[nasional_list] [ppiindia] ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA

  • From: Mira Wijaya Kusuma <la_luta@xxxxxxxxx>
  • To: LSM Sastra Pembebasan <lembaga_sastrapembebasan@xxxxxxxxx>
  • Date: Fri, 3 Nov 2006 15:04:33 -0800 (PST)

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **  Sumber: 
http://www.mail-archive.com/kelenteng@xxxxxxxxxxxxxxxxxx/msg00797.html
   
  [Kelenteng] Etnis ...
  Kelenteng
Wed, 30 Jul 2003 20:12:03 -0700
   
  ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA bag. 1/3
  (Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI
  Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure
  Rekso,Jakarta.)
   
  Oleh : Benny G.Setiono
  
------------------------------------------------------------------------------------
   
  Peran politik etnis Tionghoa di Indonesia.
   
  Ketika pada tahun 1293 kaisar Kubilai Khan dari dinasti Yuan (1280-1367)
  memerintahkan pasukannya untuk menyerbu pulau Jawa dan memberi pelajaran
  kepada raja Kartanegara dari kerajaan Singosari yang dianggap membangkang,
  ternyata di sepanjang pesisir utara pulau Jawa telah ditemukan koloni-koloni 
pemukiman etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa ini yang berasal dari propinsi 
Hokkian di daratan Tiongkok, pada umumnya adalah para pedagang perantara, 
petani dan tukang-tukang kerajinan yang hidup dengan damai bersama penduduk 
setempat. Kemudian sebagian prajurit pasukan Kubilai Khan yang terdiri dari 
orang-orang Tionghoa yang direkrut dari propinsi Hokkian tidak mau kembali ke 
daratan Tiongkok. Mereka takut menghadapi ancaman hukuman, karena pasukannya 
tertipu masuk perangkap Raden Wijaya dan berhasil dihancurkan. Sebelumnya Raden 
Wijaya dengan bantuan pasukan Kubilai Khan berhasil mengalahkan pasukan 
Singosari dan setelah itu ia mendirikan kerajaan Majapahit. Selain itu banyak 
anggota pasukan Kubilai Khan yang takut menghadapi pelayaran kembali ke daratan 
Tiongkok yang penuh bahaya alam dan perompak. Akhirnya mereka memilih untuk 
menetap di pesisir utara pulau Jawa dan menikah dengan
 perempuan-perempuan setempat. Merekalah yang mengajarkan cara-cara membuat 
bata, genting, gerabah dan membangun galangan kapal perang serta teknologi 
mesiu dan meriam-meriam berukuran besar dan panjang.
   
  Pada abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari
  Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau
  Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada
  tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai
  Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi
  Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana
  Cheng Ho, sebagian besar dari wali songo yang berjasa menyebarkan agama
  Islam di pesisir pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak
  berasal dari etnis Tionghoa. Para wali tersebut antara lain Sunan Bonang
  (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang), Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo),
  Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) dllnya konon berasal dari Champa
  (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias Jin
  Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putera Kung Ta
  Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan puteri
  Cina, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).
  Ketika pada tanggal 23 Juni 1596 armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis
  Houtman berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ia tercengang karena
  menjumpai koloni Tionghoa yang mempunyai hubungan yang harmonis dengan
  penduduk dan penguasa setempat. Selain di Banten, orang-orang Belanda dan
  kemudian orang-orang Inggris juga menjumpai koloni-koloni Tionghoa di
  kebanyakan bandar-bandar Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Phnom
  Penh dan Manila. Pada tahun 1642 di Hoi An terdapat empat-lima ribu orang
  Tionghoa dan di Banten pada tahun 1600 terdapat tiga ribu orang Tionghoa.
   
  Pada tahun 1611 Jan Pieterszoon Coen diutus Gubernur Jenderal VOC Pieter
  Both untuk membeli hasil bumi, terutama lada di Banten, ternyata ia harus
  berurusan dengan seorang pedagang Tionghoa kepercayaan Sultan yang bernama
  Souw Beng Kong (Bencon). Souw Beng Kong adalah seorang pedagang Tionghoa
  yang sangat berpengaruh dan mempunyai perkebunan lada yang luas sekali. Ia
  sangat dihormati dan dipercaya penuh oleh Sultan dan para petani Banten.
  Setiap pedagang asing seperti Portugis, Inggris dan Belanda yang ingin
  membeli hasil bumi dari petani Banten harus melakukan negosiasi harga dan
  lain-lainnya dengan Souw Beng Kong. Kemudian Souw Beng Kong coba
  dipengaruhi Jan Piterszoon Coen, tetapi tidak berhasil karena ia merasa
  Coen terlampau menekannya. Sebaliknya sultan Banten merasa puas dengan
  keberadaan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lainnya, karena
  orang-orang Tionghoa inilah yang banyak mengajarkan teknologi baru, terutama 
di bidang pertanian. Mereka mengajarkan cara menanam padi di sawah yang 
berpetak-petak dengan mempergunakan pematang dan membajak serta
  mengairinya, karena sebelumnya mereka hanya menanam padi di ladang yang
  sudah tentu hasilnya kurang memuaskan. Namun ketika Coen pada tahun 1619
  berhasil merebut Jayakarta dan berniat membangunnya menjadi Batavia, sebuah
  bandar yang ramai untuk menyaingi Banten, ia berhasil membujuk Souw Beng
  Kong untuk membawa orang-orang Tionghoa hijrah ke Batavia. Ia kemudian
  diberi gelar kapitein (titulair) Tionghoa pertama agar dapat memimpin dan
  mengarahkan orang-orang Tionghoa di Batavia serta memindahkan pendaratan
  jung-jung yang membawa barang dagangan dari Tiongkok ke Batavia. Berkat
  bantuan Souw Beng Kong dan orang-orang Tionghoa lah, Batavia berhasil
  dibangun menjadi Bandar yang ramai dan menjadi pusat perdagangan yang
  penting di Asia Tenggara. Perlu dicatat juga jasa Phoa Beng Gan (Binggam)
  yang atas gagasan dan prakarsanya serta dukungan dana masyarakat Tionghoa
  Batavia, berhasil dibangun kanal yang membelah daerah Molenvliet (sekarang
  Jl.Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Pembangunan kanal tersebut kemudian
  dilanjutkan untuk disambungkan dengan kali Ciliwung dengan membelah daerah
  tersebut menjadi Noordwijk (Jl.Djuanda) dan Rijswijk (Jl.Veteran), untuk
  menghindari banjir yang selalu menimpa kota Batavia.
   
  Pada masa itu pulalah orang-orang Tionghoa yang berdiam di luar tembok kota
  Batavia mulai mengembangkan perkebunan tebu dan industri gula. Penggilingan
  tebu dilakukan dengan cara sangat sederhana yaitu dengan menaruh dua tabung
  kayu yang diputar oleh seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistim roda
  gigi serta sebuah poros sepanjang 4.5 meter. Kedua tabung tersebut tegak
  lurus, kemudian batang tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali
  untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Sari tebu tersebut kemudian
  dipanaskan untuk dijadikan gula. Karena kekurangan bahan bakar untuk
  tungku, maka sejak tahun 1815 industri gula tersebut dipindahkan ke Jawa
  Tengah dan Jawa Timur.
   
  Pada tahun 1740 di Batavia terjadi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa
  yang dilakukan tentara VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Adriaan
  Valckenier. Lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembantaian
  yang di luar peri kemanusiaan. Sebagai kelanjutan dari peristiwa tersebut,
  terjadi pemberontakan orang-orang Tionghoa yang bersekutu dengan
  orang-orang Jawa melawan pasukan VOC di Jawa Tengah (1740-1743). Kalau saja
  tidak terjadi pengkhianatan Sunan Paku Buwono II dari Mataram dan bantuan
  Pangeran Adipati Cakraningrat IV dari Madura, pasukan VOC yang sudah
  terdesak dan terkurung di kota Semarang berhasil diusir dari Jawa Tengah
  dan besar kemungkinan dari seluruh pulau Jawa.
   
  Pada akhir November 1810 terjadi pemberontakan Raden Rongga, menantu Sultan
  Hamengku Buwono II yang mempunyai hubungan yang erat dengan
  kelompok-kelompok masyarakat Tionghoa di Jawa Timur. Ia menyatakan dirinya
  sebagai "pelindung" semua orang Jawa dan orang-orang Tionghoa yang telah
  diperlakukan semena-mena oleh pemerintah Hindia Belanda (ingkang
  kasiya-kasiya ing Gupernemen). Ia kemudian mendesak agar orang-orang
  Tionghoa bekerja sama mengakhiri (anyirnakna) semua pegawai Belanda yang
  telah merugikan kesejahteraan dan kemakmuran di Jawa. Oleh karena itu ia
  menyerukan agar orang-orang Tionghoa di pesisir utara menguasai
  kantor-kantor serta pos-pos Belanda yang telah diusir untuk menjaga dan
  mempertahankannya dari serangan balasan. Dalam pemberontakan itu ia
  mendapatkan bantuan dari orang-orang Tionghoa, terbukti ketika pasukan
  Raden Rongga terkepung dan dihancurkan di Sekaran yang terletak di tepi
  bengawan Solo, terdapat dua belas orang Tionghoa di antara seratus orang
  anggota pasukan yang tetap setia kepadanya.
   
  Untuk membalas jasanya membantu Pangeran Suroyo (Sultan Hamengku Buwono
  III) merebut kembali tahtanya, seorang pengusaha dan kapitein Tionghoa,
  Tan Djin Sing pada tanggal 18 September 1813 dilantik menjadi bupati
  Yogyakarta dan diberi gelar Raden Tumenggung Secodiningrat. Ia juga
  mendapat piagam yang berisi pemberian tanah seluas 800 cacah yang meliputi
  14 desa di daerah Bagelen dan Yogyakarta, termasuk Mrisi yang terletak di
  selatan Yogyakarta. Jumlah penduduk di 14 desa tersebut kurang lebih seribu
  orang. Ketika berlangsung Perang Jawa (1825-1830) ia aktif membantu
  Pangeran Diponegoro dengan melatih silat para pemimpin pasukannya. Ia juga
  membantu Pangeran Diponegoro dengan dananya untuk membantu pangeran
  tersebut melakukan perang gerilya melawan pasukan Belanda. Malahan kuda
  kesayangannya turut diberikan untuk menjadi tunggangan sang pangeran.
  Pada masa itu banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang membantu pasukan
  Pangeran Diponegoro, ikut berjuang bersama-sama terutama dalam menyediakan
  kebutuhan mereka akan uang perak,senjata, candu dan lain-lainnya. Malahan
  banyak orang-orang peranakan Tionghoa yang ikut bertempur, bahu-membahu
  melawan Belanda, seperti ketika terjadi pertempuran yang dilancarkan Raden
  Tumenggung Sasradilaga, ipar Pangeran Diponegoro di daerah Lasem, pantai
  utara Jawa Tengah tahun 1827-1828. Orang-orang Tionghoa setempat yang
  kebanyakan telah memeluk agama Islam dan telah lama bermukim di Jawa,
  secara aktif bergabung dan membantu pasukan Sasradilaga. Pasukan
  Sasradilaga yang dibantu orang-orang Tionghoa muslim ini bertempur dengan
  sengit di daerah pesisir utara pulau Jawa, sekitar Rembang, Lasem dan
  Bojonegoro. Akibatnya ketika pasukan Sasradilaga berhasil dikalahkan,
  mereka menjadi korban pembalasan dendam pasukan Belanda yang membantai
  mereka secara kejam dan tanpa mengenal belas kasihan.
   
  Sementara itu pada tahun 1772 di Borneo (Kalimantan) Barat, Lo Fong-phak
  bersama seratus orang anggota keluarganya mendirikan "Kongsi Lanfong".
  Orang-orang Tionghoa yang berasal dari suku Hakka, Mei Hsien, Kwangtung
  mulai berdatangan ke Borneo Barat sejak tahun 1760-an karena tertarik akan
  tambang-tambang emas. Ternyata oleh Sultan Sambas mereka kebanyakan
  dipekerjakan sebagai pekerja-pekerja tambang emas yang diperlakukan secara
  kejam yang kemudian menimbulkan pemberontakan. Setelah pemberontakan itu
  Sultan memperlakukan mereka dengan lebih baik, namun karena takut akhirnya
  ia memberikan sebagian dari tambang-tambang emas tersebut kepada
  orang-orang Tionghoa dengan keharusan membayar upeti (konsesi). Kongsi
  Tionghoa yang didirikan di Borneo Barat adalah sebuah komunitas demokratis
  yang dibangun dengan tujuan memperoleh keuntungan dengan mengeskploitasi
  tambang emas dan intan. Komunitas tersebut yang dibentuk berdasarkan tempat
  asal mereka di di daratan Tiongkok, dikelola sebagaimana layaknya sebuah
  negara lengkap dengan sebuah dewan pemerintahan, pengadilan, penjara dan
  pasukan bersenjata, sehingga sering dikatakan bahwa kongsi Lanfong adalah
  sebuah "Republik"
   
  Pada tahun 1816 Belanda memperoleh kembali seluruh tanah jajahannya di
  Hindia Timur dari Inggris dan segera berusaha kembali menguasai Borneo.
  Pemerintah Hindia Belanda sangat tertarik dengan pertambangan emas yang
  dikelola orang Tionghoa. Dengan bantuan Sultan Sambas yang telah di bayar
  $ 50.000.- Belanda mengirim pasukannya untuk mengambil alih tambang-tambang
  orang Tionghoa. Tetapi penyerbuan ke tempat pemukiman orang Tionghoa
  tersebut pada awalnya dapat digagalkan karena mendapatkan perlawanan
  bersenjata orang-orang Tionghoa dan taktik lainnya, antara lain dengan
  meracuni sumur-sumur dan sungai-sungai sehingga prajurit Belanda banyak
  yang meninggal dunia dan mengalami kesulitan air minum. Pasukan Tionghoa
  juga berhasil memotong jalur supply pasukan Belanda yang akhirnya memaksa
  mereka meninggalkan daerah tersebut. Karena pasukan Belanda harus
  menghadapi Perang Jawa, sejak tahun 1826 untuk jangka waktu yang cukup lama
  pertempuran tersebut berhenti. Namun pada tahun 1854 Belanda yang telah
  menguasai lautan berhasil mengalahkan pasukan Tionghoa dan kongsi-kongsi
  dibubarkan.
   
  Demikianlah sekilas catatan sejarah yang menunjukkan betapa dekatnya etnis
  Tionghoa pada masa itu dengan penduduk setempat. Orang-orang Tionghoa yang
  datang bermukim di Nusantara jauh dari keinginan untuk menjajah dan
  menguasai daerah yang ditempatinya.
   
  Malahan armada Laksamana Cheng Ho yang demikian besar dan kuat
  persenjataannya, jauh melebihi armada negara-negara Eropa manapun pada masa
  itu, ternyata hanya bermaksud mengadakan kunjungan persahabatan,
  perdagangan, menarik upeti dari daerah-daerah protektoratnya dan
  menyebarkan agama Islam. Orang-orang Tionghoa hidup dengan damai dan
  membaur dengan penduduk setempat. Karena mereka tidak membawa istri, mereka 
menikah dengan perempuan-perempuan setempat yang keturunannya disebut peranakan 
Tionghoa (babah). Memang mereka membawa kebudayaan, tradisi dan teknologi yang 
kemudian berakulturasi dan menghasilkan kebudayaan sendiri yang disebut 
kebudayaan peranakan atau babah. Mereka juga bercakap-cakap dengan menggunakan 
bahasa atau dialek setempat.
   
  Di samping itu orang-orang Tionghoa telah berjasa menemukan teknik baru
  pengolahan padi, antara lain pada tahun 1750 memperkenalkan alat penyosoh
  padi yang dengan menggunakan dua-tiga ekor sapi dapat mengolah sampai 500
  ton padi per hari, menggantikan sistim tumbuk tradisional memakai lesung
  yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu orang-orang Tionghoa
  juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa dan bajak serta teknik
  pembuatan garam. Berkat orang-orang Tionghoa lah orang-orang di Nusantara
  mengenal jarum jahit, bahkan pakaian yang dijahit pun berasal mula dari
  Tiongkok. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah, kacang
  hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum yang dijadikan bahan
  pewarna. Sejak tahun 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak yang
  dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau
  dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tahu, tauco dan kecap.
   
  Melihat kenyataan ini pemerintah Hindia Belanda kemudian mulai melakukan
  politik pecah belah atau segregasi dengan memaksa orang-orang Tionghoa
  bermukim di tempat-tempat tertentu (wijkenstelsel) untuk memisahkan
  orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman
  tersebut orang-orang Tionghoa harus dibekali surat ijin tertentu 
(passenstelsel). Bagi yang melanggar akan diadili oleh politie roll, sebuah 
pengadilan tanpa hak membela diri. Orang-orang Tionghoa juga dilarang memakai 
pakaian orang-orang bumiputera atau pakaian barat sehingga mudah dikenali. 
Puncak politik segregasi Belanda adalah dengan membagi-bagi kedudukan hukum 
penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok, yaitu yang pertama kelompok 
orang Eropa termasuk di dalamnya orang Indo Eropa, Yang kedua kelompok Vreemde 
Oosterlingen atau Orang Timur Asing yang terdiri dari orang Tionghoa, Arab dan 
orang Asia lainnya. Yang ketiga adalah kelompok Inlander atau bumiputera. 
Ordonansi yang dikeluarkan pada tahun 1854 tersebut membuat ketiga kelompok itu 
tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda-beda. Tetapi khusus 
untuk perdagangan sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang 
Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat diterapkan. Namun untuk masalah
 kriminal, status orang Tionghoa disamakan dengan golongan inlander dan 
perkaranya diadili di landraad atau politie roll.
   
  Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia berdiri Tiong Hoa Hwe Koan di bawah
  pimpinan Phoa Keng Hek, sebuah organisasi peranakan Tionghoa yang bertujuan
  untuk memajukan kembali budaya Tionghoa dan agama Khonghucu serta mendidik
  orang-orang Tionghoa agar menghentikan kebiasaan buruk berjudi dan
  menghambur-hamburkan uang dalam melakukan upacara kematian. Setahun
  kemudian tepatnya pada tahun 1901, THHK membuka sekolah di Jl.Patekoan
  N0.19 (Jl.Perniagaan) bagi anak-anak Tionghoa, karena selama ini pemerintah
  Hindia Belanda tidak pernah menaruh perhatian kepada pendidikan anak-anak
  Tionghoa. Ternyata berdirinya sekolah THHK ini yang sudah tentu
  berorientasi ke daratan Tiongkok, mendapatkan sambutan luas dan dalam
  waktu singkat diikuti oleh kota-kota lainnya. Melihat perkembangan ini
  pemerintah Hindia Belanda merasa kuatir,lalu membuka sekolah-sekolah khusus
  untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (HCS).
  Dengan dibukanya HCS dan sekolah-sekolah berbahasa Belanda lainnya (Mulo,
  HBS, Kweekschool dll.) pemerintah Hindia Belanda berhasil memecah-belah
  orang-orang peranakan Tionghoa menjadi yang berpandangan politik pro
  Tiongkok (kelompok Sin Po) dan yang pro Belanda (kelompok Chung Hwa Hui).
  Berdirinya THHK yang menumbuhkan semangat nasionalisme Tiongkok di kalangan
  peranakan Tionghoa, ternyata juga berpengaruh kepada kalangan bumiputera.
  Suksesnya THHK sebagai organisasi modern pertama di Hindia Belanda telah
  mendorong lahirnya Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam (kemudian menjadi
  Sarekat Islam), Moehammadijah dan organisasi-organisasi lainnya. Melihat
  keadaan yang semakin tidak menguntungkan, kembali pemerintah kolonial
  Hindia Belanda melakukan politik segregasi, bukan saja untuk memisahkan
  orang-orang peranakan Tionghoa dengan orang-orang bumiputera, tetapi juga
  dengan golongan totok. Pada tahun 1910 pemerintah Hindia Belanda
  mengeluarkan peraturan Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) yang
  menyatakan orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda adalah kawula
  Belanda, tetapi bukan warga Negara Belanda.
   
  Sejak akhir abad ke-19 orang-orang peranakan Tionghoa juga telah aktif
  mendirikan percetakan-percetakan dan menerbitkan buku-buku ceritera dalam
  bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar (Betawi). Demikian juga mereka
  menerbitkan koran-koran yang tumbuh dengan subur. Masa inilah yang disebut
  masa tumbuhnya kesastraan Melayu-Tionghoa dan pers Melayu-Tionghoa. Sastra
  Melayu Tionghoa telah mulai berkembang jauh sebelum didirikannya Balai
  Pustaka pada tahun 1918 untuk menampung hasil karya sastrawan-sastrawan
  pujangga lama. Harian-harian atau mingguan Melayu Tionghoa berkembang
  dengan pesat dan tumbuh menjadi media yang ampuh dan kuat seperti
  mingguan/harian Sin Po dan Keng Po yang bertahan sampai beberapa dekade
  lamanya.
   
  Pada tanggal 28 Oktober 1928, ditengah-tengah acara Sumpah Pemuda untuk
  menyatakan kebulatan tekad para pemuda menjadi satu bangsa, satu bahasa
  dan satu tanah air Indonesia, untuk pertama kalinya dikumandangkan lagu
  kebangsaan Indonesia Raya. Ternyata acara sumpah pemuda tersebut diikuti
  juga oleh beberapa orang pemuda etnis Tionghoa. Hal ini membuktikan bahwa
  sejak awal tumbuhnya gerakan kebangsaan dan kemerdekaan, sekelompok etnis
  Tionghoa telah turut berpartisipasi dan peduli akan hari depan bangsa
  Indonesia. Untuk membalas jasa koran-koran Melayu Tionghoa yang banyak
  memuat tulisan-tulisan para pemimpin pergerakan dan untuk menghormati serta
  menarik simpati kalangan etnis Tionghoa, pada tahun 1928 para pemimpin
  pergerakan tersebut bersepakat bahwa mulai saat itu, mereka hanya akan
  menggunakan sebutan Tionghoa sebagai pengganti pejoratif Cina yang mengacu
  kepada "Cina kunciran".
   
  Pada tahun 1932 ditengah-tengah terpecahnya pandangan politik etnis
  Tionghoa yang pro gerakan nasionalis Tiongkok dan yang pro Hindia Belanda,
  di Surabaya berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di bawah pimpinan Liem
  Koen Hian yang mempunyai visi dan misi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 
dari penjajahan Belanda. Hal ini kembali membuktikan bahwa di kalangan
  etnis Tionghoa juga telah tumbuh kesadaran politik dan rasa nasionalisme
  yang tinggi, untuk bersama-sama komponen bangsa lainnya berjuang
  membebaskan diri dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.
   
  Pada awal masa pendudukan Jepang di mana para pemimpin Indonesia, Soekarno
  dan Hatta berkoloborasi dengan penguasa Jepang, sekelompok etnis Tionghoa
  aktif melakukan gerakan bawah tanah untuk melakukan sabotase. Organisasi
  bawah tanah tersebut di antaranya adalah Organisasi Rahasia Chungking atau
  nama lengkapnya Chung Yang Hai Wei Ting Chin yang bermarkas di kota Malang
  di bawah pimpinan Yap Bo Chin. Anggota organisasi ini yang tersebar di
  seluruh pulau Jawa dan Madura berjumlah 8000 orang, termasuk 400 orang
  Indonesia. Organisasi rahasia ini juga mempunyai dua pemancar radio yang
  digunakan untuk berhubungan dengan pemerintah Tiongkok di Chungking. Banyak
  aksi sabotase yang berhasil dilakukan organisasi ini, antara lain
  pembongkaran rel kereta api dan pemutusan jaringan telpon di lapangan
  terbang serta informasi-informasi lainnya yang berhasil disampaikan kepada
  pemerintah Tiongkok di Chungking. Organisasi ini akhirnya berhasil
  dibongkar pihak intelijen Jepang dan kedua pemancar radionya berhasil
  disita, tetapi pemimpinnya Yap Bo Chin berhasil meloloskan diri.
   
  Di samping organisasi Chungking yang banyak menggunakan tenaga-tenaga
  orang-orang Tionghoa totok, masih banyak lagi gerakan-gerakan bawah tanah
  yang dilakukan orang-orang peranakan Tionghoa untuk menentang Jepang,
  terutama yang dilakukan bersama orang-orang Belanda pada awal masa
  pendudukan Jepang. Di Surabaya ada gerakan bawah tanah yang dilakukan
  kelompok Dr.Colijn dan Oei Tjong Ie. Di Malang ada kelompok Tjoa Boen Tek
  yang bekerja sama dengan organisasi Chungking. Di Bogor dan Jakarta ada
  organisasi " Piet van Dam" yang terdiri dari Wernick-Tjoa Tek Swat-Lie Beng
  Giok. Tugas organisasi ini adalah mengumpulkan segala informasi penting
  seperti gerakan tentara Jepang, penjagaan, transportasi, pemindahan
  orang-orang interniran, gerakan kapal dllnya untuk disampaikan melalui
  pemancar radio mereka ke markas sekutu di Australia. Di samping itu mereka
  juga bertugas untuk menyediakan dan mengantar senjata, suku cadang radio,
  pemancar dan surat-surat keterangan. Di Jakarta organisasi ini bermarkas di
  toko Beng, di jalan Pecenongan dan di Bogor di toko Peng.
   
  Karena kurang berpengalaman, pada akhir Desember 1942, organisasi ini
  berhasil digulung Kenpeitai Jepang. Wernick, Lie Beng Giok dan Tjoa Tek
  Swat ditangkap dan mengalami siksaan yang luar biasa dari Kenpeitai Jepang.
  Tjoa Tek Swat kemudian dihukum penggal kepala diAncol.
   
  Bersambung ke Bag. 2/3
   
  ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA bag. 2/3
  (Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI
  Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure
  Rekso,Jakarta.)
  Oleh : Benny G.Setiono
  
--------------------------------------------------------------------------------------------------
   
  Pada tahun 1945, empat orang etnis Tionghoa turut serta merancang UUD RI
  dan menjadi anggota Dokuritu Zunbi Tyoosa Kai atau Badan Penyelidik
  Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang menjadi
  anggota Dokuritu Zunbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
  (PPKI).
   
  Pada masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemedekaan, tidak
  boleh dilupakan peranan etnis Tionghoa, antara lain dalam membantu supplai
  bahan-bahan makanan dan menyelundupkan senjata dari Singapore untuk
  keperluan para gerilyawan.
   
  Dalam pertempuran Surabaya melawan pasukan Inggris pada bulan November
  1945, tidak sedikit peranan pemuda-pemuda Tionghoa. Wartawan "Merah Putih"
  yang terbit di Jakarta menyatakan di Surakarta mengenai kunjungannya ke
  medan pertempuran Surabaya antara lain, seorang pemimpin Tionghoa telah
  berpidato di depan corong Radio Surabaya tentang kekejaman yang dilakukan
  tentara Inggris terhadap rakyat Surabaya. Pidato tersebut ditujukan kepada
  pemerintah Tiongkok di Chungking, dan sebagai jawabannya Radio Chungking
  menyerukan kepada para pemuda Tionghoa agar bahu membahu bersama rakyat
  Indonesia melawan keganasan tentara Inggris. Seruan ini akibat pemboman
  pasukan Inggris yang mengakibatkan lebih dari seribu orang Tionghoa
  menderita luka-luka dan meninggal dunia. Menyambut seruan tersebut
  pemuda-pemuda Tionghoa mengorganisasikan diri ke dalam pasukan bela diri di
  bawah bendera Tiongkok. Mereka merebut senjata dan berangkat ke front
  pertempuran untuk melawan pasukan Inggris.
   
  Berkenaan dengan pertempuran Surabaya, pada tanggal 12 November 1945, Bung
  Karno mengucapkan pidato antara lain : "Ratusan orang Tionghoa dan Arab
  yang tidak bersalah dan suka damai, yang datang di negeri ini untuk
  berdagang, terbunuh dan luka-luka berat. Kurban di pihak Indonesia lebih
  banyak lagi. Saya protes keras terhadap pemakaian senjata modern, yang
  ditujukan kepada penduduk kota yang tidak sanggup mempertahankan diri untuk
  melawan".
   
  Demikian juga perlu dicatat peranan etnis Tionghoa dalam perjuangan politik
  untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada kabinet Sjahrir ke-2, Mr.Tan Po Gwan
  diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa. Ketika Amir Sjarifoeddin
  membentuk kabinetnya, Siauw Giok Tjhan diangkat menjadi Menteri Negara yang
  mewakili etnis Tionghoa dan Dr.Ong Eng Die dari PNI sebagai Wakil Menteri
  Keuangan. Dalam perundingan di kapal USS- Renville di Teluk Jakarta,
  Dr.Tjoa Siek In ditunjuk menjadi anggota delegasi, demikian juga dalam
  Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Dr.Sim Kie Ay diikut sertakan
  oleh Drs.Moh.Hatta sebagai anggota dan penasihat delegasi RI.
   
  Sebagai hasil KMB dibentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS)
  dan pada tanggal 15 Pebruari 1950 dibentuk parlemen. Enam orang di antara
  anggota parlemen RIS adalah peranakan Tionghoa. Dua orang mewakili
  pemerintah Republik yaitu Siauw Giok Tjhan dan Drs.Yap Tjwan Bing, seorang
  mewakili Negara Indonesia Timur yaitu Mr.Tan Tjin Leng, dua orang mewakili
  Negara Jawa Timur yaitu Ir.Tan Boen Aan dan Mr.Tjoa Sie Hwie dan Tjoeng Lin
  Sen mewakili Negara Kalimantan Barat.
   
  Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), delapan orang etnis Tionghoa
  menjadi anggota DPRS yaitu : Siauw Giok Tjhan, Tan Boen Aan, Tan Po Gwan,
  Teng Tjin Leng, Tjoa Sie Hwie, Tjoeng Lin Sen (pada bulan Agustus 1954
  diganti Tio Kang Soen), Tjung Tin Jan dan Yap Tjwan Bing (pada bulan
  Agustus 1954 diganti Tony Wen alias Boen Kim To).`
   
  Di dalam kabinet Ali Satroamidjojo I Dr.Ong Eng Die ditunjuk menjadi
  Menteri Keuangan dan Lie Kiat Teng menjadi Menteri Kesehatan. Dalam DPR
  hasil Pemilihan Umum tahun 1955 terpilih beberapa orang etnis Tionghoa
  yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi), Tan Oen Hong dan Tan Kim Liong (NU), Tjung
  Tin Jan (Partai Katholik), Lie Po Joe (PNI), Tjoo Tik Tjoen (PKI) dan Ang
  Tjiang Liat (Baperki). Sedangkan di Konstituante terpilih sebagai anggota
  antara lain Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan,
  Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang-kesemuanya dari Baperki, Tony Wen dari PNI,
  Oei Hay Djoen dan Tan Ling Djie dari PKI.
   
  Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi
  anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam Kabinet Kerja
  ke-IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat
  diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David
  Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya & Konstruksi dalam Kabinet
  Dwikora yang disempurnakan.
   
  Setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan
  berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, etnis Tionghoa di
  Indonesia terpecah menjadi yang memilih warga Negara Indonesia dan yang
  memilih warga Negara RRT. Yang memilih warga negara Indonesia kebanyakan
  golongan peranakan, dan yang memilih warga negara RRT golongan totok. Namun
  di kalangan totok juga terjadi perpecahan antara yang pro Kungchangtang/
  RRT dan yang pro Kuomintang/Taiwan. Yang pro Taiwan kebanyakan memilih
  menjadi stateless. Perpecahan ini juga tercermin dari media massa
  masing-masing pihak yaitu harian Sin Po edisi bahasa Tionghoa dan "Shen
  Hua Pao" yang sejak awal penerbitannya pada awal penyerahan kedaulatan
  selalu mengambil sikap pro RI. Sedangkan yang pro Taiwan adalah harian
  "Thian Sheng Yit Pao" yang telah terbit sejak jaman Belanda dan diasuh oleh
  tokoh-tokoh Kuomintang di Indonesia. Karena Taiwan terilbat dalam
  pemberontakan PRRI/Permesta, Kuomintang dilarang di Indonesia dan
  sekolah-sekolahnya ditutup.
   
  Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin
  (1959-1965) perlu dicatat peranan Baperki (berdiri tahun 1954) sebagai
  ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak
  dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi.
  Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga
  negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan
  universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan
  terutama anak-anak Tionghoa warga negara Indonesia yang harus meninggalkan
  sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku.
  Dalam menyelesaikan "masalah minoritas Tionghoa", Baperki di bawah pimpinan
  Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dllnya mengembangkan doktrin
  nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun
  sebuah nation atau bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya
  kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan
  asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam
  haribaan bangsa Indonesia. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep
  kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para
  founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
   
  Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam
  suku,etnis, ras dan agama dengan budayanya masing-masing. Selanjutnya ia
  berpendapat nation yang bersih dari diskriminasi rasial hanya dapat
  terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia
  atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan
  sebaliknya.
   
  Dalam perkembangannya, di era perang dingin Baperki ternyata harus
  menghadapi situasi tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan
  kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak
  mempunyai pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang
  sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol/Usdek dan persatuan
  Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, dengan otomatis
  Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh "kekuatan revolusi" pada
  masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Perti, Partai Katholik, NU, PSII
  dsbnya dalam perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang
  bersih dari penghisapan manusia atas manusia. Situasi ini menyebabkan
  Baperki lebih dekat dengan PKI, Partindo, PNI dan kekuatan-kekuatan
  pendukung Bung Karno lainnya.
   
  Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya
  menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya
  dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang
  dilakukan PKI dalam menentang Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan
  kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal ini menyebabkan banyaknya etnis
  Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada
  PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, kemudian ikut bergabung di dalamnya.
  Namun ketika terjadi Peristiwa G30S seperti banyak organisasi-organisasi
  dan partai-partai politik lainnya, Baperki menjadi korban keganasan rejim
  militer Jenderal Soeharto.
   
  Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan
  Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi,
  mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960
  di Jakarta dikeluarkan "Statement Asimilasi" yang dengan tegas berpendirian
  bahwa masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi
  dalam segala lapangan secara aktip dam bebas. Para penanda tangan statement
  tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang
  di antaranya malah ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya
  pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr.Tjung Tin
  Jan, Injo Beng Goat, Drs.Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs.Lauwchuantho
  (H.Junus Jahya) dan Mr.Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Kemudian pada tanggal
  13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar
  Kesadaran Nasional yang menghasilkan "Piagam Asimilasi". Di antara 30
  penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik
  Hway Gwan (ayah Drs.Kwik Kian Gie).
   
  Untuk melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta menghambat
  pengaruh Baperki, maka oleh para pendukungnya pada tahun 1963 dibentuk
  sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan
  ketuanya Ong Tjong Hai SH. alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan
  Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat
  dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali,
  Prof.Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs.Frans Seda, Roeslan Abdulgani,
  Harry Tjan, Djoko Sukarjo dllnya. Salah satu program LPKB adalah
  pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan secara serentak dengan
  titik berat pada asimilasi sosial. Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan
  dalam lima bidang kehidupan sebagai berikut : asimilasi politik, asimilasi
  kulturil, asimilasi ekonomi, asimilasi sosial/campur gaul dan asimilasi
  kekeluargaan (pernikahan). Kelima-limanya harus dilaksanakan dengan
  serentak (sinkron) dengan mempertimbangkan timing dan irama yang
  sebaik-baiknya. Setelah meletusnya Peristiwa G30S, LPKB memainkan peranan
  penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama dan bahasa Tionghoa
  seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rejim
  Orde Baru.
   
  Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa
  diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan
  massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk
  tokoh,anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa
  lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan
  masyarakat Tionghoa. Baperki dijadikan stigma untuk menakut-nakuti etnis
  Tionghoa agar menjauhi wilayah politik. Setelah menghancurkan harga diri
  etnis Tionghoa dengan mengganti sebutan Tionghoa menjadi Cina, melarang
  perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina secara terbuka,
  melarang penggunaan bahasa dan cetakan dalam bahasa Cina dan anjuran agar
  mengganti nama yang berbau Cina, etnis Tionghoa hanya diberi ruang untuk
  melakukan bisnis semata. Kalaupun ada segelintir etnis Tionghoa yang
  terjun dalam politik praktis, mereka hanya dijadikan bendahara atau mesin
  penghasil uang saja. Memang ada beberapa orang etnis Tionghoa yang aktif
  terjun dalam aksi-aksi melengserkan Presiden Soekarno seperti dua
  bersaudara Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen, Harry Tjan dan Soe Hok Gie.
   
  Namun dalam perkembangannya Soe Hok Gie yang merasa kecewa kepada
  pemerintahan otoriter Jenderal Soeharto malahan menjadi oposisi dan
  meninggal dalam usia muda karena kecelakaan, menghirup gas beracun di
  gunung Semeru. Sementara itu kedua saudara Liem dan Harry Tjan ikut
  mendirikan CSIS yang pada dekade pertama dan kedua pemerintahan Orde Baru,
  di masa jayanya Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani,
  memainkan peranan penting dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan Orde
  Baru. Liem Bian Koen sendiri akhirnya beralih profesi menjadi pengusaha
  (konglomerat) dan menjadi juru bicara pengusaha-pengusaha yang tergabung
  dalam Yayasan Prasetya Mulia. Sebaliknya beberapa tahun sebelum lengsernya
  Presiden Soeharto, secara mengejutkan Drs.Kwik Kian Gie meninggalkan
  Yayasan Prasetya Mulia dan menggabungkan diri dengan PDI, selanjutnya
  dalam konflik internal partai, ia berpihak kepada Megawati Soekarnoputeri
  yang mendapatkan tekanan keras dari rejim yang berkuasa.
   
  Aksi-aksi anarkis dan politik dikriminasi rasial anti Tionghoa.
   
  Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa sebelum kedatangan orang-orang
  Belanda yang mendirikan VOC dan kemudian pemerintahan Hindia Belanda,
  orang-orang Tionghoa selama ratusan tahun telah bermukim dengan tenang,
  damai dan berbaur dengan penduduk di berbagai tempat di Nusantara, terutama
  di pesisir utara pulau Jawa dan di pesisir timur Sumatera Selatan. Demi
  kepentingan perdagangannya, dengan mengeluarkan berbagai peraturan
  pemerintah Hindia Belanda telah melakukan politik segregasi untuk
  memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat (bumiputera),
  Aksi kejahatan anti Tionghoa yang pertama di Nusantara adalah pembunuhan
  orang-orang Tionghoa pada tahun 1740 di Batavia. Lebih dari 10.000 orang
  Tionghoa dibantai dengan kejam oleh pasukan VOC dan ratusan rumah dijarah
  dan dibakar dengan semena-mena. Darah dan mayat korban pembunuhan tersebut
  memenuhi sebuah sungai yang sampai sekarang dinamakan kali Angke. Kejadian
  kedua adalah pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Pangeran Adipati
  Cakraningrat IV di pesisir utara Jawa Tengah/Jawa Timur, mulai dari Tuban,
  Gresik sampai ke Surabaya, saat berlangsung perang antara orang-orang
  Tionghoa dan sekutunya orang-orang Jawa melawan VOC. Kemudian pada tanggal
  23 September 1825, pada awal Perang Jawa, di Ngawi, sebuah kota kecil di
  perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, terjadi pembantaian terhadap
  orang-orang Tionghoa yang dilakukan pasukan berkuda yang dipimpin Raden Ayu
  Yudakusuma, puteri Sultan Hamengku Buwono I. Puluhan mayat orang Tionghoa
  bergelimpangan di muka pintu, di jalan-jalan dan di rumah-rumah yang penuh
  lumuran darah. Pembantaian di Ngawi ternyata bukan satu-satunya kejadian
  pada masa permulaan Perang Jawa. Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang
  Bengawan Solo, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi berulang-ulang,
  pada saat mereka dalam keadaan terisolir diserang oleh pasukan pemberontak.
   
  Setelah berakhirnya Perang Jawa, pemerintah Hindia Belanda telah sepenuhnya
  menguasai pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya di Indonesia kecuali Aceh.
  Pemerintah Hindia Belanda melakukan tindakan keras terhadap setiap usaha
  yang bertujuan untuk melawan pemerintah atau melakukan pemberontakan.
  Raja-raja Jawa telah dibuat mandul dan menjadi pengikut yang jinak dan
  setia. Seluruh konsentrasi di lakukan untuk menjamin keamanan pelaksanaan
  cultuurstelsel (tanam paksa) yang sangat menguntungkan pemerintah Kerajaan
  Belanda. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah, trampil dan rajin,
  selama beberapa dekade pemerintah Hindia Belanda mendatangkan ratusan ribu
  orang Tionghoa dari bagian selatan daratan Tiongkok untuk di jadikan buruh
  perkebunan di Sumatera Utara (orang-orang Hokkian) dan buruh tambang timah
  di pulau Bangka dan Bilitung (orang-orang Hakka). Di samping itu karena
  tidak tahan menghadapi bencana alam (banjir) dan perang saudara yang terus
  berlangsung di daratan Tiongkok, banyak juga orang-orang Tionghoa yang atas
  kemauannya sendiri berdatangan ke Indonesia untuk mencari kehidupan baru.
  Migrasi besar-besaran orang-orang Tionghoa ini baru berakhir menjelang
  berlangsungnya Perang Dunia II. Nah, keturunan orang-orang inilah yang
  sekarang disebut orang-orang Tionghoa totok.
   
  Walaupun dilahirkan di Indonesia, namun karena mereka dibesarkan di
  lingkungan yang terisolir dari penduduk setempat, mereka masih kental
  memelihara budaya Tionghoa dan setiap hari menggunakan bahasa Tionghoa atau
  dialek asal kampungnya di daratan Tiongkok. Karena kendala bahasa, mereka
  sulit membaurkan diri dengan penduduk di sekelilingnya. Ini terjadi dengan
  komunitas Tionghoa yang berasal dari Sumatera Utara, Jambi, Riau,
  Bangka-Bilitung dan Kalimantan Barat.
   
  Walaupun terjadi gesekan-gesekan kecil antara pedagang-pedagang Tionghoa
  dengan pedagang-pedagang pribumi dan Arab, selama beberapa dekade tidak ada 
kejadian aksi-aksi rasialis anti Tionghoa yang menonjol. Baru pada tanggal
  31 Oktober 1918 rumah-rumah dan toko-toko milik orang Tionghoa di kota
  Kudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang
  dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah-daerah sekitarnya. Korban
  meninggal dunia enam belas orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan
  para perusuh, yang luka-luka ratusan orang,
   
  Berdirinya Sarekat Dagang Islam yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo
  sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan para pedagang Tionghoa yang
  dianggap menjadi pesaing utama para pedagang Islam. SDI kemudian berubah
  menjadi Sarekat Islam dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya
  mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi
  yang militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajahan Belanda.
   
  Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Hindia Belanda melakukan
  politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan-kepentingan
  pedagang-pedagang Islam yang dipelopori pedagang-pedagang Arab dengan
  pedagang-pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara
  pedagang-pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang
  Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan
  para penasihatnya dari Biro Urusan Bumiputera, Terjadi bentrokan-bentrokan
  kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada
  "Peroesoehan di Koedoes".
   
  Aksi penjarahan baru terjadi kembali pada saat bala tentara Jepang mendarat
  di Jawa. Tentara Belanda yang mengundurkan diri dari kota-kota besar
  mendobrak dan menjarah toko-toko P&D yang ditinggalkan pemiliknya untuk
  mengungsi. Perbuatan tersebut telah mendorong rakyat yang hidup serba
  kekurangan untuk meniru tindakan anggota-anggota militer Belanda tersebut.
  Maka terjadilah perampokan-perampokan dan penjarahan-penjarahan toko-toko
  dan rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan pemiliknya untuk
  mengungsi. Kerugian paling banyak dialami orang-orang Tionghoa di Jawa
  Barat dan Jawa Tengah. Ratusan pabrik milik orang Tionghoa dihancurkan
  pasukan Belanda yang sedang mengundurkan diri.
   
  Tetapi puncak dari aksi-aksi anti Tionghoa adalah pada masa sebelum dan
  sesudah Agresi Belanda. Pada bulan Mei 1946, sebanyak 635 orang Tionghoa,
  termasuk 136 orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan
  sekitarnya telah menjadi korban pembunuhan. 1.268 rumah etnis Tionghoa
  habis dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang
  pengungsi di Jakarta yang datang dari daerah tersebut. Selanjutnya terjadi
  pembantaian, pembakaran dan pejarahan rumah-rumah dan harta benda milik
  orang Tionghoa di Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majalengka, Indramayu,
  Pekalongan, Tegal, Puwokerto,Purbalingga, Bobotsari, Gombong, Lumajang,
  Jember, Malang, Lawang, Singosari dllnya. Ratusan orang Tionghoa menjadi
  korban pembantain dan ribuan toko, pabrik, kendaraan, dllnya habis dibakar
  atau dijarah.
   
  Sebenarnya aksi-aksi kekerasan ini diprovokasi pihak NICA (Nederlandsch
  Indie Civil Administration) yang ingin menjatuhkan reputasi Republik
  Indonesia di dunia internasional dan sayangnya sebagian rakyat Indonesia
  tidak waspada dan masuk dalam perangkap tersebut. Akibat pembantaian dan
  perampokan serta penjarahan tersebut, sekelompok etnis Tionghoa mendirikan
  sebuah organisasi untuk membela diri dan menjaga keamanan. Organisasi
  tersebut bernama "Pao An Tui" yang artinya barisan penjaga keamanan. Namun
  dalam perkembangannya sebagian dari anggota Pao An Tui yang merasa sakit
  hati dan dendam karena keluarganya menjadi korban, berhasil dibujuk dan
  dipersenjatai Belanda untuk digunakan menghadapi pasukan Indonesia. Hal
  inilah yang kemudian menjadi stigma negatif pertama bagi etnis Tionghoa
  yang selama puluhan tahun ditiup-tiupkan sementara golongan untuk
  mendiskreditkan etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa
  reaksioner, pro NICA dan menentang Republik.
   
  Sejak pemerintahan RIS dan penyerahan kedaulatan serta terbentuknya Negara
  Kesatuan Republik Indonesia dengan Demokrasi Parlementernya ada usaha-usaha
  dari pihak tertentu dalam pemerintahan untuk menjalankan kebijaksanaan yang
  berbau rasis. Kebijaksanaan tersebut antara lain program "benteng" importir
  yang diprakarsai oleh Menteri Kesejahteraan Ir.Djuanda. Kebijaksanan yang
  hanya memberikan lisensi impor kepada golongan pribumi, melahirkan
  pengusaha-pengusaha atau importir-importir "aktentas", yaitu pengusaha yang
  tidak bermodal dan tidak punya kantor, dengan membawa sebuah aktentas
  keluar masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor
  bermacam-macam barang. Dengan mengantungi lisensi ini mereka mendatangi
  pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi tersebut. Kerja sama
  inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan sistim Ali-Baba.
   
  Walaupun dalam kabinet Ali Sastroamidjojo ke-1 terdapat dua orang menteri
  dari etnis Tionghoa, hal ini tidak menjamin bersihnya
  kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berbau rasis. Dengan alasan untuk menjamin
  pengadaan dan stabilitas harga beras, pemerintah bermaksud menguasai
  perdagangan dan peredaran beras dan untuk itu dikeluarkan peraturan wajib
  giling padi pemerintah dan melarang penggilingan-penggilingan beras
  (huller) menggiling padi di luar pemerintah. Padahal 98 % penggilingan
  beras adalah milik etnis Tionghoa.
   
  Akibatnya banyak penggilingan padi yang menganggur dan munculnya
  centeng-centeng yang kebanyakan dari kalangan militer untuk melindungi
  penggilingan-penggilingan beras yang secara illegal menggiling padi rakyat.
   
  Bersambung ke Bag. 3/3
   
  ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA bag. 3/3-habis 
(Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta 
pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure
  Rekso,Jakarta.)
   
  Oleh : Benny G.Setiono
  
--------------------------------------------------------------------------------------------------
   
  Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu
  gerakan yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan
  perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan
  "pribumi". Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat
  dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk
  menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia
  maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan.
  Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan
  program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak
  bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia
  juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada
  negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan
  orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
   
  Tanpa terduga sebelumnya, Presiden Soekarno pada bulan November 1959 dengan 
tiba-tiba menanda tangani Peraturan Pemerintah No.10 atau yang lebih
  terkenal dengan sebutan P.P.-10. Peraturan ini berisi larangan bagi
  orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) untuk
  berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah
  swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak tanggal 1Januari 
1960. Sudah tentu peraturan yang sangat rasis ini sangat mengejutkan dan 
menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Karena pada 
masa itu Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga 
terjadi kesimpang siuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI. 
Para penguasa militer di daerah-daerah dengan seenaknya mengusir bukan saja 
orang-orang Tionghoa asing tetapi juga orang-orang Tionghoa yang berdasarkan UU 
Kewarganegaraan tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia. Sebenarnya 
P.P.-10 merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan kabinet 
Djuanda, Rachmat Moeljomiseno pada bulan Mei 1959 yang berisi larangan bagi 
orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Akibat P.P.-10 
hubungan persahabatan antara pemerintah RI dan pemerintah RRT menjadi 
terganggu. Pemerintah RRT mengirim kapal-kapalnya untuk mengangkut
 orang-orang Tionghoa yang ingin meninggalkan Indonesia untuk berdiam di 
Tiongkok. Hal ini membuktikan pemerintah RI masuk ke dalam perangkap 
negara-negara imperialis Barat yang ingin merusak hubungan persahabatan 
Indonesia dengan Tiongkok.
   
  Aksi kekerasan anti Tionghoa baru muncul kembali pada tanggal 10 Mei 1963
  di kota Bandung dan sekitarnya. Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan
  perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang
  mahasiswa pribumi yang disebabkan terjadinya senggolan sepeda motor.
  Kemudian dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas
  Padjadjaran, dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan
  kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah
  tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta
  dijarah massa. Kemudian aksi anarkis meluas ke kota-kota lainnya di Jawa
  Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dllnya. Sangat
  ironis, Yap Tjwan Bing, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang turut
  mendirikan Republik ini juga menjadi korban aksi anarkis tersebut. Kejadian
  ini sangat mengecewakan dirinya, sehingga dengan alasan mengobati penyakit
  puteranya, ia sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan nafas
  terakhirnya.
   
  Pada tahun 1967, dengan alasan menumpas Pasukan Gerilyawan Rakyat Serawak
  (PGRS), pasukan militer Indonesia telah berhasil memprovokasi suku Dayak di
  Kalimantan Barat yang mengakibatkan terjadinya aksi-aksi pembantaian dan
  kekerasan terhadap etnis TIonghoa di desa-desa pedalaman. Akibatnya puluhan
  ribu etnis Tionghoa menjadi pengungsi di Singkawang dan Pontianak yang
  kemudian menyebar ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.
   
  Di masa Orde Baru setumpuk peraturan diskriminatif terhadap orang Tionghoa
  dikeluarkan oleh pemerintah rejim Soeharto tanpa mendapatkan protes atau
  peralawanan sedikitpun. Khusus untuk mengawasi gerak-gerik dan kegiatan
  etnis Tionghoa, dibentuk sebuah institusi di dalam tubuh BAKIN, yaitu Badan
  Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Seperti nasib orang Yahudi di Jerman
  menjelang Perang Dunia II, etnis Tionghoa di Indonesia dibuat tidak berdaya
  sama sekali. Etnis Tionghoa dijadikan warga negara kelas dua yang selalu
  menjadi kambing hitam dalam setiap masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
   
  Herannya kelahiran seluruh peraturan tersebut didorong dan disponsori oleh
  sekelompok etnis Tionghoa sendiri (LPKB). Dalam suatu diskusi di kantor
  majalah Gamma pada bulan September 1999, K.Sindhunatha dengan tanpa
  ekspresi menyatakan bahwa konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan 
adat istiadat Cina berasal dari dirinya. Malahan ia menyatakan bahwa Pak
  Harto cukup bermurah hati dengan mengijinkan etnis Tionghoa melaksanakan
  dan merayakannya di dalam rumah, karena konsep yang disodorkan berisi
  larangan total. Ia juga mengakui bahwa penggantian sebutan kata Tionghoa
  menjadi Cina diputuskan olehnya, ketika ia diminta memilih antara kedua
  kata tersebut pada saat berlangsungnya Seminar Angkatan Darat II, tahun
  1966 di Bandung.
   
  Di samping itu di masa Orde Baru aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa
  berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar mulai dari Medan sampai ke
  Makassar. Aksi-aksi kekerasan tersebut terutama di pulau Jawa bukan saja
  secara "kuantitas" meningkat, tetapi juga secara "kualitas" yang mencapai
  puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
   
  Anehnya walaupun pemerintah Orde Baru menerapkan kebijaksanaan politik
  anti RRT dan anti Tionghoa, tetapi dalam usaha membangun perekonomian di
  sektor riil, etnis Tionghoa di beri peran dan peluang yang sangat besar.
  Malahan segelintir etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh pihak penguasa untuk
  melakukan KKN demi menumpuk kekayaan pribadinya. Lahirlah sejumlah kecil
  konglomerat-konglemerat jahat yang bersama para penguasa "merampok"
  kekayaan negara. Hal inilah yang kembali menjadi stigma buruk yang dilekatkan 
pada diri etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa adalah "binatang 
ekonomi" yang tidak bermoral.
   
  Jadi selama ini ada tiga stigma negatif yang selalu dilekatkan untuk 
memojokkan etnis Tionghoa. Yang pertama stigma "Pao An Tui", yang kedua stigma 
"Baperki/komunis" dan yang ketiga stigma "binatang ekonomi" yang tidak bermoral.
  Di samping itu, apabila kita belajar dari sejarah, aksi-aksi anti TIonghoa
  sebagian besar terjadi di pulau Jawa. Padahal orang-orang Tionghoa di Jawa
  telah cukup membaur dibandingkan dengan di daerah-daerah lain di luar
  pulau Jawa. Ada yang mengatakan bahwa sejak jaman Diponegoro telah tumbuh
  "mitos" di masyarakat Jawa bahwa orang Tionghoa adalah pembawa sial yang
  perlu dijauhi. Mitos ini muncul setelah Pangeran Diponegoro melarang para
  komandannya melakukan hubungan yang akrab dengan orang-orang Tionghoa. Ia
  juga melarang mereka mengambil gadis-gadis peranakan Tionghoa menjadi
  gundiknya, karena ia berpendapat bahwa hubungan dengan gadis-gadis Tionghoa
  hanya akan membawa sial dan malapetaka. Sikap Pangeran Diponegoro ini
  disebabkan pengalamannya sendiri ketika menghadapi kekalahan pertempuran di
  Gowok, di luar Surakarta pada tanggal 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa
  yang ditulisnya sendiri dalam babad Dipanegara, ia telah terjebak dan
  dihancurkan oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di
  daerah Panjang dan kemudian dijadikan tukang pijatnya. Demikian juga ia
  menyalahkan kekalahan iparnya Sasradilaga, dalam pertempuran di pesisir
  utara, di daerah Lasem karena melanggar perintahnya dengan menggauli
  seorang perempuan Tionghoa di Lasem.
   
  Kenyataan bahwa banyak dari komandan-komandan pasukannya yang menggauli
  gadis-gadis Tionghoa sebagai hiburan dan banyaknya penggunaan candu di
  antara prajuritnya, telah menimbulkan anggapan Pangeran Diponegoro bahwa
  kalahnya dia dalam pertempuran dengan Belanda disebabkan oleh orang-orang
  Tionghoa yang telah membawa sial dan malapetaka. Pandangannya yang keliru
  dan bersifat rasis inilah yang seolah-olah menjadi "mitos" bahwa
  orang-orang Tionghoa hanya pembawa sial, yang sampai sekarang masih
  dihembus-hembuskan oleh kalangan tertentu, dengan tujuan memojokkan etnis
  Tionghoa di Indonesia.
   
  Sejak jaman raja-raja Mataram, orang-orang Tionghoa telah dijadikan mitra
  untuk memungut pajak jalan, jembatan, pasar dsbnya. Pemungutan pajak ini
  dilakukan dengan sistim borongan, karena para raja dan bupati tidak mau
  berpusing-pusing melakukan pekerjaan yang tidak populer di mata rakyatnya.
  Oleh karena sistim pemungutan pajak ini memberikan keuntungan yang cukup
  menggiurkan, banyak kalangan etnis Tionghoa yang tertarik dan memberikan
  penawaran yang jauh lebih tinggi. Akibatnya untuk memenuhi target tersebut,
  pemungutan pajak dilakukan dengan lebih intensif dan hal ini menimbulkan
  antipati rakyat kepada etnis Tionghoa. Demikian juga hak mengelola
  rumah-rumah judi, pembuatan garam, pelacuran dan tempat penghisapan candu
  diborongkan kepada orang-orang Tionghoa dengan membayar pajak yang tinggi.
  Nah, hal-hal inilah yang sesungguhnya menimbulkan rasa kebencian dan
  antipati orang Jawa kepada etnis Tionghoa. Apalagi pemerintah kolonial
  Hindia Belanda juga melakukan kebijaksanaan yang sama dengan memberikan
  monopoli pach candu, pach judi dan pach pembuatan garam kepada etnis
  Tionghoa. Cara-cara ini ternyata dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru
  dengan memberikan monopoli kepada orang Tionghoa untuk membuka kasino baik 
legal maupun ilegal, demikian juga tempat-tempat pelacuran dan hiburan
  lainnya.
   
  Di samping memberikan hak-hak monopoli tertentu, pemerintah Hindia Belanda
  melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dengan
  penduduk setempat. Wijkenstelsel dan Passenstelsen justeru dilaksanakan
  secara intensif di masa tanam paksa (pertengahan abad ke-19 hingga awal
  abad ke-20). Pedagang-pedagang Tionghoa dibenturkan kepentingannya dengan
  pedagang-pedagang Islam/Arab sehingga menimbulkan konflik-konflik kecil
  pada dekade kedua abad ke-20. Sistim pendidikan di jaman kolonial juga
  sengaja dikotak-kotak dan memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk
  pribumi. Sistim pendidikan ini mengakibatkan munculnya sekelompok orang
  Tionghoa yang mempunyai pandangan politik pro Belanda (Chung Hwa Hui).
   
  Namun puncak politik anti Tionghoa berlangsung pada masa pemerintahan Orde
  Baru. Pertama yang dilakukan rejim Soeharto, selaras dengan kepentingan
  politik Amerika Serikat dan Inggris, adalah merusak hubungan persahabatan
  dan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan RRT. Kedua dengan menuduh
  Baperki terlibat dalam Gerakan 30 September, seluruh etnis Tionghoa secara
  politik dibuat tidak berdaya dengan mengeluarkan setumpuk peraturan-peraturan 
yang sangat diskriminatif. Ketiga memprogram etnis Tionghoa agar menjauhi 
wilayah politik. Yang keempat menjadikan segelintir etnis Tionghoa menjadi 
kroni untuk melakukan KKN agar dapat dijadikan kambing hitam apabila pada suatu 
saat timbuil perlawanan dari rakyat Solusi "masalah Tionghoa".
   
  Setelah dari berbagai perspektif sejarah kita memahami akar "masalah
  Tionghoa" yang dihadapi bangsa Indonesia, marilah kita bersama-sama mencari
  solusinya. Solusi masalah Tionghoa harus berangkat dari keinginan untuk
  menyatukan seluruh komponen bangsa demi kemajuan bangsa dan negara kita,
  tanpa prasangka sedikitpun.
   
  Adalah kenyataan sejarah bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian integral
  bangsa kita, bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia.
  Etnis Tionghoa mempunyai akar sejarah yang sangat panjang di bumi
  Indonesia, hampir seribu tahun lamanya. Bandingkan dengan sejarah bangsa
  Amerika dan Australia yang hanya beberapa ratus tahun lamanya. Budaya
  Tionghoa telah mengisi khasanah budaya Indonesia, baik dalam bahasa,
  kesenian, makanan dsbnya. Oleh karenanya seluruh bangsa Indonesia tanpa
  terkecuali dengan lapang dada harus menerima keberadaan etnis Tionghoa
  secara utuh, apa adanya. Demikian juga seluruh etnis Tionghoa harus
  menempatkan dirinya tanpa reserve sebagai bagian integral bangsa Indonesia.
  Adalah tugas dan kewajiban seluruh etnis Tionghoa di Indonesia untuk
  membangun bangsa dan negara menuju masyarakat yang kita cita-citakan.
  Sebuah masyarakat yang adil dan makmur, demokratis, bersih dari KKN,
  menjunjung tinggi penegakan hukum dan HAM. Sebaliknya seluruh jajaran
  pemerintahan baik pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif harus 
memperlakukan etnis Tionghoa sama dengan komponen bangsa lainnya. Seluruh 
peraturan mulai dari UUD, Undang- undang, Keputusan Presiden, Instruksi 
Presiden, Keputusan Menteri, Gubernur dsbnya harus bersih dari hal-hal yang 
berbau diskriminasi. Peraturan mengenai SBKRI harus segera dicabut seperti juga 
BKMC harus dibubarkan. Pihak birokrat mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur 
dan seluruh jajarannya maupun para elit partai politik, tokoh agama, pengamat, 
tokoh-tokoh LSM dllnya harus menjauhkan diri dari prangsangka rasial. Tidak 
boleh lagi ada ucapan atau ungkapan seperti apa yang diucapkan Gubernur 
Sutiyoso ketika masalah villanya di kawasan Puncak dipermasalahkan para 
wartawan dengan mengatakan "Mengapa villa saya yang luasnya hanya seratus meter 
persegi dan terbuat dari kayu diributkan, mengapa villa Cina-Cina sipit tidak 
dipermasalahkan ?" Atau seperti yang diucapkan seorang anggota DPR dari fraksi 
PDI-P
 ketika berselisih dengan
  Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi yang kebetulan berasal dari
  etnis Tionghoa.
   
  Etnis Tionghoa jangan hanya berkonsentrasi dalam bidang bisnis saja, tetapi
  harus mau memasuki segala jenis profesi, mulai dari guru, dosen, peneliti,
  tentara, polisi, jaksa, hakim, pengacara, artis, wartawan, sastrawan,
  pelaut sampai politikus. Etnis Tionghoa harus berusaha keluar dari isolasi
  yang selama ini mengkungkungnya. Politik bukan sesuatu yang menakutkan dan
  perlu dijauhi, sebaliknya perlu dipelajari dan dipahami. Etnis Tionghoa
  harus turut berpolitik praktis secara aktif dengan cara memasuki partai
  politik yang sesuai dengan pilihannya atau bersama-sama komponen bangsa
  lainnya mendirikan partai politik untuk dijadikan alat perjuangan untuk
  mencapai apa yang selama ini dicita-citakan. Etnis Tionghoa jangan mau
  hanya dijadikan mesin pengumpul uang saja seperti apa yang dilakukan rejim
  Orde Baru. Memang tragedi Mei 1998 membangkitkan kesadaran etnis Tionghoa
  bahwa selama ini mereka secara politis tidak berdaya sama sekali. Ini
  terbukti setelah jatuhnya rejim Soeharto, berbagai kelompok peranakan
  Tionghoa segera membentuk partai politik, paguyuban, perhimpunan, LSM
  dsbnya, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai
  Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI),
  Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB),
  Gerakan Anti Diskriminasi (GANDI), Solidaritas Pemuda Pemudi Indonesia
  Untuk Keadilan (SIMPATIK) dsbnya. Namun dalam perjalanannya, karena banyak
  menghadapi kendala semangat yang pada mulanya mengebu-gebu, perlahan-lahan
  mulai menyurut. Di samping itu seperti juga yang terjadi pada partai-partai
  politik dan organisasi nasional lainnya, perpecahan telah menjadi mode yang
  menimpa partai-partai politik dan organisasi-organisasi di kalangan etnis
  Tionghoa.
   
  Pada masa kampanye Pemilu 1999, sejumlah partai politik menggunakan
  atraksi liong- barongsai untuk menarik simpati etnis Tionghoa agar memilih
  partainya. Sebenarnya hal ini sah-sah saja, tetapi di sisi lain hal ini
  membuktikan betapa signifikannya etnis Tionghoa dalam perolehan suara untuk
  memenangkan Pemilu. Etnis Tionghoa pada masa kampanye seperti komponen
  bangsa lainnya menjadi bahan rebutan.
   
  Pada tanggal 16 September 1998, terbawa oleh arus reformasi Presiden
  B.J.Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No.26/1998 yang ditujukan
  kepada suluruh jajaran birokrasi agar menghapuskan penggunaan istilah
  "pribumi" dan "non pribumi". Selanjutnya pada tanggal 17 Januari tahun
  2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Kepres No. 6/2000 yang berisi
  pencabutan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan
  Adat Istiadat Cina. Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama
  No.13/2001 yang menetapkan Imlek sebagai libur fakultatif dan diteruskan
  dengan pencabutan larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun
  tulisan. Orang boleh tidak suka kepada Gus Dur, tetapi adalah suatu
  kenyataan sejarah bahwa ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang
  demokrat yang percaya akan adanya kemajemukan di dalam masyarakat dan
  bangsa Indonesia. Ia juga telah membuktikan dirinya sebagai pengayom
  kelompok minoritas yang selama tiga puluh dua tahun secara politik sangat
  lemah dan dimarjinalkan.
   
  Ketika menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal
  17 Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun
  2003 Imlek sebagai hari raya etnis Tionghoa menjadi hari Nasional.
  Konsekuensi Imlek sebagai hari Nasional tentunya menjadi hari libur
  nasional, bukan fakultatif. Namun sampai saat ini Menteri Agama sebagai
  instansi yang berwenang menentukan hari libur nasional belum mengeluarkan
  surat keputusannya. Keputusan Presiden Megawati menjadikan Imlek sebagai
  hari Nasional menimbulkan kontroversi. Apalagi kalau alasannya karena hari
  raya etnis, bagaimana dengan etnis lainnya ? Demikian juga kalau dengan
  alasan agama atau kepercayaan, masih banyak agama atau kepercayaan lain di
  Indonesia seperti agama Kaharingan, Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang
  Maha Esa dsbnya yang dapat menuntut perlakuan yang sama dari pemerintah.
  Malahan ada yang berprasangka bahwa keputusan ini hanya untuk konsumsi
  politik menghadapi Pemilu 2004. Ada juga yang berpendapat bahwa keputusan
  ini adalah suatu keniscayaan sebagai tanggapan alamiah terhadap
  perkembangan ekonomi China yang terlalu massif untuk diabaikan.
   
  Dengan dikeluarkannya Keppres Abdurrahman Wahid dan Keputusan Menteri Agama 
serta pernyataan Presiden Megawati tersebut, etnis Tionghoa merasa telah
  bebas dari "penjara" yang selama ini mengurungnya. Dalam waktu singkat
  ratusan perkumpulan barongsai, liong, wu shu dsbnya bermunculan di
  kota-kota di seluruh Indonesia. Puluhan surat kabar dan majalah serta
  ratusan kursus bahasa Tionghoa bermunculan bagaikan cendawan sehabis hujan.
  Malahan Metro TV setiap hari menayangkan acara khusus dalam bahasa
  Tionghoa. Demikian juga ada stasion radio komersial yang secara khusus
  menyiarkan acara dalam bahasa Tionghoa. Ratusan yayasan-yayasan Tionghoa
  totok, baik yang berdasarkan suku, asal daerah, marga, alumni sekolah
  dsbnya turut bermunculan. Tahun baru Imlek dirayakan secara terbuka dan
  meriah, demikian juga perayaan-perayaan tradisi dan agama/kepercayaan
  Tionghoa lainnya seperti Capgomeh, Pehcun, Tongciu, gotong tepekong dsbnya.
  Malahan baru-baru ini berlangsung pemilihan "Cici dan Koko" se Jakarta Barat.
  Timbul kesan di masyarakat bahwa etnis Tionghoa dalam masa euphoria
  menyambut kebebasan ini telah bertindak berlebihan dan kebablasan. Mereka
  merasa bahwa masalah Tionghoa telah selesai dan rasialisme telah lenyap
  dari bumi Indonesia. Padahal peraturan mengenai SBKRI masih berlaku dan
  dilaksanakan. Di samping itu puluhan peraturan-peraturan yang diskriminatif 
masih tetap eksis. Amandemen UUD 1945 belum seperti yang kita harapkan seperti 
juga RUU Kewarganegaraan yang disiapkan pemerintah masih terdapat point-point 
yang bersifat diskriminatif. BKMC belum secara resmi dibubarkan dan setiap saat 
dapat diaktifkan kembali. Ada perasaan yang berkembang di sementara kalangan 
masyarakat bahwa privileges (keistimewaan) yang diberikan kepada etnis Tionghoa 
telah berlebihan. Hal ini sewaktu-waktu dapat menimbulkan kecemburuan yang 
berbahaya yang patut disadari etnis Tionghoa. Apa yang diucapkan Gubernur 
Sutiyoso membuktikan bahwa di dalam hati dan benak sementara pejabat negara 
masih ada benih-benih rasialisme yang tanpa disadarinya sewaktu-waktu dapat 
terlontar keluar.
   
  Selaras dengan kemajuan pembangunan yang dicapai RRT dan membaiknya
  hubungan antara pemerintah RI dan RRT, masih banyak orang-orang Tionghoa
  yang bersikap anasional dan merasa dirinya seolah-olah warga negara RRT.
  Bagi orang-orang ini mereka merasa menjadi warga negara Indonesia hanya
  ketika menyodorkan paspornya saat berurusan dengan pihak imigrasi. Sikap
  seperti ini sungguh-sungguh sangat berbahaya, karena dari pengalaman
  sejarah kita belajar bahwa hubungan antar negara dapat berubah-rubah setiap
  saat. Hari ini bersahabat, besok bisa saja bermusuhan.
   
  Ada lagi sikap di sementara kalangan etnis Tionghoa yang membesar-besarkan
  solidaritas dan persatuan Tionghoa perantauan (Hua Ren) atau sementara
  kalangan berduit yang merasa dirinya dalam setiap saat dapat saja beralih
  menjadi penduduk atau warga negara lain.
  Apakah dengan dicabutnya peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif
  dan Imlek dijadikan hari libur nasional, masalah Tionghoa telah berakhir
  dan diskriminasi rasial telah lenyap dari bumi Indonesia? Sunguh naif
  apabila kita berpikiran dan berpendapat demikian. Berakhirnya masalah
  Tionghoa dan lenyapnya diskriminasi rasial hanya dapat tercapai apabila
  jurang pendidikan dan ekonomi telah berhasil dihilangkan.
   
  Hal ini baru dapat tercapai apabila kita telah berhasil membangun bangsa
  dan negara yang demokratis, bersih dari KKN dan selalu menjunjung tinggi
  penegakan hukum dan HAM. Untuk itulah etnis Tionghoa sebagai bagian
  integral bangsa Indonesia harus bersama-sama komponen bangsa lainnya
  membangun bangsa dan negara sesuai dengan apa yang kita cita-citakan
  tersebut. Namun harus kita sadari bahwa tugas ini tidak mudah, jangankan
  untuk mencapai semuanya itu, untuk keluar dari krisis ekonomi saja sampai
  saat ini kita belum juga berhasil.
   
   
  Daftar Pustaka
  Adam,Asvi Warman Cina Absen Dalam Pelajaran Sejarah. Koran
  Tempo, 12 Februari 2002.
  Budiman, Amen Semarang Riwayatmu Dulu. jilid
  pertama. Tanjung Sari, 1978.
  Carey,Peter Orang Jawa dan Masyarakat
  Cina,1755-1825, Pustaka Azet.
  Groeneveld, W.P. Historical Notes on Indonesia & Malaya, Compiled From
  Chinese
  Source. C.V.Bharatara, 1960.
  Levathes, Louise When China Rules The Sea. Oxford
  University Press, 1994.
  Muljana, Slamet Prof.DR. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa Dan
  Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Bharatara,1968.
  Pan, Lynn The Encyclopedia of the Chinese
  Overseas. 1990.
  Parlidungan, M.O. Tuanku Rao.Tanjung Pengharapan, 1964.
  Phoa Kian Sioe Sedjarahnya Souw Beng Kong, Phoa Beng
  Gan, Oey Tamba Sia.
  Reporter, Djakarta, 1956.
  Purcell,Victor The Chinese in Southeast Asia.
  Second Edition, Oxford University Press,1981.
  Remmelink,Willem The Chinese War and the Collpase of the
  Javanese State,1725 -1743 . KITLV Press, Leiden, 1944.
  Siauw Tiong Djin Siauw Giok Tjhan, Riwayat Perjuangan
  Seorang Patriot
  Membangun Nasion Indonesia Dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika. Hasta
  Mitra, 199.
  Soejatmiko,Basuki Etnis Tionghoa di Awal Kemerdekaan Indonesia, sorotan
  Bok Tok-Pers Melayu Tionghoa-Desember 1945-September 1946.
  Thio Ie Soei Lie Kimhok (1853-1912). L.D. "Good Luck", Bandung
  Tjiong koen Liong Peroesoehan Di Koedoes" Drukkerij Goan Hong & Co, Pasar
  Pisang, Batavia, 1920.
  Toer, Pramoedya Ananta dkk Kronik Revolusi Indonesia. Jilid I, 1999,
  Kepustakaan Populer Gramedia.
  Toer, Pramoedya Ananta Hoa Kiao di Indonesia.
  Toer, Pramoedya Ananta Sang Pemula. Hasta Mitra, 1985.
  Twang Peck Yang The Chinese Business Elite In Indonesia
  And The Transition To Independence 1940-1950. Oxford University Press,
  1998.
  Werdojo,T. Tan Jin Ding dari kapitein Cina
  sampai Bupati Yogyakarta. PT.Pustaka Utama,Grafiti, Jakarta 1990.
  Yap Tjwan Bing Meretas Jalan Kemerdekaan-Otobiografi
  Seorang Pejuang Kemerdekaan. P.T.Gramedia, 1988.
  Yayasan Tunas Bangsa Lahirnya Konsep Asimilasi.
  Harian/Mingguan/Tabloid/Majalah/Memorandum/Makalah.
  - Harian/Mingguan Sin Po.
  - Harian Warta Bhakti.
  - Koran Tempo. Tabloid Suar.
  - Mingguan Star Weekly.
  - Memorandum Outlining Acts Of Violence And Inhumanity By Indonesian
  Bands On Innocent Chinese Before And After The Dutch Police Action Was
  Enforced On July 21, 1947. Compiled by Chung Hua Tsung Hui (Federations of
  Chinese Associations) in Batavia 15 September 1947.
  -Makalah Budi Widianarko "Mendobrak Kungkungan: Menuju Multi-Peran
  Tionghoa Indonesia" Disajikan dalam Seminar Pasca Kebijakan Imlek Libur
  Nasional" Semarang, 12 April 2002.
  ---Habis----
   
  ---------------------------------------------------------------------
  Jangan Lewatkan!
  SiuTao.com - http://www.siutao.com
  Jelajahi Tao dengan Suka Cita
  Kelenteng.com - http://www.kelenteng.com
  Jalankan Kebajikan dengan Penuh Kesadaran
  ---------------------------------------------------------------------
  Milis Kelenteng - Quan Shui
  URL: http://lists.quanshui.org
  Posting, email: [EMAIL PROTECTED


Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






        
---------------------------------
Everyone is raving about the  all-new Yahoo! Mail.

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 
    mailto:ppiindia-fullfeatured@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] ETNIS TIONGHOA ADALAH BAGIAN INTEGRAL BANGSA INDONESIA