** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** Kritik Al-Wa?ie Edisi 54 Kebohongan-Kebohongan Di Balik Isu Jender Oleh: Husnul Khotimah Merebaknya gagasan feminisme di Dunia Islam tak boleh disikapi secara abai oleh kaum Muslim dimana pun, mengingat kehadiran feminisme telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat dan lebih menguatkan proses sekularisasi di Dunia Islam. Digulirkannya Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dan UU KDRT beberapa waktu lalu, berikut gagasan-gagasan kontroversial yang dibawanya, menjadi salah satu bukti atas hal ini, yakni bahwa isu jender telah masuk dalam seluruh sendi kehidupan; tidak lagi sekadar dalam wacana, tetapi sudah terformalisasi dalam bentuk berbagai kebijakan publik. Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif jender. Isu jender memang telah memberikan efek bius yang kuat. Apalagi pada faktanya, begitu banyak persoalan perempuan yang hingga saat ini sulit diselesaikan yang ditengarai terkait dengan isu ini. Persoalannya, banyak argumentasi dari gagasan-gagasan feministik seputar jender ini yang jika dicermati ternyata mengandung banyak kerancuan (ambivalensi). Hal ini wajar karena gagasan ini dibangun di atas asumsi-asumsi yang rancu dan tidak sesuai dengan realitas. Dipandang dari sisi ideologis, gagasan ini jelas bertentangan dengan Islam. Selain karena tegak di atas landasan (akidah) sekularisme yang menafikan hak prerogatif Al-Khâliq dalam mengatur kehidupan, juga karena pemikiran-pemikiran cabang yang lahir darinya pun bertentangan dengan Islam. Di antara gagasan-gagasan tersebut adalah: (1) Laki-laki dan perempuan sama. Salah satu ide dasar pemikiran feminisme adalah konsep mengenai kesetaraan jender; bahwa secara jender, laki-laki dan perempuan sama. Menurut mereka, sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan jender, karena perbedaan jender hanya akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan. Dalam terminologi feminis, jender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, jender juga sering disebut sebagai ?jenis kelamin sosial?. Dari definisi ini terlihat bahwa dalam persepsi feminisme, jender hanya merupakan produk budaya (nurture), bukan alami (nature), yakni sekadar ?hasil persepsi? suatu masyarakat?atau bahkan bisa jadi hanya mitos?atas apa yang disebut dengan sifat paten (kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) perempuan. Karena merupakan produk budaya, menurut mereka, jender dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanen, yakni dapat berubah sejalan dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut . Berdasarkan kerangka berpikir ini, mereka kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Tidak boleh, misalnya, hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan (feminitas)?seperti sifat lembut, keibuan, dan emosional?sehingga secara kodrati perempuan harus menjalani fungsi-fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Tidak boleh pula, laki-laki yang dianggap lahir dengan sifat-sifat maskulinitasnya, lalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan. Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih disebabkan faktor budaya yang berpengaruh terhadap pembentukan konsep jender itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Kebetulan, kata mereka, saat ini budaya masyarakat sedang didominasi kultur patriarkal yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Budaya seperti ini kemudian dianggap bertanggungjawab melahirkan ?mitos-mitos peran jender yang merugikan kaum perempuan?, termasuk peran perempuan sebagai ibu yang mereka pandang ?tidak strategis? dan ?tidak produktif?. Karena dianggap merugikan, mereka berobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan ?persepsi? keagamaan yang dianggap bias jender, dan lain-lain) maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka berharap, ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), maka pembagian peran sosial (domestik vis a vis publik) akan cair dengan sendirinya. Artinya, semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat. Jika kita cermati, secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan seperti ini sangat absurd dan utopis. Ini karena mereka seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitasnya, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta, bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lalu logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa di dunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan ?bentuk? dan ?jenis? yang berbeda, jika bukan karena keduanya memang memiliki peran dan fungsi yang berbeda? Bukankah ketika perempuan memiliki rahim dan payudara?sementara laki-laki tidak?berarti hanya perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui? Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan, dan menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa digantikan laki-laki? Bukankah ?aneh? jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas fungsi dan peran keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak harus menjadi ibu sehingga peran ini bisa dipertukarkan dengan laki-laki? Dari sini saja kita sebenarnya bisa melihat adanya ketidakcermatan kaum feminis dalam memahami dan menyikapi realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala menyikapi ?perbedaan? tersebut sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan. Perbedaan peran dan fungsi ini justru memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan. Jika dilihat dari kacamata Islam, perspektif feminisme seperti ini tentu sangat bertentangan. Sebagai dîn yang sempurna, Islam memiliki cara pandang yang sangat khas, adil, dan obyektif terhadap persoalan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma Islam berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepada-Nya dan tujuan penciptaan jenis laki-laki dan perempuan untuk melestarikan keturunan dalam kerangka pandang penghambaan ini. Dalam konteks inilah Islam memandang bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah sama/setara, sekalipun dalam kadar tertentu mereka diperlakukan secara berbeda. Mereka sama karena dilihat dari sisi insaniahnya memang sama, yakni sama-sama manusia yang memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri, dan kebutuhan jasmani. Akan tetapi, mereka berbeda dilihat dari ?jenis?-nya dengan kekhasan masing-masing yang memang mengharuskan keduanya diberi aturan-aturan yang berbeda pula. Adanya perbedaan ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidakadilan, karena semua ini ditetapkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia; semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia dengan cara saling melengkapi dan bekerjasama sesuai dengan aturan-Nya; bukan demi kemaslahatan laki-laki saja atau perempuan saja. Apalagi dalam pandangan Islam, kemuliaan tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur oleh derajat ketakwaannya kepada-Nya, yakni ketaatan mereka terhadap seluruh aturan-aturan Allah, baik yang menyangkut keberadaan mereka sebagai manusia maupun keberadaan mereka sebagai laki-laki atau perempuan. Oleh karenanya, ide kesetaraan jender yang memaksakan penyamaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam kancah kehidupan sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus merupakan pengingkaran terhadap kemahaadilan dan kemahasempurnaan Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur manusia. Jadi, tidak layak para Muslimah dan kaum Muslim meyakini kebohongan ide ini, apalagi mengembannya. (2) Ketidaksetaraan jender merugikan perempuan. Dalam perspektif feminisme, adanya ketidaksetaraan (disparitas) jender dianggap sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan munculnya berbagai ketidakadilan sistemik atas perempuan, seperti terjadinya praktik subordinasi dan marjinalisasi di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya), pelabelan negatif, maraknya kasus-kasus tindak kekerasan, dan lain-lain. Mereka melihat, bahwa selama ini kesalahan persepsi tentang jender yang dipengaruhi budaya patriarki ini telah begitu berpengaruh tidak hanya dalam membangun, tetapi juga dalam mengontrol berbagai bentuk interaksi antara laki-laki dan perempuan secara tidak seimbang, terutama menyangkut peran mereka di dalam masyarakat: laki-laki diposisikan lebih serta punya power dan bargaining yang tinggi di hadapan perempuan; sementara kaum perempuan terpuruk di posisi-posisi rendah yang tak menjanjikan, serba dilematis, serba lemah, dan bahkan ?terpaksa? hidup dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada laki-laki sehingga layak diperlakukan secara semena-mena dan layak menjadi pihak yang dikorbankan. Munculnya cara berpikir seperti ini sesungguhnya dipengaruhi oleh prinsip individualisme yang inhern dalam pemikiran demokrasi, yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi lain. Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Salah satu contohnya, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut secara parsial dan dikotomik, yakni sebagai persoalan internal kaum perempuan yang harus diselesaikan oleh perempuan. Akibatnya, pemecahan yang dimunculkan pun menjadi parsial dan tidak memberikan penyelesaian tuntas, karena hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan. Secara faktual, klaim ini terbantah oleh kenyataan bahwa apa yang disebut-sebut oleh kalangan feminis sebagai ?persoalan perempuan? ternyata tidak hanya menjadi ?milik? kaum perempuan. Tidak sedikit kaum laki-laki yang juga mengalami subordinasi, marjinalisasi, tindak kekerasan, dan lain-lain. Bahkan di Dunia Ketiga yang mayoritas Muslim, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, submission, kesehatan yang buruk, malnutrisi, dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan. Islam sendiri memandang, bahwa persoalan yang muncul pada sebagian individu?baik komunitas laki-laki maupun perempuan; apakah menyangkut persoalan ekonomi, politik, sosial, dan bahkan persoalan yang memang menyangkut aspek keperempuanan (seperti masalah kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan dan seterusnya)?tidak bisa dipandang sebagai persoalan laki-laki saja atau perempuan saja, melainkan harus dipandang sebagai persoalan manusia/masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, solusi yang dihasilkannya pun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan menyeluruh. Hal ini sesuai dengan realita bahwa masyarakat bukan hanya sekadar terbentuk dari individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan, dan aturan yang diterapkan disertai dengan adanya interaksi yang terus-menerus di antara anggota-anggotanya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam perspektif yang benar inilah syariat Islam datang sebagai solusi/pemecah atas persoalan kehidupan manusia sehingga manusia?yang realitasnya terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan?dapat meraih kebahagiaan hakiki sesuai dengan kemuliaan martabat manusia yang telah dianugerahkan Allah Swt. (3) Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan. Kalangan feminis meyakini, bahwa liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan, karena tatkala kaum perempuan berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar dari status inferior yang mereka miliki selama ini, sekaligus berkesempatan secara ekspresif mengejar ?ketertinggalan? tanpa harus khawatir dengan pembatasan-pembatasan kultural dan struktural yang dianggap menghambat kehidupan mereka. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi salah satu isu sentral bagi perjuangan mereka. Sebagai penguat bagi kebenaran konklusinya, mereka menjadikan ?kemajuan? perempuan Barat sebagai model. Diakui memang, bahwa di belahan dunia manapun, liberalisasi perempuan telah membawa banyak perubahan; Kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka. Di AS, tercatat jumlah prosentase perempuan bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75% pada tahun 2000, demikian juga di Indonesia. Meningkatnya jumlah perempuan terdidik di banding laki-laki dan meningkatnya partisipasi politik formal perempuan, termasuk kian banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan di negeri-negeri tersebut, dianggap sebagai ?prestasi? atas keberhasilan perjuangan pembebasan perempuan di manapun. Persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom cinderella complex, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah, dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari isu ?kebebasan perempuan?. Wajar jika pada perkembangan selanjutnya muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang ?masih sadar? atas bahaya racun yang tersembunyi di balik tawaran manis feminisme ini, sehingga mereka balik menuduh feminisme sebagai gerakan anti-family, anti-children dan anti-future. Di Amerika sendiri, gerakan anti feminisme ini tergabung dalam beberapa organisasi seperti Gerakan Kanan Baru (The Right Movement), Feminine Anti Feminist League, dan lain-lain. Berkenaan dengan fenomena arus balik ini, ada sebuah buku berjudul What Our Mothers Didn?t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women, yang ditulis oleh Danielle Crittenden (1999), yang menggambarkan ?kegalauan tersembunyi? yang dialami kaum perempuan Amerika di balik berbagai sukses dan ?kenyamanan? yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Buku ini merupakan hasil penelitian penulisnya selama 10 tahun tentang fakta kehidupan perempuan modern yang ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang tak lebih dari sekadar mitos itu. Karena itulah, mengapa Danielle justru menyerukan agar kaum perempuan kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah mengkhianati mereka. Di samping Danielle, masih banyak ilmuwan dan antropolog Barat yang juga mengecam gagasan feminisme seperti ini. Mereka menggugat ?keabsahan? dan keilmiahan pemikiran feministik sekaligus mempertanyakan kelayakan teori-teorinya untuk diterapkan dalam kehidupan. Sayangnya, semangat penolakan terhadap ide feminisme ini kalah gencar dibandingkan dengan janji-janji manis yang ditawarkannya. Dengan mencermati fakta-fakta tersebut, jelas bahwa liberalisasi perempuan hanyalah jargon kosong yang tak layak diemban, apalagi diperjuangkan. Karena itu, untuk memajukan kaum perempuan, bahkan umat secara keseluruhan, kuncinya adalah dengan meningkatkan taraf berpikir mereka dengan ideologi Islam. Dengan cara ini, mereka akan memiliki landasan pemikiran (qâ?idah fikriyah) yang menjadi tolok ukur bagi segala bentuk pemikiran dan menjadi dasar terbentuknya pemikiran-pemikiran yang lain yang dapat memecahkan problem kehidupan, sekaligus merupakan tuntunan berpikir (qiyâdah fikriyah) yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problem kehidupan tersebut setiap saat dengan pemecahan yang benar. Ini karena ideologi Islam tegak di atas keyakinan bahwa seluruh alam ini, termasuk manusia di dalamnya, diciptakan oleh Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur, yaitu Allah Swt., Karena itu, aturan-aturan yang disampaikan Allah Swt. melalui Rasul-Nya (syariat Islam) dipastikan akan menjadi pemecah bagi seluruh persoalan manusia secara sempurna dan menyeluruh. Dengan begitu, umat akan mampu bangkit menjadi pionir peradaban sebagaimana yang telah terbukti pada masa lalu tatkala Islam dijadikan sebagai landasan kehidupan umat dan syariatnya diterapkan. (4) Syariat Islam merendahkan kaum perempuan. Isu ini berangkat dari pemahaman bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tetap langgengnya ketidakadilan jender adalah budaya patriarki yang di antaranya dilegitimasi oleh keberadaan pandangan keagamaan yang dianggap bias jender (sexist) dan misoginis (membenci perempuan). Dalam hal ini, Islam menjadi sasaran bidik utama kalangan feminis, termasuk feminis Muslim, karena dalam Islam terdapat teks-teks keagamaan yang ?terkesan? mengukuhkan terjadinya ?rezimisasi budaya Islam laki-laki? dan sekaligus merendahkan kaum perempuan, seperti aturan tentang jilbab/hijab, perbedaan hak waris, poligami, hak talak pada suami, konsep nusyûz, perwalian, persaksian, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan kekuasaan, dan lain-lain. Sebagian dari mereka memang tidak berani secara langsung menuduh bahwa ajaran bias jender ini merupakan watak asli ajaran Islam. Mereka menyatakan pemahaman masyarakat terhadap Islamlah yang salah, yang?menurut mereka?terlanjur tersosialisasi oleh kitab-kitab tafsir dan fikih yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur yang berlaku saat penafsiran tersebut dilakukan. Tradisi dan kultur dimaksud adalah tradisi Arab ?masa lalu? yang cenderung ?laki-laki sentris? dan ?tidak menganggap penting keberadaan perempuan?. Berbeda dengan sekarang. Menurut mereka, zaman sudah menuntut kesetaraan. Karenanya, mereka pun menggagas keharusan adanya penafsiran-penafsiran baru yang ?senafas dengan tuntutan zaman?, yakni dengan melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi nash-nash syariat sehingga lebih memihak pada kaum perempuan. Gagasan ini kemudian mereka klaim sebagai upaya pembaruan (tajdid), sekalipun metode dan pendekatan tajdid yang mereka kembangkan ternyata sangat berbeda dengan tradisi tajdid yang selama ini dikenal dalam Islam. Ada beberapa ciri menonjol dari logika berpikir yang mereka gunakan dalam pembaruan mereka, antara lain: Pertama, mereka menjadikan rasionalitas sebagai asas ijtihad dan tafsirnya. Kedua, mereka menggunakan pendekatan ilmiah, termasuk aspek sosio-kultural dan hermeunetika, dalam memahami nash sehingga yang berlaku dari nash hanya spiritnya saja. Ketiga, mereka menjadikan fakta sebagai rujukan dan sumber kebenaran bagi diterima/tidaknya sebuah teks hukum. Keempat, kerangka berpikir mereka dipengaruhi oleh persepsi relativistik yang menganggap keberadaan al-Quran dan Sunnah sebagai teks yang ?belum tentu mutlak benar?, karena dia hanya rekaman atau bahkan ?produk sejarah? yang ?belum final dan tidak boleh final? sehingga teks-teks tersebut ?harus terbuka bagi kritik?! Jika dicermati, munculnya gagasan seperti ini sesungguhnya dilatarbelakangi oleh semangat liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam yang?menurut para pengusungnya (di Indonesia antara lain diusung oleh JIL)?bertujuan ?membebaskan Islam dari ortodoksi dan menjadikan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan perubahan zaman?. Padahal, gagasan mereka tak lebih dari bentuk ekspresi keputusasaan dan sikap apologia atas tudingan dan serangan opini Barat. Barat memang berkepentingan untuk meng-counter munculnya gagasan penegakkan syariat Islam yang kini justru kian mencuat ke permukaan dan secara pasti mengancam eksistensi ideologi mereka di dunia. Oleh karena itu, munculnya isu bahwa syariat Islam merendahkan kaum perempuan harus disikapi dengan benar. Jika dalih yang mereka gunakan adalah fakta bahwa kaum perempuan di dunia Islam berada dalam kondisi terpuruk, maka harus dilihat bahwa pada kenyataannya saat ini tidak ada satu pun negeri Islam yang menerapkan syariat Islam sebagai aturan kehidupan yang utuh dan menyeluruh (kâffah). Justru berbagai kerusakan dan ketidakadilan yang terjadi saat ini?termasuk di antaranya yang menimpa perempuan?adalah akibat diterapkannya sistem yang salah dan rusak di tengah-tengah kaum Muslimin, yakni sistem Kapitalisme yang tegak di atas akidah sekularisme, yang telah memberikan kewenangan secara mutlak kepada manusia dengan akalnya yang lemah dan terbatas untuk membuat berbagai aturan/sistem kehidupan. Adapun jika yang mereka lihat adalah adanya perbedaan hukum yang dianggap merugikan perempuan, maka sekali lagi harus dipahami, bahwa hal ini hanya terkait dengan kekhususan dalam hukum saja, yang tidak ada kaitannya dengan pembedaan derajat antara laki-laki dan perempuan, melainkan terkait dengan pemecahan atas problem kehidupan manusia yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Bahkan jika dicermati secara obyektif maka akan terbukti bahwa syariat Islam justru memuliakan kaum perempuan. Kalaupun realitasnya banyak terjadi ketimpangan dalam penerapan hukum-hukum tersebut dalam kehidupan kaum Muslim saat ini, seperti poligami yang salah kaprah, kasus-kasus kekerasan dalam rumahtangga dan sebagainya, maka hal tersebut tidak boleh dipandang sebagai dalih untuk menyatakan bahwa syariat Islam merugikan perempuan, melainkan harus dilihat sebagai kesalahan penerapan saja yang dalam kondisi tidak adanya sistem Islam, hal ini memang sangat dimungkinkan. Akar persoalan inilah yang seharusnya dipahami oleh kaum Muslim dimana pun agar mereka tahu apa yang seharusnya diperjuangkan untuk mengubah kondisi mereka yang terpuruk menjadi bangkit, yakni dengan berupaya mencerabut sistem rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka, kemudian mengupayakan terwujudnya sebuah sistem yang bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan hakiki bagi semua manusia tanpa kecuali. Sistem seperti ini tidak mungkin berasal dari manusia yang nyata lemah dan terbatas, melainkan harus bersumber dari Zat Pencipta manusia, Yang Mahatahu dan Mahaadil. Sistem dimaksud tidak lain adalah sistem Islam yang secara akal bisa dibuktikan kebenarannya dan secara empirik telah terbukti kepurnaannya. Wallâhu a?lam. http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=396 --------------------------------- Do you Yahoo!? Yahoo! Search presents - Jib Jab's 'Second Term' [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **