** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=132718 Formalin dan Peta Ketahanan Ekonomi Oleh Geger Riyanto Sabtu, 14 Januari 2006 Para pelaku usahababak belur dihajar rangkaian hantaman ekonomi tahun lalu. Di bulan Oktober 2005, masyarakat usaha dicengangkan oleh kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) yang mencapai dua kali lipat. Pada bulan yang sama pula, tingkat inflasi mencapai angka 8,7%. Akibat gejolak tinggi inflasi yang sesaat dan bertahan tersebut, tahun 2005 ditutup dengan angka akumulasi inflasi tahunan 17,11%, di mana sektor yang memegang andil terbesar adalah perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar, yakni sebesar 3,89%. Pada titik inilah, para pengusaha dari berbagai skala (mikro hingga makro) menjadi gamang. Bahan bakar yang merupakan darah yang mengaliri setiap sendi-sendi usaha sektor riil, mendadak menjadi barang ekonomi yang semakin "sombong" seiring dengan kenaikan harga komoditas-komoditas vital lainnya. Kekalutan menghadapi kemacetan produksi yang membentang di hadapan, memaksa para pengusaha memutar otak habis-habisan. Bagi mereka yang berkecimpung di seputar usaha pangan, alhasil ditemukanlah formalin sebagai alternatif pengawet makanan hasil produk mereka. Zat yang bernama ilmiah larutan formadelhida (HCHO) ini biasanya dipergunakan sebagai bahan pengawet mayat. Apabila zat ini masuk ke dalam tubuh (melalui makanan) dengan dosis yang tinggi, akan menyebabkan kanker, gagal ginjal, lever, limpa dan merusak jaringan tubuh. Sejumlah dasar hukum telah ditata untuk melarang penggunaan formalin ini secara sembarangan, yakni UU No 7/1996 tentang Pangan dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Kesehatan No 1168/Menkes/PER/X/1999 yang melarang penggunaan formalin dalam makanan. Namun, betapa menggiurkan keuntungan ekonomis yang ditawarkan dari penggunaan (penyalahgunaan) formalin ini hingga berkecamuklah dorongan homo economicus terhadap sang pelaku ekonomi. Menurut seorang pedagang ayam di Tangerang (Banten), daging ayam dapat bertahan (tidak membusuk) setelah dipotong dalam tempo 12 jam apabila direndam dalam formalin, sementara biasanya hanya dalam selang waktu 6 jam daging ayam sudah mengalami pembusukan. Bayangkan, keuntungan yang mungkin diraih dengan komoditas yang lebih awet dua kali lipat. Setidaknya hasil yang diperoleh sang pedagang sudah impas dengan biaya yang habis untuk menanggung beban ekonomi akibat kenaikan bahan bakar dan gas. Di Kabupaten Lamongan, pantai utara Jawa Timur, ada sebuah kisah lain tentang bagaimana larutan kimia tersebut menyelamatkan nyawa ekonomi kalangan nelayan di tempat itu. Modal utama nelayan dalam produksi, yakni solar dan balok es mengalami peningkatan harga yang signifikan. Harga solar meningkat dari Rp 2.100 per liter menjadi Rp 4.300 per liter dan harga es balok yang dipergunakan untuk mengawetkan ikan meningkat dari Rp 4.500 per balok menjadi Rp 7.500 per balok. Lonjakan harga barang-barang penyangga usaha nelayan ini membuat kalkulasi kebutuhan mereka membengkak luar biasa. Sekali melaut (selama 14 hari) mereka membutuhkan biaya sekitar Rp 16 juta hingga Rp 23 juta. Padahal sebelum kenaikan harga BBM, biaya yang dikeluarkan sekitar setengahnya saja, yakni Rp 9 juta. Demi keberlangsungan napas usaha bahari itu, maka masuklah formalin sebagai modal produksi, menggantikan balok es. Penggunaan formalin memangkas biaya operasional secara tidak tanggung-tanggung. Apabila biasanya untuk dua pekan biaya yang diperlukan untuk mengawetkan ikan Rp 5,25 juta atau setara dengan harga 700 balok es, sedangkan dengan formalin cukup Rp 7.000 atau setara dengan satu liter formalin. Apa yang mengilhami nelayan-nelayan di tanah Lamongan turut mengilhami masyarakat usaha rumah tangga di Tanah Air, sehingga solusi penggunaan formalin ini merebak dengan cepat di kalangan pedagang tahu, mie basah, ikan asin dan lainnya. Berdasarkan laporan dari hasil penelitian BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), sekitar 62% produk tahu yang dijual di pasar tradisional mengandung bahan formalin. Sementara sekitar 16% produk tahu yang beredar di swalayan mengandung zat pengawet mayat ini. Kerapuhan Ekonomi Ironis! Kini, ketika berita tentang penggunaan formalin yang dianggap sebagai "barang ekonomis" ini merebak di media massa, BPOM (Balai Pengawasan Obat dan Makanan) melaporkan bahwa nyawa 8 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air berada di ujung tanduk. Dari dua sisi yang berbeda, pemerintah telah menyalahi kodrat sebagai penjaga ketahanan rakyatnya. Pertama, BPOM sebagai instrumen (perpanjangan tangan) pemerintah gagal dalam melindungi pasar dari produk yang mengancam kesehatan masyarakat. Prosedur-prosedur seperti perizinan, pendaftaran, dan standardisasi menjadi formalitas belaka tanpa dijiwai oleh semangat penjaga ketahanan pangan masyarakat yang sejati. Kedua, pemerintah sebagai sentral kebijakan negara telah gagal menyediakan pemulihan ekonomi bagi masyarakat golongan ekonomi kecil yang terimbas kenaikan harga BBM. Jargon yang diumbar sebelum pencabutan subsidi kenaikan harga BBM bahwa "harga barang-barang kebutuhan pokok tidak akan naik", lenyap bagai buih. Masyarakat mesti bergelut dengan imbas inflasi komponen-komponen vital, yaitu bensin yang mencapai angka 2,61% dan tarif angkutan sebesar 2,79%. Benar bahwa kehadiran formalin ternyata "mengobati" babak belur pelaku usaha akibat rangkaian hantaman ekonomis perekonomian nasional. Sekarang, tanpa campur tangan pemerintah yang bijak dan hati-hati, "bola liar" formalin akan merugikan berbagai pihak dengan implikasi jangka panjangnya yang tidak akan dapat diperkirakan. Api telah berkobar, kini pemerintah selayaknya harus memerhatikan usaha ekonomi rakyatnya. Ingat, sebanyak 43,2 juta UMKM yang bergelut di bidang makanan dan minuman terguncang akibat isu penggunaan formalin pada makanan. Dari jumlah itu, 17% - 20%-nya (sekitar 8 juta) terancam gulung tikar. Masalah pelik bangsa ini, harus dapat dijawab, yakni dengan kepedulian pemerintah pada sektor ekonomi menengah ke bawah. Di samping menuntut pula profesionalitas birokrasi, khususnya institusi yang berperan menjaga ketahanan bangsa ini. *** Penulis peneliti dari Departemen Sosiologi Universitas Indonesia. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **