[nasional_list] [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING:ESAI BUDAYA HIDUP WARISAN SEMSAR

  • From: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 23 Feb 2005 20:52:46 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

JURNAL KEMBANG KEMUNING:

ESAI BUDAYA HIDUP WARISAN SEMSAR SIAHAAN 


'Indonesian modern art should return to reality"







Subuh malam kemarin waktu Paris, ketika membuka komputer, saya dikagetkan oleh 
posting yang dikirimkan oleh Julia Suryakusuma [wahana-news, 22 Februari 
2005]mengenai meninggalnya Semsar Siahaan. Posting Julia berikut yang 
bersubyek: "Berita duka: Semsar Siahaan Meninggal" saya baca berulang-ulang.


"Teman2,

Kira2 setengah jam y.l. saya mendapat sms dari Firman Ichsan yg memforward 
pesan dari kawan Semsar, Lorens Tampubolon, bahwa Semsar meninggal di Bali 
karena serangan jantung. Tiada teman atau saudara di Bali. Bagi yg mengenal, 
tolong beritahu  familinya. Terimakasih. 

Semsar adalah seorang pelukis dan aktivis yang karyanya selalu mencerminkan 
pembelaannya pada rakyat. Kita kehilangan seorang seniman Indonesia dan 
sahabat. 

Semoga Semsar menemukan kedamaian di sisiNya.

salam,

Julia"


Saya baca berulang-ulang untuk meyakini kebenaran posting tersebut. Tapi saya 
dipaksa percaya karena mengenal Julia  bukan orang yang suka menjadikan duka 
dan kesedihan seseorang sebagai bahan percandaan. Rasa sedih jadi berganda 
ketika tidak lama kemudian, saya juga membaca berita tentang meninggalnya Mas 
Kuntowijoyo. Terlalu berat rasanya harus menerima kematian dua seniman dengan 
komitmen manusiawi sekaligus dalam usia relatif belum terlalu tua, apalagi bagi 
usia Semsar.


Oleh perbedaan ruang di mana kami tinggal, Semsar dan saya memang jarang sekali 
bertatatapan muka, tapi melalui berbagai cara, hubungan kami terjalin sejak 
lama, terutama pada tahun-tahun awal kegiatan Skephi. Melalui berbagai cara 
kami melakukan saling hubungan sehingga kami bisa saling mengikuti kegiatan 
masing-masing. Melalui cara khusus ini pulalah saya mengikuti perkembangan 
Semsar sebagai pelukis sejak agak dini dan terus mengikuti perkembangannya. 


Keith Foulcher, pengamat sastra-seni Indonesia dan Indonesia dari Australia, 
secara khusus pernah membicarakan perkembangan Semsar sebagai gejala khusus 
dalam perkembangan seni Indonesia post Lekra. Keith sangat menghargai Semsar. 
Yang sangat menarik Keith dalam diskusi kami adalah tema-tema buruh dan tani 
yang menjadi tema garapan Semsar. Tentang hal ini, saya katakan walau pun saya 
menyetujui langkah-langkah Semsar tapi saya lebih cenderung membebaskan 
sastra-seni Indonesia dari slogan apa pun, sehingga kritik menjadi ruang dialog 
dan berkembang leluasa bagi berbagai aliran. Dengan ini, yang ingin saya 
katakan bahwa sastra-seni untuk buruh dan tani, juga     sastra-sni untuk 
rakyat, tidak lain dari satu aliran pandangan saja, tapi bukan satu-satunya 
aliran. Sehingga tidak  perlu pandangan satu aliran dijadikan garis budaya 
nasional yang dimestikan. Apabila Semsar mempunyai sikap dan pilihan tertentu  
dalam  berkesenian, sikap dan pilihan itu adalah hak Semsar, sebagaimana h
 alnya orang lain sama berhak mempunyai sikap dan pilihan lain. Saya sangat 
menghormati kesetiaan Semsar akan pandangan, sikap, praktek dan pilihannya 
dalam berkesenian. 


Dari praktek yang dilakukan oleh Semsar sampai akhir khayatnya, Semsar 
sedikitpun tidak bergeming dari sikap dan pilihannya dalam berkesenian, 
sampai-sampai ia sanggup menghadapi ujung bayonet maut militerisme hingga 
kakinya patah kenal gebuk militer. Kesanggupan seorang seniman membela prinsip 
hingga di hadapan ujung bayonet ajal mempunyai nilai sendiri seperti penyair 
hilang Wiji Thukul membela nilai kerakyatan junjungannya. Nilai begini akan 
lebih menonjol jika dibandingkan dengan sikap seorang penyair minta izin untuk 
takut dan tiarap ketika bangsanya dikuasai otoritarianisme dan militerisme. 
Lebih bernilai lagi jika dibandingkan dengan mereka para seniman yang bergabung 
dengan otoritarianisme dan militerisme. 


Melalui kegiatan dan karya-karyanya, Semsar sampai akhir hidup meneruskan 
tradisi seniman kerakyatan Indonesia yang tak bergeming berpihak kepada rakyat, 
kepada mayoritas penduduk negeri ini.Melalui praktek Semsar sampai akhir 
khayatnya, saya tidak ragu menamakan Semsar adalah salah satu seniman rakyat 
dan bangsa yang terbaik. Apa yang dilakukan oleh Semsar baik melalui kegiatan 
kongkret atau pun melalui karya-karyanya  sampai akhir khayat merupakan teladan 
dan warisannya kepada bangsa, negeri dan kemanusiaan.Kehidupan singkat Semsar 
merupakan pesan dan esai kebudayaan alternatif yang ia tawarkan untuk bangsa 
dan negerinya. Melalui esai budaya hidupnya, Semsar sebagai pemikir 
menganjurkan agar "Indonesian modern art should return to reality".

"Should return to reality" artinya Semsar melihat bahwa "Indonesian modern art" 
 hari ini jauh dari "reality". Dengan pendapat bahwa "Indonesian modern art 
should return to reality" ini Semsar menunjukkan apa dan di mana serta 
bagaimana kedudukan sastra-seni dalam masyarakat di samping mengucapkan 
sekaligus bagaimana ia melihat sastra-seni Indonesia hari ini. Saya kira inilah 
esai warisan hidup yang ia tinggalkan untuk kita. Esai kehidupan yang ia 
ujudkan melalui perbuatan bukan hanya bersifat verbal. Kehidupan Semsar adalah 
kesenimanan yang utuh, kehidupan yang penuh elan. Dengan elan manusia dan 
seniman sadar begini, Semsar telah memberikan makna maksimal pada hidupnya yang 
terlalu singkat. Dari tengah tumpukan salju di jalan rantauku, dengan kesedihan 
orang kehilangan, saya menundukkan kepala untukmu Semsar. Di tengah gigil 
kembaraku, bisakah kau melihat aku kemudian mengangkat kepala dengan tangan 
tangan kiri mengepal sejajar telinga? Juga untukmu! Semsar adalah seniman d
 engan segala makna!   


Paris, Februari 2005.
--------------------
JJ.KUSNI




LAMPIRAN:

Meet Semsar 
A well-known artist explains his work, his activism, and why he is in Canada 

Yvonne Owens interviews Semsar Siahaan 



Since arriving in Victoria, Canada, in the spring of 1999, you have had three 
exhibitions. Some of them contained quite gripping political imagery, including 
'A self portrait with black orchid'. Could you comment? 

A self-portrait with black orchid (1.5m x 2m, oil on canvas, March 1999) is 
dedicated to fourteen activist friends who were kidnapped and killed by the 
military in early 1998. The painting is also about the chaos and violence in 
Indonesia sponsored by the military, about the struggle of the political 
parties and the students and pro-democracy activists who kept on with their 
'moral force' actions for reformation. My self-portrait is central to the 
painting, because the painting is about my self, my thoughts, my feelings, and 
my experiences that need to be shared with the audience. This image is about 
the last moment of the New Order regime before it collapsed after the killing 
of the four students by military snipers at the Trisakti University in Jakarta. 
I was there with some activist friends and members of the 1978 class of the 
Bandung Institute of Technology. I was there, near the four bodies lying pale, 
in pools of blood on the floor. I was there among those brave student
 s until 1:45am. I was there before and after the killing, preparing a huge 
banner that had been requested by the activists and students for the memorial 
ceremony for the four slain students, planned for the 21st of May 1998. 


I could not finish the banner because extreme violence began the next day, 
after the funeral, with widespread looting, burning, chaotic rampage and 
student demonstrations in the area in which I lived. Thousands of poor people 
surrounded that area. Those are the people for whom I dedicate my art, my 
thoughts, my feelings, and my sympathy. Instead of fighting with them (like 
those who did so in protecting their property), after five days I decided to 
leave my house and possessions and walk away. I left my home unlocked and 
returned in July. The layered imagery of the painting fills in the background 
and context - of the events and of my reactions - during this crisis. It 
completes the banner I was unable to finish, and addresses my audience, the 
victims of totalitarianism and violence. One needs to understand the 
dialectical process of visualisation in my art works, and my background of 
social-political activism. 


The painting also shows the multinational corporate industrialists and 
international investors gambling on Indonesia's political and economic crisis 
for profit. The violence engineered by the military, which caused suffering to 
the motherland, is shown in the iconography of the victimised mother and child. 


There has been some misunderstanding recently, in print, of the nature of the 
imagery in your painting 'Women workers between factory and prison'. This 
involved the mistaken view that the painting revolved around the iconography of 
the factory worker Marsinah as a martyr. 


The iconography of Women workers between factory and prison (1m x 1m, oil on 
canvas, 1992) is not related to the late Marsinah at all. Marsinah was tortured 
and killed in 1993, while I did the painting in 1992. I did design a poster 
commemorating Marsinah's death as a martyr that was printed in five hundred 
copies in December of 1993 for the Indonesian pro-democracy activists, for the 
annual Yap Thiam Hien human rights award. The award that year went to 
Marsinah's father and family. The poster was then disseminated among all the 
Indonesian non-government organisations concerned with workers and others. 


Why were you expelled from your university, the Bandung Institute of Technology 
(ITB), in 1981? 


It was my 'happening art' that I was doing at the art department of ITB at that 
time. My artwork was called Oleh-oleh dari desa II - February 9th, 1981 
('Remembrance from the village II'). In this work, I took my teacher Sunaryo's 
sculpture called Citra Irian dalam torso ('Irian image in torso'), since he 
took the Asmat ornaments as a part of his work of art. I also used mud, fire, 
banana leaves, water, yellow rice and a placard on which was written my 
statement with red paint, that 'Indonesian modern art should return to 
reality...'. [As a result, the sculpture was burned. - Editor]. 


Sunaryo used the Asmat-West Papua sacred ornaments by putting them in his 
wooden sculpture series. At that time it was made clear that 'Indonesian modern 
art should explore traditional art forms and ornaments so that Indonesian 
modern art could achieve its national identity.' Those words were part of a 
'secret formula' but I think it was formulated by the military think tank 
Lemhanas. That formula suggested some kind of national security approach to 
culture and art, and was a strategy to oppose the strong 'latent' influence of 
the communists' cultural wing Lekra (People's Cultural Council) after the 1965 
affair, where an estimated one quarter million alleged communists were killed. 
The formula was clearly a method to eliminate social criticism from Indonesian 
contemporary artists' work. That formula was systematically implemented in the 
art academy curriculum. As a result, artists became exploitative towards 
indigenous culture and art. These artists became extremely rich, whi
 le the indigenous people remained in the same condition - in poverty and being 
exploited. 


So, I wasn't yet expelled from ITB, not for seven months, when I was accused of 
organising the three day ITB fine arts student strike, demanding more freedom 
of expression. 


It has been written that you are planning to mount an exhibition of your 
installation work called 'Slaughterhouse', about the brutality of the Suharto 
regime, in Victoria, BC. Could you tell us about this? 


I never had any plan to mount an installation work entitled Slaughterhouse here 
in Canada. Many Canadian friends and friends in the US know that the exhibition 
was planned for Seattle, USA. And the work was not going to deal with Suharto's 
New Order regime or its brutality, but about the Global Butchers - such as the 
arms industry, the IMF, World Bank, WTO, and capital investment corporations 
that push indigenous cultures from their land everywhere on this planet. 


When did you start painting? 


I enjoyed drawing since I was nine years old. My mother supported me greatly 
with this, as did my father, supporting me with books of art - and it was the 
happiest aspect of my childhood. Another time during which I produced a lot of 
art works was when I was with my girl friend, Widya Paramita - because during 
this time, for six years, she morally supported my creativity. Also during my 
marriage with Asnaini, when I created the Homage for the Christo's mother. 


I must ask you, why are you in Canada? 


Well, it is like I was saying before, I was there when the New Order regime 
collapsed. But even the new regime of BJ Habibie was no different from the old 
regime. He was nothing but Suharto's crony. Later, I became really sick, with 
high blood pressure - 150/250. This was caused by tension due to the continuing 
violence, the kidnapping of activists, and political uncertainty in Indonesia. 
So I flew to Singapore, where I saw two doctors. My weight was extremely low. 
They concluded that I had a major illness that would take six months on 
medication to treat. This is a well-known factor of my residency here. They 
suggested that I stay away from the tensions and chaos happening in Indonesia 
temporarily for the sake of my future health. 


And I do not agree with the label of 'exile,' as I have recently been described 
within these pages. I also don't agree, as was stated here, that Hendra Gunawan 
was in exile after the '1965 affair.' As far as I know, he was in imprisonment 
in Bandung, and then moved to a Yogyakarta prison. And Sujana Kerton, I don't 
think he was in exile either. He was in the USA and stayed there temporarily 
until he went back to Indonesia in the late 1970s. 


What are your projections for the future? 


First I have to rebuild my artistic image professionally - internationally - 
after the 'character assassination' in a previous issue of this magazine. 
Secondly, I am still working on the idea of the Slaughterhouse installation, 
but it has been postponed for production reasons. And my next solo exhibitions 
will hopefully be in New York, and in London. I'll also keep busy with some 
non-government organisations and activism, as always. 


Yvonne Owens is an author and art critic in Victoria, Canada. Semsar Siahaan 
was first profiled in Inside Indonesia no.16, October 1988. The Inside 
Indonesia article referred to in this interview is 'Hero into exile', by Astri 
Wright, edition no.62, January-March 2000. See also Astri Wright's reader's 
letter in the current edition. 

Source: http://www.insideindonesia.org/edit64/semsar1.htm



From: "Andi K. Yuwono" <andi_yuwono@xxxxxxxx>
Subject: Seniman Semsar Siahaan meninggal dunia
Date: Wed, 23 Feb 2005 10:30:03 +0700

23 Februari 2005

SEMSAR SIAHAAN MENINGGAL DUNIA


Telah meninggal dunia SEMSAR SIAHAAN di Tabanan, BAli pada tanggal 23 Februari 
2003 pukul 01.00 WITA karena serangan jantung.

Jenasah akan disemayamkan di Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 
23 Februari 2005 pukul 13.30 WIB. Hingga saat ini belum ada konfirmasi tempat 
pemakamannya.

Semsar adalah sosok seniman yang sangat peduli terhadap masalah sosial dan 
rakyat yang terpinggirkan di Indonesia. 

Perkumpulan PRAXIS, , pengelola situs
www.prakarsa-bali.org dan jaringannya mengucapkan
turut berduka cita sedalam-dalamnya.

Berikut adalah artikel yang dimuat di Suara
Pembaharuan tentang sosok seorang Semsar Siahaan.
 
Semsar Siahaan Kembali dari Pengasingan


JAKARTA - Suatu siang, bertahun-tahun lalu, sebuah mural karya Semsar Siahaan 
di tembok Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, diruntuhkan. Lukisan dinding yang 
dibuat tanpa izin ini hilang bersama bangunan fisik Teater. Semsar Siahaan 
adalah salah satu nama seniman yang selalu berontak atas tindakan represif 
penguasa di masa itu. Ia mengekspresikan sikapnya itu lewat karya-karya poster, 
ilustrasi, dan lukisan-lukisannya. Karya mural di tembok Teater Arena pada masa 
itu pun melukiskan kejengahannya pada militer yang berkuasa.Ia menggambar 
seorang aparat-tampak belakang-lengkap dengan sepatu lars dan seragam loreng. 
"Itu tentang keterasingan," katanya, setelah beberapa masa berlalu. Semsar, 
yang menghilang beberapa lama dari "panggung" seni nasional kini kembali lagi. 
Ia  berpameran di Galeri Nasional, Jakarta. Karya-karya yang dipamerkan itu 
tidak dihasilkan di negeri tanah kelahirannya ini, melainkan di Kanada, sebuah 
negeri yang "menampungnya" saat ia harus berhadapan dengan t
 ekanan dari pemerintah Orde Baru. Saat itu, Semsar pergi seiring nama 
"besarnya" sebagai seniman yang aktivis, aktivis yang beroposisi.

Telah banyak perubahan yang dialaminya, seperti juga berjalannya waktu. "Proses 
pasti akan terjadi,"jelasnya saat ditemui SH di Galeri Nasional.Karya-karya 
yang ditampilkannya dalam pameran ini memang memperlihatkan eksplorasi 
gaya.Namun tetap saja, "garis perjuangannya" jelas. Semsar tetap tak bisa 
menghilangkan kekritisannya terhadap arus globalisme, kapitalisme, imperialisme 
atau juga pelanggaran HAM yang terjadi di negara yang dia tempati.

Itu dia lakukan ketika terjadinya pembunuhan seorang aktivis yang dituangkannya 
dalam karya lukisan "Genoa Tragedy 1", "Genoa Tragedy 2" dan "Genoa Tragedy 
3".Sama seperti ketika dia membongkar kesedihan masa lampau terhadap peristiwa 
di Dili dalam lukisan "In Memoriam Santa Cruzs" (2001).

Simbolik dan Perjuangan
Dunianya adalah dunia simbolik. Hal itu terlihat dalam lukisannya yang berjudul 
"The Man Who Knows All" (2002). Dalam lukisan itu, George Bush dilukiskannya 
mengenakan pakaian "terlampau besar untuk dirinya", bersandar pada pemasang 
perangkap lalat "pertanda kematian", dengan senjata yang dia pegang, dan 
sementara sepatu "kesayangannya" menginjak surat perjanjian antinuklir.Simbol 
itu juga muncul saat dia menampilkan sosok manusia dalam lukisan serigrafi 
"Genoa Tragedy" tadi,dengan tampilan otot sapi atau semacamnya, yang bisa 
ditusuk atau disangkut dengan gancu (tongkat besi pengait) seenaknya, padahal 
"aktivis itu adalah manusia" 

Dunia simbolik juga yang diperlihatkannya pada karyarangkaian "lingkaran segi 
enam" yang memperlihatkan bentuk pizza raksasa berjudul "G-8 Pizza", dengan 
potongan gambar-gambar simbolik tentang teknologi,globalisasi yang sejalan 
dengan kapitalisme.Selain melukis di media kanvas, ia juga membuat karya 
instalasi yang terbuat dari kardus. Kardus-kardus tersebut dibuat bersilang 
dengan sandaran kayu. Karya instalasi pertamanya yang terbuat dari 
kardus,menurutnya, diciptakan pada suatu malam bersalju, saat dia ingin merokok 
dan diberi judul "The Study of Ice Man" (2001).

Karyanya yang berupa simbolik ini nyatanya juga tak hanya yang bertema sosial 
dan kemanusiaan, tapi juga diperlihatkannya pada karya-karyanya yang lebih 
mengarah pada internal dirinya yang berdialog dengan alam, seperti dalam 
lukisan "The Springs Full Moon 1" (2004) dan "The Springs Full Moon 2" (2004).

Belakangan, karya-karyanya memang menggunakan garis-garis, bahkan objeknya 
dibuat nyaris "abstrak berfigur". Lukisan yang tak verbal dalam perwujudan  
objeknya namun tetap memperlihatkan tema sosial itu ada pada karya antara lain 
"Homage to Andy Warhol" (2001) dan "Double Portrait (Portrait of Nicole 
M.B)".Sketsa Semsar Siahaan justru tampak lebih lugas dan detail. Namun, di 
dalam sketsa, Semsar tetap memperlihatkan kekhasannya, berupa ketekunan 
arsiran.Warna-warna gelap dalam sketsa hitam-putihnya, tak selalu diperlihatkan 
dalam warna bidang hitam. Karya sketsa tinta di atas kertasnya dengan judul 
antara lain "Third Millenium Totem 1", "Third Millenium Totem 2 (Mother and 
Child)" dan "Third Millenium Totem 3", atau "The Poet who Dissapeared" (2000), 
menunjukkan hal itu.Kembali kepada Semsar yang dulu berbicara verbal baik dalam 
tema maupun teknik karyanya, karya kali ini,sekalipun dengan misi dan ideologi 
yang sama, karyanya lebih memperlihatkan kontemplasi perenungan. Di sa
 tu sisi, permainan kekuatan warna, warna-warna baru seperti garis atau pecahan 
objek, namun di sisi lainnya adalah kekuatan untuk "pemberontakan" atau 
"kegilaan" tampaknya kini lebih diredam. Benarkah? (SH/sihar ramses 
simatupang)***.




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] JURNAL KEMBANG KEMUNING:ESAI BUDAYA HIDUP WARISAN SEMSAR