[nasional_list] [ppiindia] Kesesatan Tafsir Hermeneutika

  • From: A Nizami <nizaminz@xxxxxxxxx>
  • To: media dakwah <media-dakwah@xxxxxxxxxxxxxxx>, sabili <sabili@xxxxxxxxxxxxxxx>, padhang-mbulan <padhang-mbulan@xxxxxxxxxxxxxxx>, Saksi <saksi@xxxxxxxxxxxxxxxxx>, ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Tue, 21 Feb 2006 18:45:15 -0800 (PST)

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Assalamu'alaikum wr wb,
Menurut ajaran Islam yang benar, cara mentafsirkan Al
Qur'an urutannya adalah sbb:
1. Dengan memakai ayat Al Qur'an lain yang relevan
2. Dengan memakai hadits shahih yang berhubungan
3. Pendapat sahabat
4. Ijma' ulama
5. Baru ijtihad pribadi.

Nah tafsir hermeneutika yang menggunakan akal untuk
mentafsirkan Al Qur'an sebenarnya hanya meniru ummat
Kristen yang sebelumnya mentafsirkan Injil dengan cara
itu. Namun hasilnya justru bertentangan dengan makna
aslinya.

Berikut artikel tentang "pelopor" tafsir Hermeneutika
Nasr Hamid yang ternyata banyak melecehkan Islam dan
Nabi. Sayang sekali sistem tafsir sesat seperti ini
diajarkan oleh sekelompok orang ke ummat Islam.

Wassalam

Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd
oleh: MI Jambak

Oleh: Syamsuddin Arief


Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan
International Center for Islam and Pluralism (ICIP),
menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara
utama. Acara tersebut dilaporkan oleh media masa
seperti Suara Merdeka, Media Indonesia, dan lain-lain.
Mungkin banyak yang mengira gema pemikiran Abu Zayd
terbatas dilingkungan cendekiawan dan mahasiswa yang
menekuni studi Islam. Padahal, tidak sedikit kaum
terpelajar lain yang diam-diam menaruh minat dan
mengamati perkembangan kajian pemikiran Islam di tanah
air maupun di luar negeri. Misalnya Nasir (bukan nama
sebenarnya), dosen teknik mesin yang kini sedang
menyelesaikan program doktornya di RWTH Aachen, dan
Sumitro (juga nama samaran), mahasiswa pascasarjana di
universitas Dortmund, Jerman. Mereka resah, setelah
membaca artikel tentang Abu Zayd dan
pikiran-pikirannya. Mereka ingin dapat jawaban segera,
bagaimana, mengapa, apa maunya Abu Zayd dengan
gagasan-gagasannya itu. Mereka meminta saya untuk
memberikan tanggapan atas apa yang mereka baca di
media masa.

Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan
International Center for Islam and Pluralism (ICIP),
menghadirkan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai pembicara
utama. Acara tersebut dilaporkan oleh media masa
seperti Suara Merdeka, Media Indonesia, dan lain-lain.
Mungkin banyak yang mengira gema pemikiran Abu Zayd
terbatas dilingkungan cendekiawan dan mahasiswa yang
menekuni studi Islam. Padahal, tidak sedikit kaum
terpelajar lain yang diam-diam menaruh minat dan
mengamati perkembangan kajian pemikiran Islam di tanah
air maupun di luar negeri. Misalnya Nasir (bukan nama
sebenarnya), dosen teknik mesin yang kini sedang
menyelesaikan program doktornya di RWTH Aachen, dan
Sumitro (juga nama samaran), mahasiswa pascasarjana di
universitas Dortmund, Jerman. Mereka resah, setelah
membaca artikel tentang Abu Zayd dan
pikiran-pikirannya. Mereka ingin dapat jawaban segera,
bagaimana, mengapa, apa maunya Abu Zayd dengan
gagasan-gagasannya itu. Mereka meminta saya untuk
memberikan tanggapan atas apa yang mereka baca di
media masa.


Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang
?kabur? ke Belanda dan kini mengajar di universitas
Leiden itu, pertama kali saya dengar dari Profesor
Arif Nayed, seorang pakar hermeneutika yang pernah
menjadi guru besar tamu di ISTAC Malaysia, sekitar
tujuh tahun yang lalu. Perkembangan kasusnya saya
ikuti dari liputan media dan laporan jurnal. Misalnya,
lewat artikel Stefan Wild, ?Die andere Seite des
Textes: Nasr Hamid Abu Zaid und der Koran? dalam
jurnal die Welt des Islam, no.33 (1993), hlm. 256-261,
tulisan Navid Kermani, ?Die Affaere Abu Zayd: Eine
Kritik an religioesen Diskurs und ihre Folgen? dalam
jurnal Orient, no.35 (1994), hlm. 25-49, dan Charles
Hirschkind, ?Heresy or Hermeneutics: The Case of Nasr
Hamid Abu Zayd? dalam American Journal of Islamic
Social Sciences (AJISS) vol.12, no.4 (1995).

Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan
ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks,
apalagi hermeneutika. Sebabnya, saya melihat apa yang
dia lontarkan kebanyakan ?untuk tidak mengatakan
seluruhnya? adalah gagasan-gagasan ?nyleneh? yang
diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman
intelektual masyarakat Barat, yang notabene sekuler
dan suka mengolok-olok dan mengutak-atik agama
(ittakhadhuu diinahum huzuwa wa la?iba). Kita tidak
tahu pasti apa motif-motifnya dan apa tujuan Nasr
Hamid Abu Zayd sebenarnya. Itu di luar kemampuan dan
kewenangan kita; hanya Tuhan dan dia sendiri yang
tahu. Namun berdasarkan tulisan-tulisan dan
statement-nya, kita (khususnya para ulama dan kalangan
spesialis kajian Islam) berhak dan berkewajiban
memberikan penilaian (benar atau salah), menentukan
sikap (menerima atau menolak), mengambil posisi
(membela atau menghukum), dan menyatakan itu semua
secara kritis dan ilmiah, adil dan tegas. Tidak boleh
diam, masa bodoh, pura-pura tidak tahu, atau
plin-plan.

Siapa sebenarnya Nasr Hamid Abu Zayd? Ia orang Mesir
asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan
tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab,
diselesaikannya di universitas Cairo, tempatnya
mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah
tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat
memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di
Institute of Middle Eastern Studies, University of
Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai
bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga pernah
menjadi dosen tamu di universitas Osaka, Jepang. Di
sana ia mengajar bahasa Arab selama empat tahun (Maret
1985-Juli 1989). Karya tulisnya yang telah diterbitkan
antara lain: [1] ?Rasionalisme dalam Tafsir: Studi
Konsep Metafor menurut Mu?tazilah? (al-Ittijah
al-?Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz
?inda al-Mu?tazilah. Beirut 1982), [2] ?Filsafat
Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Qur?an menurut
Muhyiddin ibn ?Arabi? (Falsafat at-Ta?wil: Dirasah fi
Ta?wil al-Qur?an ?inda Muhyiddin ibn ?Arabi. Beirut,
1983), [3] ?Konsep Teks: Studi Ulumul Qur?an? (Mafhum
an-Nashsh: Dirasah fi ?Ulum al-Qur?an. Cairo, 1987),
[4] ?Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik?
(Isykaliyyat al-Qira?ah wa Aliyyat at-Ta?wil. Cairo,
1992), [5] ?Kritik Wacana Agama? (Naqd al-Khithab
ad-Diniy. 1992) dan [6] ?Imam Syafi?i dan Peletakkan
Dasar Ideologi Tengah? (al-Imam asy-Syafi?i wa Ta?sis
Aidulujiyyat al-Wasathiyyah. Cairo, 1992). Kecuali
nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan
doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu
kontroversi dan berbuntut panjang.

Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd
mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di
fakultas sastra universitas Cairo. Beserta berkas yang
diperlukan ia melampirkan semua karya tulisnya yang
sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember
1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd
tidak layak menjadi profesor, karya-karyanya dinilai
kurang bermutu bahkan menyimpang dan merusak karena
isinya melecehkan ajaran Islam, menghina Rasulullah
Saw, meremehkan al-Qur?an dan menghina para ulama
salaf. Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.

Beberapa bulan kemudian, pada hari jum?at 2 April
1993, Profesor Abdushshabur Syahin, yang juga salah
seorang anggota tim penilai, dalam khotbahnya di
Mesjid ?Amru bin ?Ash, menyatakan Abu Zayd murtad.

Pernyataan Ustadz Syahin diikuti oleh para khatib di
mesjid-mesjid pada hari jum?at berikutnya. Mesir pun
heboh. Harian al-Liwa? al-Islami dalam editorialnya 15
April 1993 mendesak pihak universitas Cairo agar Abu
Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni
para mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat
dan menyesatkan. Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara,
dipimpin oleh M. Samida Abdushshamad, memperkarakan
Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan membatalkan
tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat
banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995,
dua minggu setelah universitas Cairo mengeluarkan
surat pengangkatannya sebagai profesor, keputusan
Mahkamah al-Isti?naf Cairo menyatakan Abu Zayd telah
keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu,
perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari
istrinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang
murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd
mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama
al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta
Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh
bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka
ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian,
23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang
melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya
menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995
sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus
1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd
dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam
putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd
disimpulkan sebagai berikut:

1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara
ghaib yang disebut dalam al-Qur?an seperti ?arasy,
malaikat, syaitan, jinn, surga dan neraka adalah mitos
belaka.

2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur?an adalah
produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya
mengingkari status azali al-Qur?an sebagai Kalamullah
yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.

3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur?an adalah
teks linguistik (nashsh lughawi) [Ini sama dengan
mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam
menyampaikan wahyu dan al-Qur?an adalah karangan
beliau].

4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu
al-Qur?an (?ulum al-Qur?an), adalah ?tradisi
reaktioner? serta berpendapat dan mengatakan bahwa
Syari?ah adalah
faktor penyebab kemunduran Umat Islam.

5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada
perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang
larut dalam mitos.

6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama
Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai
agama universal bagi seluruh umat manusia.

7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur?an
yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi
mempertahankan supremasi suku Quraisy.

8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah Saw.

9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas
?teks-teks agama? [maksudnya: al-Qur?an dan Hadits].

10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk
kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk
perbudakan.

Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan
intelektual maupun aktivis HAM. Pelbagai media di
Barat kontan mengecam keputusan tersebut seraya
memihak dan membela Abu Zayd. Opini dunia digiring
supaya terkesan seolah-olah Abu Zayd telah dizalimi
dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa
kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung.

The Middle East Studies Association of North America,
misalnya, melalui Komite Kebebasan Akademisnya
melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden Mesir,
Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final,
tidak dapat diganggu-gugat dan dicabut lagi.

Menariknya, kalau di Mesir Abu Zayd dikafirkan, di
Belanda ia justru mendapat sambutan hangat dan
perlakuan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung
merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995)
sampai sekarang. Ia bahkan diberi kesempatan dan
kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law
Responsibility, Freedom of Religion and Conscience,
kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak
lama kemudian, Institute of Advanced Studies
(Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai
Bucerius/ZEIT Fellow untuk projek Hermeneutika Yahudi
dan Islam. Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8
Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt
Institute menganugrahkan ?the Freedom of Worship
Medal? kepada Abu Zayd sebagai penghargaan atas segala
yang telah ia lakukan selama ini. Lembaga Amerika ini
menyanjung Abu Zayd terutama karena pikiran-pikiranya
yang dinilai ?berani? dan ?bebas? (courageous
independence of thought) serta sikapnya yang
apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama
Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.

Sambutan dan perlakuan istimewa dari kalangan akademis
Barat kepada Abu Zayd tidak mengherankan, mengingat
pihak pemberi adalah non-Muslim yang anti Islam,
sedangkan pihak penerima adalah orang yang telah
divonis keluar dari Islam. Juga wajar kalau
pikiran-pikiran Abu Zayd ditolak oleh kaum Muslimin di
Mesir. Yang mengherankan justru ketika tokoh ini
diundang dan disambut meriah di Indonesia, negeri yang
mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan ketika
gagasan-gagasan liarnya diadopsi dan dipropagandakan
secara besar-besaran, buku-bukunya diterjemahkan,
lokakarya dan seminar digelar mengenai ide-idenya. Dan
memang dari mahasiswa sampai kalangan cendekiawan
tidak sedikit yang kagum dan gandrung pada
pemikirannya, tak terkecuali Prof. Dr. M. Amin
Abdullah. Dalam sebuah wawancara dengan JIL, Rektor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengaku cukup
tertarik dengan karya-karya Abu Zayd seperti Naqd
al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk dibahas
(diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan
Tinggi Agama Islam). Pak Amin dan cendekiawan lainnya
di tanah air nampaknya lupa atau sengaja menganggap
sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir, menganggap
keputusan tersebut berlatarbelakang politik dan
karenanya tidak valid secara akademis. Padahal,
keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan
fakta-fakta dan hasil kesimpulan penelitian tim dan
saksi ahli yang pakar di bidangnya. Jadi keputusan
tersebut sah dan mengikat (valid and binding) baik
secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari
itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah,
musyawarah dan kesepakatan para ahli (ulama) di
bidangnya, maka keputusan tersebut sesungguhnya
merupakan ijma?, bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu
diperkuat dengan pernyataan sikap alim ulama yang
tergabung dalam Jabhat Ulama al-Azhar.

