara yang meremehkan hal ini. Pernah terlontar 
pernyataan dari pejabat setingkat menteri pasca tsunami Aceh yang meremehkan 
persiapan prabencana dengan alasan urusan pascabencana saja belum selesai. 
Beberapa bulan setelah pernyataannya, gempa besar meluluhlantakkan Pulau Nias. 

Dan setelah itu, berderetlah bencana saling susul-menyusul hingga bencana gempa 
Pangandaran yang mutakhir ini. Deretan bencana alam yang saling susul-menyusul 
itu seakan-akan menempatkan tahun-tahun terakhir ini sebagai tahun-tahun hidup 
dengan bencana.

Belajar dari Jepang

Kepulauan Jepang secara geologis sangat mirip dengan Kepulauan Indonesia. 
Lempeng Samudra Pasifik yang bergerak ke arah barat laut menunjam di bawah 
Lempeng Eurasia di timur, persis seperti Lempeng Samudra India-Australia juga 
menunjam di bawah Lempeng Eurasia di selatan Pulau Jawa. Aktivitas lempeng 
tektonik ini yang menyebabkan Kepulauan Jepang mempunyai sejarah panjang dalam 
bencana gempa bumi. Naskah-naskah dan lukisan-lukisan kuno Jepang menjadi bukti 
pengalaman mereka dihajar bencana gempa bumi sejak zaman-zaman awal Kekaisaran 
Jepang.

Namun demikian, kesadaran nasional dalam menghadapi bencana gempa bumi baru 
terbangun setelah Dataran Kanto di mana kota-kota besar seperti Tokyo, 
Kawasaki, atau Yokohama berada, dilanda gempa bumi besar 7.9 skala Richter pada 
tanggal 1 September 1923. Di antara puing-puing kehancuran megapolitan 
Tokyo-Yokohama dan korban tewas sebesar 142.807 jiwa yang bergeletakan, Jepang 
telah mengambil hikmah yang sangat bermanfaat bagi tanggap darurat dalam 
menghadapi bencana gempa bumi jika datang kembali.

Tanggal 1 September di hari kelabu tersebut kemudian menjadi Hari Bencana 
Nasional yang diperingati setiap tahun oleh bangsa Jepang. Pada tanggal itu, 
selain doa dipanjatkan di kuil-kuil, suatu simulasi tanggap bencana gempa bumi 
dipraktikkan di seluruh sekolah di Jepang. Ketika suara sirine meraung-raung di 
udara kota, anak-anak segera mengikuti suatu latihan tanggap yang sudah hafal 
di luar kepala. Sekalipun sambil ketawa-ketawa, mereka dengan tertib merunduk 
di bawah meja di kelas mereka. Dengan satu tiupan peluit beberapa menit 
kemudian, secara tertib mereka keluar dari kolong meja dan bergegas berlari ke 
pintu darurat lalu berkumpul di lapangan sekolah. Latihan tanggap bencana 
selesai, dan mereka kembali ke kelas untuk belajar kembali. 

Jadi begitulah mengapa Jepang bisa menekan jumlah korban bencana gempa bumi. 
Begitu sederhananya, namun perlu disosialisasikan terus-menerus dan berlatih 
secara berkala, selain penataan ruang dan kode bangunan yang ketat. Prosedur 
yang bertahap itu sudah begitu baik dikuasai mereka. Tahap pertama adalah 
tenang. Segera berlari ke dapur dan mematikan sumber api yang menyala. Jika 
goncangan semakin keras, segera berlindunglah di bawah meja. Tunggulah sampai 
goncangan benar-benar berhenti. Setelah itu barulah keluar rumah dan mengamati 
sekeliling.

Menurut pengalaman mereka, ketika goncangan semakin keras dan menghancurkan, 
tindakan lari keluar rumah justru sangat berbahaya. Timpaan benda-benda di 
sepanjang koridor rumah atau di jalanan (tiang listrik, tembok beton) lebih 
mengancam jiwa. Sekali pun di dalam rumah goncangan gempa akan 
menjungkirbalikkan lemari, melemparkan televisi, atau bahkan meruntuhkan 
dinding dan atap rumah, meja yang kuat akan menahan semua itu dan kita 
terlindung di bawahnya.

Bagi bangsa Jepang, yang penting selamat dulu dan tidak mati konyol. Perkara 
kemudian akan terjebak reruntuhan adalah menunggu nasib datangnya pertolongan. 
Untuk itulah satu prosedur lagi yang harus dilalui sebelum menyelinap di bawah 
meja, yaitu menyambar sebuah tas yang telah dipersiapkan jauh sebelumnya, 
dengan isi air dalam botol, makanan tahan lama, senter, peluit, sarung tangan, 
cutter kit, bahkan sebuah radio transistor. Sangat jelas semua barang-barang 
ini akan sangat berguna untuk bertahan hidup di bawah puing-puing sambil 
menunggu datangnya pertolongan.

Berlindung di bawah meja ketika gempa terjadi rupanya sangat efektif mengurangi 
korban jiwa. Tentu diperlukan meja yang kuat yang bisa menahan jatuhan 
benda-benda berat. Kiat terbaru dalam bertahan hidup dari gempa bumi adalah 
segera berguling dan berbaring pada furnitur yang kuat seperti sofa atau tempat 
tidur. Dengan berbaring melintang sejajar sisi benda-benda panjang itu, ketika 
terjadi runtuhan, sedikitnya akan terbentuk ruang kosong segitiga antara sisi 
sofa atau tempat tidur dan jatuhan lemari, dinding atau atap rumah.

Siapkah Indonesia?

Entah mengapa sekalipun Indonesia sama rawannya dengan Jepang terhadap ancaman 
bencana gempa bumi, tetapi seakan-akan kita tidak pernah mendapat pelajaran 
dari bencana-bencana yang telah lalu. Setahun lebih setelah gempa-tsunami Aceh 
dan Nias 2004 - 2005, kita sudah diberi pelajaran ilmu alam kembali oleh gempa 
Yogyakarta - Jateng dan Pangandaran. Sayangnya ujian ilmu alam kita tidak 
pernah lulus. Untuk itulah kita patut belajar dari negara lain yang telah 
sukses menerapkan tanggap yang tepat dalam menghadapi bencana gempa bumi. 
Jepang, Nepal atau Chile adalah beberapa negara yang berhasil mendidik 
masyarakatnya untuk awas ketika bencana gempa bumi datang melanda.

Pemerintah seyogyanya mempersiapkan segalanya dalam mengantisipasi datangnya 
bencana gempa bumi yang hingga saat ini masih sulit diramal kedatangannya itu. 
Penataan ruang dan kode bangunan wajib dilaksanakan di kota-kota yang dinilai 
rawan bencana gempa bumi. Selain itu, ketika terdapat ketelanjuran perkembangan 
kota yang tidak siap menghadapi bencana gempa bumi, maka mempersiapkan 
ketahanan masyarakat yang waspada terhadap bencana gempa bumi adalah jalan 
keluar yang bisa mengurangi dampak bencana.

Sosialisasi membuat meja yang kuat atau kiat-kiat berlindung ketika di dalam 
rumah, di luar rumah atau di tepi pantai dan di bawah tebing, harus sudah 
dirancang dalam bentuk brosur, buklet atau poster yang dibagikan terus-menerus 
setiap tahun. Pengarahan, pelatihan dan simulasi tanggap bencana harus sudah 
mulai dirancang dan dilaksanakan. Ketika pemerintah kita terbukti gelagapan 
dengan penanganan pasca-bencana yang datang susul menyusul, mengapa masyarakat 
tidak disiapkan untuk tanggap pra-bencana? ***

Penulis, berafiliasi di KK Geologi Terapan FIKTM-ITB, anggota Kelompok Riset 
Cekungan Bandung (KRCB), dan pengurus Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Yahoo! Groups gets a make over. See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/XISQkA/lOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kita Selalu Kecolongan