Sebenarnya Abu Zayd masih punya pilihan. Pertama,
bertaubat seraya mencabut dan menarik kembali semua
pernyataannya, dan kedua, bersikeras dengan posisinya
dan mempertahankan semua pendapat dan keyakinannya
yang ?nyleneh? itu. Namun ia lebih memilih yang kedua,
meskipun dengan harga mahal: ia terpaksa melarikan
diri dan hidup dalam depresi. Dalam autobiografinya
yang baru diterbitkan, Voice of an Exile: Reflections
on Islam (Westport, Connecticut/London: Praeger,
2004), Abu Zayd ?blak-blakan? mengungkapkan
latarbelakang dan sumber inspirasinya. Berikut ini
cuplikannya.

Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika
ternyata membuahkan hasil. Di sanalah ia mengenal dan
mempelajari filsafat dan hermeneutika. Baginya,
hermeneutika adalah ilmu baru yang telah membuka
matanya: ?My academic experience in the (United)
States turned out to be quite fruitful. I did a lot of
reading on my own, especially in the fields of
philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science
of interpreting texts, opened up a brand-new world for
me? (hlm.95). Seperti anak kecil yang baru dapat
pistol mainan, ia segera mencari sasaran tembak di
sekitarnya. Kalau pisau hermeneutika bisa dipakai
untuk membedah Bibel, mengapa tidak kita gunakan untuk
mengupas al-Qur?an. Toh keduanya sama, sama-sama kitab
suci. Demikian logika Abu Zayd, Para sarjana Barat
(Yahudi maupun Kristen) sejak lama telah menerapkan
metode-metode kritis dalam mengkaji Bibel, seperti
metode textual criticism, source criticism, form
criticism, dan sebagainya. Kenapa tidak kita terapkan
dalam mengkaji al-Qur?an?, pikir Abu Zayd. Sebagaimana
Bibel, al-Qur?an kan juga produk budaya setempat yang
tidak terlepas dari konteks masyarakat, sejarah dan
zaman dimana ia lahir dan berkembang. Di situ tentu
ada campur-tangan manusia. Berkata Abu Zayd:
?Classical Islamic thought believes the Qur?an existed
before it was revealed. I argue that the Qur?an is a
cultural product that takes its shape from a
particular time in history. The historicity of the
Qur?an implies that the text is human. Because the
text is grounded in history, I can interpret and
understand that text. We should not be afraid to apply
all the tools at our disposal in order to get at the
meaning of the text.? (hlm.99) Dengan menganggap
al-Qur?an sama dengan Bibel, Abu Zayd lantas
menurunkan status al-Qur?an sebagai Kalamullah.
Baginya, al-Qur?an adalah sebuah teks, tidak lebih
dari itu. Statusnya, menurut Abu Zayd, sama dengan
buku-buku lainnya, yang dikarang oleh manusia,
terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan
sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan
baku: ?The divine text became a human text at the
moment it was revealed to Muhammad. How else could
human beings understand it? Once it is in human form,
a text becomes governed by the principles of
mutability or change. The text becomes a book like any
other. Religious texts are essentially linguistic
texts. They belong to a specific culture and are
produced within that historical setting. The Qur?an is
a historical discourse-it has no fixed, intrinsic
meaning.? (hlm.97). Pendapat-pendapatnya mengenai
hermeneutika, tekstualitas dan historisitas al-Qur?an
ini diakuinya adalah ?oleh-oleh? hasil mukimnya di
Amerika: ?I owe much of my understanding of
hermeneutics to opportunities offered me during my
brief sojourn in the United States.? (hlm.101).

Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke
dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia
seperti istrinya Aladdin, menukar lampu lama dengan
lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir. Semoga
kita mendapatkan petunjuk seperti Nabi Ibrahim:
fa-lammaa afala, qaala laa uhibbul aafiliin.
Ditulis pada hari Selasa, 28 Juni 2005, 05:00 PM
http://muslimdelft.nl/titian_ilmu/ilmu_kalam_dan_aqidah/kisah_intelektual_nasr_hamid_abu_zayd.php

Tertarik masalah Ekonomi? Mari bergabung ke milis Ekonomi Nasional
Kirim email ke: ekonomi-nasional-subscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts: